MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Omnibus Law Cipta Kerja: Sesajen bagi Pemodal

Buruh Perempuan Menolak RUU Cilaka. Foto: LIPS/Oza

Memerhatikan Bab IV bagian Ketenagakerjaan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang diajukan pemerintah ke DPR pada Februari lalu, terutama Naskah Akademis di bagian Martiks Analisisnya, mirip dengan Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Ketenagakerjaan, yang diterbitkan Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, pada 2018. Mirip pula dengan Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Nomor 2003, yang dibuat pada 2010 dan 2006. Tidak berbeda dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997. Intinya, mengesahkan praktik fleksibilisasi perekrutan dan pemecatan, kenaikan upah sesuai mekanisme pasar, jam kerja yang digenjot sesuai kepentingan produksi, dan hubungan kerja sekehendak pengusaha. Poin-poin utama tersebut telah diletakan pondasinya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Berbagai dokumen tersebut memiliki konteks yang berbeda dengan semangat yang sama: menderegulasi berbagai peraturan dengan melucuti semua hak dasar buruh. Bedanya, deregulasi di periode sebelumnya, menciptakan iklim investasi dengan merevisi atau mengeluarkan peraturan perundangan sektoral. Kali ini proses perubahan dilakukan lebih menyeluruh dan mencakup beragam isu. Melalui metode Omnibus pemerintah menyusun perundangan dengan menggabungkan, menyesuaikan, menghapus serta mengeluarkan peraturan baru yang memberikan dukungan, menjamin dan melindungi investasi dalam satu undang-undang. Bukan hanya perubahan peraturan dan rencana implementasinya, metodologi perubahan peraturannya pun ditujukan untuk menjamin dan melayani investasi.

Bab Ketenagakerjaan merupakan satu dari sebelas klaster Omnibus RUU Cipta Kerja. Sepuluh klaster lainnya mengatur tentang penyederhanaan izin dan kemudahan usaha, persyaratan investasi, kemudahan dan perlindungan usaha mikro kecil dan menengah, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, kemudahan proyek pemerintah dan kawasan ekonomi khusus. Semuanya terbagi dalam 15 Bab dengan 174 pasal dalam 1028 halaman. Naskah akademisnya dibagi menjadi 6 Bab dengan 1981 halaman termasuk Matriks Analisisnya.

Deregulasi merupakan satu dari tiga program penyesuaian struktural yang direkomendasikan oleh IMF (International Monetery Fund) kepada negara-negara berkembang, sejak akhir 1990. IMF dan lembaga-lembaga keuangan internasional mendorong dan memaksa program deregulasi dijalankan untuk menyelamatkan dan melindungi para pemodal internasional dari kebangkrutan.

[irp posts=”1816″ name=”Bagaimana IMF dan Grup Bank Dunia Merampas Hak Buruh?”]

Selain RUU Cipta Kerja, rancangan yang menempuh metode Omnibus lainnya adalah tentang Perpajakan, tentang Ibu Kota Negara dan Kefarmasian. Kecuali tentang Kefarmasian, ketiga RUU tersebut diusulkan pemerintah. Semuanya telah ditetapkan dalam program legislasi nasional prioritas 2020, pada 22 Januari.

[table id=25 /]

Pangkas dan gebuk

Gagasan Omnibus Law pertama kali dilontarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, pada 2016. Sofyan Djalil bertekad mengubah peraturan perundangan tentang kepemilikan kawasan hutan agar memberikan jaminan bagi investor dan perbankan. Sofyan Djalil kembali mengungkapkan metode Omnibus untuk mempermudah perizinan investasi pada 2017. Di dua periode tersebut berbagai perlawanan kaum tani terhadap proyek perampasan tanah sedang memuncak, seperti perlawanan Kendeng, Kulon Progo, Kertajati, Sukabumi dan lain-lain. Alas hak yang dipergunakan kaum tani untuk melawan di antaranya tentang perizinan, hak ulayat, dan status Amdal. Dalam konteks menyingkirkan perlawanan kaum tani mempertahankan haknya, metode Omnibus bergulir.

Meski berhasil dipangkas hak perundingannya dalam penetapan upah minimum oleh Peraturan Pemerintah 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, di aspek lain gerakan buruh masih menggondol kemenangan. Satu per satu, pasal-pasal yang merugikan hak buruh dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 di-judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Dari 22 permohonan judicial review, 11 di antaranya dikabulkan. Pasal-pasal tersebut dicabut kekuatan hukumnya atau diberi penegasan penafsiran. Kemenangan itu pula yang sedang diakali untuk dilumpuhkan melalui Omnibus.

Istilah Omnibus Law kembali dilontarkan oleh Joko Widodo saat Pidato Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024 dalam Sidang Paripurna MPR RI, Oktober 2019. Kala itu, Presiden Jokowi menyebut dua undang-undang yang akan menempuh Omnibus, yaitu Cipta Lapangan Kerja dan Pemberdayaan UMKM. Di kemudian hari, istilah keduanya digabung dalam satu RUU, yaitu Cipta Kerja.

Sebulan sebelum pidato, Jokowi bertemu dengan perwakilan Bank Dunia. Untuk kesekian kalinya, Bank Dunia menyarankan Pemerintah Indonesia melakukan reformasi peraturan perundangan, memberikan kepastian aturan kepada investor, menghapus surat rekomendasi dan tarif impor serta pemeriksaan pengiriman barang, menghapus pembatasan izin pekerja profesional, menghapus peraturan lama dan perizinan yang bertentangan dengan bisnis.

Setelah pidato Pelantikan, Pemerintahan Jokowi menyiapkan berbagai langkah untuk membuat RUU dengan metode Omnibus. Pemerintah memerintahkan BIN, Kepolisian dan Kejagung untuk menyosialisasikan Omnibus dan membentuk Satgas Omnibus. Rencananya, RUU akan selesai dalam 100 hari kerja. Di Jakarta, serikat-serikat buruh tingkat nasional diundang bertemu dengan Koordinator Kementerian Perekonomian untuk membahas RUU Cipta Lapangana Kerja. Di berbagai daerah serikat-serikat buruh diundang kepolisian daerah untuk mendengarkan penjelasan tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Sebelum diserahkan ke DPR, informasi tentang draf maupun naskah akademis Omnibus Cipta Lapangan Kerja, simpang siur. Di media sosial beredar draf dengan judul ‘Penciptaan Lapangan Kerja’. Ketimbang menyediakan informasi yang utuh, pemerintah hanya mengatakan bahwa draf tersebut hoaks. Kemudian pemerintah membentuk tim konsultasi dan koordinasi yang terdiri dari pemerintah, pengusaha dan serikat buruh. Ketika tulisan ini dibuat, beberapa serikat-serikat buruh yang disebut sebagai tim konsultasi dan koordinasi RUU Cipta Kerja, menarik diri dari tim.

Surat Presiden, naskah akademis dan RUU Cipta Kerja resmi diserahkan ke DPR pada 12 Februari. Pemerintah mendaku Draf Omnibus telah dibahas dengan 31 Kementerian dan lembaga serta mendapat persetujuan dari tujuh konfederasi dan 28 serikat buruh.

Pemerintah menyediakan informasi tentang RUU Cipta Kerja, pada 14 Februari. Itu pun setelah mendapat kritik dari berbagai kalangan bahwa perumusan RUU Cipta Kerja tidak demokratis dan melanggar prosedur penyusunan undang-undang.

Peristiwa-peristiwa seputar Omnibus RUU Cipta Kerja

[table id=26 /]

***

Pemerintah maupun DPR sesumbar bahwa RUU Cipta Kerja demi menciptakan lapangan kerja. Mereka pun membangun alasan tidak berdasar dengan mengatakan bahwa hak-hak buruh tidak akan berkurang: menjamin kenaikan upah minimum dengan menghilangkan penangguhan upah, mengatur upah per jam, memberikan jaminan kehilangan pekerjaan, memberikan kepastian kontrak, tidak merampas hak perempuan, tidak mengurangi nilai pesangon, dan menjamin ada bonus. Nyatanya, satu per satu hak buruh dipreteli dan para pengusaha diberi hak yang luas.

Pasal-pasal Bab Ketenagakerjaan yang diperkenalkan dalam RUU Cipta Kerja tidak lebih dari legitimasi dari praktik tidak adanya perlindungan terhadap calon-calon tenaga kerja; bentuknya adalah para makelar tenaga kerja, kemudahan para pengusaha memecat para buruh dengan berbagai modus, dan pengesahan hubungan kerja kontrak di berbagai lini produksi.

[irp posts=”1324″ name=”Upah Padat Karya: Pemasok Menang, Buyer Senang”]

Bab Ketenagakerjaan mengubah, menghapus dan menambahkan pasal baru dari tiga Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pasal-pasal yang dihapus dan disesuaikan sebanyak 55 pasal berkenaan dengan perekrutan tenaga kerja asing, jam kerja, hubungan kerja, pemborongan pekerjaan, pengaturan jumlah kompensasi, upah minimum, dan jaminan sosial. Pasal ketenagakerjaan dan jaminan sosial yang tidak disebut dalam RUU Cipta Kerja dianggap masih berlaku atau ‘wajib disesuaikan paling lama satu bulan’ sebagaimana dikatakan dalam Pasal 173b RUU Cipta Kerja.

Pendalaman Fleksibilisasi dalam RUU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan

[table id=27 /]

Keluar dari narasi Bank Dunia

Dua bulan terakhir, RUU Cipta Kerja paling banyak mendapat sorotan media massa maupun gerakan sosial. Penamaannya pun telah diplesetkan menjadi RUU Cilaka meskipun nama resminya telah diubah dari Cipta Lapangan Kerja menjadi Cipta Kerja. Beberapa kalangan telah menyatakan menolak RUU Cipta Kerja, bahkan serikat buruh sudah mengambil ancang-ancang untuk melaksanakan pemogokan demi membatalkan RUU Cipta Kerja.

Kalangan serikat buruh mengatakan, “Kami tidak antiinvestasi. Tapi investasi jangan merugikan hak pekerja.” Seandainya, RUU Cipta Kerja tidak menyinggung persoalan ketenagakerjaan, barangkali serikat buruh merasa tidak perlu protes meski RUU tersebut merampas hak nelayan, kaum tani dan merusak ruang ekologis. Untuk memperkuat dalil ‘perlindungan pekerja’, akan disodorkan data dari Bank Dunia, World Economic Forum atau lembaga pemeringkat investasi lainnya. Katanya, penghambat utama investasi bukan hal-hal yang berkaitan dengan pekerja tapi korupsi dan pungutan liar. Terlalu naif jika mengasumsikan ‘kehidupan pekerja’ semata demi upah minimum, status kerja tetap dan pesangon dan memisahkannya dari ruang ekologis. Seolah buruh tidak membutuhkan pasokan makanan dari kaum tani dan nelayan serta tidak membutuhkan tempat tinggal dengan sanitasi yang baik.

Katakan saja, klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. Tapi semua aspek kehidupan diserahkan pengelolaannya kepada investor. Seperti tanah, gunung dan kawasan hutan diubah fungsinya menjadi kawasan industri, perumahan mewah, perhotelan, pengerukan tambang, atau perkebunan sawit. Maka, keluarga buruh akan hidup di lorong-lorong sempit yang setiap tahun digenangi banjir atau sewaktu-waktu tempat tinggalnya akan digusur untuk dijadikan apartemen mewah.

Pengandaian bahwa pembukaan investasi seluas-luasnya akan menyelesaikan 7 juta angka pengangguran dengan angkatan kerja 2 juta per tahun, sulit mendapat pembenaran teoretis maupun praktis. Investasi-investasi skala besar di sektor perkebunan, kehutanan, dan mineral batu bara, justru telah menyingkirkan warga setempat dari sumber-sumber penghidupannya. Sementara investasi sektor manufaktur, jika tidak diawali dengan perampasan lahan, memilih mencaplok perusahaan yang telah beroperasi. Dengan diterapkannya sistem otomasi, intensifikasi kerja dan jam kerja yang panjang, serta hubungan kerja fleksibel, daya serap sektor manufaktur mengurangi pengangguran tidak dapat diandalkan. Banten dan Jawa Barat, misalnya. Dua wilayah tersebut telah membuka industri manufaktur sejak 30 tahun terakhir, tapi jumlah penganggurannya menempati urutan tertinggi di Indonesia. Tentu saja, rakyat membutuhkan pejabat negara yang bersih, birokrasi yang efisien dan peraturan yang adil. Tapi, semua itu, bukan dipersembahkan untuk para investor.

Bagian-bagian Umum RUU Cipta Kerja Berdampak Buruk bagi Semua Lapisan 

[table id=28 /]

Penulis

Syarif Arifin
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane