MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Bukan Sekadar Titipan

“Laa Ilaaha Illallaah”. Lafaz akhir azan Subuh terdengar. Entah di mesjid mana. Dan, untuk ketiga kalinya alarm di telepon genggamku berbunyi. Aku membuka mata: gelap.

Pagi ini aku kesiangan. Lebih setengah jam. Biasanya pukul 04.00 pagi aku sudah terjaga. Hari ini badan rasanya lelah sekali. Padahal kemarin libur hari minggu. Hari ini harus siap bekerja.

Kemarin tidak bekerja. Libur kerja di pabrik. Tapi, di rumah tidak. Pakaian kotor dan peralatan dapur bergerombol dan kompak melambai-lambai. Dari atas kursi, pakaian hasil jemuran dan gantungannya menatap sinis ingin diprioritaskan. Rumah mirip dengan kapal pecah: mainan bercampur dengan bungkus makanan kecil, dan geletakan sisa permen. Lantai rumah terasa lengket kalau diinjak. Tidak ada yang bisa aku andalkan untuk membantu melakukan pekerjaan rumah. Sementara aku, hanya memiliki waktu di hari libur untuk melakukan kerja-kerja domestik. Hidup diperantauan jauh dari sanak saudara. Tidak boleh bermalas-malasan.

Aku  perempuan single parent. Tiga tahun lalu memutuskan bercerai dengan suamiku setelah bersama-sama melewati hampir 21 tahun. Suka duka kami lewati. Percekcokan adalah bumbu rumah tangga kami. Namun, perselingkuhan yang dilakukannya berulang kali membuatku menyerah. Kini, empat anak: tiga laki-laki dan satu perempuan berusia tiga tahun, aku urus semua.

Irana namaku. Orang memanggilku Ayuk. Ketika becermin terlihat garis-garis di sudut mata dan bibir. Rambut keperakan menyelingi rambut hitamku. Tampak jelas keriput di kedua tanganku. Jika bertemu teman lama seumuran, aku merasa masih muda. Masih kuat. Jika melihat anak-anak, aku sadar sudah memasuki usia Jelita alias jelang lima puluh tahun. Usia di mana kolestrol, asam urat dan berbagai penyakit lain menjadi sangat akrab. Beragam obat warung untuk meredakan pegal, linu, encok dan masuk angin adalah bestie yang selalu setia di dalam tas.

Pempek, durian, sungai Musi yang sangat akrab dengan masa kecilku. Di usia 18 tahun aku menginjakan kaki di tanah Jawa, di “Kota Seribu Industri Sejuta Jasa”,[1] Kota Tangerang Banten.

Kurang lebih 29 tahun aku mengais kehidupan di Tangerang. Empat pabrik sudah menghisap tenaga dan pikiranku. Pertama kali aku bekerja di pabrik pembuat sepatu merek Filla. Pabrik tersebut tutup. Kemudian aku pindah ke pabrik garmen. Pabrik itu buruk karena bekerja terlalu lama: lebih dari delapan jam per hari. Aku pindah lagi ke pabrik sepatu lainnya. Lagi-lagi pabrik tutup karena manajerialnya buruk. Akibatnya buruh sering demonstrasi.

Saat ini, aku kerja di pabrik pembuat sepatu merek internasional, Nike. Aku dapat bertahan di pabrik ini selama delapan tahun. Dibanding pabrik lain, tempat kerja saat ini relatif lebih baik. Kerja-kerja serikat buruh memperlihatkan hasil yang dapat dinikmati buruh. Lagi pula, di usia setengah abad tidak mungkin aku mendapat pekerjaan baru di tempat lain. Karena pabrik lebih suka merekrut buruh muda, patuh, dan ikhlas dibayar murah.

Hidup sendiri atau bersuami, aku rasa tidak berbeda. Kenapa? Ketika bersama suami semua kebutuhan dan pengelolaan rumah tangga menjadi tanggung jawabku. Jika terjadi kesalahan di rumah, akulah yang pertama dipersalahkan. Suamiku kerja sebagai buruh di mal. Upahnya setengah dari upahku. Dari upahnya yang sedikit itu, ia sisihkan sedikit untuk membantu keluarga. Sisanya gajinya entah kemana. Sekarang pun tidak jauh berbeda.

***

Udara pagi menyelinap melalui kaca jendela. Menusuk tulang dan menggodaku untuk kembali ke balik selimut. Suara kodok dan jangkrik bersahutan di belakang rumah seperti menyuruhku tidak beranjak dari tempat tidur. Aku menahan diri. Pukul 4.50 pagi aku bangun.

Aku bersiap kerja. Setengah lima, waktu yang terlalu pendek untuk menyiapkan segalanya. Hanya sempat menanak nasi. Aku mengintip isi kulkas: ada ayam ungkep, tahu dan tempe, yang sudah aku masak kemarin. Aku merogoh dan menyimpan uang di atas kulkas. Aku membuka telepon genggamku dan mengirim pesan Whatsapp ke anak sulungku, yang masih terlelap. Mengingatkan dia agar membeli makan siang untuk adik-adiknya di Warteg (Warung Tegal) depan gang. 

Pukul 6.00 pagi aku berada di lautan kendaraan bermotor. Seperti para pembalap, sepeda motor dan mobil dengan kecepatan tinggi saling menyalip. Adu cepat takut terlambat masuk pabrik. Tak hirau dengan keselamatan. Lebih takut dipotong upah dan dihardik atasan. Suara klakson berhamburan memekakan telinga.

Pukul 6.30 pagi aku tiba di depan pabrik. Di kanan dan kiriku, berderet meja dagangan: ada cilok, gorengan, tahu gejrot, sayuran mentah, buah-buahan, pakaian, sandal sampai bumbu dapur tertutup. Semuanya berdesakan dengan pejalan kaki, sepeda motor yang melintas dan angkutan umum yang menurunkan penumpang di bahu jalan.

Pemandangan yang sama akan terlihat pukul 4.30 sore, saat pulang kerja dan pergantian shift kerja jam kerja, pukul 8 malam. Masuk dan keluar kerumunan, berdesakan sudah biasa aku temui ketika memasuki dan keluar pabrik. Gerbang pabrik mirip pasar tradisional.

Para pedagang di depan pabrik jumlah selalu bertambah. Mereka makin ramai ketika tanggal penerimaan upah. Tanpa diajarkan pelatihan entrepreneurship, para pedagang mengerti betul konsumen-konsumen potensial. Entah berapa juta uang berputar per hari di gerbang pabrik. Di antara kantong para pedagang kecil itulah, uang buruh berputar.

Begitulah rutinitasku sepanjang 29 tahun. Dari empat pabrik yang berbeda. Meninggalkan rumah sebelum ayam mematukan paruhnya ke tanah. Dan, tiba di rumah ketika ayam sudah merebahkan badan di kandang. Kata pepatah, ‘bangun pagi biar rezeki tidak dipatok ayam’. Aku selalu bangun pagi, tapi kemiskinan betah menemaniku. Rezekiku tidak dipatuk ayam tapi dipatuk orang serakah pemilik pabrik dan para lintah darat penyedia pinjaman uang.

Usia dua puluh tahun aku menikah. Kala itu aku berpikir: jika menikah, punya anak, mengurus rumah tangga, bersolek dan menunggu suami. Oh betapa indahnya. Tapi kenyataan bukan sinetron televisi. Harapan indah itu dibuyarkan dengan keadaan ekonomi.

Aku menikah. Suamiku buruh toko. Upahnya untuk dirinya pun tidak cukup. Tiga bulan setelah melahirkan anak pertama, aku menitipkan anakku ke tetangga jauh. Aku biasa panggil dia Bude. Bude orang asli Tangerang. Usianya kurang lebih 45 tahun. Selain mengurus anakku, Bude pun mengurus dua cucu: usia tujuh tahun dan empat tahun. Aku menambah beban Bude. Waktu itu, aku membayar Rp300 ribu per bulan. Entah bagaimana cara Bude merawat anakku.

Aku menitipkan anak ke rumah Bude ketika berangkat kerja. Jarak dari kontrakanku ke rumah Bude sekitar lima kilometer. Di pagi buta, si mungil yang masih terlelap bersama tas berisi susu, popok, pakaian dan perlengkapan lainnya di antarkan ke rumah Bude. Pulang kerja, pukul 5 sore, aku jemput anakku. Itu pun kalau tidak lembur. Kalau lembur aku akan menjemput anakku sekitar pukul 9 malam. Nah, kalau lembur tentu saja bayaran Bude ditambah. Kalau sedang banyak lembur aku hanya bisa melihat dalam keadaan tertidur.

Mengurus anak, menitipkan dan menjemput anak serta membayar biaya pengasuhan menjadi tugasku. Suamiku tidak terlalu bisa diandalkan. Kalau sedang libur kerja, suamiku lebih suka mancing bersama teman-temannya. Entah kenapa, bahkan setelah menikah pun, laki-laki tetap egois. Justru peranku malah bertambah: kerja di pabrik, mengurus anak dan suami, memasak dan mencuci, serta menjadi penunggu rumah.

Raditya, nama anak pertamaku. Ketika usianya tiga tahun, aku hamil lagi. Kemudian melahirkan dengan cara operasi Caesar. Anak kedua diberi nama, Riswan. Sebelum melahirkan aku cuti dari pekerjaan. Akhirnya sambil menunggu kehadiran bayi mungil kedua, aku memiliki kesempatan mengurus Raditya.

Waktu cuti melahirkan berakhir. Aku harus masuk kerja. Sekarang di hadapanku ada dua Balita. Lagi-lagi aku harus menitipkan anak. Kini dua anak. Aku menitipkan anak ke mertua. Mertuaku tinggal di kota yang sama, tapi beda kampung. Setiap bulan aku merogoh kocek Rp800 ribu. Lagi-lagi, aku tidak tahu betul bagaimana mertuaku merawat anak-anakku.

Waktu berlalu cepat. Dua anakku tumbuh bersama nenek dan kakeknya. Memasuki usia sekolah Raditya sekolah di dekat rumah mertuaku. Sementara Riswan masih aku antar-jemput.

Waktu berlalu cepat. Raditya semakin besar. Ia telah menamatkan sekolah dasar. Raditya memasuki SMP. Ia tinggal bersamaku. Aku pikir, Raditya sudah besar dan tidak memerlukan perhatian lebih banyak. Aku merasa cukup melihat Raditya berangkat dan pulang sekolah. Bergaul dengan teman seumurannya, dan memiliki hobi seperti umumnya anak-anak remaja. Jadi aku tidak begitu tahu perkembangan mental Raditya. Aku dan suamiku sibuk bekerja. Bimbingan moral aku percaya sepenuhnya pada mertuaku dan sekolah yang mendidiknya semasa kecil.

Di sekolah menengah inilah aku mulai bertemu dengan persoalan. Hampir setiap bulan aku mendapat panggilan dari sekolah. Raditya bermasalah karena sering bolos. Pernah sekali waktu ia tidak masuk sekolah selama 23 hari. Tentu saja dari rumah ia berangkat ke sekolah. Aku hanya mengetahui, ia berangkat sekolah. Di waktu lain aku mendapat kabar, Raditya tidak membayarkan uang sekolah. Uang sekolah yang aku titipkan tidak diterima pihak sekolah. Jangan tanya soal nilai pelajaran. Berbagai macam cara aku lakukan: dari nasihat, teguran hingga ancaman, bahkan beberapa kali aku maupun suamiku pernah memukulinya. Raditya tidak berubah.

Suatu hari di Minggu sore. Raditya kelas dua SMA. Riswan SMP. Saat itu aku sedang menyetrika pakaian kerjaku dan suami serta seragam sekolah anak-anak. Suamiku masih di tempat kerja karena shift dua. Riswan nonton televisi.

Assalamualikum.” Terdengar suara mengarah ke pintu kontrakanku.

Waalaikum salam,” jawabku cepat. “Adek coba lihat di depan ada tamu!” Aku meminta Riswan membuka pintu.

“Mah, ada yang nyari nih,” teriak Riswan dengan malas dari depan pintu.

“Siapa, Dek?” tanyaku. “Paling tetangga kontrakan,” batinku sambil beranjak dari tempat duduk tanpa mencabut kabel setrikaan.

“Siapa, ya?” tanyaku ketika tiba di depan pintu. Di depanku berdiri seorang laki-laki berusia 40 tahunan dan dua orang perempuan. Satu perempuan, sepertinya istrinya. Satu lagi berusia 17 tahunan.

Perempuan berusia 17 tahun. Berwajah bundar, mata belo, rambut model Shaggy sebahu. Kulit hitam manis menambah paras cantiknya. Di kemudian hari, perempuan muda itu menjadi menantuku. Aku tidak mengira akan memiliki menantu dan cucu begitu cepat. Saat itu pun aku sedang hamil anak ketiga. Dua kali melahirkan dengan operasi caesar tidak membuat mertua dan suamiku berhenti meminta anak perempuan. Mungkin begitu sifat manusia. Selalu mengejar yang tidak dimiliki hingga lupa merawat yang telah diterima.

Perempuan muda itu bernama Nurul Innayah Fitriani. Kelas dua SMA. Ketika tiba di hadapanku telah mengandung tiga bulan. Orangtua Fitriani meminta Raditya bertanggung jawab. Aku kaget, marah, malu, dan sedih. Semuanya bercampur. Aku dihadapkan pada kenyataan harus mengambil keputusan. 

Aku yang bekerja keras agar anak-anakku dapat sekolah. Berharap menjadi anak yang saleh dan mendapat pekerjaan yang layak. Mengetahui kenyataan demikian, aku mencoba membuang harapan. Harapan itu sebenarnya aku yang membuatnya. Seperti membuat sebuah barang, mestinya dapat disimpan dan dibuang kapan saja. Tapi menaruh, apalagi mengubur harapan membuat dada sesak. Raditya dan Fitriani akan segera dinikahkan. Di hadapan mereka seorang anak menanti untuk diurus. Mereka menikah tanpa persiapan apapun, bahkan pekerjaan. Akhirnya, aku memiliki tanggungan baru.

Keadaan Raditya sering disebut kenakalan remaja. Tapi, aku pikir sekolah gagal menjadikan siswanya terdidik. Aku juga gagal menemani pertumbuhan anakku. Sementara aku sibuk bekerja, model didikan sekolah hanya dituntut pintar. Bukan siswa yang memiliki karakter. Pihak sekolah pasti mengelak jika disalahkan. Mereka akan menyalahkan kurang didikan orangtua.

Anak ketigaku lahir. Ternyata laki-laki. Tidak berselang lama lahir pula cucu pertamaku. Juga, laki-laki.

Kini aku punya tugas baru. Mengurus anak, menantu, dan cucu. Aku berpikir untuk mencarikan pekerjaan buat anakku. Anakku harus bekerja agar dapat menghidupi keluarganya. Karena negara tidak menanggung biaya orang miskin. Bantuan modal dan mesin hanya tersedia bagi para pengusaha. Katanya, demi menjaga pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

Bukan hal yang mudah mencari pekerjaan dengan ijasah SMP. Hampir setiap hari aku mencari informasi lowongan kerja. Akhirnya, anakku dapat diterima bekerja di sebuah pabrik sandal. Itu pun sesudah aku menggadaikan lahan kebun kopi seharga Rp6 juta. Dengan uang itu-lah aku menyogok agar anakku diterima bekerja. Seperti kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Orangtua buruh anaknya pun jadi buruh.

Rupanya imanku terus diuji. Satu persoalan aku rasa selesai. Kini muncul persoalan lain. Riswan mogok sekolah. Seperti kejadian Raditya, ketika sekolah pun aku sering dipanggil pihak sekolah. Tentu saja berkenaan dengan pelajaran dan kehadiran di sekolah. Aku dan suamiku kehabisan cara untuk membujuknya. Riswan lebih menyukai menghabiskan waktu bersama teman-temannya: main game, nongkrong, bergadang, dan kegiatan-kegiatan remaja lainnya. Kini yang memanggilku bukan lagi guru sekolah. Tapi Ketua RT dan RW. Pasalnya, Riswan menggadaikan sepeda motor temannya. Tentu saja aku yang diminta tanggung jawab.

Ketika anak ketigaku berusia tiga tahun, aku melahirkan anak keempat: perempuan. Setahun kemudan aku cerai dengan suamiku. Dengan harapan mendapat lingkungan yang lebih baik, aku menitipkan anakku ke kampung bersama ibu dan adik-adikku.

Pertanyaan yang sering terlintas dikepalaku, apa yang salah denganku? Kenapa kedua anakku tidak menjadi anak yang kuharapkan? Aku ingin menjadi orang pertama yang tahu ketika anakku bisa merangkak dan mengeluarkan setiap kata. Sebenarnya, aku tidak pernah bisa kerja tenang ketika meninggalkan anakku yang sakit dengan orang lain. Aku berpikir, mengapa sekolah tidak semenyenangkan bermain? Coba dipikir, waktu sekolah kita belajar menghitung kecepatan cahaya dalam ilmu fisika atau menghitung volume segitiga sama kaki. Untuk keluarga miskin seperti kami, pelajaran itu buat apa? Apakah yang berwenang di bidang pendidikan pernah memikirkan: belajar dengan cara bermain lebih asik ketimbang model belajar mirip pabrik? Entahlah.

***

Aku bukan satu-satunya orang yang memiliki cerita tidak beruntung. Temanku, Fatima, memiliki pengalaman mirip. Fatima, ibu single parent. Dua anak lelaki dari empat anaknya menikah muda. Keduanya menikah setelah ‘accident’. Fatima merasa harus menyelamatkan dua anak lainnya yang berusia tujuh dan tiga tahun dengan bekerja di pabrik. Ia memilih pekerjaan serabutan, menjadi tukang urut keliling. Hanya dengan demikian, ia dapat meluangkan waktu lebih banyak menemani perkembangan anaknya.

Ada pula kisah Yati, buruh pabrik garmen. Anak semata wayangnya mogok sekolah di kelas dua SMP. Anaknya lebih suka mengamen.

Kisah menyesakan dada dialami Maya. Anak perempuan Maya hamil sebelum menikah. Tapi anaknya hanya bersedia bercerita kepada bude-nya. Maya merasa tersisih ketika anaknya berterus terang: tidak merasa dekat dengan ibunya. Rupanya anak dan ibu tidak saling mengenal.

Begitulah. Jam kerja pabrik telah memisahkan anak dan orangtua. Waktu libur pun direnggut oleh jam lembur. Apalagi ada istilah lembur wajib dengan alasan barang ditunggu costumer. Kemiskinan telah menjauhkan keluarga buruh mendapatkan perawatan berkualitas.

Para penjual tenaga, meninggalkan rumah ketika anak mereka masih terlelap. Tiba di rumah saat anak-anak sudah memasuki alam mimpi. Anak-anak tumbuh bersama pengasuh yang sekadar mengasuh. Demi kemudahan, kadang anak-anak diberikan tontonan televisi, telepon genggam atau mainan dengan kualitas buruk.

Memang tidak semua keluarga buruh seperti ceritaku, Fatima, Yati, dan Maya. Ada pula keluarga buruh yang kisah keluarganya tidak terlalu pilu. Berjalan seperti pada umumnya keluarga: orangtua yang utuh, anak-anaknya dapat mengakses pendidikan yang tinggi dan memiliki prestasi.

Dalam kisahku, Fatima, Yati, Maya dan perempuan miskin lainnya. Kami harus berjibaku mencari dan membiayai pendidikan dan tempat penitipan anak yang berkualitas. Karena penyelenggara negara sibuk memikirkan diri sendiri.

***

Menurutku penyelenggaraan pendidikan formal oleh negara sangat buruk. Tidak percaya? Tengok saja, memangnya para pejabat negara ini menyekolahkan anaknya di sekolah yang mereka selenggarakan? Menurut penelusuran Kumparan.com, dari 26 anak pejabat yang diketahui asal sekolahnya, diketahui 14 anak sedang/pernah belajar di sekolah swasta, seperti SMA Taruna Nusantara, Labschool Kebayoran, SMP/SMA Al Azhar Jakarta, hingga sekolah internasional seperti JIS.[2]

SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) Nuruf Fikri Depok Jawa Barat misalnya. Sekolah tersebut terkenal sebagai salah satu sekolah terbaik tingkat nasional[3] dan didambakan para orangtua.[4] Namun, biayanya pun tak tanggung. Biaya masuk siswa laki-laki Rp39,1 juta, perempuan Rp39,7 juta, SPP per bulan Rp1,9 juta dan biaya tahunan Rp3,5 hingga Rp4,9 juta.[5]

Bagi buruh dengan posisi operator dan gaji UMK, hanya dapat berkhayal dapat menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Mereka sekadar bisa kagum melihat siswa-siswa SDIT Nurul Fikri yang menjadi juara olimpiade matematika nasional dan menjadi tahfiz quran. Sekolah bagus hanya dapat dinikmati keluarga kaya.

Aku pernah membaca sebuah artikel. Kata artikel tersebut, jumlah buruh sektor industri sebanyak 17,48 juta orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 43,68 persen adalah buruh perempuan.[6] Aku ingin mengingatkan bahwa salah satu keputusan perempuan bekerja, terutama di sektor manufaktur, bukan karena pilihan bebas seperti berkarir atau mengaktualisasikan kemampuannya. Tapi keterdesakan ekonomi. Maka, aku perkirakan lebih dari setengah perempuan yang bekerja di sektor manufaktur adalah perempuan berkeluarga atau single parent. Perkiraan tersebut, sepertinya tidak terlalu meleset. Karena beberapa teman kerjaku adalah perempuan berkeluarga dan single parent. Berarti terdapat jutaan anak buruh yang tidak mampu meraih pendidikan dan penitipan anak berkualitas.

***

Baru-baru ini sistem penerimaan sekolah berubah. Sistem penerimaan siswa baru di lembaga pendidikan negeri berdasarkan sistem zonasi. Sistem tersebut merupakan proses penerimaan siswa baru sesuai wilayah tempat tinggal. Dengan sistem tersebut, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan di wilayah administratifnya.

Sebelum dikenal sistem zonasi, biasanya, hanya calon siswa berprestasi yang dapat mengakses lembaga pendidikan berkualitas. Calon siswa dari keluarga pas-pasan harus rela masuk ke sekolah swasta dengan model pengajaran alakadarnya. Tentu saja sekolah swasta jumlahnya lebih banyak ketimbang sekolah negeri.

Sistem zonasi memang membuat para guru mengeluh. Apalagi sekolah-sekolah negeri favorit yang sudah terbiasa mengurusi siswa-siswa pintar dan memiliki disiplin belajar.

“Di sekolah X, dulunya salah satu sekolah favorit di Kota Tangerang. Sekarang muridnya bandel-bandel; merokok di area sekolah, tiap hari ada aja yang bolos. Belum setahun belajar dua orang siswa keluar dengan alasan ‘sekolahnya belajar melulu’, ‘pelajarannya berat’,” kata temanku seorang pendidik.  

Sekolah X di atas, lokasinya dekat dengan pabrik. Warga sekitar sekolah mayoritas adalah buruh. Dengan sistem zonasi, anak-anak buruh berkesempatan masuk ke sekolah tersebut. Sekolah X memang terkenal sekolah yang bagus. Banyak orangtua mendambakan anaknya dapat mengakses sekolah tersebut.

Seperti kita ketahui, untuk menjadi pintar setidaknya memiliki peralatan belajar yang memadai dan mengikuti bimbingan belajar. Itu semua memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bukan rahasia lagi kalau harga buku di Indonesia cukup mahal.[7] Syarat itu umumnya hanya dapat dipenuhi siswa dari keluarga yang memiliki sumber penghasilan cukup. Bagi keluarga miskin, membeli peralatan belajar atau membeli beras adalah pilihan yang sulit.

Melalui program wajib belajar sembilan tahun, sekolah membebaskan pembayaran SPP. Tapi biaya lain meledak. Harga buku, seragam, biaya tour, ongkos harian dan biaya lain-lain. Ada saja kegiatan di sekolah yang harus mengeluarkan uang.

Aku diceritakan oleh seorang teman. Temanku melakukan survei pengeluaran buruh selama 2020 dan 2021 di beberapa pabrik di Tangerang Raya. Hasilnya, ternyata total pendapatan buruh, sebanyak 50 persen dihabiskan untuk kebutuhan makanan. Disusul untuk biaya penitipan anak, transportasi dan kebutuhan sehari. Artinya, kebutuhan sehari-hari yang terus menerus naik menghilangkan kesempatan keluarga buruh untuk membiayai pendidikan.

Aku pernah mendapat cerita. Pada 1950, ada salah satu serikat buruh memiliki program pendidikan untuk keluarga buruh, yang dinamakan dengan program pemberantasan buta huruf. Mereka pun juga bekerja sama dengan organisasi perempuan mengelola tempat penitipan anak. Konon, tempat penitipan anak tersebut merupakan cikal bakal TK-TK zaman sekarang. Bedanya, TK zaman dulu diselenggarakan gratis untuk keluarga buruh dan tani. Sekarang TK adalah jenis bisnis baru. Itulah yang diselenggarakan oleh SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

Dari cerita di atas, menurutku sudah sewajarnya serikat buruh menambah kesibukan baru dengan menuntut pendidikan dan tempat penitipan anak terjangkau dan berkualitas bagi keluarga buruh. Memang harus kita pikirkan dan perjuangkan, karena para penyelenggara negara tidak akan pernah melakukannya.[]


[1] Sejak 2017, Pemerintah Kota Tangerang mendeklarasikan diri sebagai “Kota Seribu Industri Sejuta Jasa”, sebagai kota layak huni, layak investasi dan layak dikunjungi. Tersedia: https://kompaspedia.kompas.id/baca/profil/daerah/kota-tangerang-kota-seribu-industri-sejuta-jasa

[2] https://kumparan.com/kumparannews/cek-data-53-84-anak-menteri-jokowi-sekolah-di-swasta-kenapa-tidak-di-negeri-1yBqDjCyimS/3

[3] https://sdit.nurulfikri.sch.id/sd-nf-juara-i-lomba-budaya-mutu-nasional/

[5] https://panduanterbaik.id/biaya-masuk-nurul-fikri-depok/

[4] https://www.orami.co.id/magazine/sd-depok

[6] https://bpsdmi.kemenperin.go.id/2021/09/01/bpsdmi-dorong-peran-perempuan-dalam-teknologi/

[7] https://kumparan.com/tugujogja/dilema-harga-buku-mahal-dan-keinginan-membaca-1raVjdKyXKT#:~:text=Sudah%20jadi%20rahasia%20umum%20bahwa%20harga%20buku%20di,populer%2C%20genre%20yang%20menarik%20memiliki%20harga%20yang%20tinggi.


Penulis

Nonon Cemplon
Labour story teller