MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Pengorganisasian Buruh Berbasis Tempat Tinggal

“Teh, gimana caranya kawan-kawan PDK bisa bertahan sampai bertahun-tahun? Kok bisa kasus sudah sembilan tahun masih ada yang mau ikut aksi, kayak Aksi Sejuta Buruh kemarin dan May Day?”.

Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari seorang kawan. Ketika kami berdiskusi ringan menunggu kedatangan kawan-kawan KASBI (Kofederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indoensia). Hari itu KASBI akan bersilaturahmi dengan kawan-kawan P2RI (Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia).

Sejujurnya saya tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Pertanyaan yang sama sering terlintas di pikiran saya: ‘Kok bisa bertahan sampai selama ini?’, ‘Kok kawan-kawan masih punya semangat untuk kampanye setiap hari’ dan banyak pertanyaan lain.

***

Detik-detik yang memuakan

Ketika membereskan dokumen-dokumen lama kasus PDKB (Panarub Dwikarya Benoa), saya menemukan satu bundel kertas lusuh dan kekuningan. Di sebelah atas kanan kertas tertulis Pedoman & Panduan Kerja Menyeluruh dan di kiri bawah tertulis Dikeluarkan oleh Pengurus PTP PDK Untuk Anggota. Di halaman pertama bundelan itu tertera Pekerjakan 1300 Buruh PT Panarub Dwikarya dan Berikan Seluruh Hak Sesuai Ketentuan. Di lembaran lainnya ada sikap politik.

Tetiba mata saya tertuju ke halaman selanjutnya. Saya terbelalak dengan tulisan tebal: Panduan Untuk Kegiatan Group Di Panarub Dwikarya. Baris demi baris saya amati.

Bundelan dokumen itu seperti mesin waktu yang membawa ingatan saya ke tahun 2012. Ada rasa amarah, kecewa, takut, keberanian dan muak. Tapi, kalau diingat dari keadaan sekarang, ada juga beberapa kejadian lucu.

Selesai membaca akhirnya saya bisa menjawab pertanyaan di atas. Mengapa perempuan-perempuan berkeluarga dan single parent yang rata-rata tamatan sekolah menengah itu bertahan berjuang dan masih terkonsolidasi lebih dari sembilan tahun. Salah satu jawabannya: pendidikan dan pengorganisasian berbasis wilayah!

Apa hebatnya? Pengalaman kawan-kawan PDKB sangat berharga. Biasanya, model advokasi nonlitigasi bertahan dalam hitungan bulan. Setelah itu, kasus perburuhan akan menempuh jalur-jalur litigasi dan diserahkan ke pengurus serikat buruh. Dengan berbagai alasan. Entah alasan hukum atau alasan-alasan kondisi ekonomi buruh yang berkasus. Ada pula alasan-alasan naif: kasihan buruhnya tidak punya penghasilan, biar ditangani pengurus saja. Dengan cara demikian tidak ada lagi partisipasi anggota untuk belajar menyelesaikan masalahnya. Setelah kasus dianggap selesai, buruh yang tadinya anggota serikat buruh akan terpisah dari organisasi.

***

Serangan yang bertubi-tubi

Setelah perusahaan menyatakan 1300 buruh yang terlibat aksi massa dianggap mengundurkan diri, persoalan selanjutnya adalah memecahkan persoalan ‘bagaimana komunikasi tetap terbangun dengan semua anggota’. Untuk konsolidasi atau rapat dengan anggota yang berjumlah lebih dari seribu tentu membutuhkan tempat yang luas.

Ya! 1300 buruh PT Panarub Dwikarya Benoa (PDKB) Kota Tangerang. PT PDKB mulai beroperasi pada 2008 sebagai anak usaha dari Panarub Grup. Sembilan puluh persen buruhnya perempuan. Pada 2008 membuat sepatu merek Mizuno, New Balance, Concave dan Specs. Pada 2011 masuk lagi order baru yaitu dari Adidas.

Di periode awal setelah dianggap mengundurkan diri, yaitu 2012-2014. Para buruh melakukan berbagai upaya menuntut haknya. Ketimbang memenuhi hak buruh, pemilik pabrik malah menutup pabrik pada 2014. Pemilik pabrik ini bernama Hendrik Sasmito, salah satu pengusaha sohor di Indonesia. Hendrik pun adalah adalah bos Panarub Group.

Pada 2015 lahan pabrik disewakan ke OPPO Electronics Corporations, perusahaan perakit gawai merek Oppo. Pabrik OPPO Tangerang direncanakan akan menjadi pabrik terbesar kedua setelah Oppo di Shenzhen, China. Di periode itu pula, Panarub Grup membuka pabrik baru untuk produksi sepatu di Brebes Jawa Tengah dengan nama Bintang Indokarya Gemilang.

Jenis aksi massa apa yang membuat buruh dianggap mengundurkan diri? Pada 12 Juli 2012 sekitar dua ribu buruh mogok spontan. Selama lima hari. Mesin produksi mati total.

Latar belakang pemogokannya banyak. Tapi pemicunya adalah soal pembayaran upah yang tidak sesuai aturan upah minimum berjalan dan pembayaran rapelan upah. Sebelum itu, ada kejadian-kejadian yang bikin marah buruh. Seperti briefing pekerjaan tapi di luar jam kerja dan tanpa dihitung lembur serta perubahan sistem produksi menjadi line system atau one piece flow.

Line system membuat buruh kesulitan beristirahat dan menambah beban pekerjaan. Bayangin aja; gimana rasanya beban kerja nambah tapi upah malah ditangguhkan. Siapa yang tidak kesal?!  Seandainya buruh mengambil jeda kerja sebentar untuk ke toilet, pekerjaan akan menumpuk atau di-omeli atasan. Agar tidak dihardik atasan, pada akhirnya, buruh tidak mengambil kesempatan untuk ke kamar kecil atau menjalankan salat, bahkan tidak mengambil cuti tahunan atau keperluan lainnya.

Jadi, kalau lihat peraturan di tempat kerja memang ada kebijakan istirahat kerja atau cuti. Tapi kesempatan itu tidak dapat dinikmati. Karena sistem kerja line system mengondisikan buruh mengerjakan tiga jenis pekerjaan sekaligus tanpa henti. Jadi bukan soal ada-tidaknya aturan. Bukan pula soal oknum. Tapi sistem kerja yang membuat buruh harus melayani mesin produksi. Bekerja seperti hamba sahaya.

Kasus Ramsah misalnya. Ramsah dihukum berdiri di depan line produksi hampir 30 menit dan menjadi tontonan ratusan teman kerjanya. Ramsah dipermalukan. Saat itu Ramsah sedang mengandung dengan usia kehamilan sekitar tujuh bulan. Ramsah dihukum karena tidak masuk kerja. Ia tidak masuk kerja untuk menghadiri pernikahan adiknya. Sebenarnya, sebelum memutuskan bolos kerja, Ramsah mengajukan cuti. Namun ditolak manajemen. Karena menghadiri pernikahan saudara sekandung lebih penting dan memiliki nilai ibadah, Ramsah pun memberanikan diri tidak masuk kerja. Hasilnya, Ramsah mengalami kekerasan fisik dan psikis.

Ada pula peristiwa yang menyayat hati Rohayati. Saat itu, suami Rohayati dalam keadaan sakit parah. Tapi Rohayati tidak dapat menemani belahan jiwanya. Rohayati tetap bekerja. Saat suaminya dalam kondisi kritis, Rohayati tidak dapat meninggalkan mesin produksi. Akhirnya, Rohayati pun tidak dapat menemani detik-detik terakhir suaminya melepaskan nyawa.

Sebelum pemogokan massal tersebut, pada 23 Februari, saya dan sebelas kawan lain mendeklarasikan berdirinya serikat buruh di PT PDKB. Esoknya, saya dan kawan-kawan dipecat dengan dalih efisiensi.

Jika dirunut, dalih efisiensi untuk memecat merupakan rentetan dari upaya menghalangi pendirian serikat buruh. Seperti dialami oleh buruh di tempat lain, ketika membuat pertemuan-pertemuan kecil—kadang sembunyi-sembunyi, untuk mendirikan serikat buruh, dengan cepat berita tersebut akan diketahui oleh manajemen. Begitu pula dengan kami. Entah bagaimana mereka bisa mengetahuinya. Manajemen seperti memasang CCTV dimana-dimana: jika buruh membuat gerak-gerik yang mempersoalkan kebijakan perusahaan akan segera diketahui oleh manajemen.

Karena berita pendirian serikat buruh tersebar, manajemen pun membujuk kami agar tidak mendirikan serikat buruh, bahkan mengarahkan agar serikat buruh berafiliasi ke serikat buruh tertentu. Tentu saja kami menolak. Karena serikat buruh yang disarankan dibuat oleh manajemen dan untuk menyenangkan hati para petinggi perusahaan. Buktinya, serikat buruh itulah yang menyetujui penangguhan upah minimum yang ditolak oleh para buruh dengan mogok.

Kembali ke cerita pemogokan massal. Empat hari buruh mogok. Di hari kelima buruh berniat masuk kerja. Manajemen perusahaan melarang buruh memasuki area kerja. Setelah itu, mereka menyatakan bahwa mogok kami ilegal dan kami dianggap mangkir kerja.

Kami berpikir keras. Bagaimana caranya buruh perempuan yang jumlah ribuan itu dapat berkumpul, terhubung satu sama lain dan saluran informasi berjalan lancar. Di periode itu, telepon genggam belum secanggih sekarang yang menyediakan layanan pesan cepat, seperti Whatsapp. Pengguna telepon seluler pun masih dapat dihitung dengan jari.

Akhirnya kami memutuskan untuk mencari tempat berkumpul yang mudah diakses dan luas. Saat itu diputuskan untuk berkumpul di tempat parkir bus jemputan PT Hansumtex. PT Hansumtex merupakan pabrik di jalan Galeong Tangerang. PT Hansumtex berada di belakang Toko Mitra 10, sebuah pertokoan. Tempat tersebut sering disebut dengan Mitra 10.

Sebenarnya, memilih Mitra 10 sebagai tempat berkumpul berisiko. Karena tempat tersebut terbuka dan terlalu menonjol. Tapi kami tidak punya pilihan lain. Hanya itulah tempat yang paling mungkin dipergunakan.

Hari demi hari berlalu. Kami masih berusaha berkumpul dan menjaga komunikasi. Manajemen perusahaan pun tidak tinggal diam. Mereka mengerahkan berbagai cara untuk menghentikan perlawanan kami, membatasi ruang gerak, melemahkan ‘iman’ perjuangan, bahkan memaksa anggota keluar dari organisasi yang kami bangun. Mereka mengirimkan ‘agen-agen’ perusahaan ke tempat tinggal buruh. Beberapa cara memang berhasil dan banyak pula yang tidak mujarab.

Manajemen menyebarkan selebaran ke kontrakan-kontrakan buruh. Isi selebarannya menyebutkan bahwa pemogokan kami ilegal. Sekali waktu, saya pun pernah mendapati kiriman bangkai hewan di depan kontrakan. Saya menduga bahwa itu adalah ulah manajemen untuk mengintimidasi saya.

Cara lainnya adalah mengerahkan preman, karang taruna, aparat desa dan orang-orang kuat lokal lainnya. Aparat desa mengumpulkan buruh di wilayah tertentu dan membujuk agar buruh bersedia menerima ‘uang tali asih’ dan mundur dari serikat buruh. Anehnya, ada pula penagih hutang (debt collector) salah satu bank nasional yang menyarankan agar buruh mundur dari serikat buruh dan menerima ‘uang tali asih’ untuk membayar utang ke bank.

Manajemen pun menyebarkan nama-nama buruh yang terlibat dalam aksi massa ke perusahaan lain. Saat itu, beberapa kawan mencari peruntungan dengan melamar kerja di perusahaan lain. Beberapa kawan diterima bekerja. Ternyata, perusahaan tersebut didatangi oleh manajer HRD PT PDKB. Setidaknya enam pabrik mereka datangi. Kemudian mendesak manajemen perusahaan lain mengeluarkan kebijakan: ‘tetap dipekerjakan asal keluar dari serikat buruh. Jika tidak keluar akan dipecat’. Kawan-kawan diperlakukan seperti kriminal.

Bujukan lain adalah memberikan reward sebesar Rp 100 ribu hingga Rp250 ribu kepada siapa saja yang berhasil menarik mundur buruh dari barisan perlawanan.

Cara ekstrim lainnya adalah memecah belah kawan-kawan dengan menyebarkan propaganda negatif, seperti menyebutkan: ‘1300 buruh dimanfaatkan oleh Kokom untuk demo. Kokom adalah adalah orang perusahaan.’ Saya pun pernah disatroni oleh suami-suami anggota. Mereka menuduh saya sebagai penyebab buruh dipecat.

Sekali waktu ketika kami berdemonstrasi di depan pabrik, manajemen pun mengerahkan para pedagang di sekitar pabrik untuk membuat demo tandingan. Ada pula demo tandingan yang diorganisasikan langsung oleh manajemen. Mereka berdemonstrasi dengan pengeras suara dengan daya lebih besar. Para manajer bergantian berorasi.

***

Pengorganisasian berbasis tempat tinggal

Begitu besar kekuasaan manajemen. Kami tidak pernah berpikir bahwa perjuangan akan mudah, cepat dan berakhir happy ending. Perjuangan ini pasti terjal.

Ada juga kemungkinan persoalan dari anggota sendiri seperti rasa putus asa karena kasus yang lama, persoalan dalam keluarga, persoalan ekonomi karena tidak mendapat upah, apalagi saat itu akan menghadapi Idulfitri, tagihan dari pihak debt collector, leasing, kebutuhan anak sekolah, rentenir dan masalah-masalah lain. Masalah-masalah itu, sebenarnya, merupakan persoalan sehari-hari buruh pada umumnya. Tapi persoalan itu kami tempatkan sebagai persoalan yang dipecahkan bersama. Agar tidak menghambat perjuangan.

Setelah saya amati satu persatu, ternyata kawan-kawan yang bertahan hingga sekarang merupakan hasil pendidikan yang diadakan secara intensif. Mereka yang turut menyiapkan struktur serikat buruh. Seingat saya, pada 2012, setiap sore kami berkumpul dan berdiskusi di kontrakan. Setiap Sabtu dan Minggu kami datang ke wilayah-wilayah untuk berdiskusi. Setidaknya, saya mencapat sekitar 315 orang selalu terlibat dalam kegiatan diskusi selama dari Februari hingga Juni 2012.

Berarti paling utama adalah menyebarluaskan pendidikan. Tampaknya, ini menjadi faktor penting agar terjadi peningkatan kesadaran anggota. Pendidikan yang kami laksanakan tidak sebatas persoalan hukum ketenagakerjaan. Kami juga belajar memanfaatkan media sosial, belajar membuat poster, cara membuat surat, tentang persoalan buruh di tempat-tempat lain dan berkenalan dengan isu-isu rakyat lainnya. Saya juga belajar banyak kepada kawan-kawan, tentang bagaimana mereka menghadapi persoalan rumah tangga hingga mengatasi persoalan keuangan.

Masalah selanjutnya adalah mengatasi persoalan konsolidasi anggota. Mulanya kami mengelompokan anggota berdasarkan line produksi. Kelompok itu dikoordinasikan oleh seorang koordinator lapangan. Setelah dipecat, metode pengorganisasian itu kami ubah dengan metode berbasis tempat tinggal.

Umumnya, bentuk pengorganisasian serikat buruh mirip organisasi profesi. Bahkan, lebih sempit lagi: pengorganisasian sekadar menambah anggota baru dan menambah iuran. Susah jika dikatakan sebagai organisasi kelas buruh. Ikatan buruh dengan serikat buruh terjadi pada saat hubungan kerja. Bahkan, ada serikat buruh yang hanya menerima buruh tetap. Tidak merekrut buruh kontrak atau outsourcing. Wajar jika serikat buruh identik dengan orang yang bekerja di pabrik saja. Bentuk organisasi ini dibentuk di zaman Soeharto. Sering disebut sebagai enterprise union atau serikat buruh perusahaan. Lebih cocok diterapkan ketika banyak buruh statusnya tetap. Tapi sekarang lebih banyak buruh berstatus kontrak dan outsourcing, anehnya bentuk serikat buruh tidak berubah.

Bisa dilihat bahwa rata-rata basis serikat buruh ada nama perusahaannya, misalnya pengurus serikat buruh PT A. Jadi, selama buruh berada di PT A maka masih mungkin untuk terikat sebagai anggota. Ketika buruh tersebut pindah perusahaan maka keanggotaanya hilang. Yang paling parah, jika perusahaan tutup atau pindah tempat maka otomatis satu basis serikat buruh hilang. Makanya, ketika perusahaan garmen dan sepatu banyak relokasi ke Jawa Tengah, serikat buruh di Jabodetabek kelabakan. Kehilangan ribuan anggota.

Secara praktis kami melihat kelemahan pengelompokan buruh berbasis tempat kerja:

  1. Di satu pabrik, jumlah buruh bisa sampai ribuan. Di satu line produksi terdapat lebih dari ratusan orang. Para buruh datang ke pabrik dengan niatan bekerja. Akan sangat sulit membuat pertemuan rutin di tempat kerja, apalagi membicarakan hal-hal internal organisasi.
  2. Status buruh yang telah di-PHK tercerai-berai. Buruh tidak lagi datang ke pabrik secara rutin. Waktu sehari-hari buruh berada di tempat tinggal bukan lagi di pabrik.
  3. Dengan status buruh ter-PHK, tidak mendapat upah dan tersebar di tempat tinggal yang berbeda, anggota akan mendapat kendala untuk menghadiri pertemuan. Kendala-kendala tersebut berlapis dari persoalan ongkos transportasi hingga izin keluarga.
  4. Dalam kondisi perjuangan PHK biasanya tekanan datang dari keluarga. Manajemen pun sering memasuki ruang keluarga agar buruh berhenti berjuang. Karena itu, penting bagi organisasi memberikan pemahaman dan melibatkan anggota keluarga dalam perjuangan. Toh, serikat buruh seringkali menyebut bahwa tujuan serikat buruh adalah meningkatkan kesejahteraan anggota dan keluarganya.

Dari bacaan situasi tersebut akhirnya ditetapkan pentingnya melakukan pengorganisasian berdasarkan tempat tinggal. Sistem pengorganisasian ini memang disiapkan dengan kemungkinan: siap kalah dan siap menang. Seandainya kalah pun buruh tetap terorganisasi. Seandainya, menang organisasi akan makin kuat.

Dalam pengorganisasian berbasis tempat tinggal, kami mendata terlebih dahulu keberadaan anggota. Kemudian mengelompokan tempat tinggal yang berdekatan. Unit terkecilnya sekitar tujuh sampai sebelas orang. Strukturnya setingkat RT atau RW. Setiap kelompok diminta untuk membuat agenda kerja termasuk membuat struktur sesuai kebutuhan. Fungsi lain dari kelompok kecil ini menggalang iuran, menyebarkan informasi tentang perkembangan kasus dan memeriksa keadaan anggota.

Kelompok-kelompok kecil tersebut kemudian dikoordinasikan oleh Koordinator Wilayah (Korwil). Selain mengoordinasikan kelompok kecil, tugas lain dari Korwil adalah menghadiri pertemuan pimpinan tingkat pabrik, menyampaikan laporan dan keluhan anggota serta meneruskan informasi-informasi dari pimpinan.

Sementara pimpinan tingkat pabrik memandu pekerjaan-pekerjaan organisasi, melaporkan perkembangan kasus, mengakomodasi saran dari Korwil dan membantu memecah persoalan anggota. Selain itu, pimpinan tingkat pabrik pun melakukan kerja-kerja aliansi, pendidikan dan kampanye massa.

Di tengah perjuangan yang tidak terduga pekerjaan selanjutnya adalah persoalan keuangan. Saat itu, memang persoalannya sangat rumit. Pimpinan dan Korwil memiliki persoalan tanggungan keluarga, tidak memiliki tempat tinggal karena diusir dari kontrakan dan mengelola aktivitas advokasi. Ada beberapa anggota yang sudah bekerja, mencoba membuka usaha lain, bahkan ada yang tidak punya penghasilan. Kami memecahkan persoalan dengan menggalang iuran.

Topangan utama iuran adalah anggota. Saat itu, kami pun mendapat bantuan dari berbagai jaringan organisasi. Tapi fokus utama iuran adalah anggota. Besaran iuran diputuskan bersama-sama. Iuran adalah bentuk partisipasi nyata dari anggota. Iuran tersebut kami catat dan kami laporkan secara regular termasuk penggunaannya. Misalnya, kami menggunakan iuran untuk mengontrak sebuah tempat tinggal.

Kami memutuskan untuk menyewa tempat tinggal. Tempat tinggal tersebut difungsikan sebagai kantor, sebagai tempat pendidikan dan pusat informasi. Jadi tidak seperti kantor pada umumnya. Kantor serikat buruh pada umumnya terikat jam kerja dan difungsikan untuk pekerjaan-pekerjaan advokasi.

Kami menyebut tempat tinggal itu ‘Sekre’, kependekan dari sekretariat. Di sekretariat inilah kami belajar banyak hal: dari belajar ekonomi-politik, strategi advokasi, pelatihan kampanye, cara membuat surat hingga cara mengantarkan surat ke kepolisian. Kami juga tidak lupa belajar masak dan menjaga sekre bersama-sama.

***

Membangkitkan kesadaran dan solidaritas

Umur kasus kami lebih dari sembilan tahun. Saya senang melihat kawan-kawan banyak kemajuan. Beberapa di antara mereka masih aktif melakukan kampanye media sosial dan terlibat dalam aksi-aksi massa. Ada pula di antara mereka yang aktif sebagai pekerja sosial di desanya. Kawan-kawan yang lain ada yang telah bekerja dan membangun serikat buruh. Ada juga kawan-kawan yang memanfaatkan kemampuan membuat poster untuk berdagang online. Saya gembira. Saya tidak tahu entah sampai kapan kasus ini berakhir. Tapi semangat kawan-kawan seakan tidak pernah pudar. Saya selalu terpesona dengan semangat kawan-kawan dan melupakan semua keluhan.

Selama ini pengorganisasian tidak lebih dari sebatas perekrutan, menambah anggota baru dan keberhasilan menarik iuran melalui CoS (Check of System). Itu pun sebatas perekrutan orang yang bekerja di pabrik dengan status tetap. Merekrut dan menambah anggota baru merupakan bagian dari pengorganisasian. Memang merekrut anggota baru tidak mudah. Apalagi di dalam satu pabrik terdapat banyak serikat buruh pasti terjadi rebutan anggota. Tak jarang perebutan anggota tersebut berakhir di tingkat Disnaker dan melelahkan. Tampaknya, serikat buruh tidak terlalu menarik bagi anak-anak muda atau makin sulit menjangkau anak-anak muda dengan status kerja kontrak. Saya ingin mengingatkan bahwa fungsi lain dari pengorganisasian meningkatkan kesadaran dan kemampuan buruh. Dan, menyapa buruh hingga ke tempat tinggal mereka.

Penulis

Nonon Cemplon
Labour story teller