MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Aksi Peringatan May Day 2024: Wujudkan Kesejahteraan dan Kedaulatan Rakyat (2)

Artikel ini merupakan booklet tentang peringatan May Day 2024 yang diterbitkan oleh Aliansi Barisan Rakyat Anti Penindasan (BARA API), Surabaya, Jawa Timur. Untuk kepentingan pendidikan dan kampanye Majalah Sedane menerbitkan ulang dalam Serial May Day 2024.

Bagian 1: Kondisi Buruh Terkini

Tentang Kondisi Buruh Nasional dan Jawa Timur: Jalan Terjal Ketenagakerjaan Setelah Pandemi

Pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak awal 2020 hingga akhir 2022 telah menyebabkan krisis yang terjadi di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Runtuhnya kekuatan ekonomi berdampak langsung pada sektor ketenagakerjaan.

Pada 2021-2022 banyak sekali terjadi pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan dengan dalih efisiensi tenaga kerja, pengurangan jam kerja, WFH, maupun pemberhentian operasi sementara. Kondisi tersebut diperparah dengan pemberlakuan UU Cipta Kerja yang membuat perusahaan semakin semena-mena dalam melakukan PHK.

Kondisi di atas telah menyebabkan lonjakan tingkat penggangguran. Pada 2019 angka pengangguran sebesar 4,94% menjadi 7,07% pada 2021.[1] Pada 2024, sektor ketenagakerjaan secara nasional masih belum stabil. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pengangguran nasional yang masih berada pada angka 5,7%.[2]  Di Jawa Timur tingkat pengangguran berada pada angka 4,8% per 2023, di mana Kota Surabaya menjadi wilayah dengan tingkat pengangguran tertinggi, sebesar 6,76%. Kenapa prosentase tingkat pengangguran tidak bisa kembali seperti ketika sebelum pandemi?

Indonesian for Global Justice menjelaskan bahwa kondisi tersebut karena terjadinya informalisasi pekerjaan,[3] di mana banyak korban PHK yang sebelumnya bekerja di sektor formal kini beralih ke sektor informal, seperti menjadi driver Go-Jek, Maxim, Grab, menjadi kurir pengantaran, ada pula yang akhirnya terpaksa menjadi penjual makanan/minuman.

Sementara itu para buruh yang masih bertahan mengalami penurunan upah. Para buruh terpaksa harus menerima pemotongan upah dari perusahaan karena tidak ada pilihan pekerjaan lain. Pendapatan buruh informal yang lebih kecil dibanding sektor formal ditambah tidak adanya jaminan pekerjaan membuat kondisi buruh semakin terhimpit.

Buruh Anak dan Anak Buruh: Antara Kerentanan dan Kemiskinan

Pada tahun 2014 Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia mengeluarkan laporan berjudul “Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022”. Laporan ini memuat tentang situasi buruh anak di Indonesia dan upaya pemerintah dalam mewujudkan Indonesia bebas buruh anak di tahun 2022. 

Namun data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik tentang “Pekerja Anak di Indonesia 2022” menunjukan bahwa hingga 2021 masih ada 1,05 juta buruh anak (10-17 tahun), walaupun menunjukan tren penurunan angka dari 1,27 pada 2017. Tren penurunan ini terbilang sangat kecil. Dalam kurun 4 tahun penurunan hanya berkisar pada angka 0,24%. Artinya strategi pemerintah mengurangi buruh anak tidak signifikan dan tidak menyentuh akar masalah.

Penyebab utama masih banyaknya buruh adalah faktor kemiskinan. Anak yang tinggal dalam keluarga buruh yang pendapatannya kecil berpotensi besar menjadi buruh anak. Hal tersebut diperparah dengan minimnya jaminan sosial untuk keluarga buruh akan memudahkan

Jika dilihat dari akar masalahnya, cara efektif untuk menghapuskan buruh anak di adalah dengan menerapkan upah layak bagi buruh sesuai dengan keluarganya. Juga, menuntut perusahaan memberikan jaminan sosial bagi anak buruh, sekurang-kurangnya dengan memberikan jaminan pendidikan dan jaminan kesehatan.

Jebakan Kemitraan: Pengabaian Hak Buruh Online

Kemunculan moda transportasi berbasis platform seperti Go-Jek, Grab, In-Drive, Maxim, Shopee menandai perkembangan ekonomi platform di Indonesia. Ekonomi platform adalah model bisnis yang menggunakan teknologi digital untuk menghubungkan produsen/penyedia jasa dengan konsumen. Kemunculannya turut pula menandai pergeseran hubungan kerja. Hubungan kerja tidak lagi dimaknai sebagai sesuatu yang tradisional, seperti antara pemilik pabrik sebagai majikan dengan buruh yang bekerja dan mendapat upah.

Driver-driver Ojol dan kurir dianggap sebagai mitra kerja. Saat ini, diperkirakan jumlah Ojol mencapai 4 juta orang.[4] Para driver diiming-imingi dengan tawaran fleksibilitas waktu dan tempat kerja serta mengatur besaran pendapatan.

Dalam buku yang diterbitkan oleh Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) berjudul “Kemitraan Semu dalam Ekonomi Gig di Indonesia” disebutkan bahwa penghasilan driver ojol jauh lebih kecil dibandingkan upah minimum per jam nasional. Penghasilan driver ojol Grab, Go-Jek dan Maxim hanya sebesar Rp8.011 per jam untuk roda empat dan Rp5.712 per jam untuk roda dua.[5]

Besaran tarif dasar dan ketentuan lain, diputuskan sepihak oleh perusahaan penyedia platform tanpa perundingan dengan driver. Hubungan yang tidak setara ini menyulitkan driver untuk menuntut perusahaan penyedia platform. Padahal apabila menengok UU Nomor 8 Tahun 2008 tentang Kemitraan, hubungan kemitraan merupakan hubungan yang setara antara kedua belah pihak. Nyatanya, hubungan tersebut tidak setara. Dengan alasan mitra itu pula, perusahaan platform mengalihkan semua beban kerja dan risiko kerja ditanggung oleh ojol dan kurir. Pada akhirnya, ojol menjadi sumber eksploitasi untuk meningkatkan performa perusahaan platform di hadapan pemodal.

Dampak dan Ancaman Komersialisasi Pendidikan

Pendidikan, yang pernah dipuji sebagai mercusuar pencerahan dan jalan menuju mobilitas sosial, semakin terjerumus ke dalam cengkeraman komersialisasi. Ketika lembaga-lembaga pendidikan di seluruh dunia menghadapi tekanan yang semakin besar untuk menghasilkan pendapatan, misi suci pendidikan dibayangi oleh motif keuntungan.

Komersialisasi seringkali memberikan insentif kepada institusi untuk memprioritaskan keuntungan finansial dibandingkan integritas akademis. Dengan menjamurnya perusahaan-perusahaan pendidikan yang mencari keuntungan, terdapat kecenderungan mengompromikan standar akademis demi kepentingan. Terkikisnya integritas akademis ini melemahkan kredibilitas dan efektivitas lembaga pendidikan.

Komodifikasi pendidikan memperburuk kesenjangan sosio-ekonomi dan menghambat komunitas marjinal mengakses pendidikan. Ketika biaya sekolah meroket dan sumber daya pendidikan semakin diprivatisasi, siswa dari keluarga kelompok berpenghasilan rendah menghadapi tantangan yang tidak proporsional dalam mengakses pendidikan berkualitas. Hal ini melanggengkan siklus kemiskinan dan memperkuat stratifikasi sosial.

Ketika pendidikan menjadi sebuah komoditas, penekanannya beralih dari pembelajaran holistik ke kredensial yang dapat dipasarkan. Nilai-nilai inti pendidikan seperti pemikiran kritis, kreativitas, dan keterlibatan masyarakat tidak lagi penting dalam mengejar keterampilan kejuruan yang dianggap menguntungkan di pasar kerja. Fokus sempit pada hasil-hasil yang bermanfaat melemahkan esensi pendidikan sebagai kekuatan transformatif dan memberdayakan.

Kepentingan komersial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan pendidikan dan proses pengambilan keputusan, sehingga melanggar kebebasan akademik. Lembaga-lembaga yang terikat pada sponsor perusahaan atau agenda yang berorientasi pada keuntungan mungkin menghadapi tekanan untuk menyensor suara-suara yang berbeda pendapat atau menyesuaikan kurikulum agar selaras dengan kepentingan komersial. Erosi otonomi akademis ini menghambat keberagaman intelektual dan inovasi.

Komodifikasi pendidikan sering kali mengutamakan kuantitas dibandingkan kualitas, sehingga menyebabkan menjamurnya layanan pendidikan di bawah standar. Dalam pasar yang kompetitif, institusi mungkin mengambil langkah-langkah pemotongan biaya dan ekspansi yang cepat untuk memaksimalkan keuntungan. Akibatnya, dunia pendidikan dibanjiri dengan pabrik diploma, sehingga menimbulkan ancaman terhadap standar pendidikan. Komersialisasi pendidikan menimbulkan ancaman besar terhadap prinsip-prinsip dasar pembelajaran dan penyelidikan intelektual. Saat kita menghadapi situasi yang berbahaya ini, sangat penting untuk menjaga integritas, aksesibilitas, dan otonomi pendidikan dari gangguan kepentingan yang berorientasi pada keuntungan. Hanya dengan memprioritaskan kesejahteraan kolektif peserta didik dan memupuk budaya keunggulan pendidikan, kita dapat memitigasi dampak buruk komersialisasi dan menjunjung tinggi nilai pendidikan sebagai barang publik.

Lanjutkan membaca

Kembali

(Ilustrasi: Senja Melawan)

Catatan Kaki

[1] Review Rencana Tenaga Kerja Nasional 2020-2024, Kementrian Ketenagakerjaan Repulik Indonesia. 2021.

[2] BPS Provinsi Jawa Timur

[3] Buruh indonesia dalam kepungan Krisis – Indonesia for Global Justice (igj.or.id). diakses pada 15:37

[4] Cek Fakta: tepatkah meregulasi ojek ‘online’ sebagai bagian transportasi umum? (theconversation.com), diakses pada 03:37

[5] Hernawan, Ari, Dessi, Anindiya, dkk. “Kemitraan Semu dalam Ekonomi Gig di Indonesia: Analisis terhadap Kondisi Pekerja Berstatus Mitra”. (FISIPOL UGM, 2024) IGPA Press. Hal, 7-8