MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Gerakan Buruh dan Hak Atas Air


Pengantar

Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup. Mendapat air bersih dan sehat, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Resolusi 64/292 Majelis Umum PBB menyebutkan bahwa hak atas air dan sanitasi yang bersih adalah bagian dari Hak Asasi Manusia; dan merupakan salah satu komponen penting bagi keberlanjutan hidup serta hak hidup manusia (Harkrisnowo, 2012). Pendeknya, hak atas air merupakan prasyarat terealisasinya hak dasar lainnya dan termasuk sebagai hak yang tak dapat dikurangi (non-derogable rights) (Harkrisnowo 2012).[1]

Pada 28 Juli 2010, Resolusi 64/292 Majelis Umum PBB menyebutkan, negara wajib melaksanakan pemenuhan hak terhadap air dan sanitasi yang layak beserta instrumen kelembagaan dan kebijakannya (Harkrisnowo 2012). Kewajiban tersebut meliputi pemenuhan hak, penyediaan layanan, pemberian akses termasuk pemulihan yang efektif terhadap pelanggaran hak atas air pada warga negara. Negara juga dimandatkan untuk menjamin bahwa penyedia jasa layanan swasta harus memenuhi tanggung jawab hak asasi manusia di seluruh proses kerja mereka (Harkrisnowo 2012). Ringkasnya, baik negara maupun sektor swasta ketika melaksanakan pemenuhan hak atas air, memiliki tanggung jawab etis agar tidak melakukan perusakan dan pelanggaran hak asasi manusia (do no harm principles) (Terre 2020).

Hanya saja, menguatnya paradigma neoliberal maka hak dan akses warga negara atas air yang bersih dan sehat terabaikan. Kebijakan neoliberal terlihat dalam meluasnya praktik privatisasi air serta kelalaian negara untuk memastikan ketersediaan air bagi setiap warga negara. Akibatnya, ketersediaan air bersih, terutama bagi kelompok marjinal semakin memburuk.

Didasarkan pada wawancara, observasi, diskusi kelompok terarah dan survei terbatas pada sejumlah buruh di Kota Tangerang, Jakarta, Kota Bandung, Kota dan Kabupaten Bekasi, tulisan ini berupaya untuk menyingkap situasi dan kondisi pemenuhan kebutuhan air bagi buruh dan keluarganya; bagaimana akses dan kualitas air yang didapatkan; bagaimana kebijakan upah buruh, serta privatisasi air. Bagian akhir dari tulisan ini merefleksikan beragam strategi yang dapat diperjuangkan oleh serikat buruh berkaitan dengan pemenuhan hak atas air.

Air Sumber Kehidupan

Kebutuhan buruh terhadap air bergantung pada keragaman aktivitas, frekuensi, serta jumlah keluarga yang ditanggung. Berdasarkan diskusi kelompok terarah, kebutuhan buruh atas air dapat dikategorikan sebagai berikut:

Hanya saja, kebutuhan buruh terhadap air tidak tecermin dalam perhitungan upah minimum, sebagaimana yang direpresentasikan oleh Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Pada awalnya, kebutuhan untuk air minum tidak dicantumkan dalam Komponen Kebutuhan Hidup Layak yang tertuang dalam Permenaker No 13 Tahun 2012 dan Nomor 21 tahun 2016. Dalam Permenaker tersebut, kebutuhan air minum tidak tercantum. Sedangkan yang tercantum adalah kebutuhan air bersih hanya sebanyak 2 meter kubik sebulan. Melalui perjuangan serikat buruh, komponen kebutuhan air bersih dimasukkan dalam Permenaker Nomor 18 Tahun 2020. Komponen KHL Tahun 2020 pun hanya menambah volume air bersih sebesar 3,5 m3 per bulan; dan air minum sebanyak tiga galon per bulan atau sekitar 1,9 liter per hari.  

Volume air sebagaimana dicantumkan dalam KHL tersebut jauh di bawah kebutuhan riil seorang buruh atau keluarga buruh. Sebagai ilustrasi, seorang buruh –apalagi buruh yang berada lingkungan yang panas, padat, dengan intensitas kerja yang tinggi—membutuhkan setidaknya 2-2,8 liter air minum per hari. Ilmu kesehatan pun menyarankan bahwa idealnya setiap orang mengonsumsi air bersih 2 liter per hari.

Kekurangan asupan air minum bagi para buruh dapat menyebabkan penurunan kesehatan dan beresiko pada keselamatan kerja. Karena itu, buruh mesti menanggung sendiri untuk dapat menutupi selisih antara kebutuhan riil dengan biaya yang direpresentasikan di dalam komponen KHL. Kondisi semacam ini semakin berat, terutama pada keluarga buruh yang memiliki banyak tanggungan anggota keluarga atau mereka yang bekerja dengan upah di bawah minimum. Karena itu, dapat dikatakan bahwa terdapat kegagalan negara dalam merumuskan kebutuhan minimum hak atas air bagi seorang buruh atau keluarga buruh.

Sulit, Mahal dan Kualitas Buruk

Buruh kesulitan mendapat air bersih. Survei KRuHA (2020) di Jakarta, Bandung, Bekasi dan Tangerang menunjukan bahwa 56,25 persen responden mendapat air dengan cara berlangganan dari PDAM, sekitar 43,75 persen menggunakan sumur tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Meski demikian, seluruh responden baik yang menggunakan air sumur dan PDAM, sebanyak 46,87 persen harus membeli air pikulan, air kemasan atau galon untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.

Meskipun buruh dan keluarga buruh bisa mendapatkan akses air melalui perusahaan air minum, namun bukan jaminan bahwa seluruh keluarga buruh dan warga negara dapat mengakses air yang layak secara mudah dan murah. Sebagai ilustrasi, hanya 25 persen warga Jakarta yang dapat mengakses air minum layak (KRuHa, 2021), sementara di Tangerang hanya sekitar 11,21 persen warga yang mendapatkan akses terhadap air minum yang layak.[2] Di sisi lain, tarif air mengalami kenaikan. Tarif air telah naik sampai 227 persen sejak 2005, utamanya pada masa ketika swastanisasi atau privatisasi pengelolaan air semakin menguat (KRuHa 2021). Sebagai contoh, pada 2020 harga air untuk rumah tangga Rp 14.500 per meter kubik melonjak dari Rp 7000 per meter kubik. Per 2021, di Kota Bekaksi PDAM Tirta Baghasasi menaikan harga air minimum sebesar 18-20 persen dari dari tarif sebelumnya.[3] Kenaikan tarif air ini tentu saja semakin menyulitkan kehidupan buruh.

Selain sulit dan mahal, di wilayah-wilayah padat industri, kualitas air yang bersih dan sehat merupakan masalah serius. Pembangunan kawasan industri yang massif di suatu wilayah sering mengakibatkan hilangnya daerah resapan air serta merosotnya daya dukung serta daya tampung sungai. Selain itu, pembuangan limbah industri secara serampangan serta buruknya instalasi pipa dari perusahaan air minum mengakibatkan pencemaran air tanah. Di Jakarta, misalnya, 94 persen air tanah Jakarta mengandung bakteri Escherichia coli (KRuHA 2021). Sementara, Laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2015) menyebutkan bahwa hampir 68 persen mutu air di 33 provinsi di Indonesia dalam status tercemar berat.[4]

Mendapat air dengan kualitas buruk merupakan pengalaman harian buruh. Buruh yang tinggal di kawasan industri, misalnya, melihat bahwa air cenderung kotor, cokelat dan berbau kurang sedap. Sementara buruh yang tinggal di pemukiman sekitar pantai, air cenderung terasa payau, bahkan asin, dan membuat buruh mengalami sakit kulit. Sementara bagi para buruh yang mendiami kontrakan, pada pagi dan sore hari atau hari minggu dan hari libur, air biasanya tidak mengalir atau hanya mengalir dalam volume sedikit. Akibatnya, buruh mesti mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk mendapatkan akses atas air yang sehat dan bersih dengan cara membeli air pikulan atau membeli air galon.

Bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari buruh mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Di pabrik, utamanya di kawasan industri, fasilitas air bersih dan sehat juga susah didapat. Malahan, seringkali terdapat diskriminasi: pada buruh di level manajer menengah dan ke atas, ketersedian air bersih, air minum dan fasilitas toilet jauh lebih baik ketimbang buruh level operator atau pekerja bawahan. Women Research Institute (2008) melaporkan:

Air kamar mandi dan toilet buruh nyaris tidak bisa dipakai untuk membasuh wajah atau membersihkan tubuh karena berbau busuk dan kotor. Fasilitas tersebut akan “dibenahi” jika wakil perusahaan pemberi kontrak kerja mendatangi perusahaan penerima kontrak kerja. Selain mengambil produk, wakil perusahaan tersebut juga akan memeriksa apakah semua fasilitas umum untuk buruh telah memenuhi standar baku. Karena tidak ingin kehilangan kontrak kerja, perusahaan penerima kontrak kerja tentu akan membenahi atau membersihkan fasilitas umum itu. Namun demikian, buruh perempuan tetap tidak dapat memanfaatkannya. Setiap hari mereka harus membawa minimal satu liter air botol untuk dipergunakan membersihkan tubuh masing-masing” (hlm. 16).

Toilet-toilet untuk buruh, misalnya, senantiasa menyebarkan aroma tidak sedap. Bercak-bercak kehitaman menghiasi dinding kamar kecil dan bak mandi. Air di kamar mandi dan toilet berwarna kecoklatan, berbau, dan berlendir. Keadaan tersebut akan berubah seratus delapan puluh derajat bila perusahaan kedatangan tamu “penting”. Buruh menyebut mereka buyer. Sebelum buyer datang berkunjung, perusahaan tergopoh-gopoh membenahi semua fasilitas untuk buruh. Ruang kamar mandi dan toilet dibersihkan dan air di kedua fasilitas itu pun kelihatan lebih bening” (hlm. 77).

“Air di kamar kecil dan toilet untuk staf relatif bening karena menggunakan sumber air PAM…Buruh memakai air yang bersumber dari wadah penampungan kotor… mereka dilarang keras mencicipi air bersih dari PAM yang khusus diperuntukkan bagi staf dan manajer perusahaan” (hlm. 79).

Laporan Women Research Institute tersebut juga menyoroti konsekuensi kesehatan yang dialami oleh buruh perempuan. Karena fasilitas buruk dan air yang kotor, banyak buruh perempuan yang mengalami keputihan dan gatal-gatal di sekitar vagina yang diduga akibat membilas dengan air kotor setelah buang hajat. Dalam hal penyediaan air minum di pabrik, para buruh juga kerap mengeluhkan kualitas air galon isi ulang yang buruk atau bahkan pembatasan penyediaan air minum. Jika jumlah penyediaan air minum yang ditentukan oleh perusahaan telah mencapai batas maka pengusaha sering menghentikan penyediaan atau menunda penyediaan air minum dalam jangka waktu yang lama. Kondisi semacam ini seringkali membuat buruh terpaksa harus membeli sendiri air kemasan. Beberapa kasus bahkan mencatat tidak adanya fasilitas air minum yang layak di beberapa pabrik yang membuat pekerja perempuan yang hamil harus berusaha lebih keras dalam mempertahankan kesehatan janinnya. Mereka terpaksa meminum air rebusan dari kaleng besar yang biasanya digunakan untuk memanaskan setrikaan.[5]

Upah Kecil, Pengeluaran Besar

Dalam satu diskusi kelompok terarah di Bekasi, Jawa Barat, (Catatan KRuHA, 2021), seorang buruh bercerita. Ia menerima upah Rp 4,8 juta per bulan. Sekitar Rp 600 ribu habis untuk membeli air. Angka tersebut setara dengan 12 persen dari total upah yang diterima. Sementara, di Tangerang, sekitar 15 persen dari upah yang diterima habis untuk membeli kebutuhan air. Sementara, catatan seorang jurnalis bernama Zaki Yamani (2019) tentang proporsi konsumsi air di kalangan buruh yang berupah rendah di Bandung memberikan gambaran lebih buruk:

Seorang warga bernama Sumiyati adalah buruh kontrak perusahaan konfeksi, gajinya Rp 600 ribu per bulan ditambah uang transportasi Rp 5 ribu per hari. Jadi penghasilan bulanannya Rp 750 ribu. Dia memiliki suami yang sama sekali tak berpenghasilan dan seorang anak perempuan. Biaya rutin yang harus dia keluarkan untuk air (termasuk minum, masak, mandi dan mencuci) rata-rata Rp 150 ribu (1.500 liter/bulan) dan biaya listrik Rp 90 ribu. Dengan dua kebutuhan itu saja, gaji bulanannya sudah habis 32 persen, dan tinggal tersisa Rp 510 ribu, yang harus dia bagi dengan sangat hati-hati untuk membeli kebutuhan makan, membayar uang kontrakan rumah, membayar biaya sekolah anaknya, dan lain-lain. Bahkan demi menghemat anggaran, dia memilih jalan kaki ke tempat kerjanya sejauh 6 kilometer, dan tidak menggunakan uang Rp 5 ribu untuk transportasi.[6]

Survey KRuHA 2020 terhadap buruh yang memiliki upah rendah (antara Rp 1 juta hingga Rp 3,9 juta), 56 persen dari mereka menghabiskan sekitar 5-10 persen dari upah untuk memenuhi kebutuhan air. Sementara, 37 persen dari responden mengeluarkan hingga 11-30 persen. Malahan, terdapat 7 persen buruh membelanjakan lebih dari 30 persen upahnya hanya untuk memenuhi kebutuhan air. Sementara di kalangan buruh yang memiliki upah dengan kategori minimum (antara Rp 4 juta hingga Rp 6,9 juta), sebanyak 60 persen menggunakan 5 hingga 10 persen dari upahnya untuk membeli air, sedangkan 20 persen dari responden membelanjakan sebesar 11-30 persen, 20 persen responden menghabiskan 30 persen upahnya untuk kebutuhan air.

Pengeluaran buruh untuk memenuhi kebutuhan air tidak seimbang dengan jumlah upah yang diterima. Kenaikan tarif air pun tidak berbanding lurus dengan kenaikan upah buruh. Padahal, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2020 menyebutkan bahwa batas atas bagi masyarakat untuk membayar tarif air, tidak boleh lebih dari 4 persen pendapatan masyarakat atau upah minimumnya. Sementara, pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan menetapkan angka kenaikan Upah Minimum Provinsi hanya berkisar di angka 8 persen, mengikuti tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Hal yang sama terjadi pada Undang-Undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang membatasi kenaikan upah minimum provinsi dan menghapus upah minimum sektoral. Di masa Pandemi Covid-19, dengan menghitung kebutuhan air semakin tinggi sementara upah minimum stagnan maka kondisi kehidupan buruh akan semakin memburuk.

Mengeruk Keuntungan dari Bisnis Air

Tulisan ini mengungkap kegagalan negara dan korporasi memastikan ketersediaan air bersih, berkualitas dan terjangkau bagi buruh dan keluarganya. Terdapat banyak praktik yang dilakukan oleh negara dan korporasi yang mengakibatkan perusakan dan pencemaran sumber air. Bagi negara dan korporasi air hanya dinilai sebagai komoditas untuk meraup keuntungan. Padahal sebagaimana dimandatkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 85/PUU-XII/2013, air pada dasarnya adalah benda publik (res commune) yang merupakan barang milik bersama untuk hajat hidup bersama (commons), bagian dari hak asasi, dan karenanya, tidak dapat diperdagangkan dan tidak boleh menjadi subyek harga secara ekonomi.[7]

Praktik privatisasi pengelolaan air, misalnya, dimulai pada 1991, ketika Bank Dunia meminjamkan 92 juta dolar AS kepada PAM Jaya untuk memperbaiki infrastruktur air. Pada 1999, Bank Dunia kembali menggelontorkan pinjaman sebesar 300 juta dolar AS untuk mendorong kebijakan privatisasi air di Indonesia dalam bentuk Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL).[8] Setelah itu, privatisasi air terjadi di Serang Utara Banten pada 1993, kemudian di Batam pada 1996. Selanjutnya, per 1998, Suez Lyonnaise des Eaux dari Prancis dan Thames Water Inggris, mendapatkan konsesi pengelolaan menyediakan layanan air di Jakarta selama 25 tahun.[9] Akibat dorongan Bank Dunia, privatisasi layanan air semakin meluas. Sementara, praktik perusakan terhadap sumber air, yang dipicu oleh pembukaan skala besar industri perkebunan, kehutanan, pertambangan, kawasan industri dan proyek-proyek infrastruktur juga terus-menerus terjadi.

Riset Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada 1998-2000 memperlihatkan, setelah perluasan privatisasi air, kondisi pelayanan air semakin memburuk, tarif air semakin mahal, dengan kualitas air semakin buruk. Pada 1998, misalnya, konsentrasi detergen dalam air mencapai 1,12 mg per liter, sementara 1999 mengandung konsentrasi 0,17 mg per liter. Ini jauh di atas standar konsentrasi detergen dalam air yang mestinya 0,05 mg per liter. Malahan, sebelum privatisasi, konsentrasi detergen masih memenuhi standar seperti pada 1993 sebanyak 0,031 mg per liter dan 1994 mencapai 0,016 mg per liter.[10] Dengan masih dominannya praktik kebijakan yang menjadikan air sebagai barang dagangan dan air hanya sebagai penopang industri, menjadikan hak atas air yang sehat dan terjangkau semakin sulit. Buruh akan terus berhadapan dengan sulitnya mendapatkan air bersih dan sehat dan mengeluarkan biaya yang besar untuk konsumsi air bersih. Buruh terus-menerus mendapatkan fasilitas air yang buruk di dalam pabrik.

Merebut Hak Atas Air

Secara umum gerakan buruh lebih banyak terlibat dalam perjuangan menuntut hak-hak normatif seperti: hak upah layak, kompensasi yang adil, perlawanan pemutusan kerja, tunjangan hari raya, hak untuk cuti melahirkan dan lain sebagainya.

Tetapi, pada dasarnya, gerakan buruh memiliki legal standing dan peluang yang lebih luas dari sekedar bertumpu pada hak normatif atau perjuangan di ranah ruang produksi (pabrik). Gerakan buruh seyogyanya meluaskan perjuangan haknya di ranah reproduksi sosial yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Ruang reproduksi tidak pernah diakui oleh negara dan pemilik modal. Padahal jiwa dan raga buruh dapat bekerja dengan bugar dengan mental yang sehat ditopang oleh ruang reproduksi.  

Perjuangan tersebut, telah dijamin oleh Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 pada Pasal 8 angka 1 huruf a:

Negara-negara Peserta Perjanjian berusaha menjamin Hak setiap orang yang membuat serikat buruh dan menjamin anggota serikat buruh menurut pilihannya, hanya tunduk pada peraturan organisasi yang bersangkutan, demi promosi dan perlindungan bagi kepentingan ekonomi dan sosialnya. Tidak boleh dikenakan pembatasan-pembatasan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang diatur dengan undang-undang dan yang diperlukan dalam masyarakat demokrasi bagi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum atau demi perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain”    

Pasal di atas menunjukan bahwa perjuangan serikat buruh pada dasarnya bertujuan untuk melindungi dan memajukan kepentingan ekonomi dan sosial kaum buruh. Sehingga kepentingan ekonomi dan sosial buruh terbentang dari ruang produksi hingga reproduksi. Ringkasnya, serikat buruh dan gerakan buruh mestinya memperjuangkan ekonomi dan sosial kaum buruh, baik yang terkait dengan hak-hak di dalam pabrik maupun hak-hak di rumah, baik sebagai kelas buruh maupun sebagai warga negara.

Tidak dimungkiri, dalam kehidupan sehari-hari pun pimpinan-pimpinan dan aktivis-aktivis gerakan buruh sulit menghindari masalah buruh yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti perceraian, hutang-piutang, sakit, diusir dari kontrakan, kekurangan uang dan lain sebagainya. Para aktivis ini seringkali mengembangkan beragam inisiatif, strategi dan taktik yang jitu untuk menghadapi masalah-masalah harian kaum buruh. Hanya saja, inisiatif semacam itu kerapkali hanya bertumpu pada kepedulian dan inisiatif individual para aktivis buruh, belum menjadi bagian dari perjuangan institusional serikat dan gerakan buruh. Urusan kenaikan tarif listrik, akses atas air, hutang-piutang, kekerasan berbasis gender, masalah transportasi publik, akses atas pendidikan dan kesehatan, tampaknya belum menjadi perjuangan yang dominan bagi serikat dan gerakan buruh. Dalam beberapa kasus, urusan-urusan semacam itu dianggap sebagai masalah individu buruh atau dianggap sebagai masalah non-perburuhan.

Selama ini, advokasi buruh untuk hak atas upah layak juga masih banyak berfokus pada penambahan kuantitas atau kualitas komponen-komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Forum-forum pendidikan, pelatihan dan diskusi serikat buruh juga masih banyak didominasi dengan perbincangan mengenai hukum, aturan dan undang-undang yang berkaitan dengan upah yang layak, hak cuti, pesangon, kesehatan dan keselamatan kerja, jaminan kesehatan dan kekerasan di dalam pabrik. Berkaitan dengan akses atas air, perjuangan serikat buruh juga utamanya masih bertumpu pada perjuangan untuk mendapatkan fasilitas dan penyediaan air yang bersih dan layak di dalam perusahaan.

Saat ini, terdapat kebutuhan untuk lebih meluaskan arena dan ranah perjuangan kaum buruh, bukan hanya di ranah produksi atau di dalam pabrik semata, juga di ranah kehidupan sehari-hari. Bukan hanya perjuangan yang berkaitan dengan hak-hak normatif, tetapi meluas pada kepentingan sosial dan ekonomi buruh sebagai warga negara, sebagai manusia. Apalagi, pemberlakuan UU Cipta Kerja membuat peluang gerakan buruh untuk memperjuangkan hak-hak normatif semakin terbatas.

Ke depan, beragam taktik, strategi dan inisiatif mesti dikembangkan. Terutama berkaitan dengan meluaskan tuntutan perjuangan buruh yang berkaitan dengan kepentingan sosial dan ekonomi buruh dalam kehidupan sehari-hari, seperti masalah air, listrik, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Gerakan buruh mesti menuntut negara untuk memberikan subsidi atas kebutuhan air, listrik, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Dalam kaitannya dengan air, gerakan buruh juga mesti meluaskan perjuangannya untuk menuntut negara dan perusahaan atas praktik-praktik swastanisasi air dan perusakan sumber air yang memaksa buruh mengonsumsi air tercemar, bahkan beracun.

Di ranah produksi, di dalam pabrik, gerakan buruh mesti terus berjuang untuk mendapatkan upah yang layak dan beragam hak normatif lainnya. Dalam hal ini, perjuangan untuk memiliki Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menjamin hak normatif yang memadai sekaligus mendapatkan fasilitas kerja yang layak mesti terus dilanjutkan. Dalam hal fasilitas yang berkaitan dengan air, buruh mesti terus mendesakkan tuntutan untuk mendapatkan toilet yang bersih, air minum yang sehat, layak dengan ketersediaan yang memadai dan akses yang mudah.

Di dalam ranah kehidupan sehari-hari, para aktivis serikat buruh dapat mendorong warga menuntut akses atas air yang mudah, murah dan sehat. Terlebih, serikat buruh juga dapat merebut dan membangun pengelolaan air dengan membentuk koperasi-koperasi sebagaimana terjadi di Bolivia dan Peru. Di dua negara ini, serikat buruh melawan privatisasi air dengan cara membangun koalisi serikat buruh-warga dan warga untuk membentuk koperasi pengelolaan air (Spronk, 2009). Karena itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk pembentukan aliansi yang lebih luas dengan gerakan-gerakan sosial lainnya yang berjuang untuk pemenuhan kebutuhan dasar warga negara, gerakan lingkungan dan gerakan-gerakan alternatif lainnya yang berjuang untuk melawan kebijakan neoliberal.


[1] Judul awal tulisan ini dan diedarkan secara luas adalah Tinjauan Umum Hak Atas Air bagi Buruh.

[2]Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Tangerang Tahun 2019-2023. Tersedia online: <https://jdih.tangerangkab.go.id/apps/www/storage/document/PERDA%201%20TAHUN%202019%20LAMPIRAN%20BAB%20II.pdf>, diakses pada 1 Agustus 2021.

[3] Muhammad Azzam. Tarif PDAM Bhagasari akan Naik Mulai dari Rp 1.000-Rp 5.600 Per Kubik Pada Tahun 2021. Senin, 14 Desember 2020. Tersedia online: < https://wartakota.tribunnews.com/2020/12/14/tarif-pdam-bhagasari-akan-naik-mulai-dari-rp-1000-rp-5600-per-kubik-pada-tahun-2021?page=3>,  diakses pada 1 Agustus 2021

[4] Walhi Sulteng. Air Untuk Kemanusiaan Jangan di Privatisasi. 17 Maret 2018. Tersedia online: <http://walhisulteng.com/air-untuk-kemanusiaan-jangan-di-privatisasi/>, diakses pada 1 Agustus 2021.

[5] Triwahyuni. Kisah Buruh Perempuan di Tempat Kerja. 19 Desember 2015. Tersedia online: <https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20151219032825-277-99253/kisah-buruh-perempuan-di-tempat-kerja>, diakses pada 1 Agustus 2021

[6] Zaky Yamani. Bagaimana Akses Air Bersih Bisa Mengurangi Beban Hidup Masyarakat Kota. 6 November 2019. Tersedia online. <https://www.dw.com/id/bagaimana-akses-air-bersih-bisa-mengurangi-beban-hidup-masyarakat-kota/a-50883569>, diakses pada 1 Agustus 2021

[7] Seluruh UU SDA Dibatalkan MK. 18 Februari 2014 Tersedia online: https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10634>, diakses pada 3 Agustus 2021.

[8] Reja Hidayat. Menggugat Privatisasi Air di Indonesia. 29 Maret 2016. Tersedia online: https://tirto.id/menggugat-privatisasi-air-di-indonesia-v9n, diakses pada 3 Agustus 2021

[9] Walhi Sulteng. Air untuk Kemanusiaan Jangan diprivatisasi. 17 Maret 2018. Tersedia online: http://walhisulteng.com/air-untuk-kemanusiaan-jangan-di-privatisasi/, diakses pada 3 Agustus 2021.

[10] Op. cit.

Penulis

Hery Sofyan
Pelayan "Warung Boeng" Bekasi, Tinggal di Jakarta