Edisi khusus tentang strategi bertahan hidup buruh. Artikel ini merupakan serial dari hasil riset upah buruh di empat sektor yang dilaksanakan pada Oktober-November 2023.
“Mau nanya tentang apa ya, saya deg-degan. Anak saya lagi tidur jangan sampai malam ya” pelan sekali suaranya, wajahnya menunduk, tangannya mempermainkan ujung rok abu yang dipadankan dengan blus kuning dan jilbab merah marun.
Dari cara duduknya saya paham dia tidak nyaman bertemu dengan kami, orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya. Tapi setelah lewat sepuluh menit dan saya ajak bercanda, wajahnya mulai tidak terlihat cangung lagi. Obrolan kami lancar.
Mila, biasa dipanggil. Berusia 36 tahun. Ibu dua orang anak berusia delapan dan tiga tahun. Sehari-hari bekerja sebagai buruh harian lepas di pabrik obat pengendali serangga atau hama. Suaminya buruh harian lepas di salah satu industri rumahan dengan upah Rp 2.500.000 per bulan.
Hampir tiga tahun Mila menjadi buruh harian lepas di bagian packing pada PT. X yang berada di Kawasan Industri Manis, Kota Tangerang. Mila menerima upah per minggu sebesar Rp500 ribu. Dalam seminggu, Mila melakukan kerja lembur selama dua jam dan dibayar Rp20 ribu. “Bulan ini upah lembur sudah naik jadi Rp.30 ribu. jadi, kalau ditambah lembur upah saya sekitar Rp.3 juta sebulan,” ujarnya.
Meskipun sudah naik pada bulan ini, upah lembur tersebut jauh dari perhitungan upah lembur yang tercantum dalam peraturan perundangan. Mestinya 2 jam lembur, Mila mendapatkan upah sebesar Rp.50 ribu.
Di tempat kerja Mila, upah buruh harian lepas berbeda dengan buruh tetap. Buruh tetap diupah sesuai Upah Minimum Kota (UMK) Kota Tangerang tahun 2023, sebesar Rp4,3 juta. Begitu pun dengan cara perhitungan upah lemburnya.
“Saya dan suami asli orang sini. Saya lahir di Kabupaten Tangerang dan suami dari Lebak. Jadi kalau pulang kampung kami tidak menghabiskan biaya besar,” tutur Mila sambil tersenyum menjelaskan ketika ditanya berapa biaya yang dikeluarkan ketika pulang kampung.
“Tempat kerja saya dan suami di Kota Tangerang, jadi kami ngontrak (rumah) sebulan Rp450 ribu. Bayar listrik Rp50 ribu per bulan. Kerjaan (tempat kerja) suami dekat dengan kontrakan, jadi gak keluar ongkos. Bisa jalan kaki. Karena tempat kerja saya lumayan jauh, sepeda motor saya yang pakai. Seminggu buat beli bensin paling Rp20 ribu,” Jelas Mila saat menjelaskan pengeluaran biaya untuk tempat tinggal dan transportasi selama sebulan di Kota Tangerang.
Hidup di kota besar seperti Kota Tangerang dengan total upah berdua sekitar lima juta sebulan membuat Mila harus pintar-pintar mengatur keuangan. Selain harus bisa menahan diri untuk membeli sesuatu yang bukan prioritas, Mila juga harus khatam ilmu berhemat alias ngirit agar uang yang ada cukup untuk hidup sebulan.
Sebetulnya Mila punya prinsip hidup “Jangan sampai punya utang”. Namun, prinsip tersebut dilanggarnya, karena harus bertahan hidup. Saya bisa pahami bagaimana sulitnya Mila mengatur keuangan. Membagi uang yang ada untuk makan, kontrakan rumah, biaya anak sekolah dan balita serta kebutuhan lainnya.
Jurus hemat ala buruh
Jurus hemat ala pengusaha dan buruh tentu berbeda, meskipun ada sedikit kesamaan. Yaitu sama-sama mengutak-atik anggaran yang ada. Namun bedanya, jika pengusaha mengotak-atik anggaran untuk produksi, sementara buruh mengotak-atik anggaran untuk biaya reproduksi. Perbedaan lainnya, penghematan ala pengusaha dilakukan dengan cara menekan upah buruh ketimbang biaya bahan baku. Sementara penghematan ala buruh dengan cara menekan biaya konsumsi, Sebagaimana yang dilakukan Mila.
Sebenarnya Mila bukan tidak paham dengan rumus empat sehat lima sempurna. Apalagi ia memiliki dua orang anak yang membutuhkan asupan gizi. Namun dengan upah yang sangat minim, Mila terpaksa menutup mata terhadap pentingnya gizi. Bagi Mila yang penting tetap ada yang bisa dimakan.
Untuk mencukupi kebutuhan protein keluarga, Mila menyiasati dengan mengkonsumsi telur. Dalam seminggu ia membeli sekitar 2 kilo telur.
Satu bulan terakhir Mila dan keluarganya sama sekali tak mengkonsumsi daging. “Waduh harga daging sekilo sama dengan upah saya mbak,” celetuknya saat menjawab pertanyaan saya tentang berapa pengeluaran makanan untuk jenis daging-dagingan.
“Paling kalau abis gajian kami makan diluar, seperti mie ayam atau beli ayam goreng Kentucky yang di pinggir jalan,” tambahnya.
Hal yang sama juga untuk kebutuhan buah-buahan. “Jarang beli buah-buahan mbak, mahal banget sih. Paling cuma beli buah potong yang harganya Rp5000, itu pun kadang-kadang aja,” jawabnya sambil tersenyum kecil.
Demi anak tetap sehat
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pasca Pandemi Covid-19 tingkat penjualan kosmetik untuk perawatan kulit di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 6,46% pada tahun 2021 dan diprediksi akan terus meningkat.
Ya, skincare yang sebelumnya lebih dikenal oleh kaum perempuan golongan menengah ke atas, saat ini pasarnya sudah masuk ke pabrik-pabrik dan kontrakan-kontrakan buruh. Karena sering berkumpul dengan buruh perempuan, saya paham betul jika skincare menjadi obrolan menarik bagi hampir sebagian besar buruh perempuan di pabrik.
Bahkan ketika melakukan aksi demonstrasi, saya kerap menyaksikan buruh perempuan secara ‘berjamaah’ menggunakan sun cream sebelum atau pada saat istirahat aksi. Pemandangan ini tak pernah saya lihat pada aksi-aksi di tahun 2015-2017. Saat itu terkesan buruh perempuan tidak peduli dengan kesehatan kulit meskipun berpanas-panasan saat aksi.
Namun lagi-lagi itu tidak berlaku bagi Mila. Ketika ditanya berapa pegeluaran untuk hand body atau skincare? Jawabannya, “saya beli skincare ferlove yang harganya Rp2000-an di warung”. Produk yang dimaksud Mila adalah Fair & Lovely, salah satu merk dari produk perawatan kulit wajah berupa facial foam dan cream yang dijual dalam kemasan sachet.
“Saya nggak pernah pake handbody,” ujarnya ketika kami mengali lebih jauh pengeluaran untuk perawatan tubuh. Mendapat jawaban itu, refleks mata saya langsung tertuju ke kaki dan tangannya mila.
“Mba kamu hebat, di saat banyak perempuan di luar sana rela membeli skincare abal-abal agar glowing, rela berhutang demi beli skincare kamu tidak tergoda dengan semua itu.” ucapku dalam hati.
Selain makanan, keperluan pribadi Mila sebagai perempuan pun menjadi korban pengiritannya. Baginya kebutuhan keluarga lebih penting. Naluri seorang ibu yang mengutamakan keluarga patut diacungi jempol.
“Saya punya utang sama Shopee Pay Later sebesar Rp450 ribu untuk membeli vitamin anak saya. Saya terpaksa ngambil shoppaylater karena kalau membeli cash tidak ada uangnya, sedangkan anak-anak saya perlu tambahan vitamin,” terang Mila yang memprioritaskan kebutuhan untuk kesehatan anaknya.
Dan tetiba Mila terperangah, kaget bukan kepalang, setelah kami menghitung biaya pengeluaran rokok suaminya sebesar Rp500 ribu sebulan. “Hah, limaratus ribu?,” ucapnya dengan wajah tampak shok dan terdiam beberapa saat. Rokok yang biasa dibeli suaminya adalah rokok Esse yang harganya setara dengan upah lembur Mila.
Menekan makan untuk bertahan
Upah murah membuat buruh harus berhemat dan bersiasat agar bisa bertahan hidup. Selain Mila, siasat mengurangi pengeluaran konsumsi makan juga dilakukan oleh beberapa buruh yang bekerja pada salah satu pabrik pembuat sepatu bermerk internasional di Kabupaten Tangerang.
Ratih, perempuan single parent satu anak, mengaku saat ini terjerat utang di dua aplikasi Pinjaman Online (Pinjol) sebesar Rp60 juta. Upah sebesar Rp4,4 yang diterima setiap bulan sebagai buruh pabrik tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup dan membayar cicilan utang Pinjolnya setiap bulan. Karenanya, sepulang kerja, sekitar pukul 17.00 wib hingga pukul 23.00 wib, Ratih melakukan pekerjaan sampingan dengan bekerja sebagai driver Ojek online (Ojol).
Pendapatan Ratih dari ngojol lumayan bisa menutupi kebutuhan sehari-hari. Namun, karena alasan kesehatan, hampir satu bulan ini Ratih tak bisa narik lagi. Selain itu waktu bersama anaknya hanya di akhir pekan. Sehari-hari anaknya dititipkan sama neneknya.
Sejak tak lagi ngojol, agar upahnya bekerja di pabrik cukup, Ratih harus mengorbankan pengeluaran untuk makannya. Setiap hari Ratih hanya sarapan membeli empat gorengan yang ia beli seharga Rp5000. Dengan makan gorengan Ratih harus mampu bertahan bekerja selama 4,5 jam hingga jadwal makan siang tiba.
Untuk menyiasati agar tahan bekerja, Ratih makan 2 gorengan sebelum bekerja, sisanya akan ia makan pada waktu snack time, sekitar jam 10an.
“Emang kenyang mba sarapan gorengan sampe jam istirahat?” Tanyaku.
“Kalau lapar ya saya minum, banyakin minum aja mbak buat ngilangin lapar,” jawab Ratih menjelaskan siasat tambahannya untuk mengurangi rasa lapar sebelum jam istirahat.
***
Siasat untuk bertahan hidup dengan upah yang minim juga dilakukan oleh Gendis (45 tahun) yang hanya tinggal bersama suaminya. Anak semata wayangnya sejak bayi dititipkan ke neneknya di kampung halaman. Karena pekerjaan suaminya sebagai buruh serabutan dan tidak memiliki upah tetap, Gendis jarang atau tidak setiap hari diberi uang oleh suaminya untuk kebutuhan rumah tangga. Meski demikian, ia tak mempermasalahkannya. Bagi gendis, yang penting suaminya bisa membeli rokok dan pulsanya sendiri.
Pendapatan utama rumah tangga Gendis mengandalkan upahnya dari bekerja sebagai buruh pabrik, sebesar Rp4,6 juta per bulan. Setiap hari Minggu Gendis membantu saudaranya berjualan gorengan agar bisa menambal kebutuhan hariannya. Upahnya dari bekerja di pabrik tak cukup untuk kebutuhan sebulan. Dari membantu berjualan gorengan Gendis mendapat tambahan pendapatan sebesar Rp300 ribu per bulan. “Lumayan Teh, walaupun capek tapi bisa bantu nyambung nyawa istilahnya,” tutur Gendis ketika dalam satu kesempatan saya menanyakan aktifitasnya ketika libur di hari minggu.
Selain kerja tambahan berjualan gorengan, Gendis juga banyak mendownload aplikasi yang memiliki program pemberian hadiah dari mengumpulkan koin, seperti aplikasi Snack Video, Fizzo Novel, Jakpat dan lainnya. Dengan nada bercanda ia menyebut aktifitasnya tersebut sebagai ‘pemburu koin’.
“Saldo Danaku pernah sampai Rp200 ribu mbak dari mengumpulkan koin. Aku beliin bedak, buat belanja kalau pas nggak ada duit,” terang Gendis saat menceritakan penghasilannya dari mengumpulkan koin.
Siasat lainnya yang dilakukan Gendis agar upahnya cukup yaitu dengan mengatur jadwal memasak. Gendis menjadwalkan memasak 2 kali dalam seminggu, biasanya pada hari Sabtu dan Minggu atau saat ia libur kerja.
Di hari kerja, sebelum berangkat ke pabrik, Gendis hanya memasak nasi dan membeli sayur dan lauk yang sudah masak untuk suaminya. Di akhir bulan biasanya hanya menyediakan stok mie dan telur. Sedangkan untuk sarapan, Gendis cukup mengkonsumsi empat macam gorengan atau kue-kue seharga Rp5000 dan kopi hitam. ”Pagi sebelum kerja ngopi di Udin sambil makan gorengan. Itu healingku sebelum masuk kandangnya kapitalis teh“ candanya sambil tertawa. Udin adalah pemilik warung di depan pabrik tempat kerja Gendis. Budget sarapan Gendis setiap hari sebesar Rp. 8000.
***
Ratih dan Gendis merupakan dua orang dari ribuan buruh pembuat sepatu dengan merk Internasional. Sepatunya banyak dijual di beberapa e-commerece dengan tipe Revolution 6 seharga Rp800 ribu atau tipe Dunk seharga Rp6,1 juta. Setiap hari, Ratih, Gendis dan buruh lainnya harus mengejar target membuat 200 pasang sepatu per jam untuk sepatu yang tingkat kesulitannya tinggi, dan 240 pasang sepatu per jam untuk sepatu yang pembuatannya relatif mudah.
Meskipun masuk pabrik pukul 07.00 wib, namun Ratih, Gendis dan buruh lainnya sudah tiba di pabrik pukul 06.15 wib. Sebelum masuk biasanya mereka sarapan dengan membeli 4 gorengan atau kue seharga Rp5000. Dengan asupan 4 gorengan tersebut mereka harus tahan bekerja selama 4 jam atau hingga pukul 11.30 wib, saat istirahat tiba. Selama 4 jam bekerja Gendis dan teman-temannya telah menghasilkan sekitar 800 pasang sepatu tipe Revolution. Jika ditotal harga 800 pasang sepatu tersebut akan menghasilkan uang untuk perusahaan sebesar Rp640 juta.
Wow, sungguh luar biasa, dengan modal sarapan Rp.5000 Ratih, Gendis dan banyak buruh lainnya bisa menghasilkan ribuan sepatu dengan kualitas kelas dunia. Sayangnya di balik kerennya sepatu yang dibuat tersebut terdapat berbagai siasat para buruh agar upahnya yang kecil bisa bertahan hingga akhir bulan.
Sementara itu pengusaha selalu berlindung di balik kata “tunjangan makan” yang pada realitasnya hanya bisa membeli 4 biji gorengan untuk sarapan pagi. Sebagaimana salah satu pabrik sepatu Adidas di Kota Tangerang yang hanya memberikan tunjangan makan sebesar Rp5500 per hari.
Di pabrik lain yang menyediakan makan pun tidak jauh beda. Menu yang disajikan jauh dari kata layak. Bahkan lebih parah, karena terkadang buruh menemukan ulat, kecoa sampai anak kodok di dalam menu makan siangnya.
Dari 30 responden yang kami wawancarai, hampir 70% mengaku membawa bekal makan siang atau memilih makan siang di luar walaupun perusahaan menyediakan catering. Selain jarak yang jauh dari gedung produksi ke kantin, waktu istirahat yang terbatas (hanya 1 jam), juga karena kebersihan dan menu yang disajikan tak layak.
Hal yang sama disampaikan oleh buruh yang bekerja pada shift malam. Makanan yang disediakan pada jam istirahat malam dimasak pada siang hari. Sudah pasti makanannya tidak lagi hangat alias dingin dan terkadang sudah basi.
***
Kewajiban perusahaan menyediakan makan dengan 1400 kalori apabila buruh bekerja lembur selama tiga jam atau lebih, ternyata tak pernah dinikmati buruh. ‘Tunjangan makan’ hanya kata-kata mutiara yang selalu disampaikan pengusaha ketika buruh meminta kenaikan uang makan.
Terlebih dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.SE SE-07/MEN/1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah atau dikenal dengan SE MENAKERTRANS tahun 1990 menyebutkan bahwa tunjangan makan dapat dimasukan ke dalam komponen tunjangan tetap. Dengan kata lain aturan ini hanya untuk melegitimasi bahwa, buruh hanya butuh kenyang tanpa mempertimbangkan asupan gizinya.
Di tengah kekalahan gerakan buruh dalam perjuangan mencabut Undang-undang cipta kerja, kenaikan upah diperkirakan tidak akan berpenaruh secara signifikan dari upah tahun sebelumnya. Sementara kebutuhan hidup buruh terus menggerus upah buruh. Oleh karenanya, mungkin penting bagi pimpinan serikat buruh memikirkan alternatif perjuangan upah selain kenaikan upah secara nominal. Dengan memperjuangkan kebutuhan asupan gizi buruh dan keluarga, mungkin bisa menjadi alternatif bagi serikat buruh untuk mengatasi rendahnya kenaikan upah. Setidaknya agar buruh tetap sehat.
Penulis
-
Nonon Cemplon
-
Labour story teller