MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Privatisasi, Fleksibilisasi dan Pemberangusan Serikat Buruh

Ilustrasi


Ilustrasi

Labor Market Flexybility (LMF) atay Pasar Tenaga Kerja muncul karena penemuan teknologi baru dan/atau tata cara pengelolaan sumber daya manusia. Fleksibilisasi Tenaga Tenaga Kerja berarti upaya penyesuaian tenaga kerja terhadap permintaan dan fluktuasi pasar. Di Indonesia, Fleksibilisasi diyakini dapat menarik investasi, mengatasi pengangguran, mendorong pertumbuhan ekonomi, meratakan upah pekerja informal dan formal.

Skema fleksibilisasi telah dipropagandakan oleh lembaga-lembaga multilateral seperti Lembaga Keuangan Dunia(IMF/International Monetary Fund) dan Bank Dunia (WB/World Bank), para akademisi, dan bahkan, oleh “masyarakat sipil” dari birokrasi LSM (NGO/Non-Governmental Organisation). Indonesia pun telah mengadopsi skema fleksibilisasi dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Juga, dalam Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2005 Bab 23 tentang Perbaikan iklim Ketenagakerjaan, yang menyebutkan:

Kebijakan yang ditempuh untuk menciptakan lapangan kerja formal dan meningkatkan produktivitas pekerja dilaksanakan dengan:

1. Menciptakan fleksibilitas pasar kerja dengan memperbaiki aturan main ketenagakerjaan yang berkaitan dengan rekruitmen, outsourcing, pengupahan, PHK, serta memperbaiki aturan main yang mengakibatkan perlindungan yang berlebihan.
2. Menciptakan kesempatan kerja melalui investasi. Dalam hal ini, Pemerintah akan menciptakan iklim usaha yang kondusif dengan peningkatan investasi. Iklim usaha yang kondusif memerlukan stabilitas ekonomi, politik dan keamanan, biaya produksi yang rendah, kepastian hukum serta peningkatan ketersediaan infrastruktur.
3. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia yang dilakukan antara lain dengan memperbaiki pelayanan pendidikan, pelatihan serta memperbaiki pelayanan kesehatan.
4. Memperbarui program-program perluasan kesempatan kerja yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain adalah program pekerjaan umum, kredit mikro, pengembangan UKM, serta program-program pengentasan kemiskinan.
5. Memperbaiki berbagai kebijakan yang berkaitan dengan migrasi tenaga kerja, baik itu migrasi tenaga kerja internal maupun eksternal.
6. Menyempurnakan kebijakan program pendukung pasar kerja dengan mendorong terbentuknya informasi pasar kerja serta membentuk bursa kerja.

Akan tetapi, pada saat perkembangan teknologi dan pengaturan ketenagakerjaan fleksibel dilakukan, terjadi penggelembungan keuntungan para kapitalis, minus kesejahteraan para buruh. Di satu sisi, angka ekspor semakin meningkat, kawasan-kawasan industri tumbuh di berbagai wilayah. Di sisi lain, di setiap sektor industri muncul cerita mengenai PHK terhadap buruh dan aktivis buruh, upah riil terus menurun, angka kecelakaan kerja bertambah dan buruh kontrak semakin bertambah.2

Serikat buruh di Indonesia, mengistilah fleksibilisasi tenaga kerja dengan kontrak dan outsourcing. Fleksibilisasi telah menjadi penyebab melemahnya kekuatan serikat: menyebabkan penurunan anggota, menghambat kaderisasi anggota, berkurangnya anggota, dan secara otomatis pendapatan serikat pun menjadi berkurang.

Apa dan Bagaimana Fleksibilisasi?3

Fleksibilisasi terdiri dari dua jenis, yaitu fleksibilisasi eksternal dan fleksibilisasi internal.

A. Fleksibilisasi Eksternal

Fleksibilisasi Eksternal merupakan skema ketenagakerjaan untuk memodifikasi jumlah dan komposisi tenaga kerja sesuai permintaan. Skema ini terang-terangan mengaburkan, bahkan melemahkan hubungan antara majikan–pekerja. Tujuan utama skema ini adalah memudahkan pengurangan tenaga kerja dan penyerapan kembali (pergantian buruh), sambil memelihara kestabilan buruh-buruh intinya. Ada dua rute dalam fleksibilisasi eksternal ini:

a. Outsourcing atau Subkontrak atau penggunaan agen atau beberapa agen (subkontraktor, kontraktor khusus buruh, agen penempatan tenaga kerja) antara perusahaan pusat dan tenaga kerja. Contoh-contoh dari hal ini adalah sistem kontrak, subkontrak, atau menyewa agensi sebagai ganti dari tenaga kerja reguler.

b. Tenaga kerja ‘cabutan’ atau penyewaaan langsung tenaga kerja yang tidak memunyai jaminan kepastian kerja. Contohnya: buruh paruh waktu, kasual, kontraktual, pegawai magang, tenaga training, dan semacamnya.

B. Fleksibillisasi Internal atau Inti

Fleksibilisasi Internal berkaitan dengan pengaturan internal struktur pekerjaan dan organisasi kerja bagi para tenaga kerja inti (regular/tetap). Yang termasuk bagian ini adalah:

a. Jam Kerja Fleksibel– sebagai contoh, jam lembur baik yang rutin maupun yang dipaksakan, perputaran shift kerja selama 24 jam, shift kerja di akhir pekan dan sebagainya. Semua rencana kerja tersebut adalah usaha untuk memaksimalkan penggunaan aset (perlengkapan, mesin, bangunan, dan lain sebagainya) dan mempercepat kembalinya modaldengan cara intensifikasi kerja.

b. Fungsi Fleksibel – tugas ganda, kerja yang bervariasi, pembagian kerja, tingkatan kerja, kerja tim, lingkaran kualitas dan semua perencanaan pengklasifikasian pekerjaan dan sistem pembagian gaji, membuat semua posisi dan jenis pekerjaan bisa “digantikan oleh siapa saja”. Sistem kerja ini memberikan para pemilik modal sebuah “fleksibilitas” untuk menempatkan dan mengatur pekerja-pekerja individual di segala tempat tanpa biaya. Pada umumnya, akan mengakibatkan penumpukan tenaga kerja, sehingga akan terjadi pengurangan tenaga kerja dan pengurangan gaji. Ilmu Manajemen menyebut fungsi fleksibel sebagai pekerja multitasking.

c. Upah Fleksibel – secara tradisional, adalah sebuah ucapan halus untuk menghindari upah “ketat” (upah minimum yang ditetapkan). Istilah tersebut mencakup skema upah yang beraneka dan berusaha mengaitkan upah perseorangan dengan “performa pekerja”. Upah Fleksibel tidak menghitung jam kerja, hanya produktivitas buruhlah yang dikategorikan layak mendapatkan upah.

Apa dan Bagaimana Pemberangusan Serikat Buruh?

Skema fleksibilisasi tenaga kerja mengandaikan perjanjian individual antara pengusaha dengan buruh. Karena itu, tidak menghendaki keberadaan serikat buruh. Dalam konteks fleksibilisasi, keuntungan didapat dengan mudah dan tenaga kerja didapat dengan murah.

Union busting atau pemberangusan serikat buruh adalah suatu praktik di mana perusahaan atau pengusaha berusaha untuk menghentikan atau menghalang-halangi aktivitas dan fungsi dasar serikat buruh di wilayah perusahaan. Upayanya, memiliki bentuk yang bermacam-macam dengan menggunakan berbagai macam cara dan alasan. Pada saat ini, jika praktik union busting semakin meningkat karena ada kecenderungan pembiaran yang dilakukan oleh pejabat atau instansi yang seharusnya menjaga dan mengawasi pelaksanaan hak berserikat bagi buruh, yang dijamin konstitusi dan undang-undang.

Secara umum, union busting memiliki dua bentuk dasar. Pertama, perusahaan dan pengusaha berupaya mencegah buruhnya untuk membangun atau bergabung dengan serikat buruh. Tindakan ini dilakukan agar perusahaan bebas melakukan eksploitasi tanpa adanya kontrol dari serikat buruh. Kedua, berusaha melemahkan kekuatan serikat buruh yang telah ada. Sanksi perusahaan bagi pengurus dan anggota, intimidasi dan tindakan diskriminatif, adalah hal umum yang dilakukan untuk melemahkan serikat buruh.

II. Kilas Balik Kebijakan Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing4

Setelah krisis ekonomi 1997/1998, persoalan sosial masyarakat Indonesia tampak tidak terselesaikan: kesejahteraan dan penyediaan lapangan pekerjaan yang layak dan bermartabat tetap menjadi masalah pokok. Sebaliknya, jumlah pengangguran meninggi dan angkatan kerja baru tidak terfasilitasi, pemutusan hubungan kerja (PHK) individual maupun massal terus terjadi. Data resmi pemerintah mengatakan, sektor formal terus menurun, tapi informalisasi membengkak. Gelembung kemiskinan dinikmati oleh kaum buruh, petani, nelayan, miskin kota dan perempuan. Posisi tersebut dialami sejak rejim Orde Baru berkuasa.

Prestasi rejim Orde Baru dalam menciptakan stabilitas politik dan angka pertumbuhan ekonomi tinggi mengorbankan kepentingan dasar rakyat Indonesia. Sebaliknya, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia telah dipertaruhkan untuk kepentingan kapital monopoli internasional. Bersama Bank Dunia, International Monetery Fund (IMF), dan lembaga lintah darat lainnya, pemerintah Indonesia mempraktikkan pemiskinan massal. Tidak jauh, para rejim pasca-Orde Baru, masih mempraktikan kebijakan bimbingan lembaga-lembaga kapital internasional.

Seperti dikupas Vedy R. Hadiz, reformasi 1998 telah menghasilkan, pertama, reformasi kebijakan developmentalis, yang dijaga rejim militer menuju alam liberalisasi atau pasar bebas. Kedua, membuat kebijakan untuk menjamin liberalisasi. Program-program seperti pemerintahan bersih dan korporatis, desentralisasi, dan privatisasi adalah wujud dari posisi kedua di atas. Ketiga, pergilah ke pasar internasional (pasar bebas) sebagai ending dari gelombang demokratisasi atau reformasi.

Proses liberalisasi tecermin dalam (Instruksi Presiden) Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang Perbaikan Iklim Investasi. Inpres tersebut merekomendasikan: Pertama, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) No. 13 Tahun 2003, yang sudah mengakomodir fleksibilitas (legalisasi kontrak dan outsourcing). Revisi berangkat dari keyakinan, UUK sebelumnya kurang fleksibel. Meskipun revisi UUK tertunda, tetapi upayanya dibuat jalan melingkar, yakni dengan RPP Pesangon dan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Kedua, amandemen UU PMA (Penanaman Modal Asing) No. 1 Tahun 1967 menjadi UU PM (Undang-Undang Penanaman Modal) No. 25 Tahun 2007. Dalam beberapa hal, undang-undang tersebut merestorasi kebijakan Kolonial Belanda. Salah satunya adalah sewa tanah atau lahan dapat diperpanjang hingga 90 tahun dari 25-35 tahun. Ketiga, menerapkan PPAN (Program Pembaharuan Agraria Nasional). Serikat-serikat tani progresif menyatakan bahwa PPAN adalah reformasi agraria palsu. PPAN telah menganulir ketetapan dalam UU PA (Undang-Undang Pokok Agraria) No. 5 Tahun 1960.

Intinya, liberalisasi sudah menjadi pilihan rejim sebagai solusi dari krisis ekonomi. Investasi asing dan pertumbuhan ekonomi dianggap dapat menyelesaikan persoalan pengangguran. Padahal, setiap digit pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak mampu membuka lapangan kerja yang dibutuhkan rakyat. Karena, investasi yang masuk sesungguhnya hanya bermain saham dan mengambil alih perusahaan-perusahaan sektor vital sejalan dengan agenda privatisasi. Juga, desentralisasi melalui otonomi daerah ternyata diboncengi oleh investasi langsung untuk memudahkan akses pada sumber daya alam yang ada di daerah memotong jalan panjang birokrasi. Alhasil, hampir semua program merupakan kepentingan dari kapitalisme global dengan mengabaikan kepentingan rakyat mayoritas dan konstitusi negara.

A. Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing serta Dampaknya bagi Buruh

Pertanyaan kritis, kenapa revisi UUK 13 Tahun 2003 ditolak dengan gelombang aksi besar-besaran gerakan buruh Indonesia, yang puncaknya di May Day 2006, lalu? Jawabannya sederhana, karena kaum buruh tahu dan sudah merasakan dampak buruk dari UUK 13 Tahun 2003, yakni dilaksanakannya sistem ketenagakerjaan yang fleksibel (kontrak dan outsourcing). Beberapa masalah yang dialami oleh buruh yang berstatus kontrak atau outsourcing antara lain;

Pertama, masalah jaminan kepastian dan keamanan kerja, di mana tidak ada perlindungan jangka panjang terhadap buruh yang berstatus kontrak atau outsourcing: kapan dibutuhkan bisa direkrut, kapan tidak dibutuhkan dapat dipecat. Kemudian pengusaha tidak perlu repot bayar pesangon atau adanya penolakan masif dari buruh ketika di-PHK. Kalau bicara pesangon kenapa harus tinggi nilainya? Hal ini sebagai jaring pengaman dari kemudahan pemecatan, karena tidaklah mudah mendapatkan pekerjaan dalam waktu yang cepat. Negara wajib melindungi rakyatnya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2 UUD 1945), seperti tecermin dalam UU No. 22 Tahun 1957 dan UU No. 12 Tahun 1964 jelas perlindungan dan keberpihakannya. Namun, tidak untuk UUK No. 13 Tahun 2003. Dan, revisi UUK berupaya mengurangi nilai pesangon.

Kedua, menurunnya upah dan kesejahteraan buruh. Buruh yang berstatus kontrak ataupun outsourcing, upahnya lebih rendah bila dibandingkan yang buruh yang berstatus tetap bahkan banyak yang di bawah upah minimum (UMK), tidak ada jaminan sosial tenaga kerja serta dihilangkannya tunjangan-tunjangan, seperti uang makan, uang transport, tunjangan masa kerja.

Ketiga, lemahnya posisi tawar buruh dan sulitnya berserikat. Hal ini sebagai dampak dari hubungan kerja individual. Ketika berstatus permanen/tetap hubungan kerja bersifat kolektif: dapat berserikat, bernegosiasi dan membuat PKB (Perjanjian Kerja Bersama) yang tentu akan lebih kuat mengatur dan melindungi di luar hak-hak normatif. Terkait masalah kesejahteraan, karena rendahnya posisi tawar berpengaruh pula pada jam kerja panjang (skorsing waktu), yaitu penambahan jam kerja atau lembur tanpa di bayar. Perusahaan bisa saja menentukan target yang tinggi yang tidak mampu dicapai oleh buruh. Buruh kontrak atau outsourcing akan meng-iyakan semua jenis penghisapan dan penindasan yang ditimpakan kepada dirinya.

Keempat, terjadi praktik human trafficking (perdagangan manusia). Perusahaan-perusahaan semakin gemar menggunakan jasa lembaga atau perusahaan outsourcing. Agen-agen outsourcing memungut biaya antara ratusan ribu hingga jutaan rupiah dari para pencari kerja. Padahal, pekerjaan yang disediakan waktunya pendek (KKWT/Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu). Sebagai contoh, untuk mendapatkan pekerjaan dengan usia kontrak tiga bulan dengan upah UMK 972.604,- buruh harus bayar 700 ribu hingga 1 juta rupiah. Berarti dalam satu bulan buruh kerja bakti dengan tidak dibayar. Belum lagi harus dipotong upahnya setiap bulan. Ada juga yang menerapkan registrasi setiap tiga bulanan. Tenaga kerja mengurus administrasi di outsourcing, namun bekerja di perusahaan lain. Terjadi biased hubungan kerja dengan sistem kerja alih daya (outsourcing). Selain itu, terdapat pula sistem pengalihan barang ke rumah penduduk. Outsourcing barang menciptakan buruh-rumahan.

Undang-Undang Ketengakerjaan No. 13 Tahun 2003 menggunakan kata: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang mengacu pada buruh kontrak. Dan, pemborongan pekerjaan serta penyedia jasa tenaga kerja untuk menyebut outsourcing. UUK No. 13/2003 menegaskan batasan-batasan untuk kerja kontrak dan outsourcing. Namun, pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi. Sebagaimana diungkapkan dalam sebuah studi,5 bahwa:

  1. Outsourcing sebagai bentuk fleksibilitas pasar kerja dapat ditemukan di hampir seluruh bagian dalam rangkaian proses produksi.
  2. Situasi konkret yang ditemukan di lapangan menunjukkan bentuk fleksibilitas pasar kerja adalah penggantian status buruh tetap menjadi buruh kontrak.
  3. Maraknya penggunaan buruh outsourcing di bagian-bagian produksi atau bagian inti pekerjaan, yang sebenarnya dilarang oleh UUK 13/2003.
  4. Hak-hak buruh kontrak dan outsourcing menjadi tidak jelas.
  5. Periode kontrak yang keluar dari aturan undang-undang (misalnya kontrak 1 tahunan) dalam prakteknya terus diperpanjang lebih dari 3 kali (di antara kontrak ada jeda waktu satu bulan).
  6. Perusahaan seringkali melepas buruh tetap yang aktif di serikat dan menggantinya dengan buruh kontrak.
  7. Semakin maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) tiba-tiba dengan pemberitahuan singkat atau tanpa pemberitahuan sama sekali sebelumnya.
  8. Penyedia jasa tenaga kerja belum tentu merupakan perusahaan yang berbadan hukum.

Matrik di bawah ini menunjukkan bagaimana perbedaan hak yang seharusnya diberikan pada buruh. Data buruh kontrak diambil dari 150 perusahaan, yang diteliti pada 2003-2004 (pascadisahkannya UUK No. 13 Tahun 2003). Angka tersebut dapat dipastikan terus meningkat sejalan dengan PHK massal, pergantian status buruh tetap ke kontrak dengan berbagai pola. Pertama, dengan pemutihan. Buruh diminta (dengan sukarela) mengundurkan diri dan diberikan pesangon, lalu direkrut lagi secara langsung menjadi kontrak. Hal ini bisa massal atau tambal sulam dengan memasukkan beberapa buruh baru dengan status kontrak. Kedua, dengan cara yang keras dan intimidatif, yakni pabrik ditutup dengan alasan rugi, penurunan kapasitas produksi dan lain-lain, lalu ada tawaran pesangon ala kadarnya. Beberapa bulan kemudian perusahaan tersebut akan beroperasi lagi dengan nama PT yang sama ataupun diubah (pemiliknya sama). Cara lain adalah, perusahaan ditinggal kabur; buruhnya rebutan aset dengan pihak kreditor (bank). Hal ini, dapat dilihat dalam kasus kasus PT Taewa, Spotec, Dongju dan banyak lagi. Keempat, dengan cara relokasi ketempat UMK rendah, seperti di Ungaran Jawa Tengah, Sukabumi Jawa Barat. Selain mendapatkan upah murah, mereka mempraktikkan perekrutan buruh kontrak maupun outsourcing.

[table id=8 /]

Sebagaimana dinyatakan di awal, mayoritas buruh kontrak dan outsourcing bekerja di bagian inti produksi, yang menurut UUK 13 Tahun 2003 tidak diperbolehkan. Setidaknya, hal ini mencerminkan peran pemerintah, dalam hal Dinas dan Departemen Tenaga Kerja, semakin melemah di hadapan rejim fleksibilisasi pasar tenaga kerja.

[table id=11 /]

Contoh 1. Perbandingan upah di perusahaan otomotif di Kawasan Industri Manis Tangerang dengan produksi Spare part mobil untuk ekspor dan lokal, modal PMA Taiwan, yang mempekerjakan 540 orang buruh (90% laki-laki), dengan status tetap 270 orang, 17 orang kontrak langsung dan 253 orang melalui PT penyalur tenaga kerja.

[table id=12 /]

* Dari data di atas, sesungguhnya pengusaha sudah melanggar undang-undang, yaitu dengan mempekerjakan buruh kontrak pada produksi utama. Hak buruh yang dicuri, dengan dalih efisiensi, melalui fleksibilitas buruh, kalau dihitung dari upah 270 orang buruh saja lebih dari 81 juta/bulan atau 972 juta/tahun atau 3,6 juta/orang/tahun. Sementara hasil survei yang dilakukan KASBI Agustus-November 2005 kebutuhan untuk buruh lajang adalah Rp 1.450.000

Contoh 2. Perusahaan garmen di Kawasan Industri Bunder Tangerang, yang memproduksi pakaian jadi merk GAP, modal PMDN, dengan jumlah buruh 1100 orang, (80% perempuan), dengan status tetap 400 orang, 700 orang kontrak langsung.

[table id=13 /]

Dari kedua contoh di atas, bagaimana sistem kerja kontrak dan outsourcing sangat merugikan buruh.

Praktik buruh kontrak maupun outsourcing merupakan bagian terkecil dari skema neoliberalisme. Skema tersebut tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi melanda di berbagai negara.Dari kedua contoh di atas, bagaimana sistem kerja kontrak dan outsourcing sangat merugikan buruh.

B. Privatisasi: Beban Lain yang Harus Ditanggung

Aneh, bila negeri yang kaya raya dengan sumberdaya alam, tapi rakyatnya menderita kelaparan, busung lapar, lumpuh layu dan penyakit kekurangan gizi lainnya. Tentu rakyat tidak ingin semuanya diberikan gratis, tetapi akses terhadap kesejahteraan seperti pangan hanya akan didapat lebih manusiawi, jika ada lapangan pekerjaan dengan upah yang layak dan berhari depan. Artinya, upah yang cukup untuk kebutuhan fisik, mental, sosial dan keluarganya.

Hal tersebut diperparah dengan buruk dan mahalnya pelayanan kesehatan. Kampanye tentang subsidi keluarga miskin ternyata ilusi, karena tidaklah mudah bagi rakyat miskin untuk dapat memanfaatkan. Sudah menjadi rahasia umum terkait dengan korupsi birokrasi sampai level pemerintahan terendah. Ditambah lagi, akses pendidikan yang mahal dan tidak bermutu. Adanya BOS (Bantuan Operasional Sekolah), juga ilusi, karena pendidikan tetap mahal bagi rakyat, apalagi di perguruan tinggi. Barang-barang publik telah lari dari khitoh-nya, dari pelayanan sosial menjadi bussines oriented.

Pemerintah menganggap subsidi untuk pendidikan, kesehatan dan kebutuhan publik lainnya sebagai beban anggaran. Karena itu, dijalankan pula proyek privatisasi. Privatisasi telah memperparah penderitaan rakyat.

Sejak Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh disahkan, korban pemberangusan serikat buruh (union busting) justru terus berjatuhan. Ambil contoh, pengalaman Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Pada 2006, pengurus dan anggota serikat buruh di PT ISI, PT SM Global, PT Panah Forest Perkasa, PT EJP, dan lain-lain di Tangerang yang berafiliasi dengan KASBI, diberangus secara serentak. Begitu juga dengan aktivis serikat buruh PT Istana Magnoliatama.

Hal serupa, terjadi pada aktivis Serikat Buruh Karya Utama (SBKU) Tanggerang. Belasan pengurus SBKU langsung dipecat beberapa hari, setelah mereka memberitahu manajemen telah mendirikan serikat buruh. Pemberangusan yang sama juga dialami pengurus dan anggota FNPBI PT Katexindo KBN Cakung.

Kejadian yang sama, menimpa pengurus dan anggota GSPB PT Traya, Tambun Bekasi Jawa Barat. Lalu, pemecatan pengurus PT Hancang Tangerang. Mutasi dan pemecatan pun dialami pengurus SP Transportasi Pusat Blue Bird Grup dan Ketua SP PT Bank Lippo Karawaci.

Pemberangusan pun merambah ke sektor-sektor lainnya, seperti yang dialami pengurus Serikat Pekerja Mandiri Hotel Grand Melia (Kuningan, Jakarta) yang berafiliasi dengan Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM). Union Busting lainnya menimpa pengurus Safari Garden Hotel Bogor, PT Karung Nasional, dan pengurus SP LIA Teacher Association (LIATA).

Union busting juga dialami sektor media. Berdasarkan catatan Komite Solidaritas Nasional (KSN), Union busting di sektor ini sudah terjadi sejak 2002. Mulai dari yang dialami Serikat Pekerja Antara, Serikat Pekerja Jakarta News FM, hingga Perkumpulan Karyawan Warta Kota (PKWK). Akhir 2007 silam, union busting menimpa Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK), Bambang Wisudo. Ia dimutasi ke Ambon, tak lama setelah PKK menuntut dikembalikannya saham karyawan.

Untuk memangkas kekuatan Serikat Karyawan Indosiar, yang tengah menuntut perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), manajemen Indosiar memecat ratusan karyawan dengan status kontrak. Di harian Suara Pembaruan, sejumlah jurnalis yang menjadi pengurus serikat pun diturunkan jabatan dan diturunkan gajinya.

Dari hari ke hari, kisah dan angka kasus union busting terus membengkak tanpa mengenal batas sektor. Tren yang makin meningkat juga dialami serikat di perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Serikat Pekerja Angkasa Pura I dan Serikat Pegawai Bank Mandiri, misalnya.

B. Mengenali Pola Union Busting

1. Keterlibatan negara

a. Melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang ini sengaja dilabeli secara berbeda: serikat pekerja dan serikat buruh. Tujuannya adalah untuk mengkotak-kotakkan antara pekerja dan buruh. Selain itu, kemudahan untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh dengan jumlah minimal 10 orang. Pada praktiknya, kemudahan membentuk serikat menjadi jalan untuk menciptakan serikat tandingan.

b. Melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Undang-undang ini memuat satu klausul khusus tentang perselisihan antar serikat, sehingga membuka peluang bagi pengusaha untuk menciptakan serikat tandingan. Kerap terjadi serikat ini diadu domba, sehingga serikat akan berkonsentrasi dalam perselisihan antarserikat ketimbang fokus pada perjuangan organisasi.

2. Menghalang-halangi buruh untuk bergabung di dalam serikat

Sering ditemui, manajemen melarang buruhnya untuk bergabung di dalam serikat. Selalu dipropagandakan serikat tukang menuntut, membuat hubungan kerja tidak harmonis, dan lain sebagianya. Intinya, pengusaha mau bilang, serikat buruh adalah perongrong perusahaan.

3. Mengintimidasi

Jika penghalang-halangan tidak berhasil, upaya lanjutan yang sering dilakukan adalah mengintimidasi atau menakut-nakuti buruh. Saat bergabung dalam serikat, buruh diancam tidak mendapatkan promosi, tidak naik gaji, tidak mendapatkan bonus, tunjangan, tidak naik pangkat, diputus kontrak kerjanya, dan lain sebagainya. Bahkan dijumpai pula ada perusahaan yang menggunakan aparat kepolisian untuk menakut-nakuti pekerjanya di bagian security agar tidak bergabung menjadi anggota serikat.

4. Memutasi pengurus atau anggota serikat

Untuk memecah kekuatan serikat, sering pula dilakukan tindakan mutasi atau pemindahan kerja secara sepihak. Kasus semacam ini umumnya dilakukan ketika serikat sedang memperjuangkan hak-hak buruh. Tidak tanggung-tanggung, kadang mutasi dilakukan hingga ke luar pulau. Tujuannya jelas, selain untuk melemahkan serikat, juga menghancurkan mental buruh. Karena, ia akan jauh dengan keluarganya.

5. Surat Peringatan

Surat peringatan tergolong sebagai sanksi ringan. Tujuannya agar aktivis serikat tidak lagi bergiat dalam membela kepentingan anggotanya. Jika surat peringatan diabaikan, biasanya pengusaha akan meningkatkan sanksinya menjadi skorsing, bahkan PHK.

6. Skorsing

Skorsing kerap diberikan kepada aktivis sebagai peringatan atas kegiatan serikat. Jika skorsing diabaikan, lazimnya pengusaha akan meningkatkan sanksinya menjadi PHK.

7. Memutus hubungan kerja

Ini cara lama tapi masih menjadi tren. Anggota serikat yang sering menjadi korban dari modus ini adalah yang berstatus buruh kontrak . Dengan risiko hukum kecil dan biaya murah (tidak perlu mengeluarkan pesangon besar), tindakan ini kerap dijadikan pilihan favorit pihak manajemen. Dampaknya, buruh tidak berani lagi untuk bergabung dalam serikat dan lambat-laun serikat pun menjadi gembos.

8. Membentuk serikat boneka

Upaya ini dilakukan untuk menandingi keberadaan serikat buruh sejati. Tujuannya agar buruh menjadi bingung, mau memilih serikat yang mana. Serikat boneka ini umumnya dikendalikan penuh oleh manajemen, termasuk orang-orang yang menjadi pengurusnya. Cara mengenali serikat model ini sangat gampang. Biasanya mereka mendapatkan kemudahan dalam menjalankan aktivitasnya, sementara serikat sejati selalu dihambat saat akan melakukan aktivitas. Tak terkecuali tidak mendapatkan ijin untuk melakukan rapat di kantor. Pada beberapa kasus, serikat tandingan hanya dibentuk untuk menghancurkan serikat yang ada. Setelah serikat tandingan selesai merekrut anggota, pengurusnya akan meninggalkan organisasi. Anggota yang ada di serikat tandingan ditinggalkan begitu saja dan kebingungan menentukan arah. Sementara serikat yang lama bisa jadi sudah mati suri ditinggalkan anggotanya.

9. Membentuk pengurus tandingan dalam serikat yang sama

Melakukan kudeta terhadap kepengurusan yang sah menjadi jalan untuk menggembosi serikat daripada membentuk serikat tandingan. Pada umumnya, upaya kudeta diawali dengan sebuah pencitraan negatif tentang figur ketua atau pengurus yang dilakukan secara intens dan terstruktur sehingga anggota percaya terhadap pencitraan tersebut. Setelah itu, direkayasa agar anggota meminta sebuah musyawarah luar biasa untuk mengganti ketua dengan ketua yang baru. Setelah sang ketua baru terpilih, pada umumnya tidak banyak yang dia lakukan karena misinya adalah mengganti ketua yang lama. Upaya kudeta bisa juga digagalkan jika sistem organisasi sudah berjalan dengan baik. Pengurus yang tersisa dengan dibantu oleh pengurus cabang/PUK lainnya dapat melakukan perlawanan, antara lain dengan cara memproses kudeta yang dilakukan ke kantor Disnaker setempat sehingga muncul fatwa tentang ketua yang sah.

10. Menolak diajak berunding PKB

Saat diajak berunding, pengusaha berdalih macam-macam. Kadang pengusaha beralasan mau mengecek dulu apakah anggota serikat sudah memenuhi syarat 50%+1 dari total karyawan, kadang malah tidak mau berunding karena di dalam perusahaan terdapat dua serikat buruh. Padahal kita tahu serikat yang satu adalah serikat boneka yang selalu membeo kepada pengusaha. Semua itu bertujuan agar buruh tidak memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

11. Tidak mengakui adanya Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah salah satu alat dalam menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan bermartabat. Bagi serikat, PKB adalah goal dari perjuangan membela hak dan kepentingan anggota. Langkah Pengusaha mengabaikan PKB dimaksudkan untuk meniadakan peranan serikat. Pada beberapa kasus, pengusaha melakukan penggantian PKB dengan Peraturan Perusahaan (PP) secara sepihak walaupun di perusahaan tersebut masih ada serikat buruh yang sah. Secara hukum langkah Pengusaha tersebut merupakan pelanggaran Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

12. Membuat peraturan perusahaan sepihak

Walaupun sudah ada serikat pekerja, tapi tidak diakui keberadaannya. Bahkan, kalau perlu pengusaha membuat pernyataan palsu kepada Dinas Tenaga Kerja bahwa di perusahaannya tidak terdapat serikat buruh. Dengan demikian, peraturan perusahaan pun langsung disahkan dan diberlakukan.

13. Tidak memberikan pekerjaan

Salah satu upaya untuk meneror aktivis serikat secara mental adalah tidak memberi pekerjaan. Tetapi buruh tersebut harus tetap datang ke kantor dan mengisi daftar absensi. Memang upahnya selaku buruh tetap dibayarkan. Hal ini, tentunya menimbulkan konflik pribadi dirinya dengan sesama buruh. Seringkali aktivis serikat menjadi merasa terkucil karena kawan-kawan di lingkungannya sibuk bekerja, sementara ia hanya duduk diam. Cara ini lazimnya digunakan untuk membuat aktivis serikat merasa frustasi. Sehingga tanpa diminta dia akan berhenti/mengundurkan diri.

14. Mengurangi hak/kesempatan

Salah satu pola yang juga sering diterapkan adalah tidak memberikan hak-hak kedinasan kepada buruh yang menjadi pengurus atau aktivis serikat. Jika ada 2 orang yang posisi pekerjaannya sama, seringkali buruh yang menjadi pengurus/aktivis serikat tidak menerima hak/tunjangan kedinasan yang diperoleh buruh lainnya yang tidak menjadi pengurus serikat. Pengusaha kemudian membuat aturan khusus yang merupakan pembenar kenapa posisi pekerjaan buruh yang pengurus serikat tidak mendapat tunjangan seperti posisi lainnya yang setara dengannya.

15. Promosingkir

Karena pada dasarnya buruh bekerja untuk mencapai karir terbaik, Pengusaha memberikan kesempatan promosi pada posisi terbaik kepada pengurus serikat sebagai iming-iming. Umumnya pengurus atau aktivis yang mendapatkan promosi mendadak dengan fasilitas yang menggiurkan merasa tidak enak hati mendapat promosi dari pengusaha sehingga diharapkan daya juangnya menurun.

16. Kriminalisasi

Dalam menjalankan kegiatan serikat, sering ditemukan kasus di mana pengurus atau aktivis serikat dilaporkan pengusaha kepada Kepolisian. Pasal-pasal yang kerap dituduhkan pada pengurus serikat adalah ”pasal karet/pasal sampah dalam KUHP”, antara lain pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan dan fitnah. Kasus ini diperparah dengan belum adanya unit khusus di Kepolisian yang menangani masalah perburuhan. Sehingga penyelesaian masalahnya bergantung pada penyidik pada direktorat/unit yang menangani.

17. Mengadu domba buruh

Buruh mudah sekali diadu domba satu sama lain. Pengusaha melemparkan berbagai isu mulai dari isu kesejahteraan hingga negative campaign yang mengesankan bahwa serikat telah dibawa ke arah yang salah. Sehingga, buruh mengalami kebingungan. Dari kondisi ini diharapkan muncul suatu kondisi ketakutan, yaitu takut ’terbawa-bawa’ dan rasa apatis untuk tidak lagi berjuang melalui organisasi.

18. Doktrin antiserikat dipelajari juga khusus oleh pengusaha

Bukan hanya buruh yang bersatu. Pengusaha juga bersatu melalui berbagai forum. Untuk pengusaha swasta dikenal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), sementara untuk direksi BUMN muncul Forum Komunikasi Direksi BUMN. Jika buruh bersatu untuk memikirkan berbagai strategi mendapatkan hak anggotanya, maka pengusaha pun pada umumnya memikirkan strategi apa yang tepat untuk menghancurkan serikat di perusahaannya. Keberadaan serikat yang kuat menjadi ancaman bagi pengusaha karena buruh tidak mudah lagi dibohongi dan ditindas. Melihat maraknya praktik union busting serta adanya kesamaan jenis yang diterapkan, bukan tidak mungkin pengusaha mempelajari secara khusus strategi union busting. Ditambah dengan kemudahan fasilitas, pengusaha tidak mengalami kesulitan untuk menggelar berbagai pertemuan.

19. Menyewa preman untuk meneror

Upaya intimidasi terhadap pengurus tidak berhenti sampai dengan PHK, skorsing, surat peringatan, kriminalisasi, tidak dipekerjakan atau pengurangan hak. Pada tingkatan yang lebih ekstrem, penindasan terhadap aktivis serikat bisa juga berupa pelibatan preman untuk melakukan kekerasan fisik. Hal ini dimaksudkan untuk membuat pengurus atau aktivis serikat jera dan tidak lagi bergiat dalam kegiatan serikat. Dalam sidang di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) misalnya, pernah ada pengusaha yang membawa tukang pukul untuk menakuti-nakuti buruh yang berperkara.

20. Serikat yang ada yellow union, ketika buruh membentuk serikat baru, pengusaha tidak mau mengakui keberadaan serikat baru

Pada kasus tertentu, serikat yang sudah terbentuk merupakan yellow union, yaitu serikat yang tidak berpihak pada hak dan kepentingan buruh dan cenderung berpihak kepada pengusaha. Kemudian, buruh yang lain menyadari hal tersebut dan membentuk serikat baru yang berorientasi pada hak dan kepentingan buruh. Namun pengusaha menisbikan keberadaan serikat tersebut dengan jalan tidak mengakui keberadaannya.

21. Politisasi

Pengusaha bisa saja melibatkan partai politik untuk membungkam gerakan buruh. Tidak jarang dengan mengatasnamakan partai politik tertentu sebagai “beking” dimaksudkan untuk membuat buruh takut.

22. Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Privatisasi BUMN menjadi salah satu upaya untuk menggembosi serikat karena melalui cara ini bisa jadi terjadi perubahan kepemilikan perusahaan. Dengan demikian, patut diwaspadai apakah pemilik baru tetap akan peduli dengan adanya serikat. Belum lagi adanya ancaman perubahan status pegawai dari pegawai tetap menjadi kontrak maupun outsorcing yang akan melemahkan serikat.

23. Pengurus serikat diikutkan dalam pelatihan khusus (seperti Lemhanas) untuk diberikan doktrin khusus

Ada kasus tertentu dimana ketua atau pengurus serikat diikutkan oleh pengusaha dalam pelatihan khusus, seperti Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), dengan maksud untuk memberi doktrin khusus agar mengalami disorientasi terhadap perjuangan serikat.

24. Lempar tanggung jawab antara Menteri Tenaga Kerja dan Menteri BUMN

Pada serikat BUMN, kerap terjadi pembiaran atas kasus-kasus ketenagakerjaan oleh Menteri BUMN. Kalau pun Menteri Tenaga Kerja peduli, tetap saja penyelesaian masalahnya bergantung pada Menteri BUMN.

25. Perubahan status dari buruh tetap menjadi buruh kontrak/outsourcing

Dalam perkembangan terkini, sistem kerja kontrak dan outsourcing juga menjadi cara untuk memberangus serikat buruh. Perubahan status kerja ini menjadikan seorang buruh memiliki kesulitan untuk berorganisasi karena hubungan kerja menjadi bersifat hubungan individual dan bukan lagi hubungan kolektif. Kondisi ini pada akhirnya melemahkan buruh dan serikat buruh.

B. Mengapa melakukan union busting?

Alasan mendasar mengapa perusahaan dan pengusaha melakukan union busting, karena mereka menganggap serikat bisa berpengaruh buruk bagi kelangsungan bisnis. Tuntutan serikat akan upah yang layak, kondisi dan keselamatan kerja yang sehat, dan peningkatan kesejahteraan bagi buruh merupakan hal yang merugikan bagi perusahaan karena perusahaan tidak lagi dapat mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan buruh. Pendeknya, keberadaan serikat buruh mengganggu keleluasaan perusahaan dan pengusaha untuk membayar upah kaum buruh semurah-murahnya dan menelantarkan nasib kaum buruh.

Di Indonesia, setelah disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh, maka setiap tindakan yang dapat dikategorikan sebagai union busting adalah merupakan tindak pidana yang dapat dihukum. Pasal 43 dalam undang-undang ini menyatakan:

  1. Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

C. Melawan Union Busting

Kebebasan berserikat adalah perubahan yang paling signifikan dalam tonggak sejarah perjuangan serikat buruh di Indonesia. Melalui ratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi pada 9 Juni 1998, jaminan kepada buruh akan kebebasan untuk mendirikan dan menjadi anggota organisasi, demi kemajuan dan kepastian dari kepentingan-kepentingan pekerjaan mereka, tanpa sedikitpun ada keterlibatan negara dilindungi secara internasional. Jaminan kebebasan ini meliputi:

  1. Kebebasan mendirikan organisasi tanpa harus meminta persetujuan dari institusi publik yang ada, tidak adanya larangan untuk mendirikan lebih dari satu organisasi di satu perusahaan, atau institusi publik, atau berdasarkan pekerjaan, atau cabang-cabang dan kegiatan tertentu ataupun serikat pekerja nasional untuk tiap sektor yang ada.
  2. Kebebasan untuk bergabung dengan organisasi yang diinginkan tanpa mengajukan permohonan terlebih dahulu.
  3. Kebebasan mengembangkan hak-hak di atas tanpa pengecualian apapun, dikarenakan pekerjaan, jenis kelamin, suku, kepercayaan, kebangsaan dan keyakinan politik.

Konvensi ILO No. 87 ini juga menjamin perlindungan bagi serikat buruh untuk:

  1. Bebas menjalankan fungsi organisasi, termasuk untuk melakukan negosiasi dan perlindungan akan kepentingan-kepentingan pekerja.

  2. Menjalankan AD/ART dan aturan lainnya, memilih perwakilan mereka, mengatur dan melaksanakan berbagai program aktivitasnya.

  3. Mandiri secara finansial dan memiliki perlindungan atas aset-aset dan kepemilikan mereka.

  4. Bebas dari ancaman pemecatan dan skorsing tanpa proses hukum yang jelas atau mendapatkan kesempatan untuk mengadukan ke badan hukum yang independen dan tidak berpihak.

  5. Bebas mendirikan dan bergabung dengan federasi ataupun konfederasi sesuai dengan pilihan mereka, bebas pula untuk berafiliasi dengan organisasi pekerja internasional. Bersamaan dengan itu, kebebasan yang dimiliki federasi dan konfederasi ini juga dilindungi, sama halnya dengan jaminan yang diberikan kepada organisasi pekerja.

Dengan adanya jaminan hukum yang diberikan oleh UU No 21/2000 dan Konvensi ILO No. 87, harusnya praktik union busting sudah lenyap dari bumi Indonesia. Namun, pada kenyataannya hal yang sebaliknya justru terjadi. Praktik union busting semakin meningkat dan semakin mengkhawatirkan. Mengapa hal ini terjadi?

Pembiaran dan keberpihakan pada pengusaha merupakan kata kunci untuk menjawab mengapa union busting masih terus terjadi. Pembiaran dan keberpihakan pada pengusaha ini dilakukan oleh negara melalui berbagai institusinya. Institusi tersebut di antaranya adalah:

  1. Presiden. Sebagai kepala pemerintahan, presiden seharusnya mengupayakan agar seluruh aparat pemerintahannya melaksanakan amanat undang-undang dan menegakkan hak konsitusional kaum buruh untuk berserikat dan memperoleh kesejahteraan.

  2. Mahkamah Agung. Insitusi ini cenderung lamban dan tidak memiliki keberpihakan pada kaum buruh. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyak kasus union busting dan kriminalisasi kaum buruh yang menumpuk dan tak terselesaikan dan kalau pun terselesaikan, lebih banyak kaum buruh yang dikalahkan.

  3. DPR. Dewan terhormat yang harusnya menjadi pengemban amanat rakyat cenderung lalai dalam melakukan pengawasan pelaksanaan undang-undang dan mendengar aspirasi kaum buruh.

  4. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (depnakertrans). Sebagai institusi yang melakukan pengawasan, depnakertrans cenderung lalai melakukan tugas pengawasannya dan tidak bersikap proaktif dalam mengupayakan penghentikan praktik union busting di Indonesia.

  5. Kepolisian. Kepolisian yang seharusnya menjadi ujung tombak penegakan hokum, apabila terjadi kasus union busting cenderung bergerak lamban dan tutup mata terhadap kasus-kasus union busting.

Upaya yang harus dilakukan oleh kaum buruh untuk menegakkan kebebasan berserikat tidak lain adalah dengan melakukan desakan pada institusi-institusi tersebut di atas. Berkumpul, berdiskusi, menggalang persatuan kaum buruh, melakukan aksi, demonstrasi dan pemogokan adalah jalan yang harus dilakukan oleh kaum buruh untuk merebut kembali hak dan kebebasan yang selama ini telah dinjak-injak oleh perusahaan dan pengusaha.

Penutup

Fleksibilitas tenaga kerja dan agenda neoliberal lainnya bukanlah jawaban bagi rakyat. Jelas bahwa sistem kerja kontrak dan outsourcing harus dicabut. Namun saat ini negara belum mampu dalam menyediakan lapangan kerja yang layak dan bermartabat untuk rakyat dan politik upah murah masih tetap diterapkan sebagai faktor penarik investasi. Juga, begitu banyak masalah yang tidak akan mampu diselesaikan oleh pemerintah yang tunduk atau jadi boneka dari pada kapitalisme global. Sekali lagi yang menjadi korban tetaplah rakyat di lapisan bawah seperti, buruh, tani, nelayan, miskin kota, miskin desa, perempuan dan rakyat tertindas lainnya. Jadi, masalah pokok kita hari ini adalah penjajahan gaya baru (neoliberalisme), yang masuk melalui pemerintah kita dengan melakukan deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi.

Apa solusinya?, Masalah ketersediaan lapangan kerja yang layak dan bermartabat sangatlah penting. Bagaimana mewujudkannya? Kita harus kembali pada konstitusi kita, bagaimana bunyi pasal 27 ayat 2 tentang pekerjaan dan penghidupan yang layak dan pasal 33 tentang sumber daya alam yang mengusai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Untuk mewujudkan hal tersebut tentu kita harus mengoreksi banyak kebijakan yang keblinger hanya tunduk pada kapitalisme global yang sudah terbukti menyengsarakan rakyat. Pelajaran penting yang pernah dilakukan serikat-serikat buruh bersama LSM ketika mengajukan Judicial review terhadap UUK No. 13 Tahun 2003, subkontrak atau outsourcing tidak dapat dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan bagaimana kuatnya cengkeraman modal asing yang mungkin sudah masuk ke semua sendi-sendi pemerintahan, bahkan kampus-kampus. Berikut tawaran solusi yang sangat mungkin dilakukan oleh pemerintah dengan dukungan penuh rakyat.

Sistem kerja kontrak dan outsourcing yang merupakan sebagian dari praktik Labor Market Flexibilty (LMF). LMF merupakan paket dalam program neoliberalisme. Neoliberalisme telah menghancurkan kekuatan produktif di Indonesia. Karena itu, mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak serta kepastian kerja tidak hanya menjadi masalah di sekitar perusahaan saja.

Tipikal serikat buruh yang hanya berbasis pada kekuatan buruh tetap dan formal, sedikit demi sedikit akan tergerus dengan maraknya buruh kontrak dan outsourcing. Karena itu, harus mulai dipikirkan bagaiman mengorganisir buruh kontrak dan outsourcing. Paling tidak, serikat harus memastikan bahwa para buruh tetap tidak akan digantikan oleh buruh tidak tetap. Sebagai contoh, serikat buruh dapat menuntut kepastian kerja dalam kesepakatan bersama dengan manajemen perusahaan.

Penindasan dan penghisapan yang semakin menghebat tidak akan terselesaikan dengan model advokasi konvensional. Setiap advokasi harus berupaya melibatkan kepentingan buruh kontrak dan outsourcing, kepentingan buruh sebagai warga negara. Advokasi harus melibatkan kerjasama antarserikat dan antargerakan sosial. Mengatasi fragmentasi antarserikat buruh maupun antargerakan social, merupakan pekerja sulit namun harus dilakukan (Fauzi Abdullah, 2003). Kampanye secara luas –dengan partisipasi dari gerakan petani, gerakan perempuan, gerakan pemuda dan mahasiswa dan gerakan-gerakan masyarakat kelas menengah– untuk menentang fleksibilisasi tenaga kerja dan seluruh kebijakan globalisasi neoliberalisme. Selain itu:

  1. Indonesia harus berani untuk tidak membayar utang luar negerinya. Tentu kita akan butuh dana yang besar untuk dapat bangkit dan membangun. Tapi bukan utang atau bergantung pada Kapitalisme Global semacam IMF, World Bank dan lainnya. Indonesia harus berani untuk menolak utang dan berani menolak bayar utang. Dana APBN yang 40-an % untuk bayar utang harusnya dapat kita untuk dana pembangunan yang berpihak pada rakyat. Berani merancang sendiri kemandirian bangsa

  2. Pemberantasan korupsi dan sita harta para koruptor, kemanapun para koruptor harusnya dikejar dan dipakai untuk dana pembangunan prorakyat. Bukan pemberantasan korupsi yang tebang pilih sekedar untuk terlihat bahwa seakan-akan sudah dilakukan tindakan pemberantasan korupsi.

  3. Bangkit dan membangun industrialisasi nasional yang kuat dari hulu ke hilir. Menyiapkan pertanian dan perkebunan untuk bahan-bahan mentah industri, baik pangan maupun bahan industri lainnya. Memberikan petani tanah garapan secukupnya, memberikan upah layak secara nasional. Kita tidak boleh tergantung pada bahan mentah yang tidak mampu kita tanam. Contohnya gandum, maka harus dicari alternatifnya. Industri permesinan tepat guna harus dibangun untuk membuat alat produksi baik, yang diperlukan oleh pertanian maupun mesin-mesin industri sesuai kebutuhan. Agar kita tidak tergantung pada industri mesin dan komponen asing yang kita impor seperti saat ini. Berdayakan para ahli atau pakar kita untuk berkarya demi kemajuan bangsa dan negara, tidak lagi mengusir dengan tidak memberi ruang untuk berkarya. Mengamankan pasar dari pasar bebas (produksi asing), ke pasar dalam negeri di mana jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar adalah pasar mandiri yang potensial.

  4. Pabrik-pabrik yang tutup atau pengusahanya yang pura-pura bangkrut harus diambil alih oleh negara bersama serikat buruh atau koperasi buruh selain untuk menyelamatkan pekerjaan para buruh yang sudah bekerja tahunan sampai puluhan tahun, sebagai langkah awal pembelajaran kemandirian rakyat dan negara. Dan kita harus berani untuk mengambil alih atau menasionalisasi industri yang vital macam pertambangan, energi, dan mineral. Hal ini harus berani kita lakukan karena sudah terlalu banyak para penjajah baik jaman Belanda maupun jaman sekarang, seperti PT Freeport, Inco, Kaltex, Exxon, dan sebagainya.

Beberapa tawaran solusi diatas tidaklah akan dijalankan oleh pemerintah yang pro-modal (pro-pasar) atau pemerintah yang anti terhadap rakyat. Maka harus disadari bahwa akses pangan, akses terhadap pekerjaan adalah perjuangan yang tidak mudah tetapi perlu ada tindakan konkrit baik secara politik maupun ekonomi. Agar kaum buruh dan mayoritas rakyat Indonesia mulai sadar akan hak politiknya dan mempersiapkan diri untuk berkuasa.

__________________

1 Tulisan ini bagian dari materi Rapat Akbar Komite Solidaritas Nasional. Dimuat dalam Jurnal Kajian Perburuhan Sedane Vol 8 No. 2 2009. Disunting dan disesuaikan.

2 Angka-angka tersebut dapat dilihat, Arifin, Syarif dkk. Krisis Finansial Global; Petaka Bagi Buruh yang Tak Kunjung Usai. dalam, Jurnal Sedane Vol. 6 No. 2 2008. Hal., 21-58

3 Sebagian tuilisan ini diadopsi dari Eiler, Inc. Labor Flexibilization and Imperialist Crisis; Intensifying Exploitation, Dismantling Job Security, Liquidating Unions. 1 May 2000. Online tersedia: www.eilerinc.org

4 Judul asli tulisan, Sistem Kerja Kontrak & Outsourcing Solusi Krisis di atas Penderitaan Kaum Buruh, oleh Anwar “Sastro” Ma’ruf, Koordinator Badan Pekerja Nasional Aliansi Buruh Menggugat (BPN ABM), Ketua Nasional Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), dan Koordinator Komite Solidaritas Nasional (KSN). Tulisan ini pernah disampaikan dalam seminar “Outsourcing: Inikah Masa Depan Ketenagakerjaan Indonesia?” 6 Desember 2007 di Universitas Indonesia.

5 Tjandraningsih, Indrasari dan Nugroho, Hari. Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara. Kertas Kerja. LIPS, LABSOSIO UI, Akatiga, Prakarsa. 2007

6 Judul asli, Perjuangan (Panjang) Melawan Union Busting Di Indonesia: Catatan Komite Solidaritas Nasional, disumbangan oleh KASBI.