MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

May Day, Selalu Ada Harapan!


KURANGI JAM KERJA 10 % SAJA!

Pernyataan bahwa selalu ada yang pertama, ada benarnya. Demikian juga dalam ber-May Day. Saya –sebagaimana pernah saya tulis sebelumya- mengalami May Day pertama tahun 2001 bersama Komite Aksi Satu Mei, tahun 2001. Tahun yang penuh tantangan, dimana pembicaraannya masih berkutat pada satu mimpi : 1 Mei hari libur.

Kini, tahun 2015, adalah bukti mimpi itu menjadi kenyataan. 1 Mei sebagai hari libur nasional, memasuki tahun ke-2. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden nan romantis itu menandatangani sebuah keputusan untuk menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional pada 2013, dan baru berlaku tahun berikutnya. Sebagian orang pada waktu itu mengapresiasi keputusan SBY. Saya tidak termasuk. Alasannya, SBY menandatangani keputusan menjadikan May Day sebagai hari libur bukan sebagai bentuk kesadaran dia akan sejarah May Day dan kecintaan pada buruh, tapi untuk kepentingan pemilu. Itu saja alasan SBY. Itungan ekonomisnya, kalau dia tampak berpihak pada buruh, maka lumayanlah suara buruh untuk Demokrat.

Ganti rezim, ganti Menteri Tenaga Kerja, sama rupanya. Mereka mengagung-agungkan hubungan segitiga emas nan rapuh yang seakan menjawab berbagai permasalahan. Buruh-Pengusaha-Pemerintah bersatu. Semudah itu? Tentu saja tidak. Nampak sekali momentum ini menjadi dagangan murah pejabat negeri untuk menjadikan May Day seolah-olah perayaan hura-hura yang melipur lara. Misal saja, Hanif Dhakiri, menyerukan agar May Day sebagai momentum persatuan buruh-majikan dalam rengkuhan pemerintah. Lalu Jokowi, latah menyatakan May Day adalah waktu bagi buruh untuk bersuka cita. Momentum untuk bergembira ria. Dapat ditebak, koor panjang kemudian menjamur dimana-mana, himbauan untuk tidak mengotori May Day dengan “anarkis”. Blokir tol, ngerusak fasilitas umum, dan apapun yang mereka omongkan berbusa-busa. Tapi, tak satupun mereka berani mengatakan bahwa May Day, adalah momentum majikan untuk mengurangi penindasan.

MAY DAY BAHAGIA, KURANGI JAM KERJA!

Di Karawang, kami mendiskusikan sebuah bentuk peringatan May Day yang sederhana tapi penuh makna. Selayaknya serikat buruh, kami membuat berbagai poster dan atribut dengan berbagai slogan mengenai perjuangan buruh. Ajakan membangun persatuan sampai mengajak kesadaran berkendaraan politik kelas buruh tentu saja. Tapi, kami memilih tema sentral May Day kali ini dengan issu sederhana tapi penting: PENGURANGAN JAM KERJA 10%. Bagi kami, berjuang mengurangi jam kerja sama hebatnya dengan berjuang menaikkan upah. Itu sama ideologisnya, kata Hasan buruh pabrik asbes di Karawang sana.

Logikanya sederhana, dulu orang bisa bekerja berjam-jam tanpa istirahat. 12, 16, 18 bahkan 20 jam bekerja. Istirahat sebentar lalu kerja lagi. Lalu, lahirlah perjuangan mengurangi jam kerja itu. Bentrokan, pembunuhan, represi dan seterusnya sampai kemudian orang mengenal salah satu hasil terbaik dari perjuangan pendahulu kita adalah berkurangnya jam kerja. Istilah 3-8 menjadi slogan yang maha dahsyat. 8 jam bekerja, 8 jam istirahat, 8 jam untuk bersosialiasi. Meski dilabeli komunis, perjuangan ini terbukti cocok dengan ajaran agama manapun. Tanpa waktu yang cukup, hampir dapat dikatakan semua agama akan kerepotan menyelenggrakan berbagai acara. Buruh terburu-buru sholat Jum’at. Minggu tak bisa kebaktian ke gereja. Natal terasa penuh ancaman, mudik juga mungkin tak ada. Jadi, hutang terbesar kita pada gerakan para pendahulu adalah jam kerja! Tidak bisa tidak. Pengurangan Jam kerja, adalah ruh dari kelahiran May Day!

Nah, apakah  sekarang hasil perjuangan pendahulu itu masih manjur? Bagi sebagian orang, mungkin geer mengatakan iya. Tapi kenyataan di lapangan sangat berbeda. Kalau berbicara buruh garmen, sudah pasti akan sangat nampak bahwa jam kerja 8 jam adalah tidak ada. Sumarni tukang jahit di pabrik sepatu itu, yang berangkat kerja  jam 5 pagi, harus menghabiskan waktu 16 jam untuk bisa kembali ke rumah. Bekerja 12 jam, dan 4 jam di perjalanan. Lukman, buruh pabrik asbes juga mirip. Dengan alasan penghematan, perusahaan membatasi jumlah satpam sehingga harus bekerja dalam shift panjang. Yohana, guru sekolah itu malah lebih ekstrim. Jam 5 sudah berangkat dari rumah, dan nanti pulang selepas langit sudah menghitam gelap. Buruh-buruh eksekutif di bilangan kota emas Jakarta sana, sekitar Thamrin-Soedirman gak beda jauh. Berangkat naik kereta berdesak-desakan bak ikan teri sampai rumah juga menjelang jam 9 malam. Tak jauh berbeda, kawan-kawan yang bergelut dengan issu sosial di berbagai LSM, ternyata juga tak lebih baik. Mereka bisa bekerja melebihi tengah malam. Hanya saja, kemudian dibungkus dengan heroisme. Jadi, siapa masih bisa dan berani mengatakan bahwa jam kerja sekarang pendek? Issu yang gak strategis dan issu remeh-temeh?

Jam kerja yang panjang, bukan semata habisnya waktu di depan mesin produksi, atau menyediakan diri di depan laptop di ruangan big boss, atau di pos sekuriti sebagai satpam. Jam kerja yang panjang, kemudian menyentuh masalah yang lebih mendesak, disamping pengurangan beban kerja berlebih bagi buruh, juga tuntutan kepada pemerintah untuk memperbaiki fasilitas umum sehingga tidak semakin menyiksa buruh dalam arti yang sebenarnya.

Tahun 2001, seingat saya Komite Aksi Satu Mei (KASM) juga sudah mencanangkan ide jam kerja 32 jam. Alasannya juga masuk akal, sebab ternyata jam kerja 32 jam per minggu juga akan menjadi solusi mengatasi pengangguran. Alangkah baiknya kalau file lama di KASM itu dibongkar lagi untuk menghangatkan perdebatan. Pengurangan jam kerja, selain mengurangi beban kerja buruh, pemerataan kerja juga akan memberikan kesempatan buruh untuk menjalankan organisasi, sebab salah satu alasan buruh menjadi enggan berserikat juga karena alasan kelelahan sesudah kerja.

Menutup tulisan ini, saya tertarik untuk mengcopy paste sebua kalimat di poster kawan-kawan SERBUK Karawang yang dikemas dalam berbagai bahasa lucu, antara lain : Mamah-Papah, jangan lembur, Ade Kesepian. Neng, jangan lembur terus, Aa kan kesepian. Jutaan Buruh Jomblo karena jam kerja berkepanjangan dan masih banyak lagi. Pesan yang ingin ditampilkan, adalah sebuah peringatan serius, menghabiskan jam kerja panjang di tempat kerja, alamat buruk bagi buruh, pacar buruh, anak-anak buruh dan buruh yang men-jomblo itu.

Ah, tiba-tiba, ketika saya sedang menyelesaikan tulisan ini, seorang kawan di ruang sebelah berteriak : Heeeey, May Day harus berbicara politik! Saatnya mendeklarasikan partai politik! Bukan jam kerja. Lalu, dengan santai kujawab : Bung, kalau jam kerja buruh terlalu panjang, bagaimana bisa kemudian mereka akan bergabung di partai politikmu itu? Ikut mendengarkan pidato-pidato Bung?  Lalu kami sama-sama terdiam sejenak. Sesudah kusodorkan kopi hitam dalam gelas plastik, kami sama-sama tertawa, entah menertawakan siapa.

Happy May Day, sunguh saya mencintai jam kerja pendek!

(Tulisan ini, kupersembahkan untuk 3000 anggota Serikat Buruh Kerakyatan PT. Honda Prospect Motor, ini adalah May Day pertama kalian. Nikmati saja, kenapa membentuk serikat buruh harus selalu lebih susah daripada membentuk kelompok arisan!)

Penulis

Khamid Istakhori
Global Organizing Academy, Building & Wood Workers’ International