MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Posko Pengaduan THR Kemnaker: Menampung Air Mata untuk Hidangan Berbuka?

Demonstrasi buruh PT Klambir Jaya Medan menuntut dipekerjakan kembali, pembayaran upah dan THR, 8 Juni 2018


Demonstrasi buruh PT Klambir Jaya Medan menuntut dipekerjakan kembali, pembayaran upah dan THR, 8 Juni 2018

Kementerian Ketenagakerjaan membuka Pos Komando (Posko) Pengaduan THR. Posko akan beroperasi 8 Juni sampai 5 Juli 2018. Posko bertempat di Pusat Pelayanan Terpadu Satu Atap Kemnaker, Gedung B Kemnaker Jalan Gatot Subroto Kavling 52, Jakarta. Pengaduan juga bisa dilakukan melalui hubungan telepon 021-5255859, layanan Whatsapp 081280879888, 081282407919.

Bagaimana dengan permasalah THR di wilayah-wilayah yang sulit menjangkau Jakarta? Kemnaker juga meminta Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota membentuk Posko yang sama.

Posko THR bukan terobosan baru. Tahun lalu pun Kemnaker membuka Posko yang sama. Posko dibuka di 6 wilayah, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari 8 Juni sampai 5 Juli 2017 tercatat 412 pengaduan.

Menurut berita, Posko Pengaduan THR Kemenaker menerima ratusan pengaduan setiap harinya. Saat ini telah ada ribuan aduan pelanggaran pembayaran THR yang terkumpul. Ribuan! Hal ini mestinya dipakai oleh Kemenaker untuk berkaca, banyaknya pengaduan tersebut menunjukan jika pelanggaran hak-hak dasar buruh adalah realitas harian, terjadi di banyak tempat, dan dialami ribuan buruh.

Kepala Seksi Perjanjian Kerja Bersama Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jamsos Kemenaker, Rinaldy Zuhriansyah menyebutkan banyak dari pengaduan tersebut yang datanya tidak lengkap. Rinaldy mencontohkan (sekali lagi memberi contoh) misalnya nama yang tidak lengkap, dan alamat pabrik yang tidak jelas, sehingga sebagian besar pengaduannya sulit untuk ditindaklanjuti.

Kenapa model pengaduannya membuat ketidaklengkapan data jadi banyak? Bukankah itu memperlihatkan lemahnya institusi Kemnaker?! Lalu, kenapa menyalahkan pelapor. Atau, itu sebenarnya cuma ngeles, untuk menutupi persoalan bahwa Kemnaker sejak awal tidak memiliki kapasitas menindaklanjuti pengaduan tersebut. Apalagi jumlahnya ribuan. Saya yakin sejak awal Kemenaker memang tidak punya kemampuan untuk menindaklanjuti pengaduan itu.

Perlu diketahui, peraturan pemberian THR adalah peraturan perburuhan dengan akar kultural yang sangat kuat (praktiknya telah ada sebelum hukumnya ada), dan pelaksanaannya ada dalam waktu yang genting (menjelang lebaran). Setiap tahun kasus-kasus pelanggaran THR dengan berbagai modus selalu terjadi. Jika peraturan dengan sifat itu saja banyak dilanggar, apalagi yang lain?

Salah satu pejabat tinggi di Kemnaker yang saya temui sekitaran tahun 2015, pernah bilang dan memberikan perumpamaan seperti ini: “Buruh itu seperti tamu di rumah majikan. Sebagai tamu kalau mau menuntut sesuatu, ya izin dulu dong sama majikannya. Kalau tidak dizinkan, ya jangan maksa. Anak saya lulusan S2 manajemen dari Trisakti loh mas, sekarang jadi manajer di salah satu pabrik di KBN Cakung”. Dapat Anda bayangkan! Pandangan pejabat Kemnaker memandang hubungan kerja seperti hubungan perbudakan.

Bukan sekadar pandangan. Pemahaman yang lebih utuh dapat ditelusuri dari dua hal. Pertama, pengamatan kasus-kasus perburuhan yang saya temui, memang tidak ditemukan adanya intervensi Kemnaker untuk menyelesaikan kasus secara sungguh-sungguh. Perhatikan! Surat-surat yang dikeluarkan jajaran Kemnaker sekadar ‘nota’ alias catatan atau ‘anjuran’. Bukan perintah.

Kedua, aspek peraturan perundangan di Indonesia pasca-Reformasi makin mempersulit negara mengintervensi kasus-kasus perburuhan secara langsung. Perubahan mencolok adalah hubungan kerja di pabrik atau perkantoran dengan memproduksi kebutuhan massal ditempatkan dalam hukum private atau perdata. Memang ada beberapa klausul hukum pidana, tapi tidak ada mekanisme hukum untuk menyelesaikannya.

Bertemu dengan Kemnaker mengenai berbagai kasus perburuhan, kita akan menemui satu kalimat khas, “kita tampung”, “kita akomodasi”. Setelah itu, kita tidak akan mendengar kabar apapun.

Harus diakui, Kemanker memang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menindaklanjuti kasus-kasus perburuhan. Kemnaker merupakan salah satu kementerian dengan dana dan kewenangan yang lemah. Kalah jauh sama Satpol PP tukang grebek Warteg dan mampu menggusur para pedagang kaki lima atas nama kebersihan kota. Tapi terlepas dari itu, kemalasan berpikir dan warisan mentalitas birokrasi kolonial memang berkarat. Kalau tidak, bukankah seharusnya mereka sudah menuntut negara untuk memberikan dana dan kewenangan yang lebih besar?!

Contoh yang paling banyak dialami adalah ketika kasus sudah diputuskan di Pengadilan Hubungan Industrial masih dapat digugat ke Mahkamah Agung. Jikalau sudah diputus pun, tidak ada jaminan bahwa putusan pengadilan akan dipatuhi perusahaan.

Saya akan memberikan ilustrasi lain yang lebih menyakitkan. Ini adalah kasus yang sudah berjalan hampir enam tahun. Kasusnya disidangkan di Komite Kebebasan Berserikat Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). ILO pun merekomendasikan agar Kementerian Ketenagakerjaan mengambil tanggung jawab dugaan kebebasan berserikat dan berunding dan memastikan hak-hak buruh dipenuhi. Apa hasilnya? Jawaban Kemnaker adalah, ‘Tidak ada aturan hukum untuk menjalankan Rekomendasi ILO’. Jadi, pidato Kemnaker di Konferensi Perburuhan ILO tiap tahun tidak memiliki makna apapun. Sekali lagi, mereka memang tidak memiliki mental untuk menyelesaikan kasus dan berpegang pada keadilan.

Saya terpaksa berkesimpulan jika Kemnaker menerima posko pengaduan THR tanpa niat menindaklanjutinya, bahkan tanpa maksud menyiapkan perangkat agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di masa-masa mendatang. Mereka sadar kalau tidak punya kapasitas untuk menuntaskan kasus perburuhan. Perhatikan, kata ‘menuntaskan’ bukan sekedar saling melempar tanggung jawab.

Mereka sendiri sering mengeluh jika petugas pengawasan mereka kurang. Di Jakarta, dengan puluhan ribu tempat kerja, petugas pengawasnya tidak lebih dari 10 sampai 11 orang. Ditambah prosedur pengawasan sangat birokratis dan strategi pengawasan yang tidak jelas, maka mustahil tempat-tempat kerja itu bisa diawasi dengan baik.