MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Pandemi ‘No Work No Pay’: Dua Tahun Covid-19 dan Setahun Cipta Kerja

Di masa Covid-19, kehidupan buruh dan keluarganya makin tidak menentu. Dengan alasan terdampak Covid-19, buruh terancam dipecat atau dikenai pemotongan upah; atau bekerja dengan terpapar virus karena tidak disediakan alat pelindung diri memadai.

Seperti tidak ada pilihan lain: bekerja dengan kondisi tidak aman atau tidak mendapat upah. Mengadukan persoalan di tempat kerja ke dinas ketenagakerjaan pun sia-sia karena petugasnya menjawab: ‘sedang WFH’. Sementara protes jalanan dapat dibubarkan karena berpotensi menimbulkan kerumunan.

Tidak bekerja tidak mendapat upah alias ‘no work no pay’ mewabah selama Covid-19 dan menggantikan paradigma ‘hak buruh timbul saat terjadi ikatan hubungan kerja’. ‘No work no pay’ muncul 1980-an dan menjadi dalih baru di masa Covid-19 untuk melucuti hak buruh dan keluarganya. Di era Covid-19 situasi perburuhan hanya menggambarkan satu hal: tingkat eksploitasi lebih kejam.

Meski serba sulit, sejumlah kampanye dan tindakan dilakukan. Dengan slogan ‘rakyat bantu rakyat’ gerakan sosial saling mendukung. Ketika para buruh kantoran bergantung pada pesanan di aplikasi, para buruh-pengemudi Ojol semakin dibutuhkan. Isu kekerasan dan pelecehan seksual serta pekerja rumah tangga merangsek di media sosial. Sektor garmen, tekstil dan sepatu menuntut tanggung jawab pemilik merek yang telah berkontribusi langsung terhadap pemburukan kondisi buruh.

Pengantar

Kehidupan mulai seperti dua tahun lalu. Angkutan umum, pasar tradisional, sekolah dan tempat wisata kembali ramai. Para pedagang kaki lima menghiasai trotoar jalan umum. Kemacetan melanda kota-kota besar. Pemerintah tidak bosen mengajak masyarakat melaksanakan vaksin, bahkan dibujuk dengan Sembako. Kampanye hidup bersih, mencuci tangan, mengindari kerumunan dan menjaga jarak terus dilakukan. Pemandangan yang relatif baru; orang-orang menggunakan masker, para penjual masker dan sanitasi tangan; klinik-klinik menjajakan harga beragam dari jenis-jenis tes reaksi Covid-19; media massa lebih mewanti-wanti varian baru virus korona ketimbang mewartakan jumlah orang yang terinfeksi dan meninggal dunia akibat Covid-19. April 2022, genap dua tahun wabah Covid-19, sejak diumumkan sebagai bencana nasional bukan alam.

Pemerintah Indonesia terhitung lambat dan setengah hati merespons wabah Covid-19 dibanding negara-negara lain. Jika negara-negara lain menempuh lockdown di Desember 2021 dan awal Januari 2020, Pemerintah Indonesia mengambil langkah pembatasan sosial di wilayah dan sektor terpilih.

Per 13 April 2020, Presiden Joko Widodo menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional. Penetapan dikukuhkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Pemerintah melihat wabah virus korona merupakan ancaman terhadap perekonomian nasional. Berbagai upaya dilakukan melalui realokasi anggaran dalam bentuk pemberian paket stimulus ekonomi dunia usaha dan jaring pengaman sosial berupa program bantuan sosial, program kartu prakerja dan subsidi upah.

Sialnya, penetapan pembatasan sosial menjelang Ramadan dan Idul Fitri. Di grup-grup media sosial, masalah ‘pembatasan sosial’ dengan mudah dimaknai pelarangan kegiatan ibadah bagi umat Islam. Sementara orang berkampanye tentang salat berjamaah di mesjid, di pemukiman miskin orang-orang kehilangan sebagian pendapatan, kehilangan pekerjaan, dan terancam mati karena terpapar virus korona di tempat kerja dan tidak dapat mengakses fasilitas kesehatan.

Keppres 12 menyebutkan, penanggulan bencana Covid-19 dilaksanakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Poin selanjutnya menegaskan bahwa kebijakan penangangan Covid-19 di daerah harus merujuk pada kebijakan pemerintah pusat. Setelah itu, muncul istilah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan berbagai peraturan setingkat menteri dan pemerintah daerah.

Setelah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) muncul idiom lain, seperti PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), New Normal dan PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). Sekali lagi, penanganan Covid-19 dilihat sebagai ancaman bagi perekonomian bukan tentang layanan kesehatan. PSBB maupun PPKM mengatur hal yang sama: menutup semua kegiatan perkantoran dan industri tidak esensial, termasuk pusat perbelanjaan; pengetatan kapasitas kendaraan dan larangan makan di tempat bagi restoran dan rumah makan; pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, bekerja dan ibadah di rumah; larangan berkerumun dalam kegiatan sosial, kebudayaan dan keagamaan; dan pengaturan jarak serta pengurangan mobilitas barang dan orang.

Pemerintah menyadari bahwa pandemi Covid-19 merusak kinerja pasar konsumsi. Pemerintah merealokasi anggaran negara dengan memperbanyak Bantuan Sosial (Bansos), pada September 2020. Pertama, Bansos untuk 12 juta usaha mikro dan ultramikro. Kedua, Bansos Sembako untuk 10 juta program keluarga harapan (PKH). Ketiga, Bansos korban PHK, berupa sumbangan uang tunai Rp 600.000 per bulan bagi 13,8 juta buruh swasta bergaji di bawah Rp 5 juta. Keempat, pemerintah pun mempercepat pelaksanaan kartu prakerja. Program ini menyasar 5,6 juta orang buruh korban PHK dan warga negara usia di atas 18 tahun. Kelima, pemerintah mengeluarkan kebijakan Bantuan Subsidi Upah bagi buruh peserta BPJS dengan upah di atas Rp 3,5 juta per bulan.

Seperti biasa, penyaluran Bansos diwarnai dengan kritik: bantuan tidak tepat sasaran, kolusi penerima Bansos dan sekadar karitatif. Akhirnya, Menteri Sosial Juliari Batubara terjerat kasus korupsi Bansos.

Dapat dibandingkan, ketimbang menyelamatkan hak atas pendapatan dan pekerjaan yang layak dan memerhatikan layanan kesehatan, pemerintah justru memberikan keleluasaan bagi para pemilik usaha besar. Melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pemerintah memberikan berbagai insentif kepada pengusaha berupa subsidi bunga (Rp34,15 triliun), insentif pajak korporasi (Rp34,95 triliun), insentif pajak UMKM (Rp28,06 triliun), penjaminan kredit modal kerja (Rp6 triliun), dana restrukturisasi debitur (Rp35 triliun), penyertaan modal negara, talangan modal kerja untuk usaha BUMN. Dana stimulus ditambah kembali sebesar Rp 121,90 trilun. Termasuk dalam program PEN adalah pembelian vaksin Rp35,1 triluan dari APBN 2020 dan Rp13,9 triliun dari APBN 2021. Tentu saja, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 pada November 2020.

Sementara rakyat miskin harus menanggung beban pengeluaran baru berupa penyediaan air bersih, pembelian masker, makanan bergizi dan sanitasi tangan, Kementerian Ketenagakerjaan membolehkan THR dicicil atau ditunda dan upah minimum tidak mengalami kenaikan. Menurut LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, tahun pertama pandemi korona sebanyak 7188 buruh di Jabodetabek dirampas haknya. Dengan dalih terimbas Covid-19 secara sewenang-wenang pengusaha memotong upah, memecat tanpa pesangon dan dirumahkan tanpa diupah. Menurut BPS, selama wabah Covid-19 kebutuhan rumah tangga melonjak 51 persen dan pendapatan terjun 70 persen.

Tulisan ini akan memotret kembali kejadian-kejadian perburuhan semasa dua tahun Covid-19 dan setahun pengesahan UU Cipta Kerja, sebagaimana akan diuraikan di bawah.1

[nextpage title=”Kerja atau Kelaparan”]

Secara resmi, tidak semua pabrik diizinkan beroperasi. Untuk dapat beroperasi normal pabrikan mesti mendapat Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI). Ketentuan tersebut tercantum dalam SE Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Operasional Pabrik dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019, yang diterbitkan Kementerian Perindustrian. Regulasi lainnya, SE Menperin Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Perizinan Pelaksanaan Kegiatan Industri Dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Kementerian Kesehatan pun mengeluarkan Keputusan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Aturan terakhir berisi mengenai panduan ketika berangkat, saat dan pulang kerja. Dari aturan tersebut, muncullah idiom ‘meningkatkan imun tubuh.’

Kemenperin mencatat, hingga 20 September 2020, sebanyak 18.101 IOMKI telah diterbitkan dari pengajuan 33.000 industri skala menengah dan besar yang ada di tanah air. Dari 18.101 perusahaan tersebut, tenaga kerja yang bekerja sebanyak 5,14 juta orang. Artinya, jutaan buruh sedang bekerja dalam situasi yang sewaktu-waktu dapat terpapar virus korona.

Tak ketinggalan, Kementerian Ketenagakerjaan pun mengeluarkan SE M/8/HK.04/V/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh Dalam Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Pada Kasus Penyakit Akibat Kerja Karena Covid-19. Termasuk SE Nomor M3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. SE tersebut membahas tentang Karantina dan Isolasi. Pelaksanaan SE tersebut terhambat. Kejadian kecelakaan mestinya dilaporkan kepada bagian personalia. Nyatanya, tidak ada laporan sama sekali sehingga menyebabkan adanya keterlambatan dalm proses pencairan Jaminan Kesehatan Kerja (JKK).

Serikat buruh melaporkan. Ketika virus korona mewabah, pabrik tetap beroperasi penuh. Sebagian besar buruh tidak mampu menawar kebijakan perusahaan. Manajemen perusahaan memiliki alasan kuat untuk memecat atau memotong upah jika buruh tidak bersedia bekerja. Para buruh bekerja tanpa ada rekayasa ruang kerja. Tidak jarang buruh terpapar virus. Jika diketahui terpapar, manajemen meminta agar buruh melakukan isolasi mandiri tanpa upah dan fasilitas apapun. Karena itu, buruh berusaha menutupi atau tidak memeriksakan diri. Lagi pula memeriksakan diri berarti harus menambah pengeluaran.

Seperti diungkapkan FSBPI (Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia). Di masa PPKM Darurat pabrik tekstil dan produk tekstil hanya beroperasi 50 persen untuk produksi dan 10 persen untuk perkantoran. Nyatanya, pabrik-pabrik yang tersebar di Jakarta, Tangerang, Subang, Sukabumi dan Solo beroperasi 100 persen, bahkan lembur. Parahnya, manajemen tidak menyediakan peralatan protokol kesehatan. Untuk sanitasi tangan dan cuci tangan pun tidak disediakan, apalagi fasilitas tes berkala reaksi COVID-19 berkala dan vitamin. Pimpinan serikat buruh di Tangerang Banten mengatakan, di beberapa pabrik memang ada pengaturan jam masuk. Ketika masuk pun diatur jaraknya sedemikian rupa. Satu per satu buruh melewati pengukur suhu tubuh. Ketika bekerja terjadi tidak ada lagi pengaturan jarak dan penggunaan masker. Semuanya bekerja seperti situasi normal.

Ketika mengomentari, terdapat temuan pabrik tekstil dan produk tekstil yang mempekerjakan buruh secara normal dan tanpa APD, Jubir Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito berkelit. Katanya, Instruksi Menteri Dalam Negeri jelas, seluruh pekerja diminta WFO (work from office) 50 persen dan WFH (work from home) 50 persen. Jam operasional buruh juga sudah diatur di aturan itu. Wiku berkilah bahwa Satgas daerah rutin melakukan pengecekan agar tidak terjadi hal serupa.

Lumrah diketahui. Dalam situasi normal sekalipun Kementerian Ketenagakerjaan dari tingkat daerah hingga pusat selalu lamban menindaklanjuti laporan kasus-kasus ketenagakerjaan. Jika disituasi normal pemerintah berkilah belum menerima laporan atau kekurangan tenaga lapangan, di masa pandemi korona ditambah dengan alasan sedang melaksanakan WFH.

Alfian Al-Ayubby memberikan gambaran tentang buruknya mekanisme kesehatan dan keselamatan kerja di pabrik-pabrik yang masih beroperasi normal. Situasi tersebut terjadi sebelum ramai Covid-19. Dengan menerapkan sistem bekerja normal, manajemen pabrik tidak melaksanakan pelaksanaan protokol kesehatan dengan ketat, alih-alih menyalahkan buruh ketika terpapar virus. Alfian menegaskan buruh hidup di pemukiman yang berdesakan, kesulitan air bersih dengan pendapatan sekadar cukup buat makan. Kampanye hidup bersih, menjaga jarak, menjaga imun tubuh dan mencuci tangan tak lebih dari penghinaan terhadap buruh dan keluarganya. Nyatanya, pemerintah sekadar memerintahkan menjaga kesehatan kemudian menghukumnya, tanpa menyediakan saranan kesehatan yang mudah dijangkau. Pemerintah memerintahkan menggunakan masker. Jika tidak, akan dipermalukan untuk push-up. Tapi tidak menyediakan peralatan tersebut.

Laporan LBH Jakarta menyebutkan kebanyakan pabrik beroperasi normal tanpa ada upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Para pengusaha berdalih tidak memiliki dana tambahan untuk menyediakan peralatan kesehatan dalam keselamatan kerja.

Keadaan memburuk dialami pula oleh para buruh kantoran ketika harus menjalani WFH. Istilah yang diderivasikan dari konsep telecommuting ini muncul sejak 1970-an. Menjadi tren di era Covid-19. WFH mengandaikan kecanggihan dan ketersediaan teknologi untuk mendukung pertemuan kerja-kerja daring.

Mulanya, WFH dikira akan membebaskan dari kewajiban kerja sehingga dapat menikmati waktu bersama keluarga dan rebahan. Nyatanya, dengan WFH setiap orang tetap mengabdikan pikiran dan tenaganya di mana pun berada.

Konsep WFH berarti mengandaikan koneksi internet, jaringan listrik, tempat dan alat kerja milik keluarga dipersembahkan untuk keuntungan perusahaan. Sumber daya tersebut bukan bagian dari biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan. Tempat istirahat berubah menjadi tempat kerja, sekaligus kehilangan waktu dengan keluarga, dan tidak ada lagi batas antara kehidupan pribadi dengan pekerjaan. Dampak lain dari WFH adalah timbulnya masalah tekanan kerja, karena buruh dapat diminta bekerja di luar jam kerja.

Di awal Mei 2020, terdapat 4.057 perusahaan menerapkan WFH. Survei memperlihatkan, 50 persen dari buruh kantoran mengalami jam kerja lebih lama. Kelebihan jam kerja tidak dapat dihindari dan tidak diperhitungkan sebagai jam lembur.

[nextpage title=”Kerja, Kerja, Pecat”]

Hanya berselang beberapa hari setelah pengumuman bencana Covid-19, PT Woneel Midas Leather Tangerang, mengumumkan rencana merumahkan seluruh buruhnya tanpa diupah. Perusahaan pun hanya akan membayar 50 persen tunjangan hari raya (THR). Perusahaan pembuat sarung tangan untuk merek Mizuno, Wilson, Easton dan Wallmart ini mengaku kekurangan order akibat Covid-19.

Serikat buruh menolak tawaran perusahaan. Bagi serikat buruh, sebelum ada keputusan pengadilan tentang pengakhiran kerja, pengusaha wajib membayar hak-hak buruh. Upah dirumahkan dan THR adalah hak normatif. Hak yang melekat dan tidak dapat dinegosiasikan dengan alasan apapun. Lagi pula, semua orang pun mengetahui, PT Woneel Midas meresmikan pabrik di Gunung Kidul Jawa Tengah, pada 2019. Jika mampu membuka pabrik baru, tidak mungkin tidak mampu membayar upah.

Manajemen enggan memenuhi tuntutan buruh. Kemudian, menutup operasi pabrik pada Juli 2020. Semua buruh dipecat dengan kompensasi 30 persen dari 1 kali ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Ketika PSBB dan PPKM diberlakukan kalangan pengusaha mengumumkan sejumlah buruh yang dipecat dan dirumahkan. Angkanya pun jutaan. Hampir seluruh pengusaha mengaku usaha lesu karena wabah virus korona. Seolah kejadian pemecatan merupakan peristiwa yang muncul ketika Covid-19 menerpa. Tapi bukankah karakternya demikian: jika situasi ekonomi terguncang akan tampil sebagai pihak yang paling menderita; jika situasi membaik tidak akan berhenti menasehati agar hidup hemat dan bersyukur sambil memecat buruh.

Oktober 2020, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyebutkan lebih dari 6,4 juta buruh mengalami mengalami pemutusan hubungan kerja atau dirumahkan. Kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan Benny Soetrisno, keputusan mengurangi buruh karena perusahaan mengalami penurunan omzet selama pandemi virus Corona. Lanjut Benny, sektor yang paling banyak memecat buruh adalah tekstil sebanyak 2,1 juta orang, sektor transportasi darat 1,4 juta orang, sektor restoran 1 juta orang, sektor sepatu dan alas kaki 500.000 orang, sektor perhotelan 430.000 orang, sektor ritel 400.000 orang, serta sektor farmasi 200.000 orang.

Data Kemnaker menyebut angka pemecatan tahun 2020 lebih rendah dari klaim Kadin. Menurut Kemnaker pada 2020 jumlah orang yang dipecat mencapai 3,6 juta orang. Kemnaker pun memperhitungkan dari Januari- awal Agustus 2021, jumlah orang yang dipecat mencapai 538.305. Hingga akhir 2021 berjumlah 894.579 orang dipecat. Sementara jumlah buruh yang dirumahkan sebanyak 1.076.242 orang dan perusahaan yang berpotensi ditutup sebanyak 2.819 perusahaan.

Di gig ekonomi, pemecatan pun terjadi. Aplikator Gojek memecat 430 buruh, Grab memecat 360 buruh, Traveloka 100 buruh. Aplikator-aplikator tersebut memecat buruh karena melihat penurunan permintaan seperti fitur GoLife (GoMassage, GoClean, GoFood Festival). Selama wabah Covid-19, konsumen mengurangi kontak fisik.

Sebenarnya, sebelum Covid-19 diakui sebagai bencana nasional, industri pariwisata lebih dulu melihat gelagat penurunan permintaan. Kunjungan wisata, pemintaan hotel dan restoran dan perjalanan bisnis menurun sejak Januari 2020. Per Mei 2020, menurut Sekjen PHRI, sebanyak 8,1 juta orang yang bekerja di sektor pariwisata dirumahkan. Sekjen PHRI menyebutkan, buruh yang dirumahkan hanya menerima 25-50 persen upah.

Agustus 2021, perusahaan-perusahaan ritel pun mengaku terdampak. Sementara PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) memecat 421 buruh sejak Januari 2020 hingga Juni 2020. Ramayana pun memangkas jumlah upah buruh dengan alasan penyesuaian jam kerja.

Sulit meyakinkan apakah perusahaan yang memecat buruh benar-benar terpengaruh oleh bencana Covid-19 atau mengambil keuntungan dari situasi atau sedang meminta suntikan dana dari negara.

Di media massa, wakil-wakil asosiasi pengusaha dengan terus terang mengatakan butuh stimulus fiskal dan moneter yang berkelanjutan bagi pelaku usaha retail modern dan mall, restrukturisasi pinjaman dan penurunan bunga bank, hingga menuntut dihilangkannya sanksi hukum bagi pengusaha yang melanggar aturan. Jika pengusaha mengeluh dan meminta tambahan dana dianggap sebagai kewajaran, tapi jika buruh menuntut kenaikan upah atau menuntut subsidi sosial gratis dengan cepat disebut: manja, banyak maunya, tidak bersyukur dan tukang foya-foya.

Selain ada maksud meminta suntikan dana, sebenarnya, usaha manufaktur sedang membuka pabrik baru di wilayah lain. Sementara industri ritel sedang mengganti strategi bisnis ke lapak daring. Rencana-rencana tersebut telah berjalan sejak 2015.

Sebelum Covid-19 perusahaan-perusahaan ritel ancang-ancang memecat ribuan buruh. Waktu itu, alasan yang dikemukakan karena terdepak bisnis daring. Juga melihat perubahan pola belanja konsumen.

Bermula dari penutupan gerai bermula dari 7-Eleven, menyusul Ramayana, Hypermart, Hero, dan Tip Top. Per 2017 PT Hero Supermarket menutup lini usaha Giant Supermarket. Per 2018, 26 gerai jaringan ritel Giant ditutup dan 532 buruh dipecat. Sudah direncanakan, penutupan tersebut akan rampung Juli 2021. Total yang dipecat dari 2017 hingga Maret 2021 sebanyak 6.667 orang.

Jika mengamati tren investasi manufaktur maupun ekspor impor, keluhan kesulitan usaha semakin sulit dipercaya. Menurut Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi industri manufaktur tumbuh 17,28 persen dari Januari hingga September 2021. Dengan nilai sebesar Rp236,8 triliun. Aliran investasi tersebut naik dari periode yang sama 2020 sebanyak Rp201,9 triliun.

Sepanjang Januari hingga September 2021, industri manufaktur menempati posisi teratas dalam perolehan investasi asing langsung (FDI). Nilainya mencapai 11,9 miliar dolar AS (Rp16,89 triliun) atau tumbuh 52,4 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Perolehan tersebut melanjutkan tren manufaktur pada 2020 sebesar 13,2 miliar dolar AS (Rp18,71 triliun), yang diikuti sektor jasa di posisi kedua sebesar 12,2 miliar dolar AS (Rp17,29 triliun).

Dari sisi ekspor. Menurut BPS, nilai ekspor Indonesia mencapai 21,42 miliar dolar AS pada Agustus 2021. Angka ini naik 64,1 persen dari Agustus 2020 dengan besaran 13,1 miliar dolar AS. Peningkatan nilai ekspor Indonesia secara bulanan didorong oleh meningkatnya ekspor nonmigas sebesar 21,75 persen. Ekspor migas juga meningkat 7,48 persen. Sementara, nilai impor tercatat sebesar 16,68 miliar dolar AS pada Agustus 2021. Nilainya meningkat 55,26 persen dari Agustus 2020 yang sebesar 10,74 miliar.

Lukman Ainul Hakim mengamati sembilan perusahaan yang menutup operasi pabrik selama pandemi Covid-19. Pabik-pabrik tersebut tersebar di Jakarta, Tangerang, Semarang dan Yogyakarta. Rupanya, tidak semua pabrik benar-benar terimbas. Ada perusahaan yang mengambil untung dari situasi untuk mengubah hubungan kerja dari tetap ke kontrak. Ada pula perusahaan yang memanfaatkan situasi untuk mempercepat pemindahan pabrik ke wilayah lain. Krisis pasar akibat korona sekadar memperkuat alasan untuk menyebutkan bahwa perusahaan dalam kondisi force majeur. Sehingga tidak terlalu repot membayar pesangon buruh. Misalnya, pada November 2020 Panarub Dwikarya Cikupa menutup operasional pabrik dan memecat 1800 buruhnya. Alasannya, tidak dapat mengirimkan barang. Sementara Februari 2020 meresmikan pabrik baru, PT Rubber Van Java di Brebes Jawa Tengah.

Begitu pula, PT Freetrend menutup operasionalnya pada Juli 2020 dengan alasan merugi selama dua tahun dan terdampak Covid-19. Kemudian membayar pesangon sebesar 1 kali Ketentuan. Padahal, pada Oktober 2018, pabrik baru dengan nama PT Long Rich Indonesia dibangun di Cirebon. Pada September 2021 Long Rich berhasil mengekspor 1.574 pasang sepatu merek Under Armour.

Jumlah buruh yang dipecat selama 2020-2021 diperkirakan lebih besar ketimbang laporan resmi pemerintah. Mengingat sumber datanya berasal dari klaim JHT, sementara wajib lapor ketenagakerjaan pun tidak dipatuhi. Seperti sering diutarakan Kemnaker maupun BPJS, tidak semua perusahaan mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS. Sebanyak 3.645 perusahaan swasta tidak mendaftarkan buruhnya ke layanan BPJS Ketenagakerjaan. Dari total 49,5 juta pengusaha yang terdaftar sebagai peserta hanya 29,5 juta unit usaha yang aktif membayar iuran. Sisanya menunggak iuran. Perusahaan pun tidak mengikutsertakan seluruh buruhnya sebagai peserta BPJS. Perusahaan pun tidak mengikuti seluruh program JHT, JKK, JP dan JKm dalam BPJS.

Jumlah buruh yang dipecat belum terhitung jumlah buruh yang dipecat dengan alasan putus kontrak. Sebagai ilustrasi, jika per tiga bulan terjadi putus kontrak di sebuah perusahaan. Jumlah industri manufaktur skala menengah dan besar mencapai sekitar 29 ribu perusahaan (BPS, 2021). Berarti di luar buruh yang dipecat resmi terdapat 348.000 buruh dipecat dengan alasan putus kontrak dalam setahun. Total buruh yang dipecat dengan alasan putusan kontrak selama dua tahun mencapai 696.000 buruh. Jika ditambah data dari Kemnaker (3,6 juta per 2020 dan 894.579 per 2021) maka sebanyak 5.190.579 orang yang dirampas hak atas pekerjaannya demi memulihkan perekonomian nasional.

[nextpage title=”Upah: Dirampas Pengusaha, Negara dan Pinjol”]

Selasa 16 November 2021 Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengumumkan kenaikan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) 1,09 persen. Angka tersebut dihitung berdasarkan PP 36, sebagai pengganti dari PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. PP 36 disahkan pada Februari 2021, sebagai aturan pelaksana UU Cipta Kerja.

Melalui PP 36 Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta naik Rp 37 ribu, Provinsi Riau naik Rp 50 ribu, Kalimantan Timur naik Rp 33 ribu, dan Jawa Tengah naik seribu rupiah. Di kemudian hari, kenaikan upah minumum di DKI Jakarta direvisi menjadi 5 persen. Sementara Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan tidak mengalami kenaikan. Sementara Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) naik di kisaran 5 persen, tapi sebelas Kabupaten di Jawa Barat tidak mengalami kenaikan upah. Padahal, selama pandemi Covid-19 kebutuhan rumah tangga meningkat 51 persen dan pendapatan menurun 70 persen.

Berdasar data BPS, rata-rata nasional upah minimum 2021 Rp 2.736.463. Angka upah minimum tersebut turun dibanding rata-rata nasional upah minimum 2020 Rp 2.756.345. Dengan kenaikan rata-rata upah minimum satu koma persen pada 2022, dapat dipastikan angka rata-rata nominal nasional upah buruh turun dan upah riilnya terjun bebas.

Dengan kenaikan rata-rata 10 persen pada 2002-2015, dan kenaikan rata-rata 8,51 persen pada 2015-2020, upah minimum hanya menopang 62,4 persen pengeluaran riil atau menutup dua minggu kebutuhan hidup layak. Semua itu bukan soal gaya hidup. Karena upahnya memang tidak cukup. Tak heran jika kasus malnutrisi dan pinjaman online membayangi keluarga buruh. Karena dengan mengurangi konsumsi gizi atau menambah jam kerja atau ‘ngutang’-lah keluarga buruh dapat bertahan hidup.

Selama 2019-2021, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerima pengaduan Pinjaman Online (Pinjol) legal maupun nonlegal sebanyak 19.711 kasus. Sementara LBH Jakarta menerima 7.200 aduan masyarakat yang terlibat masalah pinjaman online. Bahkan, dalam 3 tahun, LBH Jakarta mendapat laporan 6 sampai 7 orang bunuh diri gara-gara terjerat Pinjol. Orang-orang yang terjerat Pinjol rata-rata adalah pekerja.

Tahun 2021 dengan dalih menjaga kelangsungan pekerjaan dan pemulihan ekonomi, pemerintah memerintahkan agar kepala daerah tidak menaikan upah minimum. Keputusan tersebut kemudian dituangkan dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Upah Minimum Baru Tahun 2021 di Masa Pandemi Covid-19. Dalam situasi yang mengerikan karena serangan virus korona, ancaman pemecatan dengan dalih PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), pengurangan upah akibat rekayasa jam kerja; rumah tangga buruh pontang-panting dan tersungkur.

Perampasan upah merupakan karakter utama dari hubungan kerja buruh dan pengusaha. Perampasan upah dilakukan dengan menekan biaya produksi, meningkatkan target produksi dalam satuan waktu dari setiap unit barang. Perampasan upah diperparah dengan berbagai kebijakan negara yang mengalihkan biaya kesehatan buruh dalam bentuk asuransi sosial dan perampokan pajak penghasilan. Termasuk upah buruh dipotong upah secara rutin oleh agen penyalur tenaga kerja, bahkan pembayaran cicilan ‘uang jasa’ kepada agen penyalur tenaga kerja.

Praktik perampasan upah melonjak di masa pandemi korona. Model perampasan upah di masa korona merentang dari pemotongan upah langsung sebanyak 10 sampai 15 persen, perpanjangan jam kerja yang tidak dibayar lembur, pembayaran lembur tidak sesuai perhitungan, perubahan status kerja, menghilangkan bonus, tidak membayar THR, merumahkan buruh tanpa dibayar, mengurangi upah dengan alasan pengurangan jam kerja dan membayar sebagian dari pesangon buruh. Upah buruh dirampas pula oleh industri kesehatan: membayar tes reaksi Covid-19, sanitasi tangan, membeli vitamin dan membeli masker. Negara melegitimasi perampasan upah dengan membolehkan menunda pembayaran atau mencicil THR dan tidak menaikan upah minimum. Dengan menetapkan standar ‘masker kesehatan’ dan menghukum warga yang tidak menggunakan masker, upah keluarga buruh diperas industri kesehatan dengan brutal.

Menurut AFWA (Asia Floor Wage Alliance) Indonesia, dalam rantai pasokan global, karakter khusus perampasan upah terjadi secara berantai: dari pemilik merek ke pemasok dan ke buruh. Pemilik merek mengeluarkan secuil biaya produksi dari total harga barang. Kemudian memaksa pemasok menurunkan biaya produksi melalui berbagai bentuk pencurian upah.

Penelitian AFWA (2020) terhadap buruh pemasok pakaian dan sepatu di Indonesia menemukan, selama pandemi Covid-19 perampasan upah secara konsisten terjadi sepanjang 2020-2021. Puncak perampasan upah terjadi pada Mei hingga Juli 2020. Pada 2020 nilai upah yang dirampas dari 17 persen hingga 21 persen dari total upah yang diterima, termasuk perampasan 45 persen bonus pada 2020.

Per 6 Mei 2020, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah meneken SE M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). SE tersebut, memberikan peluang kepada perusahaan menunda atau mencicil pembayaran THR. Hasilnya, di beberapa tempat buruh tidak menerima THR pada waktu yang ditentukan, menerima THR dengan dicicil, jumlah THR yang diterima tidak sesuai, bahkan sama sekali tidak mendapat THR.

Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, per 4 Juni terdapat 410 perusahaan yang dilaporkan bermasalah dengan pembayaran THR. Setelah ditegur oleh Kemnaker, 307 perusahaan membayar THR dengan terlambat. Namun terdapat 103 perusahaan yang belum membayar THR.

Pada 2021, Menaker Ida Fauziyah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Relatif berbeda dengan SE tahun sebelumnya, di tahun 2021 Kementerian Ketenagakerjaan menegaskan bahwa THR harus dibayar penuh sesuai peraturan perundangan. Hal tersebut dikecualikan bagi perusahaan yang terdampak Covid-19. Hal yang relatif baru, salah satu rujukan SE tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Posko Pengaduan THR Kemnaker menerima 2.278 laporan. Jumlah tersebut terdiri dari 692 konsultasi THR dan 1586 pengaduan THR. Ada pembayaran THR yang dicicil, THR dibayarkan 50 persen, THR dibayar tidak penuh karena ada pemotongan gaji, THR tidak dibayarkan 1 bulan gaji dan THR tidak dibayar karena Covid-19.

Situasi buruh-pengemudi Ojol[1] lebih mengerikan. Buruh-pengemudi Ojol merupakan model teranyar dari no work no pay dengan sistem upah satuan unit, yang disebut dengan sistem borongan. Para pemilik aplikator dapat saja mengiming-imingi buruh-pengemudi dapat memiliki penghasilan lebih dari upah minimum, seperti dikatakan riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI).

Tapi sebenarnya pendapat buruh-pengemudi Ojol rentan tersungkur di bawah upah minimum. Pasalnya, buruh-pengemudi Ojol tidak memiliki hubungan yang tetap dan tidak memiliki upah minimum. Lagi pula riset itu tidak melihat siasat buruh-pengemudi Ojol untuk menambah penghasilan, seperti memperpanjang waktu kerja, membuka dua akun dari aplikator yang berbeda dan sebagainya. Dengan cara demikian, buruh-pengemudi Ojol memiliki lebih banyak kesempatan untuk mendapat pesanan.

Covid-19 menerpa buruh-pengemudi Ojol. Muncul larangan mengangkut penumpang, terjadi larangan mobilitas masyarakat dan pembatasan gerak di kota-kota besar, penghasilan buruh-pengemudi Ojol jumpalitan.

Survei Annindya Dessi Wulandari, Arif Novianto dan Yeremias T Keban mengemukakan situasi mengerikan buruh-pengemudi Ojol di masa Covid-19. Pendapatan buruh-pengemudi Ojol roda dua dan roda empat semasa Covid-19 jungkir-balik. Survei di DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Bali menemukan bahwa di awal pemberlakuan PSBB, pendapatan buruh-pengemudi Ojol Rp 89.267 per hari atau turun 67 persen dibanding pada bulan Februari 2020 yaitu sebesar Rp 266.225 per hari. Di masa Covid-19, Ojol hanya mendapatkan pendapatan kotor Rp 95.039 per hari di bulan Juni dan sedikit meningkat menjadi Rp 99.610 per hari pada Juli 2020.

Sebagai tambahan, pendapatan-pendapatan tersebut merupakan hasil total, sekaligus kotor. Seperti diketahui, untuk meningkatkan pendapatan buruh-pengemudi Ojol bersiasat dengan memiliki dua sampai tiga akun sekaligus dari aplikator yang berbeda. Dengan cara demikian, buruh-pengemudi Ojol memiliki banyak kesempatan mendapat pesanan lebih banyak. Namun pendapatan tersebut tidak memperhitungkan sejumlah biaya harian dan bulanan yang harus ditanggung, seperti asupan makanan, bensin, perbaikan kendaraaan dan sebagainya. Sementara aplikator semakin ketat mengawasi buruh-pengemudi Ojol dalam rupa kemudahan menerapkan sanksi dari akun gagu/anyep hingga putus mitra.

Sementara itu, pendapatan Gojek dan Grab melonjak karena semakin banyak orang menggunakan layanan pengiriman barang. Sederhananya, ketika semakin banyak orang berada di rumah, kebutuhan sehari-hari diperantarai oleh aplikasi. Gojek menyebutkan pendapatan dari GoFood meningkat 20 kali lipat, sementara pendapatan dari Grab Express dan GrabFood melesat hingga 49 persen. Tentu saja harus disebutkan bahwa sumber penghasilan Gojek, Grab dan aplikator sejenisnya berasal dari potongan pendapatan buruh-pengemudi dari pelanggan, dari konsumen dan dari para pedagang kecil yang menayangkan iklan dan potongan dari setiap barang yang terjual di toko online.

Sebenarnya, tren penurunan pendapatan buruh-pengemudi Ojol berlangsung sebelum Covid-19. Gojek dan Grab telah mengakhiri model promosi ‘bakar uang’, yang ditandai dengan pengakhiran pemberian bonus untuk buruh-pengemudi dan diskon untuk penumpang. Akhir dari ‘bakar uang’ berarti penarikan kembali uang yang telah dibagikan berupa potongan 20 persen untuk buruh-pengemudi, penaikan target untuk mendapat bonus, ditetapkannya tarif jarak minimum, penambahan biaya tertentu yang didapat perusahaan (misalkan biaya pemesanan), dan juga perekrutan besar-besaran buruh-pengemudi Ojol.

Di tengah situasi yang sulit, buruh-pengemudi Ojol menambah waktu kerja sebagai cara untuk meningkatkan peluang mendapatkan penawaran pesanan masuk di akun mereka. Bahkan ada yang mengaktifkan akunnya di aplikasi hingga 24 jam. Survei pun memperlihat sebanyak 68,62 persen buruh-pengemudi Ojol pernah mengalami sakit akibat pekerjaannya, bahkan terdapat beberapa buruh-pengemudi meninggal dunia akibat kelelahan bekerja dan tekanan yang berlebihan.

[nextpage title=”Menuntut Ganti Rugi Ke Buruh: Varian Baru Union Busting”]

Sudah tidak asing lagi pengusaha atau Apindo menggugat buruh. Biasanya yang dipersoalkan adalah tindakan buruh, argumen buruh, atau menolak mengakui kemenangan buruh. Tujuannya, menolak tuntutan buruh, merampas hak buruh, melempar buruh dari tempat kerjanya, sekaligus mengontrol buruh lainnya agar tunduk dan patuh pada target produksi.

Umumnya, gugatan disampaikan melalui media massa dalam bentuk ancaman, seperti dalam kasus pemogokan massa 2015 dan 2021. Ada pula gugatan dilayangkan melalui pengadilan.

Riefqi Zulfikar (2021) mengamati jenis-jenis gugatan di PHI Jawa Barat. Riefqi menemukan gugatan pengusaha terhadap buruh maupun serikat buruh makin meningkat. Sepanjang 2021, PHI telah memutus 328 kasus. Sebanyak 33 kasus merupakan gugatan yang dilayangkan oleh perusahaan. Kasus-kasus yang dimaksud adalah perselisihan PHK sepihak (20 kasus), perselisihan PHK massal (6 kasus), perselisihan hak upah tidak dibayar (6 kasus) dan perselisihan hak pekerja yang diperjanjikan (1 kasus). Hal ini menandai makin meluasnya kekuasaan pengusaha berhadapan dengan buruh.

Di arena lain adalah contoh-contoh gugatan pengusaha ke jalur lain. Beberapa kasus dapat disebutkan: Apindo Jakarta menggugat SK UMK DKI Jakarta 2001 ke PTUN. Pada 2012, Apindo Bekasi menggugat SK UMK Bekasi 2012. Di dua kejadian tersebut Apindo memenangkan gugatan. Namun kemenangan Apindo dianulir dengan pemogokan massal. Ada pula kasus pemogokan 1300 buruh Panarub Dwi Karya Benoa Tangerang, 2012.  Pengusaha menyatakan pemogokan tidak sah. Sehingga buruh yang terlibat pemogokan dikualifikasikan mengundurkan diri dari pekerjaan.

Pada 2012, di Kabupaten Bekasi, serikat buruh berhasil mendesak para pengusaha membuat PB. Isi PB tersebut di antaranya berkenaan dengan kewajiban pengusaha mengangkat buruh tidak tetap yang dipekerjakan di bagian inti produksi menjadi buruh tetap. Pada 2013, satu per satu perusahaan menggugat Perjanjian Bersama (PB) ke PTUN. Alasannnya, PB ditandatangani di bawah tekanan. Dalam kasus ‘gugatan PB’ kebanyakan buruh kalah. Dikabulkannya gugatan para pengusaha terhadap PB tersebut, berimbas terhadap perluasan praktik hubungan kerja kontrak dan outsourcing di setiap perusahaan. Masih di Kabupaten Bekasi, Apindo Bekasi menggugat Perda Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi Nomor 14 Tahun 2016, ke Mahkamah Agung pada Oktober 2018. Apindo menilai Perda tersebut terlalu kaku dalam mengatur tentang pemagangan dan hubungan kerja. Uji materi ditolak MA.

Dalam kasus-kasus dengan skala lebih kecil buruh dikenai pasal pencemaran nama baik dengan ancama pidana. Kejadian teranyar di Banten. Setelah melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah minimum dan menduduki kantor gubernur, enam buruh ditangkap, dikenai pasal penghinaan terhadap kekuasaan dengan ancaman pidana. Karena ada gerakan massa yang mendesak pembebasan buruh, tersangka dibebaskan pada 4 Januari 2022.

Saat ini terdapat dimensi lain dari jenis gugatan pengusaha atau Apindo ke buruh. Pengusaha menuntut ganti rugi kepada buruh dengan nilai miliaran. Tuntutannya memang tidak masuk akal. Padahal, jika dicermati buruh lebih berhak menuntut pengusaha. Pasalnya, buruh dipaksa bekerja dalam kondisi kerja yang mengancam nyawa, seperti terpapar virus korona atau terpapar racun berbahaya.

Tentu saja para pengusaha mengetahui bahwa para buruh tidak mungkin membayar kerugian dengan nilai miliaran. Tujuannya memang bukan ganti rugi dalam arti sebenarnya. Langkah tersebut dilakukan untuk memperlihatkan kekuasaan perusahaan dan mempermalukan buruh, mematahkan tuntutan buruh dan membalas tindakan buruh. Lebih jauh gugatan pengusaha terhadap buruh berarti mengesahkan tindakan buruk perusahaan, mengaburkan tujuan awal serikat dan menyibukan serikat buruh dengan perkara pengadilan.

Seperti diketahui, hukum dan pengadilan merupakan kemewahan bagian sebagai besar buruh. Gedung yang menjulang, pakaian rapih dan susunan kalimat yang teratur dan menganggap hakim sebagai sumber keadilan. Selain itu, mengajukan kasus ke pengadilan berarti menempatkan nilai-nilai keadilan dari ruang netral yaitu hukum dan pengadilan. Padahal hukum dan pengadilan berpihak dan keadilan harus direbut.

[nextpage title=”Wabah Korona, Virus Ciptaker, dan Percepatan Eksploitasi”]

PT Sulindafin mengaku rugi. Konon, perusahaan mengalami kerugian sejak 2015. Direksi PT Sulindafin memutuskan menutup pabrik pada 28 November 2019. Sebanyak 1085 buruh dipecat dengan tawaran pesangon sebesar 70 persen dari satu kali ketentuan dari Pasal 156 UUK Nomor 13 Tahun 2003. Pembayaran pesangon dicicil tiga kali.

Sebelumnya, pada Mei 2019, PT Sulindamills Bekasi tutup. Sulindamills dan Sulindafin, ditambah Shintatex adalah usaha di sektor tekstil milik Shinta Indah Group. Ada juga anak usaha di bidang asuransi, keuangan dan trading, yaitu PT Shinta Inserve, PT Shinta Forex, PT Shinta Korintama dan PT Shinta Indahjaya.

Sebanyak 245 menolak dipecat. Pasalnya, pengabdian buruh telah mencapai belasan tahun, bahkan ada yang bekerja lebih dari 25 tahun. Statusnya pun sebagai buruh tetap. Usia mereka tidak mungkin dibutuhkan oleh pabrik lain.

Dengan mempelajari modus ‘tutup operasi; kemudian buka kembali dengan merekrut buruh harian lepas di Sulindamills Bekasi dan tempat-tempat lain, para buruh menduga akan mengalami hal yang sama. Artinya, perusahaan pura-pura tutup untuk mengubah pola hubungan kerja dari tetap menjadi kontrak dan harian lepas, sekaligus mengurangi sejumlah hak yang telah disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Lagi pula, perusahaan pun membuka pabrik baru di Indramayu, pada Januari 2019.

Proses penolakan berlangsung. Situasi ini menjelang dan berlangsung di masa Covid-19. Selain demonstrasi di halaman perusahaan dan kantor pemerintahan, buruh membuat tenda depan perusahaan. Meski belum ada pengakhiran hubungan kerja secara resmi dari pengadilan, manajemen telah menghentikan pembayaran upah, tidak membayar THR, menonaktifkan kepesertaaan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan dan melarang buruh memasuki area perusahaan. Imbasnya, buruh dan keluarga buruh terlunta-lunta, bahkan tiga orang keluarga buruh meninggal dunia karena tidak memiliki biaya pengobatan.

Dugaan serikat buruh terbukti. Pada Januari 2020 perusahaan beroperasi dengan merekrut buruh baru dengan hubungan kerja harian lepas. Manajemen berkilah, pemekerjaan buruh menghabiskan stok barang di gudang.

Akhirnya kasus diajukan ke PHI Serang Banten. Kepada majelis hakim PHI buruh menuntut agar alasan PHK dinyatakan tidak sah, perusahaan pun mesti membayar kekurangan upah sejak perusahaan menyatakan pemecatan pada Desember 2019 dan membayar THR 2020.

PHI mengeluarkan putusan 4 November 2020. Kurang dari sebulan setelah pengesahan UU Cipta Kerja, pada 14 Oktober. Majelis Hakim memutuskan bahwa kasus Sulindafin versus buruh dengan kategori efisiensi. Buruh pun dinyatakan putus hubungan kerja. Perusahaan wajib membayar sisa upah proses dari Desember 2019-Mei 2020, pembayaran THR, membayar kompensasi PHK 1 kali dari ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.

Merasa tidak diperlakukan adil oleh PHI Serang, buruh melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan MA keluar pada 20 April 2021 dengan hasil yang lebih menyakitkan. MA menyatakan: putus hubungan kerja buruh dan Sulindafin, buruh tidak berhak THR dan upah proses.

Setelah memerhatikan halaman-halaman Putusan kasus, ternyata MA memutuskan kasus Sulindafin dengan merujuk pada Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Padahal kasus buruh Sulindafin terjadi sebelum UU Cipta Kerja disahkan. Pasal 81 poin 53 UU Ciptaker menghapus pasal 164 UU Ketenagakerjaan yang mengatur pemberian uang pesangon apabila terjadi PHK akibat perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa (force majeur).

***

Sejak dirancang kemudian diajukan ke badan legislasi, RUU Cipta Kerja mendapat penolakan besar-besar dari berbagai kalangan. Kalangan akademisi hukum mengkritik proses pembuatan maupun model Omnibus Law tidak dikenal dalam peraturan perundangan di tanah air. Gerakan tani, lingkungan, pelajar, dan perempuan menilai substansi RUU Cipta Kerja akan merampas ruang hidup rakyat dan memberikan banyak kelonggaran kepada investor.

Serikat buruh menganalisis, Bab Ketenagakerjaan dalam Omnibus Law Cipta Kerja merampas hak atas pekerjaan, pendapat layak dan mencopot kepastian kerja. Seperti dapat dilihat dalam pasal-pasalnya, UU Cipta Kerja memperpanjang jam lembur per minggu, tidak mengakui waktu istirahat secara penuh, hubungan kerja fleksibel semakin longgar dan jumlah kompensasi diturunkan. Seperti diketahui, jumlah kompensasi dalam peraturan perundangan diperbesar dengan tujuan agar pengusaha tidak sembarangan melakukan pemecatan. Tapi dalam UU Cipta Kerja alasan PHK dipermudah dan nilai pesangon dikurangi. Artinya, UU Cipta Kerja membuat buruh semakin mudah dipecat.

Di tengah berbagai kritik dan penetapan PSBB, ternyata DPR RI membahas dan mengesahkan RUU Cipta Kerja, pada 14 Oktober 2020.

Setelah disahkan, UU Cipta Kerja telah memiliki 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres). Peraturan pelaksana akan terus bertambah sesuai amanat UU Cipta Kerja. Dengan demikian, seluruh kebijakan negara di tangan eksekutif dan tidak lagi memerlukan konsultasi dengan DPR.

Empat di antara aturan PP tersebut merupakan aturan pelaksana Bab Ketenagakerjaan. Yaitu, PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing (PP TKA), PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK), PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (PP JKP).

PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang TKA (Tenaga Kerja Asing). Pengawasan terhadap TKA semakin longgar. Sebelumnya TKA harus mendapat izin diganti dengan pengesahan dalam bentuk rencana penggunaan TKA (RPTKA).

PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT-PHK. Dalam aturan ini batas kontrak menjadi lima tahun tapi periode perjanjiannya tidak ditetapkan. Artinya, status buruh secara legal menjadi kontrak seumur hidup. Padahal diaturan sebelumnya, buruh kontrak dibatasi dua kali kontrak. Aturan ini pun, sebenarnya, banyak dilanggar.

Dalam peraturan tersebut pun tidak mengatur tentang pembatasan jenis kegiatan yang bisa dialihdayakan. Sehingga semua pekerjaan dapat dialihdayakan. Padahal di aturan sebelumnya telah diatur tentang sifat dan jenis pekerjaan.

PP Nomor 35 Tahun 2021 tidak lagi menyebut tentang jangka waktu istirahat panjang. Artinya, peraturan perundangan tidak lagi mengakui tentang istirahat panjang yang dapat memberikan kelonggaran kepada buruh mengistirahatkan badannya.

Dalam perkara alasan PHK dan jumlah kompensasi PP 35 makin tidak manusiawi. Alasan-alasan untuk memecat buruh semakin mudah, seperti mencegah kerugian, force majeur, perusahaan memiliki tanggungan hutang.

Setali dengan PP 35 adalah PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Dua aturan pelaksana tersebut memberikan keleluasaan kepada pengusaha memecat buruh sekehendaknya. Jika filosofi pembatasan alasan PHK dengan nilai kompensasi tertentu untuk mencegah pemecatan sewenang-wenang maka PP 35 dan PP 47 mempermudah memecat buruh.

Peraturan yang menghebohkan gerakan buruh adalah PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Semangat utama pasal-pasal pengupahan adalah tidak bekerja tidak dibayar alias no work no pay dan fleksibilisasi upah. Fleksibilisasi upah dalam UU Cipta Kerja maupun PP 36 diwujudkan dengan menghilangkan upah sektoral, pengenalan upah kesepakatan, upah satuan waktu, upah usaha mikro, dan kelonggaran-kelonggaran pengupahan lainnya yang diberikan kepada pengusaha.

Perbandingan UU 13/2003 dan UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan

Informasi yang beredar dari serikat buruh tingkat pabrik. Setelah UU Cipta Kerja disahkan, manajemen pabrik dengan agresif akan mengubah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) agar sesuai dengan UU Cipta Kerja. Di tempat lain, direksi perusahaan mengeluarkan internal memo kepada manajemen agar segera mengubah peraturan perusahaan atau PKB untuk disesuaikan dengan semangat UU Cipta Kerja. Di Kabupaten Tangerang, sebuah pabrik memecat buruhnya dan diminta mendaftar ke agen outsourcing sebagai buruh kontrak.

Per November 2021, MK mengabulkan uji materi terhadap UU Cipta Kerja. MK menegaskan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil dan inkonstitusionalitas bersyarat. MK pun memerintahkan agar pemerintah melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Seperti diterangkan di laman MKRI, pengabulan uji materi tersebut merupakan satu dari dua belas pengajuan uji materi terhadap UU Cipta Kerja, yang diajukan oleh Migrant Care, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau dan Muchtar Said.

Di hari yang sama, MK menolak sebelas nomor perkara lainnya dengan alasan UU Cipta Kerja telah diputus inskonsitusional bersyarat sehingga kehilangan obyek permohonan. Dengan nomor perkara berbeda-beda, serikat buruh dan organisasi lainnya mempermasalah beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja. Begitu banyak organisasi menguji formil dan materi UU Cipta Kerja, sebagai bentuk ketidaksetujuan. Artinya, UU Cipta Kerja entah dibuat untuk siapa.

[nextpage title=”Meramaikan Serikat dengan Diskusi, Melawan Fleksibilisasi“]

Per 2021, angka pengangguran melonjak dari 4,9 persen menjadi 7 persen dan pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 4 persen, pejabat negara dan para ekonom khawatir Indonesia mengalami krisis seperti 2008, bahkan mendekati krisis Asia 1997-1998.

Tentu saja krisis karena Covid-19 memiliki karakter berbeda dengan krisis sebelumnya. Meski diselesaikan dengan cara yang sama: perluasan program neoliberalisme.

Krisis sebelumnya memukul sisi penawaran akibat penumpukan berlebih dari kapital. Krisis tersebut diselesikan dengan cara membuka ruang akumulasi baru melalui program penyesuaian struktural (SAP/Structural Adjusment Programme) berupa deregulasi perbankan, liberalisasi dan privatisasi. Dari konteks tersebut, virus korona yang mewabah di berbagai negara menggoncang perekonomian, di mana sirkulasi dan distribusi barang seolah berhenti. Sistem kesehatan yang telah diprivatisasi terlambat mengambil keputusan penanganan virus.

Pemilik kapital kehilangan kesempatan menggandakan keuntungan, karena orang-orang berhenti berbelanja dan tidak bekerja. Lebih tidak menguntungkan karena jumlah ‘calon konsumen’ meninggal dunia merangkak naik. Pemilik kapital menempuh jalan cepat memindahkan kapital ke sistem digital dan sistem kesehatan. Negara dipaksa untuk segera menangani virus korona dengan membiarkan sistem kesehatan dikuasai para pemilik kapital. Setelah itu negara merasa perlu mengampanyekan hidup sehat, mengalokasikan anggaran triliunan untuk mengimpor vaksin dan mewajibkan vaksin kepada setiap warga negara.

Awal Januari, pemerintah mengimpor dosis vaksin Covid-19. Vaksin terbesar diimpor dari China (Sinovac), dari Amerika Serikat dan Kanada (Novavax), dari multilateral WHO dan Aliansi Vaksin Dunia (Covax-GAVI), dan dari Inggris (AstraZeneca), Jerman dan Amerika Serikat (Pfizer BioNTech). Pemerintah merealokasi anggaran vaksinasi Covid-19 sebesar Rp 54,44 triliun dari APBN.

Tanpa mengoreksi sistem kesehatan, negara menyerahkan problem dasar kesehatan ke mekanisme pasar. Rakyat sedang diseret di industri kesehatan. Sulit memahami kebaikhatian negara menyediakan vaksin untuk mencegah serangan virus korona, sementara membiarkan jutaan buruh bekerja dalam kondisi terancama nyawa dan hidup di pemukiman padat dengan sanitasi yang buruk. Lagi pula, tingkat kematian akibat kecelakaan kerja, kematian ibu hamil dan melahirkan merupakan persoalan yang menahun. Sementara anggaran kesehatan dan pendidikan selalu di urutan terendah ketimbang pertahanan keamanan.

Pada akhirnya kesulitan mendapatkan konsumen segera diakhir. Para pemilik kapital besar beralih ke jualan online sambil tidak berhenti mempromosikan dan menawarkan diskon penjualan barang. Para penjual barang beralih ke toko-toko daring yang digerakan oleh para buruh-pengemudi Ojek Online (Ojol). Tak heran jika di masa Covid-19, aplikator semacam Amazon, Grab, Gojek, Shopee, meraup untung berlipat.

***

Sepanjang 2020-2021 dengan alasan terdampak Covid-19, jutaan buruh dipecat atau diliburkan tanpa upah; atau dengan sedikit upah. Buruh yang bekerja upahnya dipangkas dengan alasan jam kerja dikurangi. Argumen serikat buruh agar buruh yang dirumahkan atau mengalami gilir-kerja mendapat upah penuh, dipatahkan pengusaha. Pengusaha berkilah Covid-19 merupakan Bencana Nasional yang tidak dapat dihindari, sebagaimana Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Dengan alasan itu pula para pengusaha berdalih: no work no pay alias tidak bekerja tidak mendapat upah.

No work no pay merupakan doktrin kuno yang tumbuh subur di zaman pemilikan budak, di masa revolusi industri dan berakhir dengan diakuinya prinsip dan hak mendasar di tempat kerja oleh Organisasi Perburuhan Internasional, pada 1919. Di Indonesia, doktrin tersebut dilanggengkan di zaman penjajahan. Kemudian berakhir dengan diakuinya usia minimum kerja, hak cuti haid, hak menolak bekerja di tempat berbahaya bagi perempuan, hak berunding dan hak berserikat serta larangan kerja paksa melalui Undang-Undang Kerdja Nomor 12 Tahun 1948.

Paradigma UU Kerdja adalah pengakuan: relasi buruh dan pengusaha tidak seimbang. Buruh lemah, pengusaha memiliki segalanya. Prinsip hak dasar buruh mengakui hak-hak melekat pada buruh saat terjadi relasi pekerjaan antara buruh dan pengusaha. Dari relasi timpang tersebut, negara menjamin, melindungi dan memajukan hak dasar buruh.

Dengan segala pembatasannya, doktrin no work no pay muncul dengan klausul ‘Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan pekerjaan’ dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Peraturan yang dikeluarkan zaman Soeharto untuk menarik investasi asing. Prinsip tersebut diangkat derajatnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Dalam UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan prinsip no work no pay diperluas dengan mengatur hubungan kerja, jenis-jenis upah dan kelonggaran-kelonggaran bagi pengusaha. Gejala-gejalanya dapat ditelusuri dengan diperkenalkannya upah kesepakatan, upah perdesaan, upah padat karya, upah per jam, dan penghapusan upah sektoral. Pada 2015 diperkenalkan pembatasan kenaikan upah minimum tidak lebih dari 8 persen. Teranyar, pembatasan kenaikan upah minimum tidak lebih dari 1 persen.

Doktrin no work no pay hanya mengakui pekerjaan selesai dengan sempurna. Jika pekerjaan selesai tapi terdapat kesalahan maka tidak di anggap sebagai tindakan ‘bekerja’. Kemudian proses perbaikan yang memakan waktu dan mengeluarkan tenaga digolongan sebagai satu pekerjaan yang sama. Doktrin no work no pay tidak mengenal konsep ‘kelebihan jam kerja’ sebagai jam lembur. Di pabrik garmen maupun tekstil, cara kerja no work no pay biasanya ditemukan dalam bentuk ‘jam skorsing’, ‘menyelesaikan target kerja’, ‘jam toleransi’, dan istilah-istilah teknis lain; dapat pula ditemukan dalam sistem kerja borongan, kerja rumahan, komisi, ritase, dan sistem poin untuk Ojek Online.

Doktrin no work no pay pun tidak memberikan toleransi terhadap hambatan-hambatan dalam pekerjaan, seperti ‘menolak bekerja di area berbahaya’, ‘tidak bekerja karena tidak ada pekerjaan’, ‘tidak bekerja karena tidak diizinkan oleh manajemen’, ‘tidak bekerja karena sakit atau perlu istirahat’. Jadi prinsip no work no pay menganulir prinsip hak dasar buruh ‘timbul ketika terjadi ikatan hubungan kerja’.

***

Di tengah berbagai kesulitan, tentu saja terdapat hal-hal baru yang membutuhkan pengamatan lebih dalam.

Pertama, aksi massa pelajar yang terdiri dari mahasiswa dan siswa sekolah menengah di berbagai kota pada minggu ketiga September 2019. Mereka membawa tujuh tuntutan, di antaranya pencabutan revisi UU KPK dan penundaan RKUHP. Pejabat negara dan pengusaha menyebutnya sebagai angkatan kerja baru dan bonus demografi. Generasi milenial ini sedang berhadapan dengan rezim no work no pay, sebagai generasi buruh kontrak.

Generasi baru dalam pasar kerja tersebut memiliki cara berbeda dalam belajar dan merespons masalah termasuk memandang berorganisasi. Lagi pula, di berbagai wilayah, buruh muda tidak terlalu lebih akrab dengan serikat buruh, yang mengaku diri sebagai organisasi profesional dan memajukan hubungan industrial yang harmonis. 

Kedua, mengemukanya isu-isu kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan. Isu ini semakin mendesak dipikirkan dalam gerakan sosial, terutama gerakan buruh. Dalam lima tahun terakhir, riset-riset tentang kekerasan dan pelecehan seksual di pabrik begitu melimpah. Namun, isu perempuan kerap dianggap sebagai ‘hanya persoalan perempuan’. Tentu saja tidak cukup sekadar menempatkan perempuan dalam departemen khusus, jika karakter dan program serikat buruh tidak ramah perempuan.

Ketiga, dari seluruh perbincangan tentang wabah Covid-19 dan krisis kesehatan, terdapat satu ‘pasukan’ yang luput dari perbincangan: hak para petugas kesehatan.

Petugas kesehatan medis maupun nonmedis di fasilitas kesehatan maupun rumah sakit: dari sopir ambulans, cleaning servis, perawat hingga dokter berisiko terinfeksi lebih tinggi dibanding masyakat umum. Ketika kasus infeksi virus korona meledak di periode Juni hingga Agustus 2021, beban pekerjaan dan tingkat risiko terinfeksi meningkat berlipat. Per 2 September, tercatat sebanyak 1.977 tenaga kesehatan yang meregang nyawa akibat serangan korona. Angka kematian yang tidak dapat dianggap remeh.

Studi Adrianna Bella, Dian Kusuma dan Gita Kusnadi tentang dampak wabah Covid-19 terhadap tenaga kesehatan yang dilakukan 9 April-1 Juli 2020 di delapan rumah sakit rujukan pelayanan Covid-19 di Jabodetabek menemukan bahwa rumah sakit-sakit tidak menyediakan tes PCR bagi pekerjanya. Penelitian tersebut juga mengindikasikan bahwa rumah sakit-rumah sakit tidak memberikan pengetahuan yang cukup, peralatan dan kesejahteraan yang memadai bagi para pekerja kesehatan. Alhasil, para pekerja kesehatan menjadi tumpuan masyarakat namun tidak mendapat perlindungan.

Keempat, penting memikirkan kembali diskusi lama mengenai buruh sebagai kelas, bukan semata ‘orang yang bekerja di perusahaan’. Nyatanya persoalan buruh merentang dari tempat kerja hingga berhadapan dengan harga air dan fasilitas kesehatan yang buruk. Selain itu, saat ini jangka waktu bekerja semakin pendek dan buruh semakin mudah pindah tempat kerja. Ungkapan, “Gak apa-apa harga naik asal upah naik”, “Yang penting buruh mendapat perlindungan jaminan kecelakaan”, semakin terdengar kuno dan bukan jalan menyelesaikan problem perburuhan. Barangkali berguna memikirkan kembali bentuk organisasi dan pengorganisasian yang dapat melampaui nama perusahaan.

Kelima, sementara pemerintah bersusah payah merealokasi anggaran negara untuk membantu dunia usaha, Kemnaker menyebut terdapat 29,4 juta orang terdampak pandemi Covid-19. Jumlah itu termasuk buruh yang dipecat, dipecat dengan pesangon lebih kecil dari ketentuan, dirumahkan tanpa upah, pengurangan jam kerja dengan pemotongan upah. Angka korban massal tersebut dimungkinkan karena terjadi pembiaran oleh negara. Alasan-alasan pengusaha telah cukup luas dibeberkan di media massa umum dan tidak perlu diperdalam lagi.

Di berbagai tempat kebijakan-kebijakan yang mengorbankan jutaan buruh tersebut ditempuh tanpa kesepakatan dengan serikat buruh. Di tempat lain serikat buruh turut menyepakati tindakan pengusaha. Namun, tidak diketahui dengan pasti, sejauhmana kesepakatan dengan pengusaha menempuh pendiskusian mendalam dengan anggota-anggota serikat buruh. Sementara ini, para buruh mengatakan bahwa mereka hanya menerima sosialisasi hasil keputusan, bahkan terdapat buruh yang sama sekali tidak mengetahui keputusan yang menyangkut dirinya tersebut.


1 Sumber utama tulisan ini adalah pengamatan dan serangkaian wawancara tidak terstruktur dengan para aktivis perburuhan, hasil-hasil penelitian lembaga lain yang berkenaan dengan wabah Covid-19 terhadap isu perburuhan, kliping berita media massa. Argumen dalam tulisan ini diperkuat dengan diskusi akhir tahun dengan tajuk: Refleksi Akhir Tahun: Adaptasi Penindasan Baru vs Adaptasi Perlawanan Baru, yang diselenggarakan pada 27, 28, 29 Desember 2021. Penulis berhutang budi dan mengucapkan terima kasih kepada seluruh narasumber dan partisipan yang mengungkapkan berbagai persoalan dunia perburuhan.

[2] Sebagai bagian dari peneguhan hubungan kerja pengemudi Ojol dan aplikator merupakan hubungan perburuhan dan menolak menyosialisasikan istilah ‘mitra’, saya menambahkan istilah ‘buruh’ di depan kata pengemudi. Istilah Ojol berlaku pula untuk para pengirim barang di semua layanan aplikasi. Untuk argumen lebih lanjut mengenai keharusan menggunakan istilah buruh bagi pengemudi Ojol dapat dilihat di sini.