Ilustrasi: Demonstrasi di London menolak rasisme dan peng-ilegalan terhadap para imigran. Sumber: Aljazeera.
Satu rangkaian diskusi menarik telah dipetik oleh Syarif Arifin, yang kemudian ditanggapi oleh Indrasari Tjandraningsih, dan terakhir oleh Abu Mufakhir. Artikel-artikel sebelumnya dapat dilihat di sini: Pemilu Sementara, Rasisme Abadi: Politik Rasisme di Serikat Buruh, Politik Rasisme di Serikat Buruh?: Sebuah Tawaran untuk Cara Pandang Lain, dan ‘Asing-Aseng’, ‘Cina-Illegal-Unskilled’, dan ‘Chinese-Heigong’. Tanpa perlu panjang lebar mengulas kembali intisari tulisan mereka, tulisan ini hendak ikut rembug dengan menawarkan satu sudut pandang. Yakni, bagaimana hukum melihat sentimen primordial, sebagaimana direkam dalam beberapa putusan pengadilan/Mahkamah Agung. 1. Putusan MA no. 234 K/ TUN/ 2006 Putusan ini menyangkut kasus PHK buruh Syarifuddin dan rekan-rekannya di PT Usaha Timor (di Gowa, Sulawesi Selatan). Pihak buruh mengungkapkan bahwa mereka menuntut agar pengusaha menyetujui didirikannya organisasi buruh yang baru/ independen di dalam pabrik. Oleh karena itu, mereka melakukan aksi demonstrasi/ mogok. Sementara itu, pihak pengusaha mengungkapkan bahwa para buruh tidak hanya melakukan aksi mogok, tetapi juga: “membawa poster ataupun spanduk yang bertuliskan kata-kata yang tidak etis dan sangat rasial ditujukan kepada Penggugat (pengusaha) antara lain “Usir Cina-Cina Kepala Batu – Cina Keparat – Jangan Nodai Gowa dengan Orang Cina”…” Pihak buruh tidak menyangkal fakta yang diungkapkan oleh pengusaha tersebut. Kasus PHK yang berawal dari aksi mogok ini kemudian dibawa ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D), dan kemudian lanjut ke Panitia Pusat (P4P). Oleh P4D dan P4P, pengusaha tidak diperbolehkan memutus hubungan kerja yang ada. Pihak pengusaha diwajibkan untuk “memanggil secara tertulis pekerja Sdr. Syarifuddin untuk dipekerjakan kembali.” Pihak pengusaha mengajukan banding dan kasus ini masuk ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN). Di tingkat banding ini, hakim PT-TUN memutuskan bahwa, “memberi ijin kepada Pengusaha PT Usaha Timor untuk memutuskan hubungan kerja dengan pekerja terhitung tanggal 20 Mei 2003 tanpa uang pesangon.” Kasus ini kemudian bergulir ke Mahkamah Agung (MA). Di dalam nota pembelaan, tertera bahwa: “bahwa pekerja tidaklah/ bukan melakukan mogok kerja sebagaimana yang dituduhkan penggugat (pengusaha), akan tetapi yang dilakukan pekerja adalah melakukan upaya protes akibat tidak diterimanya keberadaan organisasi baru, oleh penggugat.” Meski demikian, MA memutuskan untuk memperkuat putusan PT-TUN, sehingga pengusaha diperbolehkan memutus hubungan kerja, tanpa memberi pesangon kepada buruh. Dari kasus ini, kita bisa lihat bahwa sentimen anti-ras kepada pengusaha muncul di dalam aksi para buruh. Aksi tersebut, pada dasarnya, merupakan aksi menuntut pengakuan organisasi baru yang dibentuk oleh buruh sendiri. Namun, kemudian terwujud menjadi sentimen anti-ras. 2. Putusan no. 181/ Pid. B/ 2015/ PN Tbh Putusan ini menyangkut kasus pidana atas Joni Iskandar bin Ditan , yang bekerja sebagai buruh perawatan Afdeling III PT TH Indoplantation (di Indragiri Hilir, Riau). Joni Iskandar didakwa melakukan penganiayaan dan terbukti bersalah. Penganiayaan atas Khairul Asman bin Sahbudin, sesama buruh. Di dalam dokumen putusan, tertera bahwa kasus ini bermula dari ungkapan kekesalan Khairul Asman bin Sahbudin, yaitu: “Jangan mentang-mentang kalian suku Melayu suka-suka kalian saja.” Joni Iskandar dan 2 orang rekan lainnya, “merasa telah dihina secara rasis/ kesukuan”, sehingga “membuat sebuah perencanaan untuk melakukan pemukulan terhadap Khairul Asman …. di tempat ia biasa bekerja sehari-hari.” Terdakwa Joni Iskandar tidak membantah telah melakukan penganiayaan. Korban Khairul Asman tidak membantah telah melontarkan ungkapan kekesalan sebagaimana tertera. Oleh hakim Pengadilan pidana, Joni Iskandar dijatuhi hukuman selama 1 tahun atas kasus penganiayaan. Dari kasus ini, kita bisa lihat bahwa sentimen kesukuan sesama buruh masih punya unsur kuat, sehingga berujung pada penganiayaan. Penganiayaan dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan. Begitu juga, ungkapan sentimen anti-kesukuan, meskipun itu merupakan ungkapan kekesalan. Apa arti 2 kasus ini untuk diskusi kita? Untuk diskusi kita, kiranya 2 kasus di atas menunjukkan bahwa: 1. Perjuangan buruh membela hak dan kepentingannya kerap mengemuka menjadi sentimen anti-ras kepada pengusaha. Dan seperti yang ditulis oleh Syarif Arifin, sentimen anti-ras ini menjadi alat politik yang dimainkan oleh beberapa serikat buruh (terutama oleh para elitnya!). Di sini, para elit serikat buruh justru tidak meredam sentimen anti-ras tapi malah memanfaatkannya untuk kepentingan politiknya masing-masing. Itu bisa untuk menggalang dukungan di kalangan buruh, bisa pula menjadi alat tawar politik guna menaikkan posisinya, dan juga bisa menjadi komoditi politik yang bisa dimainkannya kapan saja. 2. Sentimen anti-ras bisa juga ditafsirkan sebagai “bentuk kecemasan terhadap kebijakan pemerintah yang sangat pro-modal dan sangat rindu investasi asing”, seperti yang ditulis oleh Indrasari Tjandraningsih. Tetapi, hal ini tidak dapat menutup kenyataan bahwa sentimen anti-ras tersebut memang muncul dalam ujar-ungkapan sehari-hari, hingga dalam bentuk poster/ spanduk di dalam aksi mogok. Jika ujar-ungkapan dan poster anti-ras terus-terusan ditolerir (atau didiamkan), bukan tidak mungkin ia akan berkembang menjadi komoditas politik. 3. Sentimen anti-suku juga masih menjadi soal yang belum selesai di kalangan buruh sendiri. Di dalam banyak tempat kerja, baik itu di pabrik dan juga perkebunan, kita dapat melihat kuatnya sentimen antara “buruh lokal” (penduduk setempat sekitar) dan “buruh pendatang” (dari luar daerah). Sentimen anti-suku di kalangan buruh kita sendiri dapat menjadi cermin sentimen anti-buruh asing. Sentimen anti-buruh asing/ aseng, seperti yang ditulis Abu Mufakhir, memang punya dimensi yang lebih luas. Sentimen anti-suku perlu diselesaikan agar tidak menjadi menjadi api dalam sekam. Sehingga, kita dapat pula menyelesaikan sentimen anti-buruh asing.
Penulis
Jafar Suryomenggolo
Penulis buku Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal (Marjin Kiri, 2015) dan Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita (EA Books, 2022).
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]
Begitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di ibukota. Begitu sedikit dari mereka berorasi dari atas mobil komando, tahta bergerak para raja dan brahmana khas gerakan Nusantara. Dihantam hujan deras dan terik cahaya, datang dari ribuan kilometer jauhnya, hanya untuk berbaris dan duduk […]
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]