MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Kenaikan Harga BBM Mencekik Keluarga Buruh

Poster protes penolakan kenaikan harga BBM 2012 | Foto: Dokumentasi LIPS

Poster protes penolakan kenaikan harga BBM 2012 | Foto: Dokumentasi LIPS

Kenaikan harga BBM kembali membuat resah masyarakat. Seperti yang kita ketahui, di bulan Maret 2018 pemerintah kembali menaikan BBM jenis pertalite. Di Sulawesi Selatan (Sulsel) kisaran kenaikan sebesar Rp200.
Keresahan masyarakat bukan tanpa sebab. Sudah menjadi fenomena alamiah, ketika BBM mengalami kenaikan, maka sebagai dampaknya harga bahan pokok pun akan terkena imbas. Sebab, biaya operasional untuk distribusi barang juga akan meningkat jika harga BBM naik, yang selanjutnya berpengaruh pada kenaikan harga penjualan di pasar.
Gambaran ini secara jelas bisa ditemui di Sulsel. Pasca kenaikan harga BBM diumumkan, harga kebutuhan bahan pokok di beberapa pasar tradisional mengalami kenaikan seperti komoditas bumbu dapur, diantaranya jenis cabe dan bawang. Kenaikan harga bervariasi mulai dari Rp5.000 sampai Rp10.000 per kilogram. Sebagai contoh di Jeneponto, bawang putih yang harga awalnya Rp25.000 mengalami kenaikan mnjadi Rp35.000 per kilogram (Tribunnews, 7/3/2018).
Beban Ekonomi Buruh
Bagi sebagian orang, mungkin kenaikan BBM jenis pertalite sebesar Rp200 tidak ada artinya karena nominalnya dianggap kecil. Namun bagi buruh kenaikan sekecil itu pun dampaknya sangat terasa. Bagi buruh dan keluarganya, hal ini menambah beban ekonomi. Pada aspek personal, dampak langsung yang dirasakan adalah kenaikan biaya operasional dan transportasi. Buruh harus menguras kocek lebih besar setelah pertalite mengalami kenaikan menjadi Rp200.
Jika diamati, sebagian besar buruh di Makassar khususnya yang bekerja di area kawasan industri Makassar menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi. Bayangkan, jika dalam sebulan, seorang buruh masuk kerja sebanyak 24 hari. Setiap hari dia harus mengisi kendaraannya dengan jumlah 1 liter pertalite dari yang semula harga Rp7.800 menjadi Rp8.000. Totalnya, selama sebulan seorang buruh paling mengeluarkan biaya operasional untuk transportasi sebesar Rp192.000. Ini hitungan untuk buruh yang tinggalnya dekat dengan area kawasan industri, belum bagi buruh yang jarak tempat tinggalnya jauh. Jika memasukan kemungkinan sepeda motor buruh belum lunas cicilan kreditnya, tentu hitungan pengeluaran ini semakin besar.
Pada aspek keluarga, dengan kenaikan harga BBM biaya kebutuhan dapur yang dijual di pasar otomatis ikut terkerek naik. Karenanya, ancaman dapur berhenti mengepul menjadi ketakutan yang paling rasional. Bagi rumah tangga buruh yang penghidupannya di topang oleh penghasilan upah, mereka dihadapkan pada tuntutan agar dapur bisa terus mengepul. Jika kita asumsikan satu keluarga buruh memiliki satu anak usia sekolah–disamping anggota keluarga lainnya memiliki kebutuhannya sendiri–maka tambahan biaya transportasi, jajan, dan kebutuhan yang lainnya bagi anaknya juga bertambah.
Bagi kebanyakan orang, solusi yang paling familiar adalah menekan angka pengeluaran, dengan cara mengurangi belanja konsumsi. Tetapi solusi tersebut tidak manusiawi, sebab ancaman kesehatan akibat kekurangan gizi menjadi perkara berikutnya yang akan dihadapi oleh keluarga buruh.
Masalah lain yang juga menambah beban buruh adalah terkait BPJS Ketenagakerjaan. Di lapangan saya menemui banyak buruh yang mengeluh dengan pemotongan upah tiap bulan oleh perusahaan untuk membayar iuran BPJS ketenagakerjaan. Mereka mengeluh karena dihadapkan pada pemotongan iuran BPJS sementara saat yang sama biaya operasional kerja membengkak dan biaya kebutuhan hidup harus ditekan.
Penyesuaian Upah
Mengacu pada PP 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, penentuan UMP/UMKsetiap tahunnya ditentukan dengan memperhatikan dua variabel yang penting, yaitu pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi. Tingkat inflasi menjadi penentu kenaikan upah di tahun berikutnya. Jika inflasi rendah, indikator untuk kenaikan UMP/UMK juga akan rendah, tetapi jika inflasi tinggi indikator yang digunakan untuk penentuan upah tahun berikutnya juga akan tinggi. Secara khusus, besaran kenaikan upah bagi buruh ditentukan oleh tingkat inflasi dikuartal ketiga atau di akkhir tahun.
Untuk akhir tahun 2017, menurut dapat BPS tingkat inflasi di Sulsel sampai November berada di kisaran 3,3 %. Jika mengacu pada PP 78/2015, angka inflasi yang dijadikan dasar perhitungan adalah angka inflasi nasional, bukan akan inflasi masing-masing daerah. Sementara angka inflasi tiap daerah bisa berbeda dan bahkan bisa lebih tinggi dari angka inflasi nasional. Dan imbasnya pada upah buruh, terlebih pada penentuan upah di skala kabupaten/kota.
Dengan skema perhitungan upah yang ada, kenaikan upah yang terjadi setiap tahunnya perlu ditelaah lebih jauh. Pertama, tingkat inflasi yang menjadi indikator perhitungan UMP/UMK masih perlu didiskusikan lebih jauh. Pasalnya, keadaan inflasi di nasional dan daerah seringkali mengalami fluktuasi. Sebagai contoh, disaat penentuan UMP Sulsel 2018, inflasi tercatat 3.3 %, sementara setelah UMP ditetapkan tingkat inflasi mencapai 3.61 % (Data Bank Indonesia).
Kedua, kenaikan upah sebenarnya tidak pernah dialami buruh. Kenaikan upah sejatinya hanyalah penyesuaian terhadap harga kebutuhan pokok di pasar. Kenaikan upah yang terjadi tetap tidak memberikan keuntungan yang bertambah bagi keluarga buruh. Selisih upah dari yang mengalami kenaikan sekedar untuk menambal kebutuhan yang lain, sebagai imbas dari kenaikan harga kebutuhan bahan pokok. Kenaikan harga BBM diawal tahun 2018 menjadi kasus paling konkret. Celakanya kenaikan harga BBM yang berlangsung beberapa bulan setelah penetapan UMP.
Aspek yang harus di perhatikan adalah soal komponen hidup layak (KHL), yang kesehariannya mengacu pada survei harga kebutuhan bahan pokok di pasar. Perhitungan UMP 2018 saat ditetapkan masih mengacu pada harga pasar sebelum BBM dinaikan. Dengan naiknya harga bbm, harga barang kebutuhan pokok di pasar menjadi tidak selaras.
Kejadian seperti ini bukan kali pertama menimpa nasib pekerja di Indonesia. Banyak beban yang ditanggung oleh keluarga buruh sebagai konsukuensi dari sistem pengupahan yang tidak pro buruh. Di tahun 2017 misalnya, tarif dasar listrik kembali mengalami kenaikan. Pertama di bulan Januari, kemudian kembali mengalami kenaikan di bulan Maret sebesar 38 %, dan mengalami kenaikan yang ketiga kali di bulan Mei, menjadi Rp 1.352 per kWh atau setara dengan 24% dari tarif sebelumnya. Celakanya, perubahan harga dasar tarif listrik juga berlangsung beberapa bulan setelah penetapan UMP tahun 2017. Akibat dari hal ini adalah buruh kembali dirugikan, yang pada situasi tertentu berdampak pada daya beli yang berkurang.
Berbagai persoalan yang melilit kehidupan buruh sudah terjadi sejak lama. Kini dengan kenaikan harga BBM, lilitan itu semakin kuat merantai kehidupan buruh. Kenaikan harga berbagai komponen kebutuhan bahan pokok sebagai efek domino dari kenaikan harga BBM yang tidak dibarengi dengan kenaikan upah buruh, membuat keluarga buruh secara ekonomi kian sulit lepas dari rantai kemiskinan.

Penulis

Sunardi