MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Pandemi ‘No Work No Pay’: Dua Tahun Covid-19 dan Setahun Cipta Kerja

Kerja, Kerja, Pecat

Hanya berselang beberapa hari setelah pengumuman bencana Covid-19, PT Woneel Midas Leather Tangerang, mengumumkan rencana merumahkan seluruh buruhnya tanpa diupah. Perusahaan pun hanya akan membayar 50 persen tunjangan hari raya (THR). Perusahaan pembuat sarung tangan untuk merek Mizuno, Wilson, Easton dan Wallmart ini mengaku kekurangan order akibat Covid-19.

Serikat buruh menolak tawaran perusahaan. Bagi serikat buruh, sebelum ada keputusan pengadilan tentang pengakhiran kerja, pengusaha wajib membayar hak-hak buruh. Upah dirumahkan dan THR adalah hak normatif. Hak yang melekat dan tidak dapat dinegosiasikan dengan alasan apapun. Lagi pula, semua orang pun mengetahui, PT Woneel Midas meresmikan pabrik di Gunung Kidul Jawa Tengah, pada 2019. Jika mampu membuka pabrik baru, tidak mungkin tidak mampu membayar upah.

Manajemen enggan memenuhi tuntutan buruh. Kemudian, menutup operasi pabrik pada Juli 2020. Semua buruh dipecat dengan kompensasi 30 persen dari 1 kali ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Ketika PSBB dan PPKM diberlakukan kalangan pengusaha mengumumkan sejumlah buruh yang dipecat dan dirumahkan. Angkanya pun jutaan. Hampir seluruh pengusaha mengaku usaha lesu karena wabah virus korona. Seolah kejadian pemecatan merupakan peristiwa yang muncul ketika Covid-19 menerpa. Tapi bukankah karakternya demikian: jika situasi ekonomi terguncang akan tampil sebagai pihak yang paling menderita; jika situasi membaik tidak akan berhenti menasehati agar hidup hemat dan bersyukur sambil memecat buruh.

Oktober 2020, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyebutkan lebih dari 6,4 juta buruh mengalami mengalami pemutusan hubungan kerja atau dirumahkan. Kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan Benny Soetrisno, keputusan mengurangi buruh karena perusahaan mengalami penurunan omzet selama pandemi virus Corona. Lanjut Benny, sektor yang paling banyak memecat buruh adalah tekstil sebanyak 2,1 juta orang, sektor transportasi darat 1,4 juta orang, sektor restoran 1 juta orang, sektor sepatu dan alas kaki 500.000 orang, sektor perhotelan 430.000 orang, sektor ritel 400.000 orang, serta sektor farmasi 200.000 orang.

Data Kemnaker menyebut angka pemecatan tahun 2020 lebih rendah dari klaim Kadin. Menurut Kemnaker pada 2020 jumlah orang yang dipecat mencapai 3,6 juta orang. Kemnaker pun memperhitungkan dari Januari- awal Agustus 2021, jumlah orang yang dipecat mencapai 538.305. Hingga akhir 2021 berjumlah 894.579 orang dipecat. Sementara jumlah buruh yang dirumahkan sebanyak 1.076.242 orang dan perusahaan yang berpotensi ditutup sebanyak 2.819 perusahaan.

Di gig ekonomi, pemecatan pun terjadi. Aplikator Gojek memecat 430 buruh, Grab memecat 360 buruh, Traveloka 100 buruh. Aplikator-aplikator tersebut memecat buruh karena melihat penurunan permintaan seperti fitur GoLife (GoMassage, GoClean, GoFood Festival). Selama wabah Covid-19, konsumen mengurangi kontak fisik.

Sebenarnya, sebelum Covid-19 diakui sebagai bencana nasional, industri pariwisata lebih dulu melihat gelagat penurunan permintaan. Kunjungan wisata, pemintaan hotel dan restoran dan perjalanan bisnis menurun sejak Januari 2020. Per Mei 2020, menurut Sekjen PHRI, sebanyak 8,1 juta orang yang bekerja di sektor pariwisata dirumahkan. Sekjen PHRI menyebutkan, buruh yang dirumahkan hanya menerima 25-50 persen upah.

Agustus 2021, perusahaan-perusahaan ritel pun mengaku terdampak. Sementara PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) memecat 421 buruh sejak Januari 2020 hingga Juni 2020. Ramayana pun memangkas jumlah upah buruh dengan alasan penyesuaian jam kerja.

Sulit meyakinkan apakah perusahaan yang memecat buruh benar-benar terpengaruh oleh bencana Covid-19 atau mengambil keuntungan dari situasi atau sedang meminta suntikan dana dari negara.

Di media massa, wakil-wakil asosiasi pengusaha dengan terus terang mengatakan butuh stimulus fiskal dan moneter yang berkelanjutan bagi pelaku usaha retail modern dan mall, restrukturisasi pinjaman dan penurunan bunga bank, hingga menuntut dihilangkannya sanksi hukum bagi pengusaha yang melanggar aturan. Jika pengusaha mengeluh dan meminta tambahan dana dianggap sebagai kewajaran, tapi jika buruh menuntut kenaikan upah atau menuntut subsidi sosial gratis dengan cepat disebut: manja, banyak maunya, tidak bersyukur dan tukang foya-foya.

Selain ada maksud meminta suntikan dana, sebenarnya, usaha manufaktur sedang membuka pabrik baru di wilayah lain. Sementara industri ritel sedang mengganti strategi bisnis ke lapak daring. Rencana-rencana tersebut telah berjalan sejak 2015.

Sebelum Covid-19 perusahaan-perusahaan ritel ancang-ancang memecat ribuan buruh. Waktu itu, alasan yang dikemukakan karena terdepak bisnis daring. Juga melihat perubahan pola belanja konsumen.

Bermula dari penutupan gerai bermula dari 7-Eleven, menyusul Ramayana, Hypermart, Hero, dan Tip Top. Per 2017 PT Hero Supermarket menutup lini usaha Giant Supermarket. Per 2018, 26 gerai jaringan ritel Giant ditutup dan 532 buruh dipecat. Sudah direncanakan, penutupan tersebut akan rampung Juli 2021. Total yang dipecat dari 2017 hingga Maret 2021 sebanyak 6.667 orang.

Jika mengamati tren investasi manufaktur maupun ekspor impor, keluhan kesulitan usaha semakin sulit dipercaya. Menurut Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi industri manufaktur tumbuh 17,28 persen dari Januari hingga September 2021. Dengan nilai sebesar Rp236,8 triliun. Aliran investasi tersebut naik dari periode yang sama 2020 sebanyak Rp201,9 triliun.

Sepanjang Januari hingga September 2021, industri manufaktur menempati posisi teratas dalam perolehan investasi asing langsung (FDI). Nilainya mencapai 11,9 miliar dolar AS (Rp16,89 triliun) atau tumbuh 52,4 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Perolehan tersebut melanjutkan tren manufaktur pada 2020 sebesar 13,2 miliar dolar AS (Rp18,71 triliun), yang diikuti sektor jasa di posisi kedua sebesar 12,2 miliar dolar AS (Rp17,29 triliun).

Dari sisi ekspor. Menurut BPS, nilai ekspor Indonesia mencapai 21,42 miliar dolar AS pada Agustus 2021. Angka ini naik 64,1 persen dari Agustus 2020 dengan besaran 13,1 miliar dolar AS. Peningkatan nilai ekspor Indonesia secara bulanan didorong oleh meningkatnya ekspor nonmigas sebesar 21,75 persen. Ekspor migas juga meningkat 7,48 persen. Sementara, nilai impor tercatat sebesar 16,68 miliar dolar AS pada Agustus 2021. Nilainya meningkat 55,26 persen dari Agustus 2020 yang sebesar 10,74 miliar.

Lukman Ainul Hakim mengamati sembilan perusahaan yang menutup operasi pabrik selama pandemi Covid-19. Pabik-pabrik tersebut tersebar di Jakarta, Tangerang, Semarang dan Yogyakarta. Rupanya, tidak semua pabrik benar-benar terimbas. Ada perusahaan yang mengambil untung dari situasi untuk mengubah hubungan kerja dari tetap ke kontrak. Ada pula perusahaan yang memanfaatkan situasi untuk mempercepat pemindahan pabrik ke wilayah lain. Krisis pasar akibat korona sekadar memperkuat alasan untuk menyebutkan bahwa perusahaan dalam kondisi force majeur. Sehingga tidak terlalu repot membayar pesangon buruh. Misalnya, pada November 2020 Panarub Dwikarya Cikupa menutup operasional pabrik dan memecat 1800 buruhnya. Alasannya, tidak dapat mengirimkan barang. Sementara Februari 2020 meresmikan pabrik baru, PT Rubber Van Java di Brebes Jawa Tengah.

Begitu pula, PT Freetrend menutup operasionalnya pada Juli 2020 dengan alasan merugi selama dua tahun dan terdampak Covid-19. Kemudian membayar pesangon sebesar 1 kali Ketentuan. Padahal, pada Oktober 2018, pabrik baru dengan nama PT Long Rich Indonesia dibangun di Cirebon. Pada September 2021 Long Rich berhasil mengekspor 1.574 pasang sepatu merek Under Armour.

Jumlah buruh yang dipecat selama 2020-2021 diperkirakan lebih besar ketimbang laporan resmi pemerintah. Mengingat sumber datanya berasal dari klaim JHT, sementara wajib lapor ketenagakerjaan pun tidak dipatuhi. Seperti sering diutarakan Kemnaker maupun BPJS, tidak semua perusahaan mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS. Sebanyak 3.645 perusahaan swasta tidak mendaftarkan buruhnya ke layanan BPJS Ketenagakerjaan. Dari total 49,5 juta pengusaha yang terdaftar sebagai peserta hanya 29,5 juta unit usaha yang aktif membayar iuran. Sisanya menunggak iuran. Perusahaan pun tidak mengikutsertakan seluruh buruhnya sebagai peserta BPJS. Perusahaan pun tidak mengikuti seluruh program JHT, JKK, JP dan JKm dalam BPJS.

Jumlah buruh yang dipecat belum terhitung jumlah buruh yang dipecat dengan alasan putus kontrak. Sebagai ilustrasi, jika per tiga bulan terjadi putus kontrak di sebuah perusahaan. Jumlah industri manufaktur skala menengah dan besar mencapai sekitar 29 ribu perusahaan (BPS, 2021). Berarti di luar buruh yang dipecat resmi terdapat 348.000 buruh dipecat dengan alasan putus kontrak dalam setahun. Total buruh yang dipecat dengan alasan putusan kontrak selama dua tahun mencapai 696.000 buruh. Jika ditambah data dari Kemnaker (3,6 juta per 2020 dan 894.579 per 2021) maka sebanyak 5.190.579 orang yang dirampas hak atas pekerjaannya demi memulihkan perekonomian nasional.

Penulis

Syarif Arifin
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane