Dunia ketenagakerjaan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini diwarnai pro-kontra tentang buruh atau tenaga kerja asing terutama dari Cina dan memuncak ketika keluar PP no 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Sikap kontra terutama muncul dari sebagian serikat buruh dengan argument bahwa peraturan tersebut akan merugikan tenaga kerja Indonesia dan menguntungkan tenaga kerja asing. Dalam konteks itu Syarif Arifin menulis sebuah artikel yang amat kaya dengan informasi berjudul Pemilu Sementara, Rasisme Abadi: Politik Rasisme di Serikat Buruh. Argumen utama tulisan tersebut adalah serikat buruh Indonesia mengidap rasisme karena menolak tenaga kerja asing (baca: tenaga kerja dari negara Cina) dan bahkan menerapkan politik rasisme dalam perjuangannya dan hal itu menyalahi prinsip serikat buruh.
Argumen yang menarik itu menurut saya terlalu terburu-buru dibuat sehingga kurang tepat karena dua alasan. Alasan pertama karena argument itu belum disertai dengan apa yang dimaksud dengan rasisme (apalagi politik rasisme) dan alasan kedua karena situasi umum ketenagakerjaan dan keserikatburuhan di Indonesia tidak menjadi konteks argument.
Rasisme
Pengertian umum rasisme dalam kamus Merriam-Webster adalah sebuah keyakinan bahwa ras merupakan penentu utama dari sifat dan kemampuan manusia dan keberagaman ras menghasilkan rasa superioritas dari suatu ras tertentu (a belief that race is the primary determinant of human traits and capacities and that racial differences produce an inherent superiority of a particular race)1. Pengertian rasisme yang lain menyebut bahwa rasisme adalah keyakinan bahwa suatu ras tertentu berada dalam posisi superior atau inferior terhadap ras yang lain dan ciri social dan moral seseorang ditentukan oleh karakteristik biologisnya (Racism is the belief that a particular race is superior or inferior to another, that a person’s social and moral traits are predetermined by his or her inborn biological characteristics2.
Pengertian rasisme yang lebih rinci dikutip dari Ramon Grosfoguel yang mendefinisikan rasisme sebagai sebuah hirarki atau susunan global tentang superioritas dan inferioritas manusia yang diproduksi dan direproduksi secara politis, budaya dan ekonomi selama berabad-abad oleh berbagai institusi ‘’kapitalis/patriarkal barat/Kristen modern/system dunia kolonial” (Racism is a global hierarchy of superiority and inferiority along the line of the human that have been politically, culturally and economically produced and reproduced for centuries by the institutions of the “capitalist/patriarchal western-centric/Christian-centric modern/colonial worldsystem” (Grosfoguel, 2011).3
Dalam pengertian yang umum maupun yang khusus sebagaimana disampaikan di atas, rasisme mengandung unsur superior dan inferior bagi pengidapnya. Dan di sinilah letak persoalan dengan argument rasisme serikat buruh yang diajukan oleh Syarif Arifin.
Kebijakan Ketenagakerjaan dan Serikat Buruh
Dalam konteks ketenagakerjaan dan keserikatburuhan di Indonesia, penolakan terhadap tenaga kerja asing yang dijadikan ‘bukti’ rasisme oleh Arifin sejatinya tidak mengandung unsur superioritas atau inferioritas serikat buruh terhadap pekerja asing, melainkan sebuah bentuk kecemasan terhadap kebijakan pemerintah yang sangat pro modal dan sangat rindu investasi asing untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga menomorsekiankan urusan buruh dan kesempatan kerja yang berkelanjutan bagi rakyatnya sendiri.
Secara esensial kewaspadaan terhadap tenaga kerja asing memang perlu dilakukan terutama karena pengawasan imigrasi dan dinas-dinas ketenagakerjaan yang longgar. Sudah amat sering aktivis perburuhan dan serikat buruh menyampaikan kritik terhadap minimnya kemampuan dan kemauan pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia sehingga merugikan buruh. Apalagi dihadapkan pada pengakuan pemerintah sendiri bahwa Indonesia sangat kekurangan tenaga pengawas ketenagakerjaan.4 Maka sikap penolakan terhadap tenaga kerja asing – yang proporsional – perlu dilihat sebagai bentuk peringatan dini dan sebuah antisipasi agar peraturan dan perijinan terhadap tenaga kerja asing tidak merugikan tenaga kerja Indonesia.
Selain itu kecemasan tersebut juga bukan tanpa alasan karena banyak kejadian yang menunjukkan bahwa perlakuan terhadap tenaga kerja Indonesia dan tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia memang berbeda. Perbedaan upah dan fasilitas untuk tenaga kerja dengan kualifikasi yang sama dan tanggungjawab yang sama antara pekerja Indonesia dan asing memang terjadi5.
Serikat buruh dan politik rasisme?
Serikat buruh Indonesia dalam empat hingga lima tahun terakhir menghadapi berbagai persoalan yang berpotensi (atau sudah?) menggerus relevansi eksistensi dan pengaruhnya dalam masyarakat pekerja dan dalam proses-proses kebijakan ketenagakerjaan. Selain jumlah anggota yang terus menurun, serikat buruh juga dipinggirkan dalam proses kebijakan yang justru vital bagi peran mereka. Peraturan Pemerintah no 78 tahun 2015 tentang Pengupahan dan Peraturan Presiden no 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagai peraturan yang amat penting menyangkut serikat buruh merupakan penanda yang amat jelas untuk peminggiran serikat buruh oleh pemerintah. Dalam proses kedua peraturan penting tersebut, serikat buruh tidak disertakan dan gelombang protes terhadap peraturan-peraturan tersebut bagaikan angin lalu.
Penurunan jumlah anggota dan peminggiran dalam proses kebijakan perlu dilihat dalam dua konteks sebagai penyebab. Konteks pertama adalah kolaborasi kuat antara modal dan pemerintah. Dalam hal ini serikat buruh telah disingkirkan dari perannya sebagai salah satu aktor utama hubungan industrial dan diletakkan dalam posisi pinggiran. Konteks kedua adalah kondisi internal dalam organisasi buruh yang cenderung stagnan dan kurang mengikuti perkembangan strategi dan gerak-gerik modal sehingga miskin inovasi dalam mengembangkan strategi pengorganisasiannya. Di antara beberapa langkah progresif yang pernah ditempuh oleh serikat-serikat besar di tingkat nasional seperti memperjuangkan jaminan social untuk semua dan aksi-aksi melawan fleksibilisasi tenaga kerja, maupun serikat-serikat kecil di tingkat local seperti mendorong perda ketenagakerjaan dan mengisi pendidikan serikat buruh dengan materi yang melampaui hak-hak normatif, karakter senioritas dan kompetisi dalam dan antar organisasi, cara memperluas keanggotaan dengan cara yang ibarat memancing di kolam yang sama dan menekan jumlah iuran anggota, serta ambisi dan usaha untuk masuk ke pemerintahan, merupakan kondisi yang berkontribusi terhadap soliditas internal organisasi buruh. Soliditas yang rapuh menurunkan pengaruh serikat di hadapan pemerintah dan modal sekaligus.
Dalam situasi semacam itu, masih harus dikaji secara mendalam apakah benar, apakah mungkin serikat buruh menjalankan politik rasisme sebagaimana yang diajukan oleh Syarif Arifin. Apalagi jika politik rasisme dimaknai sebagaimana yang terjadi di Malaysia ketika kekuatan-kekuatan politik ditentukan oleh ras. Dalam kaitan dengan tenaga kerja asing, serikat buruh di Indonesia tidak dalam kapasitas untuk menerapkan politik rasisme6 karena secara umum perjuangannya masih (tetap) berada dalam koridor memperjuangkan hak-hak normative.
Bagaimanapun, barangkali tulisan Syarif Arifin penting sebagai bahan refleksi serikat buruh untuk sedapat mungkin mengembalikan kekuatan pengaruhnya sebagai bagian yang menentukan kebijakan-kebijakan negara yang berkaitan dengan kesempatan kerja dan kesejahteraan pekerja. Dalam pandangan saya, refleksi bersama antar serikat buruh terhadap strategi dan gerak-gerik mereka sendiri amat perlu dilakukan dalam rangka mempertahankan relevansi eksistensi serikat buruh dalam dunia kerja yang cepat sekali berubah aturan mainnya.
Refleksi antar serikat buruh juga diperlukan sebagai upaya agar jargon Buruh Bersatu tak Bisa Dikalahkan juga adalah sebuah kenyataan.
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]
Begitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di ibukota. Begitu sedikit dari mereka berorasi dari atas mobil komando, tahta bergerak para raja dan brahmana khas gerakan Nusantara. Dihantam hujan deras dan terik cahaya, datang dari ribuan kilometer jauhnya, hanya untuk berbaris dan duduk […]
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]