MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Tulang Rusuk (Bagian 1)

Forces of Nature series. Design composed of colorful paint and abstract shapes as a metaphor on the subject of modern art, abstract art, expressionism and spirituality

“Plak!” Untuk kedua kalinya tangan kanan suamiku mampir di pipi kananku. Rasa panas dan sakit menjalar. Sekuat tenaga aku tahan agar tidak menangis. Aku tidak mau orang mendengar keributan di rumahku.

Kulihat sekilas Apip di pintu dapur, anak pertamaku, menyaksikan pertengkaran kami. Wajahnya datar. Matanya menatap kosong. Kulihat ada kesedihan.

Belum berakhir. Kali ini tinju kanannya menyasar ke sebelah kanan mata. Bola mata kananku terasa akan keluar. Pandanganku buram. Tak menunggu lama kaki kanannya melayang dan mendarat di perutku.

Setelah puas menumpahkan kemarahannya suamiku pergi. Kudengar suara motornya menjauh. Sambil menahan sakit kuhampiri anakku perlahan. Apip malah menjauh. Ia berlari keluar tanpa menoleh sedikit pun. Rasa sakit menjalar di sekujur badan. Sakit sekali rasanya. Tapi lebih sakit lagi hatiku.

Aku Afifah binti Sanen. Usiaku 38 tahun. Aku lahir dan dibesarkan di Desa Mauk, nama yang cukup familiar bagi orang Tangerang. Mungkin tidak banyak orang tahu kalau Mauk adalah nama seorang pahlawan yang berani pada zaman Kolonial namanya Ki Mauk. Versi lain menyebutkan Ki Mauk adalah seorang mandor kampung yang diberi tugas oleh Belanda untuk menjebak Kayin bin Kayah, organisator kaum tani yang memberontak di Tangerang pada 1924.[1]

Mauk, kecamatan di Kabupaten Tangerang. Luasnya sekitar 36,926 kilometer. Di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kemiri, sebelah utara dengan Jawa, sebelah timur dengan Kecamatan Sukadiri dan di selatan berbatasan dengan Kecamatan Rajeg.

Mata pencaharian penduduk Mauk adalah bertani dan nelayan.[2] Di Mauk sendiri terdapat pantai yang menjadi tujuan wisata penduduk lokal Tangerang namanya Tanjung Kait. Dari sana pelancong bisa menyebrang ke Pulau Untung Jawa, Pulau Laki, Pulau Rambut dan banyak lagi. Rata-rata pendudukan Mauk lulusan Sekolah Dasar sekitar 12.554 orang dan aku adalah salah satunya. SLTP ada 8,350 0rang, SLTA 3924 orang dan Perguruan Tinggi sebanyak 514 orang.

Bapakku Sanen. Seorang nelayan. Ia tidak muda lagi. Tapi masih sanggup mengarungi lautan selama tiga hari tiga malam untuk mencari ikan. Ibuku Romlah, ibu rumah tangga yang telaten mengurus aku dan keempat adikku. Setelah aku dan adik keduaku menikah, ibuku-lah yang mengurus kedua anakku dan anak adikku.

Kurang lebih dua tahun selepas lulus sekolah dasar aku mulai bekerja. Aku bekerja di salah satu pabrik garmen di kota Tangerang yang memproduksi pakaian jadi. Awalnya aku di bagian helper. Di tahun kedua aku dipindahkan ke bagian jahit.

Setiap hari aku berangkat pukul 05.00 pagi dan sampai rumah sekitar pukul 09.00 malam. Jarak dari rumahku ke pabrik lumayan jauh kurang lebih 30 kilometer. Pabrik itu terletak di kawasan yang dikenal dengan kemacetannya.

Setiap hari aku lembur sampai pukul 08.00 malam. Hari sabtu baru bisa pulang agak siang. Namun definisi agak siang menurut kami adalah pukul 05.00 sore atau pukul 06.00 sore. Istilah kami di pabrik, ‘Pergi nggak ketemu ayam, pulang nggak ketemu ayam’.

Setiap dua minggu sekali aku menerima gaji sekitar Rp400 ribu. Semua gaji yang diterima kuberikan ibuku. Setiap hari aku dijatah Rp10 ribu. Untuk makan aku membawa bekal makan dari rumah.

Biasanya setiap selesai gajian, di hari minggu; aku, ibuku dan adik-adikku jalan ke pasar. Kami membeli sayuran. Biasanya di waktu itulah aku bisa berbelanja baju baru, sandal atau tas. Kebetulan pasar ditempatku terbilang cukup komplit. Selain sayuran ada juga yang jual peralatan elektronik, baju, tas dan sepatu.

Setelah bekerja mulai ada perubahan pada penampilanku. Aku mulai memakai baju-baju yang sedang tren di tempatku. Aku juga sudah meninggalkan sandal jepit merek Swallow. Aku memakai sandal yang ada haknya dan mulai memakai sling bag.

Aku mulai mengenal kosmetik. Bukan kosmetik yang mahal. Lipstik yang aku pakai seharga Rp7 ribuan. Mereknya Hara. Orang mengenalnya lipstik Arab. Di desaku kalau ada yang pulang dari haji, lipstik ini menjadi salah satu oleh-oleh bersama parfum dan pacar hyena. Lipstik yang unik, menurutku. Karena warnanya hijau tapi kalau sudah dioleskan ke bibir berubah jadi merah.

Begitu juga dengan bedak. Aku memakai bedak Viva karungan seharga lima ribuan. Walaupun murah tapi aku merasa sudah sangat; wah, dengan apa yang aku pakai. Sabun mandi yang kupakai sabun batangan merek Nuvo. Kadang kalau shampoo habis sabun itu berfungsi menjadi shampoo juga. Maka tidak aneh kalau rambutku agak kaku dan warnanya kusam kemerahan.

Walaupun hanya mampu membeli pakaian dan kosmetik dipasar, ini ‘wah’ banget; bisa membeli pakaian setiap gajian adalah hal mewah yang aku rasakan.

Bersambung ke Bagian 2


[1] https://jakarta.hallo.id/arsip/pr-2302278708/kayin-bapa-kayah-pemberontak-tangerang-1924

[2] https://tangerangkab.go.id/mauk/profile-skpd/show/489/79