Fragmentasi Perlawanan Warga
Kita coba kembali melihat peta lanskap pencemaran lingkungan yang telah dijelaskan di bagian awal tulisan ini. Lanskap pencemaran lingkungan juga menunjukan bentuk fragmentasi perlawanan warga di sekitaran pabrik PT Pajitex. Dari lima RT yang terbagi ke dalam dua desa, kami hanya menemui ada tiga RT yang melakukan gugatan kepada PT Pajitex. Dua di antaranya berada dalam satu wadah perjuangan, yakni RT 13 dan 14 RW 07. Sementara, warga dari RT 16 RW 08 melakukan gugatan dengan caranya sendiri, yakni melalui jalur pengadilan dalam bentuk gugatan pidana dan perdata. Sedangkan, warga desa dari RT 01 dan 05 RW 05 Desa Kertoharjo memilih untuk tidak terlibat di dalam perjuangan manapun.
Didapati bahwa beberapa tuntutan dan keterlibatan aktor pendamping hukum di setiap wilayah berdasarkan administrasi wilayah (RT/RW) berbeda-beda.
Pada cerita RT 13 dan 14 RW 07 misalnya, sejak 2006 – 2020, warga menuntut perusahaan mencabut cerobong asap dan mesin boiler yang berdekatan dengan pemukiman rumah warga. Tuntutan warga adalah hak atas udara serta lingkungan yang sehat. Pada 2021, bertepatan dengan momentum kriminalisasi dua orang warga bernama Muhammad Abdul Afif dan Kurohman, Walhi Jawa Tengah yang beroperasi di Semarang mendapatkan laporan dari warga desa. Bersamaan dengan laporan tersebut, Walhi Semarang menggandeng LBH Semarang untuk terlibat di dalam gugatan lingkungan. Momentum inilah menjadi awal mula dari keterlibatan Walhi dan LBH Semarang dalam kasus tersebut.
Dibandingkan dengan model gerakan perjuangan lingkungan yang dilakukan oleh warga RT 13 dan 14 RW 07, tentu, model gerakan dari tiga belas orang warga di RT 16 RW 08 sangat jauh berbeda. Warga desa RT 16 RW 08 secara tegas menuntut PT Pajitex untuk memberikan ganti rugi. Lantaran, mesin boiler milik perusahaan memiliki jarak yang sangat dekat dengan bangunan rumah dari ketiga belas warga tersebut. Lokasi mesin boiler dengan rumah warga hanya dibatasi dengan dinding pabrik. Alhasil, banyak dinding rumah warga yang mengalami retak hingga hampir roboh. Belum lagi getaran dan deru mesin boiler yang acap memekikkan gendang telinga. Hal itu-lah yang melatarbelakangi gugatan warga di RT 16 RW 08.
Meskipun memiliki kemiripan kasus pencemaran lingkungan, namun proses pendampingan hukum dari RT 16 RW 08, tidak terhubung dengan Walhi dan LBH Semarang. Tiga belas penggugat memiliki tim advokasi sendiri. Tiga nama Organisasi Masyarakat (Ormas) lokal terlibat di dalam proses gugatan hukum dari warga RT 16 RW 08. Nama tiga Ormas tersebut adalah Laska Hubbul Wathon (LASBAWA), Lindu Aji, dan terakhir Pemuda Pancasila (PP).[1]
Bukan tidak pernah ada upaya bertemu dari kedua kelompok warga penolak, Iqbal Alma Al-Thofani, anggota Divisi Advokasi Walhi, yang merupakan bagian di tim advokasi warga RT 13 dan 14 angkat bicara mengenai dinamika konflik di wilayah RT 16 RW 08.
“… [K]arena jelas mereka itu tuntutannya soal ganti rugi, tidak murni pencemaran lingkungan. Akhirnya yang muncul di publik adalah ‘ohh golek-golek duit tok’. Karena dalam semua kasus pencemaran dan industri yang muncul, yang ‘digoreng’ adalah itu. Nah kita menghindari itu…”.
Iqbal Alma Al-Thofani, Walhi Jawa Tengah.
Kami juga memperoleh pernyataan yang sama dari perwakilan warga RT 13 dan 14.
“Perbedaan kepentingan, mereka tidak mau bergabung, setelah pergerakannya sulit. Si U melihat pergerakan kami. Dia mendatangi kami. Jika dia mau ikut, kita harus sama, kalau tidak ya jalan sendiri, karena nuntutnya ganti rugi, nominal fantastis, dan tidak ada poin perjuangan lingkungan sama sekali,”
Narso, Warga Desa Watusalam.
Kami juga menemukan bentuk protes yang muncul dari individu yang memiliki inisiatif untuk melakukan aksi protes sendiri. Ilham namanya. Ia merupakan mantan buruh kontrak PT Pajitex yang di-PHK. Kurang lebih sudah tiga belas tahun ia bekerja. Pada pertengahan Maret 2022, kami bertemu dengannya. Ia bercerita bahwa selama bekerja, dirinya ditempatkan pada dua posisi kerja yang berbeda. Pertama, di bagian tenun (weaving) dengan masa kerja enam tahun dan yang terakhir di bagian pencelupan dengan masa kerja selama tujuh tahun.
Ilham mengaku akrab dengan beberapa bahan kimia yang kerap digunakan selama proses produksi pencelupan benang. Beberapa bahan material mampu ia sebutkan dalam proses di pencelupan. Beberapa bahan seperti asam klorida, zat pelembut kain (softener), dan sodium nitrite. Tentu, tidak semua nama-nama zat kimia ia hafal. Dibanding menghafal nama-nama zat kimia, justru Ilham lebih paham tentang proses pembuangan limbah perusahaan PT Pajitex.
Sebagai mantan buruh bagian pencelupan, Ilham mengetahui dengan pasti kapasitas bak penampungan air limbah milik perusahaan. Menurutnya, bak penampungan limbah milik perusahaan tidak mampu menampung hasil buangan limbah dari empat mesin celup yang berproduksi. Alhasil, air yang berada di kolam IPAL meluber dan melintas melalui saluran drainase. Luberan air bekas pencelupan ini tidak melalui proses pengolahan limbah terlebih dahulu. Air yang tidak mampu tertampung pada kolom IPAL, langsung mengalir menuju sungai Kupang.
Suatu waktu, relung hati Ilham bergejolak. Satu sisi ia harus memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya, tetapi di saat yang bersamaan pula, ruang hidup kampung halamannya telah mengalami kerusakan lingkungan. Kondisi dilematis ini yang mendorong Ilham untuk terlibat di dalam perjuangan lingkungan.
“Aku duwe hak, keinginan kuat untuk lingkungan yang sehat. Bergerak untuk keadilan lingkungan, sisi aku sebagai pekerja, aku duwe keluarga yo duwe hak lingkungan sehat. Pabrik ojo semena-mena, mengko nek diteruske iso parah. Iki wae wes coro delokane parah. Nek ora dirongrong warga malah parah”.
Ilham, warga Desa Watusalam.
Karena dirasa aktivitas PT Pajitex mengancam keselamatan warga, pada 2021, Ilham mulai mendokumentasikan limbah PT Pajitex yang mengalir melalui drainase melalui gawai miliknya. Video durasi singkat tentang pencemaran limbah cair kemudian tersebar di antara sesama warga Desa Watusalam melalui grup Facebook.
Nahas nasib Ilham. Setelah video limbah tersebar, ia pun dipanggil oleh pihak manajemen perusahaan. Hari itu, ia disidang oleh beberapa Kepala Bagian (Kabag) dari berbagai departemen dan manajemen personalia PT Pajitex. Ilham dibrondong dengan deretan pertanyaan. Ilham dipaksa untuk mengakui perbuatannya. Pihak perusahaan menyalahkan Ilham karena telah mengunggah video pembuangan limbah. Bagi perusahaan, dokumentasi yang dilakukan oleh Ilham bersifat dokumen rahasia perusahaan.
“Perusahaan itu tidak senang ada video itu. Karena dampaknya langsung produksi mengurang drastis. Ora wani buang banyu limbah secara berlebihan, tidak wani! Biasanya dikondisikan terus. Hari minggu aku dokumentasi, hari senin itu, Kabag-Kabag-nya langsung instruksi ke pengawas, ojo buang limbah secara berlebihan, diatur. Itu ketika, aku hari minggu dokumentasi, hari Seninnya aku kerja”.
Ilham, warga Desa Watusalam.
Proses pemanggilan Ilham hanya membutuhkan waktu setengah bulan dari jarak pengambilan video pada 2021. Karena ulah Ilham, perusahaan merasa terganggu. Pihak manajemen lalu minta Ilham untuk mengundurkan diri dari PT Pajitex. Debat sengit pun terjadi, karena Ilham tetap masih ingin bekerja. Alhasil pihak manajemen mengambil keputusan sepihak untuk memutus hubungan kerja Ilham. Alasannya bukan karena aktivitas mengunggah video ke sosial media, tetapi karena pabrik tengah melakukan pengurangan jumlah karyawan.
Proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Ilham berjalan tanpa dampingan hukum. Serikat Pekerja (SP) di pabrik tempat Ilham bekerja tidak melakukan advokasi apapun. Ilham terpaksa harus menerima surat PHK sepihak. Ilham tidak pernah menyesal. Menurutnya, ia hanya memperjuangkan keadilan lingkungan untuk keluarga dan warga desanya. Setelah PHK, Ilham masih tetap berjuang bersama warga Desa Watusalam.
Perlawanan Ilham tidak berhenti meski ia telah di-PHK. Ilham menemukan bukti kecurangan perusahaan dalam bentuk dokumen tertulis. Kejadiannya dimulai pada 9 September 2021. Hari itu merupakan jadwal DLHK dan Perkim Kabupaten Pekalongan untuk melakukan pemeriksaan dan pengambilan sampel limbah PT Pajitex. Ilham bersama beberapa warga desa ditunjuk sebagai perwakilan untuk mendampingi proses pemeriksaan.
Salah satu area di dalam pabrik yang menjadi lokasi pemeriksaan adalah bagian pencelupan. Sebagai mantan buruh celup PT Pajitex, Ilham tentu sudah fasih tentang seluk beluk perusahaan. Tanpa berpikir panjang, Ilham menggeledah ruangan. Ia bermaksud mencari dokumen aktivitas harian milik operator bagian pencelupan. Setelah mendapatkan dokumen tersebut, Ilham segera mendokumentasikannya dalam bentuk foto. Ilham menunjukan foto dokumen tersebut kepada pengawas DLHK.
“Aku itu ngerti template yang ada pada laci meja tersebut, aku foto, jepret. Pengawas sif itu tahu, tapi aku hanya diliatin. Aku kasih ke pengawas DLHK, ada dokumen, dibaca. Pegawainya kemudian keluar ruangan. Aku pengen liat tulisan foto yang kamu kasih. Firman mendengar, tulisan di program celup apa? Akhirnya kita masuk lagi bersama DLHK. Tolong Pak Satpam ambilkan buku itu. Firman kemudian melarang kami untuk ikut masuk ke dalam ruangan. Dilihat dokumennya beneran ada. Firman tahu, dia gak terima aku foto-foto. Dia bilang, ‘ini dapur kami, saya tidak terima!’ Firman kemudian memarahi pengawas. Dia bilang, ‘ini ambil sendiri, foto sendiri’. DLHK pun tetap memfoto dokumen tersebut”.
Ilham, warga Desa Watusalam.
Siang itu, debat ngotot antara warga dengan perwakilan manajemen perusahaan tidak dapat dielakkan. Firman Badji yang merupakan salah seorang tim hukum PT Pajitex tampak berang, ketika mengetahui foto memo kelicikan pabrik disampaikan Ilham kepada petugas DLHK. Sudah lama memang Ilham menduga, ada upaya perusahaan untuk mengelabui pemeriksaan lantaran pihak perusahaan seolah mengetahui jadwal Sidak limbah.
Benar saja dugaan Ilham. Perusahaan selama ini memang mengetahui jadwal Sidak limbah. Bukti tersebut Ilham temukan dalam catatan dokumen operator pencelupan. Dalam dokumen berukuran folio tersebut, terdapat tulisan tangan dengan tinta berwarna hitam. Semacam memo singkat bagi buruh yang akan melanjutkan pekerjaan selanjutnya. Dokumen tersebut tertulis: “Besok pagi ada kontrolan limbah jam 04:00, jangan buang limbah”.
Kejanggalan tersebut semakin diperkuat, kala empat mesin celup PT Pajitex tidak beroperasi. Ilham bertanya kepada para buruh. Mereka menjawab mesin celup sedang rusak.
Kejengkelan Ilham tidak hanya diarahkan kepada kepada Firman Badji, Ilham juga menyayangkan sikap petugas DLHK yang terkesan hanya menengahi. Tindakan Ilham dalam proses pengambilan foto dianggap salah. Menurut petugas DLHK, Ilham seharusnya meminta izin terlebih dahulu. Padahal, jika harus meminta izin, dokumen tersebut dapat dipastikan tidak akan pernah dikeluarkan oleh pihak perusahaan.
Rentetan Kekesalan
Selain potret dinamika dan fragmentasi perlawanan, kami menghimpun beberapa sumber informasi dan cerita mengenai rentetan waktu warga meluapkan kekesalan dan perlawanannya.
Penelusuran waktu dimulai pada 2006. Menurut keterangan warga, PT Pajitex mulai melakukan penggantian mesin boiler yang diikuti dengan pemasangan cerobong asap untuk pertama kalinya. Proses perizinan dinilai hanya melibatkan beberapa warga Desa Watusalam. Sebagian besar warga desa tidak mengetahui agenda pendirian cerobong asap. Alhasil, mesin boiler dan cerobong asap beroperasi hingga memasuki 2007. Asap hitam pekat membubung tinggi di udara. Debu hasil pembakaran batu bara (flash ash) yang keluar dari cerobong asap mengotori rumah dan membuat sesak pernapasan warga.
Salah seorang warga yang turut terlibat di dalam aksi perjuangan lingkungan bernama Rojali. Ia bersedia menjelaskan sejarah keberadaan pabrik di tahun 2006 tersebut. Kala itu, sosialisasi pertama kali tentang pemasangan cerobong asap hanya dihadiri oleh 28 orang warga Desa Watusalam. Sementara, warga desa lainnya tidak tahu menahu. Tiba-tiba pada November 2007, tepatnya mendekati hari raya Idulfitri, pihak manajemen memberikan uang kepada 28 orang warga tersebut.
“Dulu warga komplain pada 8 September 2007, karena belum ada kesepakatan pendirian cerobong batu bara. Tidak ada penyampaian dengan warga. Setelah cerobong asap berjalan kira-kira satu sampai dua periode, ketika masuk hari raya, daerah yang berdekatan dengan cerobong asap diberikan “Uang Batu bara”. Sekitar 28 orang dikasih Rp 150.000. Uang batu bara itu diberikan ketika Idulfitri,”
Rojali, salah satu ketua RT di Desa Watusalam.
Karena uang batu bara hanya diberikan kepada 28 orang, sontak warga melakukan rembug. Warga lainnya yang juga berdekatan dengan lokasi cerobong asap kemudian bersepakat untuk menemui pihak manajemen PT Pajitex, bernama Pak Muh. Singkat cerita, pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan.
Pertama, pemasangan cerobong dan boiler bersifat hanya sementara. Kedua, semua buruh yang bekerja di bagian boiler harus merupakan warga setempat. Ketiga, perusahaan harus memberikan uang batu bara tersebut kepada warga lainnya yang juga terdampak dari aktivitas polusi batu bara. Pemberian uang tersebut dibagi ke dalam dua kategori radius paparan, yakni ring satu dengan nilai uang sebesar Rp150 ribu dan ring dua dengan nilai sebesar Rp100 ribu.
Seiring berjalanya waktu, nilai kompensasi uang batu bara dan radius paparan mengalami perubahan. Jika sebelumnya, hanya terdapat dua kategori, kini ada penambahan kategori menjadi ring tiga. Pada 2022, nilai uang batu bara pada ring satu menjadi Rp350 ribu plus diberikan kain sarung, ring dua mendapatkan Rp300 ribu juga dengan sarung, dan ring tiga mendapatkan Rp175 ribu juga plus kain sarung.
Kami juga mendapati keterangan bahwa sejak 1986 – 2006, PT Pajitex telah menggunakan mesin boiler dan satu cerobong asap dengan bahan bakar solar. Pada tahun tersebut, warga mengaku tidak ada masalah dari operasi perusahaan. Justru, ketika peralihan energi menuju batu bara-lah yang menjadi awal mula petaka pencemaran lingkungan di desa mereka. Padahal, peralihan energi merupakan salah satu upaya manajemen pabrik untuk memotong biaya produksi agar lebih efisien.
“Kalau solar minyak tanah gak terlalu polusi, jaman dulu tak masalah, baru batu bara itu 2006 masalah. Sebelum itu ndak ada masalah. Dulu juga gak ada cerobong. Solar pembakarannya kan gak terlalu mencemari,”
Rojali, salah satu ketua RT di Desa Watusalam.
Gugatan lingkungan yang dilakukan oleh warga Desa Watusalam RT 13 dan 14 RW 07, bukanlah kasus yang pertama. Pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Pajitex, sebelumnya sudah pernah terjadi. Warga dari RT 16 RW 08 Desa Watusalam yang mempeloporinya. Kejadian itu terjadi di tahun 2018 dan memasuki proses persidangan pada 2021.
Mulanya, beberapa warga dari RT 16 RW 08 Desa Watusalam mengeluh karena bau batu bara menyengat dan membuat sesak pernapasan. Bila hujan datang, air sumur berbau logam dan berwarna keruh kecoklatan. Kondisinya bertambah sesak, apabila angin bertiup, sudah dipastikan, rumah yang berada di sekitar Tempat Pembuangan Sementara (TPS) limbah B3 hasil pembakaran batu bara akan dipenuhi debu dan mengotori rumah.
Salah seorang warga dari RT 16 RW 08 Desa Watusalam bernama Slamet Makmur kemudian melaporkan perusahaan Pajitex kepada pihak Polres Pekalongan. Lantaran, tanah kosong yang tidak diperuntukan untuk pembuangan limbah batu bara justru dijadikan tempat pembuangan sementara. Berdasarkan laporan warga sekitar, pihak kepolisian akhirnya membekuk salah seorang buruh PT Pajitex bernama Sahroni pada 10 Desember 2021 pukul 11:00 WIB.
Sahroni yang hanya merupakan buruh di bagian Cleaning Services tidak tahu menahu. Ia hanya menjalankan perintah atasannya untuk membuang limbah batu bara ke tempat yang diperintahkan. Singkat cerita, pada hari itu Sahroni dimintai keterangan oleh Polres Pekalongan. Selain itu, mobil pick up bermerek Panther warna hitam yang biasa digunakan untuk membuang limbah, juga disita sementara oleh pihak kepolisian.
Dalam putusan sidang PN Pekalongan nomor 241/PID.B/LH/2021/PN PKL, PT Pajitex yang diwakili oleh Ir. Agung Triyanto selaku Manager Factory diputus bersalah oleh Majelis Hakim. Perusahaan terbukti melakukan pembuangan (dumping) limbah hasil pembakaran batu bara tanpa mengantongi izin. Karena kesalahan tersebut, pada 22 Desember 2021, Agung Triyanto didakwa dengan putusan pidana penjara selama tiga bulan dan denda sebesar Rp100 juta.[2]
Selain putus pidana PN Pekalongan, kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Pajitex juga pernah terjadi. Pabrik sarung ini dikenakan sanksi administratif oleh DLHK Provinsi Jawa Tengah.[3] Ada enam sanksi yang ditetapkan. Pertama, PT Pajitex dinyatakan melanggaran ketentuan dokumen lingkungan hidup, karena telah membuang cairan limbah berwarna hitam dengan suhu agak panas melalui saluran pembuangan limbah (outfall) yang bermuara ke sungai Kupang. Kedua, debit air limbah yang dibuang per hari ternyata melebihi kapasitas Izin Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Ketiga, parameter Total Suspended Solid (TSS) atau Padatan Total Tersuspensi dan warna cairan, berdasarkan pemeriksaan Agustus 2021 dinyatakan melebihi baku mutu air limbah.
Selanjutnya, poin keempat merujuk pada hasil pengukuran parameter kebisingan berada di atas ambang batas, yakni 0,1 dB yang berdekatan dengan area pemukiman warga RT 16 RW 08. Sementara, pada area pojok sisi timur gedung pabrik melebihi 0,5 dB. Kelima, masa berlaku izin penyimpanan limbah sementara milik PT Pajitex telah habis masa berlakunya sejak 5 Oktober 2019. Terakhir, keenam, DLHK menyatakan bahwa dokumen tentang lingkungan hidup yang dimiliki oleh PT Pajitex dinyatakan banyak ketidaksesuaian. Masing-masing putusan DLHK provinsi Jawa Tengah mendesak PT Pajitex untuk memperbaiki pengelolaan limbah dalam rentang 30 – 90 hari kerja, sejak dokumen sanksi diterbitkan pada 30 November 2021.
Setelah diterbitkannya putusan sanksi administratif, pihak PT Pajitex memberikan surat balasan kepada DLHK.[4] Dalam surat balasan yang diberikan, pihak perusahaan menjawab enam butir putusan DLHK. Dari enam putusan sanksi, dua di antaranya dibantah oleh manajemen PT Pajitex.
Klarifikasi pertama, PT Pajitex berkilah bahwa limbah cair berwarna hitam dengan suhu agak panas yang bermuara ke sungai Kupang bukanlah hasil dari proses produksi mereka. Pihak perusahaan justru menyalahkan industri rumah yang terletak di Desa Kertoharjo RT 01 RW 05 sebagai pelakunya. H. Nurudin namanya, ia diminta mengakui bahwa limbah cair berwarna hitam dan bersuhu panas tersebut merupakan hasil dari aktivitas usahanya.[5] Klarifikasi kedua, yakni mengenai debit maksimum pembuangan limbah. Perusahaan PT Pajitex memiliki jatah pembuangan limbah sebesar 505,08 m3 per hari.[6]
Argumen PT Pajitex terkait jatah pembuangan limbah merupakan hasil pemeriksaan yang dilakukan DLHK dan Perkim Kabupaten Pekalongan.[7] Dengan begitu, PT Pajitex merasa tidak melakukan pelanggaran dalam kasus pembuangan debit air limbah. Sementara, pada putusan lainnya, PT Pajitex membalas dengan tanggapan sedang diupayakan dalam tahapan perbaikan.
Surat balasan PT Pajitex seolah menandakan bahwa perusahaan sedang melakukan perbaikan. Padahal, dalam proses pemeriksaan pengambilan sampel cairan limbah pada 9 September 2021, perusahaan berupaya mengakali prosedur hukum.
Konsolidasi dan Pengorganisasian Perlawanan
Kekesalan dan keresahan warga tidak hanya menjadi gambaran latar belakang cerita narasi. Setiap warga yang merasakan keresahan yang sama terkait dengan pencemaran dari PT Pajitex kemudian melakukan pertemuan untuk menyamakan persepsi, serta membuat barisan perlawanan terhadap PT Pajitex.
Proses pengorganisasian gerakan perlawanan tersebut mulai memanas ketika PT Pajitex memperluas area operasi pabriknya. Semula yang hanya memiliki satu gedung, kemudian bertambah menjadi dua gedung. Lokasi gedung pabrik yang baru bersebelahan dengan gedung pabrik lama. Tepatnya di bagian sisi timur. Selain memperluas area gedung, PT Pajitex juga membeli mesin boiler baru dan mendirikan cerobong asap baru. Lokasi cerobong asap baru ini berjarak lebih dekat dengan pemukiman warga RT 13 dan 14 RW 07 Desa Watusalam.
Menurut keterangan warga, kehadiran mesin boiler baru dan pembangunan cerobong asap, pada 2021, tidak melalui proses perizinan dengan warga desa. Alhasil warga melayangkan kecaman kepada perusahaan. Tata kelola advokasi hukum yang rumit dan cenderung berlarut, serta pengacuhan tuntutan warga oleh pihak manajemen perusahaan membuat warga desa geram. Sekitar tujuh orang warga yang kesal kemudian memutuskan untuk menggeruduk pabrik.
Tujuh orang warga yang menggeruduk pabrik berniat untuk meminta penjelasan dari pihak perusahaan tentang dampak lingkungan yang dirasakan. Namun, pihak manajemen enggan menemui mereka. Warga hanya dipertemukan dengan dua orang Satpam pabrik, yakni Rahmat dan Subhan. Kedua satpam itu merupakan perwakilan dari perusahaan. Keduanya mengatakan bahwa akan ada mesin boiler baru yang lebih baik. Juga, asap yang dikeluarkan dari pembakaran batu bara dari mesin baru akan lebih ramah lingkungan.
Pada 6 Maret 2021, mesin boiler dan cerobong asap baru resmi beroperasi. Suara mesin boiler santer memekakan telinga. Cerobong asap juga masih kerap mengeluarkan asap hitam beserta debu kerikil. Kondisi ini membuat warga merasa dikelabui. Esok harinya, pada 7 Maret 2021, warga kembali mendatangi perusahaan. Namun, lagi-lagi warga dihadapkan dengan Satpam perusahaan. Warga mendesak agar mesin boiler dihentikan segera.
Di hari yang berbeda, pada 8 Maret 2021, sekitar 20 orang warga berkumpul bersama Kepala Desa (Kades). Menurut rilis yang diterbitkan oleh Walhi pada 28 September 2021, pertemuan ini menghasilkan kesepakatan, warga akan berkirim surat kepada perusahaan. Pada 9 Maret 2021, untuk pertama kalinya, warga melayangkan surat kepada perusahaan. Isi surat tersebut kurang lebih adalah warga menolak pembangunan cerobong asap dan mesin boiler baru. Hari berikutnya, pada 13 Maret 2021, pihak manajemen perusahaan melalui lembaga bernama Lembaga Perlindungan Konsumen Republik Indonesia Badan Advokasi Indonesia (LPK-RI B.A.I), H. Tholib, mengirimkan surat balasan. Isi surat ini adalah penjelasan perusahaan kepada warga. Menurut perusahaan, semua hanyalah bentuk kesalahpahaman.
Selang dua hari, 15 Maret 2021, pihak manajemen kembali mengirimkan surat baru melalui H. Tholib. Lembaga ini kembali diminta untuk menemui warga Desa Watusalam. Secara garis besar, terdapat beberapa poin utama tanggapan perusahaan. Pertama, pihak perusahaan akan berupaya memperbaiki suara mesin boiler. Selain itu, mesin boiler hanya akan beroperasi pada pukul 06:00 – 18:00 WIB. Kedua, pihak perusahaan akan memprioritaskan tenaga kerja lokal dalam proses penerimaan tenaga kerja.
Surat yang disampaikan oleh pihak manajemen melalui lembaga LPK-RI B.A.I tidak menjawab pokok dari persoalan warga tentang pembangunan cerobong dan mesin boiler baru.[8] Alhasil, Kades Watusalam bersama warga kembali mengirimkan surat yang kedua kepada PT Pajitex pada 16 Maret 2021. Isi surat tersebut menegaskan pada dua pokok persoalan. Pertama, warga menolak pendirian cerobong asap dan kehadiran mesin boiler baru. Kedua, warga meminta agar pihak manajemen secara langsung menemui warga.
Masih di tanggal 16 Maret 2021, di hari yang sama, H. Tholib mendatangi warga. Kedatangannya membawa dua surat yang dikirimkan pada 13 Maret 2021 dan 15 Maret 2021. Ia juga menunjukan kepada warga, bahwa lembaganya merupakan perwakilan yang ditunjuk oleh pihak perusahaan.[9]
Pada 1 April 2021, barulah PT Pajitex mengirimkan surat balasan kepada Kades Watusalam. Isi surat ini menyatakan bahwa mesin boiler baru masih dalam uji perbaikan. Tim penguji berasal dari daerah Bandung. Perusahaan juga mengatakan, mesin boiler akan diperbaiki pada 5 April 2021. Agenda perbaikannya meliputi, penambahan tinggi cerobong boiler dan pergantian blower (Id fan).
Tepat pada 5 April 2021, warga Desa Watusalam RT 13 dan 14 RW 07 melakukan pelaporan tentang adanya dugaan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup kepada dua instansi pemerintahan. Pertama, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Dinas Perkim). Kedua, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK).
Selang lima hari pelaporan, pada 10 Mei 2021, sekitar 50 orang warga menggeruduk kantor Kepala Desa Watusalam. Warga meminta klarifikasi kepada Kades, karena mendapatkan informasi melalui satpam PT Pajitex, bahwa perusahaan telah mengantongi izin beroperasi kembali dari Kades. Mendengar tuduhan yang dilayangkan oleh warga, Kades mengelak.
Tidak puas dengan pernyataan Kades, warga langsung mendatangkan Satpam PT Pajitex untuk menyampaikan informasi mengenai pemberian izin. Kades pun terdiam tidak membantah. Sebaliknya, justru Kades memberikan pernyataan yang bertolak belakang dari tuntutan warga. Ia mengatakan bahwa pabrik boleh beroperasi, namun hanya dari jam 06:00 – 17:00 WIB. Alasan pembatasan waktu operasional diberikan agar perusahaan dapat memperbaiki mesin boiler. Warga kemudian mengecam tidak sepakat. Alhasil, warga mendesak agar Kades mengeluarkan surat baru dengan pernyataan tuntutan yang lebih tegas untuk perusahaan PT Pajitex.
Surat pun kemudian dibuat tertanggal 31 Mei 2021. Isi surat dibuat lebih tegas. Dua poin tuntutan menjadi garis besar di dalam surat ini. Pertama, warga menuntut ada pemindahan instalasi boiler ke lokasi lain dan menolak pendirian instalasi boiler yang telah ada. Kedua, warga mendesak agar pihak manajemen PT Pajitex segera menemui dan bermusyawarah dengan warga. Di akhir surat, warga menuntut balasan surat dari pihak manajemen paling lambat tujuh hari.
Setelah surat dilayangkan, bukan malah mesin boiler berhenti, justru pihak perusahaan menjalankan mesin boiler. Warga yang sebelumnya menghormati perusahaan, merasa dikangkangi, lantaran pihak perusahaan dianggap tidak memiliki itikad baik. Emosi yang berkecamuk mendorong warga menggeruduk perusahaan pada 3 Juni 2021. Geruduk pabrik merupakan ungkapan kekesalan warga karena tuntutan warga tidak pernah digubris oleh PT Pajitex.
Siang itu, di panas yang terik, terjadilah sebuah konflik. Warga memasuki ruang manajemen yang disambut oleh perwakilan manajemen PT Pajitex bernama Hamzah dan Agung. Warga menanyakan tentang izin operasi mesin boiler. Keduanya mengaku telah mengantongi izin dari Kades. Mendengar pernyataan itu, warga menjemput Kades yang sedang berada di kantor. Namun, Kades tidak berkenan hadir karena sedang kedatangan tamu. Muhammad Abdul Afif yang merupakan perwakilan warga kembali ke ruang manajemen. Ia berinisiatif menelpon Kades agar dapat memberikan klarifikasi di depan manajemen perusahaan melalui telepon seluler. Kades kemudian mengatakan tidak pernah memberikan izin kepada perusahaan. Ia juga menekankan selama belum ada pertemuan dengan pihak manajemen maka mesin boiler dan cerobong asap tidak boleh berjalan. Mendengar pernyataan itu, pihak manajemen PT Pajitex terheran-heran.
Selepas telepon dimatikan, warga menanyakan kembali izin operasional kepada pihak manajemen. Tetapi, pihak manajemen berkelit dan tidak mampu menunjukkan izin yang dimaksud. Situasi semakin memanas, warga kemudian menekankan kembali agar mesin segera dimatikan. Hamzah mengatakan, “Kami tidak akan matikan!”. Warga merasa ditantang dengan pernyataan tersebut. Mereka kemudian pergi menuju ruang operator mesin boiler. Di ruang itu, warga bertemu dengan seorang operator mesin boiler. Warga mendesak agar mesin segera dimatikan. Operator menjawab tidak memiliki wewenang. Si operator meminta warga menunggu karena ia harus berkonsultasi dengan perwakilan manajemen. Sekitar satu jam belum juga ada tanggapan. Warga yang kesal menunggu, akhirnya mengambil bongkahan batu bara yang berserak di ruangan. Kaca ruangan pun pecah. Setelah itu warga membubarkan diri.
Sejak awal, niat warga mendatangi perusahaan hanya ingin menegur. Warga tidak pernah berpikir bahwa aksi yang terjadi pada 3 Juni 2021 berujung panjang. Pasalnya, pihak perusahaan sudah berkali-kali ditegur oleh warga, tetapi pihak perusahan keukeuh menjalankan mesin boiler. Warga yang geram akhirnya mengambil tindakan spontan.
“Tahun 2020 surat pertama. Tahun 2021 surat kedua. Lalu, 2021 masuk langsung ke pabrik untuk menegur, tolong matikan sebelum ada kesepakatan,”
Narso, warga Desa Watusalam.
Setelah aksi pemecahan kaca yang terjadi pada 3 Juni 2021, PT Pajitex tetap beroperasi seperti biasa. Pada 10 Juni 2021, warga Desa Watusalam mengundang Ketua DPRD Kabupaten Pekalongan untuk melihat kondisi di Desa Watusalam. Seseorang bernama Agung hadir sebagai perwakilan dari perusahaan PT. Pajitex. Ia mengatakan perusahaan dikejar target. Agung tidak menghiraukan tuntutan warga. Alhasil, pabrik pun tetap beroperasi.
Selang beberapa hari, warga melancarkan aksi lanjutan. Pada 13 Juni 2021 warga desa membuat surat protes yang dialamatkan kepada PT Pajitex. Isi surat tersebut kurang lebih bernada kecaman atas pencemaran yang dilakukan oleh perusahaan sejak 2006. Warga juga menggalang dukungan dalam bentuk tanda tangan. Hasilnya sebanyak 156 orang warga Desa Watusalam RT 13 dan 14 RW 07 ikut menandatangani surat protes.
Tiga hari setelahnya, tepatnya 16 Juni 2021, dua orang warga mendapat panggilan pemeriksaan oleh Polres Kota Pekalongan. Muhammad Abdul Afif dan Kurohman dikenakan tuduhan pengrusakan terhadap barang milik perusahaan. Pasal yang dikenakan nomor 170 KUH Pidana.
Di waktu yang berbeda, kami juga menemui seseorang warga bernama Sohib untuk mendengar tanggapannya tentang gerakan warga RT 13 dan 14 RW 07. Sohib membenarkan, bahwa dirinya pernah diundang untuk menghadiri istigasah bersama. Dalam pertemuan dengan kami, ia mengklarifikasi bahwa dirinya tidak mendukung perusahaan. Namun, ada hal yang ia sangsikan mengenai tuntutan pemberhentian mesin boiler.
“Memang mereka pernah sampai kesini untuk menetralisir narasi penutupan pabrik dan akhirnya mereka mengundang saya istighosah. Isunya di luar memang seperti itu (penutupan pabrik), saya menganggap berhentinya cerobong berarti berhenti pabrik,”.[10]
Sohib, warga Desa Watusalam.
Menurut Sohib, solusi yang memungkinkan adalah menggeser cerobong asap lebih dekat ke area belakang pabrik; lebih dekat dengan kawasan pemukiman RT 15 dan 16 RW 08 Desa Watusalam. Usulan ini rupanya pernah diajukan pada Februari 2022. Mayoritas warga dari dua RT tersebut sepakat. Terlebih, pihak perusahaan juga berjanji nantinya cerobong asap yang baru akan lebih ramah lingkungan.
Selain penguatan melalui gerakan kultural keagamaan, warga Desa Watusalam tetap mengupayakan kedua warga yang dikriminalisasi untuk dibebaskan. Bersama tim advokasi, warga mengajukan penangguhan penahanan kepada pihak Polres Kota Pekalongan. Langkah ini juga diikuti dengan menyerahkan kurang lebih 30 surat permohonan penahanan yang dibuat oleh tersangka, keluarga tersangka, warga desa korban pencemaran, dan aktivis lingkungan, serta masyarakat umum yang mengetahui kasus pencemaran lingkungan PT Pajitex. Sayangnya, penyidik mengatakan bahwa kasus kriminalisasi kedua warga Desa Watusalam telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Pekalongan.
Mendengar pernyataan penyidik, pada esok harinya, warga Desa Watusalam kembali menggelar aksi massa. Kali ini, aksi ditujukan ke gedung Kejari Kabupaten Pekalongan. Selain aksi massa, warga juga menyerahkan surat penangguhan penahanan yang dikumpulkan dari 406 orang kepada Kejari Kabupaten Pekalongan. Berkas dari ratusan nama ini berisikan jaminan atas kriminalisasi yang dialami oleh Muhammad Abdul Afif dan Kurohman.
Selang satu hari setelahnya, berkas perkara Muhammad Abdul Afif dan Kurohman dilimpahkan ke PN Pekalongan, karena berkas telah dianggap lengkap atau P21. Sebagai bentuk solidaritas, dua hari setelah pelimpahan berkas, warga menggelar aksi demonstrasi di depan gedung Kejari Kabupaten Pekalongan. Empat hari setelah aksi, warga kembali mendatangi PN Pekalongan untuk menyerahkan dokumen surat penangguhan yang dikumpulkan dari 428 orang. Namun, proses hukum Muhammad Abdul Afif dan Kurohman tetap berjalan hingga keduanya resmi menjalani sidang di pengadilan pada 27 Oktober 2021.
Di tengah proses kriminalisasi, warga melakukan penguatan politik kembali dengan menyelenggarakan diskusi publik melalui siaran zoom.[11] Diskusi ini merupakan bentuk respons atas kasus kriminalisasi yang dialami oleh Muhammad Abdul Afif dan Kurohman. Selain penguatan politik di tingkat desa, warga juga melaporkan pejabat publik yang diduga melakukan penyalahgunaan kekuasaan dalam proses kriminalisasi kedua warga desa.[12] Proses pelaporan hukum tersebut tidak terlepas dari temuan tim advokasi dan warga. Terdapat dua poin penting menjadi sorotan utama dalam pelaporan hukum tersebut. Pertama, peran Penuntut Umum (PU) dalam memberikan iming-iming proses penyelesaian perkara yang dilakukan dengan cepat.
Kedua, PU juga meminta agar terdakwa dapat dipertemukan dengan istri dari salah seorang terdakwa. Sedangkan, akses untuk bertemu dengan kedua terdakwa tidak pernah bisa diperoleh oleh jaringan tim advokasi pihak warga. Aparat kepolisian selalu berkilah dengan mengatakan situasi sedang masa penyebaran Covid-19. Ketiga, ada upaya dari PU untuk mengintimidasi keluarga atau terdakwa dengan ancaman tuntutan hukuman yang lebih tinggi, apabila kedua orang terdakwa menggunakan penasihat hukum.[13]
Di tengah keretakan gerakan, warga Desa Watusalam bersama tim advokasi masih kembali mengupayakan perjuangan lingkungan. Pada 6 Januari 2022, warga Desa Watusalam bersama warga Sukoharjo yang berkasus dengan PT Rayon Utama Makmur (RUM) melakukan pelaporan mengenai pencemaran lingkungan ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Gakkum), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Jakarta.[14]
Eskalasi Perlawanan Warga
Gerakan perlawan semakin memuncak. Momentumnya, ketika kedua warga yakni Muhammad Abdul Afif dan Kurohman dikriminalisasi dan dilaporkan melalui pemberitaan media. Selain itu, keterlibatan organisasi NGO pada kasus PT Pajitex berkontribusi terhadap eskalasi perlawanan warga. Penelusuran informasi dimulai pada 21 Juni 2021, ketika itu warga membuat laporan kepada Walhi Semarang. Dua laporan diserahkan oleh warga.
Pertama, laporan berisi kronologi kasus pencemaran yang telah dilakukan oleh PT Pajitex sejak tahun 2006. Kedua, laporan mengenai kasus kriminalisasi yang dialami oleh dua orang warga. Walhi kemudian menggandeng Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang untuk terlibat pada penanganan kasus pidana yang menyeret kedua warga tersebut.
Iqbal Alma Al-Thofani, yang merupakan salah seorang tim advokasi warga desa RT 13 dan 14 RW 07 menuturkan bahwa dua orang warga Desa Watusalam pernah menemui mereka, yakni Muhammad Abdul Afif dan Gunawan. Kedua orang ini menceritakan kronologi kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan PT Pajitex. Di tengah obrolan bersama, kedua orang tersebut memberikan informasi terakhir tentang kasus kriminalisasi.
“Awalnya ngobrol pencemaran, terakhir ada obrolan yang jadi tersangka. Ini bahaya! Walhi kemudian meminta bantuan LBH. Kita masuk pascapenetapan tersangka. Kita terakhir setelah pemecahan kaca. Walhi kemudian secara resmi mulai masuk 2021, dan mulai mengurutkan sejarah kasus sejak tahun 2006,”
Iqbal, Walhi Jawa Tengah.
Di hari yang lain kami juga menemui Niko yang merupakan salah seorang pendamping hukum dari LBH Semarang. Niko menceritakan awal mulai terlibat di dalam penanganan kasus PT Pajitex. Ia terheran-heran dengan kedatangan warga. Lantaran, menurutnya, hampir semua dokumen yang dibutuhkan untuk pendampingan hukum terdokumentasi dengan baik. Cerita Niko,
“Bahkan mereka punya rekaman yang lengkap dengan disertai beberapa bukti, seperti rekaman warga selama kasus pencemaran berlangsung. Mereka mengumpulkan sendiri. Dan dokumen yang diberikan juga sudah tebal, tanda tangan surat protes juga kita terima dengan data yang sudah cukup lengkap”.
Niko, LBH Semarang.
Setelah dokumen diterima Walhi dan LBH Semarang, mereka memutuskan untuk terlibat di dalam penanganan kasus. LBH Semarang menangani kasus pidana, sementara Walhi Semarang mendampingi gugatan lingkungan. Secara resmi penangan kasus PT Pajitex diterima pada 7 Juli 2021.
Setelah permintaan pendampingan kepada LBH Semarang dan Walhi, warga kembali melayangkan surat protes kepada PT Pajitex. Isi surat terbagi dalam tiga halaman. Secara garis besar terdapat tiga poin keluhan yang dilayangkan. Pertama, mengenai protes warga terhadap polusi udara berbentuk asap hitam-pekat disertai debu kerikil sisa pembakaran batu bara. Kedua, mengenai limbah kimia cair hasil pencelupan dari pewarnaan benang yang kerap kali berwarna hitam kecoklatan. Air limbah ini mengalir melintasi Desa Kertoharjo hingga bermuara di sungai Kupang. Tidak hanya mengalir, bahkan air limbah juga meresap ke dalam sumur bawah tanah milik warga Desa Kertoharjo. Ketiga, mengenai suara bising yang dihasilkan dari dari aktivitas mesin boiler yang mencapai tingkat 80 decimal bit (dB).
Tiga keluhan yang dilayangkan oleh warga menghasilkan tiga tuntutan. Pertama, relokasi pabrik PT Pajitex ke kawasan industri di Kabupaten Pekalongan. Kedua, menghentikan segala kegiatan operasional pabrik PT Pajitex, sebelum dilakukan perbaikan sarana prasarana pencemaran lingkungan. Ketiga, warga menuntut perusahaan untuk menghilangkan segala jenis-jenis pencemaran lingkungan yang telah dilakukan.
Selanjutnya, warga mengirimkan surat protes kepada beberapa lembaga pemerintahan, yakni: Gubernur Jawa Tengah, Kapolda Jawa Tengah, Ombudsman RI, Walhi Jateng, Bupati Kabupaten Pekalongan, Ketua DPRD Kabupaten Pekalongan, DPMPTSP Kabupaten Pekalongan, Kodim Kabupaten Pekalongan, Kapolres Kota Pekalongan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pekalongan, Pispermasde Kabupaten Pekalongan, Koramil Buaran, Kapolsek Buaran, Camat Buaran, Kades Watusalam, Ketua RT 13 desa, dan terakhir Ketua RT 14 Desa Watusalam.
Selang dua hari setelah surat protes, dua orang warga RT 13 RW 07 lainnya, yakni Rama dan Kasturi dipanggil oleh kepolisian. Kedua warga diminta menjadi saksi atas tindakan perusakan kaca yang terjadi pada 3 Juni 2021. Selang beberapa hari kemudian, status Muhammad Abdul Afif dan Kurohman ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka kedua orang tersebut terhitung cepat. Pasalnya, pihak kepolisian hanya memerlukan 27 hari untuk menaikkan status perkara kedua warga Desa Watusalam menjadi tersangka.
Pada 2 Agustus 2021, Walhi Semarang bersama beberapa perwakilan warga melakukan audiensi.[15] Dua pokok persoalan menjadi pembahasan dalam audiensi tersebut. Pertama, mengenai pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Pajitex. Kedua, tentang kasus kriminalisasi yang dialami oleh warga.
Hasil audiensi menghasilkan dua keputusan. Pertama, PT Pajitex harus memperbaiki kerusakan lingkungan paling lambat sampai September 2021. Kedua, kasus kriminalisasi diselesaikan dengan mekanisme mediasi. Pemkab memerintahkan Datuk Ibrani sebagai perwakilan Pemkab Pekalongan dan Gunawan yang merupakan pihak pendamping warga, untuk mengurus proses penyelesaian kasus kriminalisasi melalui mediasi. Namun, proses ini tidak membuahkan hasil. Kasus pidana terhadap kedua warga Desa Watusalam tetap dilanjutkan melalui mekanisme hukum.
Sepuluh hari kemudian, pada 11 Agustus dan 12 Agustus 2021, warga Desa Watusalam mendatangi Polres Kota Pekalongan. Aksi ini merupakan bentuk solidaritas sekaligus mendesak agar proses kriminalisasi dua warga tersebut dihentikan. Dalam aksinya, warga mendapat pendampingan hukum dari Walhi dan LBH Semarang.
Selanjutnya, pada akhir Agustus, warga Desa Watusalam bersama Walhi dan LBH Semarang mendaftarkan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan. Upaya hukum tersebut dilakukan karena proses penetapan tersangka kepada Muhammad Abdul Afif dan Kurohman tidak melalui proses pemanggilan sebagai saksi dan disertai surat pemanggilan. Tim advokasi menilai penetapan tersangka menyalahi prosedur peraturan perundangan.[16] Selain itu, penetapan tersangka kepada dua orang warga tersebut merupakan bentuk pembungkaman terhadap pejuang lingkungan hidup atau yang dikatakan sebagai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).[17]
Setelah pendaftaran praperadilan, pada 23 September 2021 sidang praperadilan memasuki babak akhir. Agenda sidang tersebut adalah pembacaan putusan. Majelis hakim menolak permohonan warga Desa Watusalam. Dengan begitu, proses pengadilan dua warga Desa Watusalam tetap dilanjutkan melalui mekanisme pengadilan negeri.[Baca Selanjutnya]
[1] Tiga ormas ini dibuktikan dalam dokumen yang kami peroleh dari salah satu mantan buruh PT Pajitex. Kami tidak diperkenankan untuk meminta dokumen tersebut..
[2] Putusan Mahkama Agung. https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaec72b8141d7810a126313532353437.html, Diakses pada 28 April 2022. Pukul 00:02 WIB.
[3] Sanksi administratif tertuang dalam surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah bernomor 660.01/11004 menyatakan, PT Pajitex telah melanggar beberapa ketentuan tentang lingkungan hidup.
[4] Surat tersebut dibalaskan pada 23 Desember 2021 dengan nomor surat 0018/HR-LGL/XII/2021.. Pihak yang menandatangani bernama Hamzah Makky. Ia menjabat sebagai General Manager PT. Pajitex.
[5] Pengakuan warga desa Kertoharjo didokumentasikan pada September 2021 dengan nomor surat 0006/HR-LGL/PJI/IX/21.)
[6] Jatah pembuangan limbah PT Pajitex mengacu pada dokumen perizinan yang diberikan Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan melalui dokumen izin Pembuangan Air Limbah Ke Air bernomor 658.31/06/DPMPTSPNAKER/IPLC/XI/2018.)
[7] DLHK dan Perkim Kabupaten Pekalongan melakukan pengawasan pada dua hari yang berbeda. Pemeriksaan pertama dilakukan pada 9 September 2021, dengan hasil 226,3 m3 per hari. Kedua, dilakukan 3 November 2021, dengan hasil 255 m3 per hari.
[8] Pokok persoalan warga termaktub dalam surat yang disampaikan pada 9 Maret 2021 ke PT Pajitex
[9] Ibid.
[10] Sebagai bentuk respons atas kriminalisasi yang terjadi, warga menggelar Istigasah bersama sebagai upaya penguatan gerakan politik di tingkat warga. Selain penguatan gerakan, acara tersebut juga sebagai media untuk membuka ruang partisipasi dan mendengar pendapat dari masing-masing kelompok warga yang saling berseteru. Salah seorang tokoh masyarakat dari RT 16 RW 07 yang dianggap mendukung pencemaran lingkungan bernama Sohib turut diundang.
[11] Tema diskusi berjudul “Antara Teori dan Realita Pejuang Lingkungan Tidak Bisa Dituntut Secara Pidana dan Digugat Secara Perdata”. Tim advokasi dan bersama warga Desa Watusalam mengadakan diskusi publik melalui siaran zoom pada 1 November 2021tentang bahaya penggunaan material batu bara terhadap kelestarian lingkungan. Diskusi ini merupakan bentuk respons atas kasus kriminalisasi yang dialami oleh Muhammad Abdul Afif dan Kurohman. Beberapa jaringan akademisi juga dilibatkan yang mewakili bidang studi mereka masing-masing, seperti: Dr. Muhammad Sofian, S.H, M.H, yang merupakan tenaga pengajar dari Binus University juga seorang ahli Hukum bagian Pidana. Kemudian, I Gusti Agung Made Wardana seorang akademisi dari Universitas Gadjah Mada dan Yuyun Ismawati Drwiega yang merupakan seorang ahli toxicologi dari lembaga Nexus Three Foundation.
[12] Pada 5 November 2021, warga Desa Watusalam bersama Penasehat Hukum (PH) melaporkan beberapa nama penegak hukum yang dinilai melakukan penyalahgunaan kekuasaan pada proses kriminalisasi kedua warga desa kepada Propam Polda Jawa Tengah. Beberapa nama yang dilaporkan antara lain: Kasat Reskrim Polres Pekalongan, Ajun Komisaris Polisi Achmad Sugeng, S.H., M.H, dan Penyidik Reskrim Polres Pekalongan, Inspektur Dua Nurwandi, S.H kepada. Selain daftar nama aparat kepolisian yang dilaporkan, warga juga juga melaporkan beberapa nama dari institusi pengadilan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi daerah Jawa Tengah, yakni: Jaksa Penuntut umum, Kasipidum Beni Agus Setiawan, S.H. dan Jaksa Novi Rizka Permatasari, S.H., M.H. Penuntut Umum.
[13] WALHI Jawa Tengah. “Siaran Pers: Warga Bersama Tim Advokasi Melawan Pencemaran Lingkungan Pekalongan”. https://www.instagram.com/p/CV43l-GA-aR/, diakses pada 28 April 2022. Pukul 00:02 WIB.
[14] WALHI.or.id. “Bertahun-tahun Menjadi Korban Pencemaran Lingkungan, Warga Sukoharjo dan Pekalongan Laporkan PT Rum dan PT Pajitex sebagai Korporasi Pencemar Lingkungan Kepada KLHK, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan”. https://www.walhi.or.id/bertahun-tahun-menjadi-korban-pencemaran-lingkungan-warga-sukoharjo-dan-pekalongan-laporkan-pt-rum-dan-pt-pajitex-sebagai-korporasi-pencemar-lingkungan-kepada-klhk-komnas-ham-dan-komnas-perempuan; https://www.solopos.com/geruduk-kantor-klhk-warga-pekalongan-adukan-pabrik-sarung-cap-mangga-1231274, diakses pada 27 April 2022. Pukul 19:02 WIB.
[15] Audiensi dilakukan dengan Pemerintah Kabupaten Pekalongan (Pemkab Pekalongan), Diperkim LH, Camat Buaran, dan Kades Watusalam, serta perwakilan manajemen PT Pajitex, bernama Hamzah.
[16] Penetapan tersangka tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No 6 Tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana, dan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[17] Dalam pasal 66 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatakan bahwa “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.“