MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Nikel Morowali: Mengubah Lanskap, Mengobrak-abrik Kehidupan (1)

Pesawat Wings Air mendaratkan rodanya di Bandar Udara Maleo Bumi Raya Kabupaten Morowali, pada Kamis, 17 November 2022 pukul 08.30 Waktu Indonesia Tengah. Sekitar setengah dari penumpang pesawat milik Lion Grup yang berangkat dari Makassar ini adalah warga negara dari Asia Timur. Dengan kulit putih, mata sipit serta rambut lurus, mereka adalah warga negara Tiongkok. 

Tenaga kerja dari Tiongkok beriringan dengan dibukanya investasi untuk perusahaan smelter berbasis nikel di kawasan industri IMIP (Indonesia Morowali Industrial Park) di Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali. Per Oktober 2022, jumlah TKA asal China di IMIP sekitar 4000 orang dari total 49.000 tenaga kerja (Kontan.co.id, 31/10/2022). Menuju lokasi tersebut diperlukan waktu sekitar lebih dua jam dari bandara Maleo, atau sekitar satu setengah jam dari pusat Kabupaten Morowali di Bungku.

Bukan hanya di Morowali, ekspansi besar-besaran industri pengolahan logam terutama nikel berlangsung di Sulawesi, terutama di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Di dua provinsi tersebut memiliki kawasan industri khusus untuk pengolahan biji nikel atau biasa disebut dengan smelter. IKIP (Indonesia Konawe Industrial Park) adalah kawasan industri pengolahan biji nikel (smelter nikel) di Konawe Sulawesi Tenggara yang sementara ini masih dalam pembangunan dan IMIP di Sulawesi Tengah.

Sejalan dengan pembangunan kawasan industri khusus untuk smelter seperti IMIP, pembangunan pabrik–pabrik pengolahan maupun perusahaan izin tambang nikel kemudian tumbuh di Morowali maupun Morowali Utara.

Dua puluh tahun lalu penduduk Morowali menyandarkan penghidupan dari pertanian, perkebunan dan nelayan. Kini mereka dikepung manufaktur tambang. Pemandangan dan obrolan sehari-hari berubah.

Pemandangan yang indah: perbukitan dan hutan yang berhadapan dengan pantai dan laut yang membiru, berubah. Pohon ditebang, bukit-bukit dikeruk dan digunduli, serta laut yang keruh kecoklatan dibarengi kehadiran kapal-kapal tongkang yang mondar-mandir mengangkut batubara dan ore. Yang terlihat adalah kotor dan berantakan.

Tidak hanya GNI, di Morowali Utara ada banyak perusahaan sejenis. Misalnya, PT COR Industri Indonesia ataupun SEI (Stardust Estate Investment) yang juga membangun pengolahan feronikel. Sepanjang jalan Trans Sulawesi bisa ditemui truk-truk besar pengangkut tanah dan alat berat yang mondar-mandir dari perbukitan ke arah pantai.

Jalan-jalan utama didominasi oleh warung-warung Sembako, warung makan dan penjual bensin eceran hingga kios BRILink. Di ibukota kecamatan ruko-ruko berderet menjadi kantor bank, ATM, dan penjualan jasa lainnya.

Di balik lanskap yang berubah di media massa lokal para jurnalis menurunkan berita konflik warga dengan pemilik perusahaan dan protes buruh terhadap perusahaan tambang. Kehadiran investasi memang seringkali memicu konflik yang rumit di masyarakat. Kerusakan lingkungan dan konflik agraria. Dari pencaplokan tanah oleh perusahaan sebelum izin resmi keluar hingga pembebasan ganti rugi tanah yang tidak sesuai. Dari konflik-konflik tersebut selalu saja terdengar aktor yang mengambil untung: pedagang tanah dan mafia tanah (Beritamorut.com, 27/8/2022).

Warga Desa Ululere Bungku Timur Morowali, misalnya. Tahun 2021 melakukan protes karena merasa dibohongi oleh PT BNB (Bumi Nickel Bungku) yang ingkar janji. PT BNB berjanji memberikan ganti rugi tanaman pertanian yang rusak akibat kegiatan tambang. Tanaman merica warga rusak akibat debu dan getaran aktivitas tambang dan lalu lalang truk besar.

Kasus lain adalah adalah konflik antara warga dengan PT BCMP (Bima Cakra Perkasa Mineralindo). Di kasus tersebut, Bupati Morowali Taslim turun tangan dan mengirimkan surat ‘ancaman’ agar perusahaan menghentikan aktivitas penambangan jika tidak memenuhi hak-hak warga. IU-OP (Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi) PT BCMP juga terancam dicabut jika tidak memenuhi peringatan tersebut.

Konflik juga terjadi antara warga dengan PT BTIIG (Baoshoa Taman Industry Investment Grup) di Bungku Barat Morowali. PT BTIIG adalah salah satu perusahaan pengolahan nikel terbesar di luar Kawasan IMIP. Kabarnya izin BTIIG sampai sekarang belum rampung, namun perusahaan telah beroperasi.

Ada cerita lain. Di Desa Sampeantaba, Kecamatan Witaponda Morowali seorang petani ladang bertutur. Upayanya membangun kelompok tani harus ‘layu sebelum berkembang’. Pangkal soalnya, kelompok tani ditinggalkan beberapa anggotanya. Sebagian memilih meninggalkan pekerjaan di pertanian dan tertarik dengan gemerlap industri tambang. Mereka mencoba peruntungan dengan bekerja di IMIP atau membuka warung makan di sekitar IMIP.

Tuturan lain datang dari keluarga buruh di perkebunan sawit PT ANA (Agro Nusa Abadi) di Morowali Utara, Bintang (bukan nama sebenarnya). Bintang telah bekerja di PT ANA selama 16 tahun, sebagai sopir mobil sawit di perusahaan milik PT AAL (Astra Agro Lestari). PT ANA adalah anak usaha dari PT ALL.

Bintang menceritakan, buruh-buruh mengundurkan diri sebagai buruh sawit dari PT ANA dan mencoba peruntungan di PT GNI (Gunbuster Nickel Industry), perusahaan pengolahan biji nikel besar di Morowali Utara.

Bintang juga berkisah. Salah satu anaknya baru menyelesaikan pendidikan sarjana di Yogyakarta, namun menunda kepulangan karena harus menyelesaikan kursus bahasa Mandarin. Keluarga Bintang berharap: kemampuan bahasa Mandarin anaknya akan menjadi nilai tambah saat melamar kerja di IMIP.

Ada kisah lain. Satu malam sepeda motor kami kehabisan bahan bakar di Morowali Utara. Seorang pengendara sepeda motor menawarkan kami tumpangan untuk mencari warung penjual bensin. Dalam perjalanan mencari warung terdekat kami berbincang.

Si pemberi tumpangan bercerita, kalau sedang perjalanan pulang dari IMIP untuk panggilan wawancara. Dia pulang ke daerah Kolonodale di Morowali Utara, sekitar 5 jam perjalanan dari Bahodopi. Sayang sekali, pemuda yang tidak diketahui namanya tersebut, tidak diterima bekerja karena SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) miliknya sudah lewat masa berlakunya. 

Sementara di Bahodopi, Fahru (bukan nama sebenarnya), yang bekerja sebagai operator loader PT IRNC di IMIP dipaksa menandatangani surat pengunduran diri atau resign oleh perusahaannya. Fahru dituduh melawan atasannya saat melakukan protes terhadap buruknya kondisi kerja. Fahru harus menerima kenyataan. Setelah menandatangani surat pengunduran diri, Fahru hanya menerima uang pengganti cuti tahunan sebesar Rp1,8 juta. Padahal, ia bekerja sebagai buruh tetap sejak 2019. Mestinya, Fahru mendapat uang pisah, cuti tahunan, kompensasi sebesar lima kali upah bulanan, dan dua kali upah bulanan untuk penghargaan masa kerja. 

Lain cerita dengan Misbah (bukan nama sebenarnya), perantauan asal Sidrap Sulawesi Selatan. Ketika menjalani cuti dari pekerjaan di kampungnya, ia menerima surat dari perusahaan. Isi suratnya menyebutkan, kontrak kerja Misbah tidak diperpanjang.

Misbah awalnya bekerja di PT HCI sebagai buruh kontrak. Setelah 6 bulan, entah bagaimana dia dimutasi ke PT OSMI, padahal Misbah sama sekali tidak pernah menandatangani surat mutasi atau pindah kerja. Di OSMI Misbah pun bekerja sebagai buruh kontrak sebelum kemudian ‘surat pencabut penghidupan’ tersebut datang. Dua perusahaan tersebut sama-sama berada di kawasan IMIP.

Bukan hanya daya tarik tambang. Di Morowali ketimpangan penguasaan lahan telah membuat penduduknya tanpa penghasilan dan pekerjaan. Datangnya manufaktur nikel seolah memberi harapan baru. 

Penulis

Catur Widi
Peneliti Rasamala Hijau Indonesia