MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Buruh Borongan sebagai Praktik Piece-Rate System: Kondisi Kerja dan Perlawanan

Dina Septi Utami
Beraktivitas di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)
Pendahuluan
Tulisan ini akan merefleksikan hasil belajar tentang buruh borongan sebagai sebuah sistem yang diterapkan di pabrik di BIIE (Bekasi International Industrial Estate) di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat; kondisi kerja yang diakibatkan oleh sistem tersebut dan perlawanan buruh terhadap sistem tersebut. Sistem buruh borongan yang diterapkan di pabrik ini adalah sebuah implementasi piece-rate system yang khusus dan cukup aneh yang menempatkan buruh dalam situasi yang sangat mengenaskan. Pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah apa itu sistem buruh borongan? Dan bagaimana ia diterapkan? Bagaimana kondisi kerja yang diakibatkannya dan bagaimana buruh melawannya? Tulisan ini akan dibagi dalam beberapa bagian. Bagian pertama akan membahas piece-rate system sebagai strategi kapital untuk meningkatkan nilai lebih.
Bagian selanjutnya akan menceritakan penerapan piece-rate system yang memiliki kekhususan dengan menggunakan istilah buruh borongan sebagaimana diterapkan di sebuah pabrik karton boks di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Setelah itu, tulisan ini akan menceritakan kondisi kerja dalam sistem buruh borongan dan bagaimana buruh melawan sistem ini. Di bagian terakhir, tulisan ini akan merangkum seluruh diskusi sebelumnya dan mengajukan agenda belajar selanjutnya terkait dengan penerapan piece-rate system di berbagai ruang produksi.
Piece-rate System
Piece-rate adalah sistem penentuan upah di mana buruh diupah berdasarkan setiap unit yang diproduksi berdasarkan harga tetap. Marx (1976) menulis sistem ini dalam satu bab berjudul piece-wages. Bagi Marx “Upah per unit tidak lain adalah bentuk yang dikonversi dari upah berdasarkan waktu, sebagaimana upah berdasarkan waktu yang merupakan bentuk yang dikonversi dari nilai atau harga dari tenaga kerja (Marx, 1976, p. 692)[1]. Sementara itu, nilai tenaga kerja setara dengan nilai kebutuhan hidup buruh  (Marx, 1976)[2].
Piece rate system adalah sebuah strategi untuk mengurangi ongkos yang harus dikeluarkan untuk membayar buruh dan memungkinkan ekstraksi nilai lebih yang lebih besar (Ghosh, 2012). Selain untuk mengekstrak nilai lebih, piece-rate system juga merupakan bentuk kontrol manajemen perusahaan atas buruh-buruhnya. Sebagaimana yang ditulis oleh Braverman berikut ini:
Piece rates dalam berbagai bentuk banyak dipakai sampai hari ini, dan mewakili konversi upah berdasarkan waktu menjadi suatu bentuk usaha, dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda, untuk membuat buruh dengan sukarela tunduk pada ekploitasi terhadap diri mereka. Namun, hari ini, piece-rate dikombinasikan dengan kontrol yang sistematis dan mendetil dari manajemen terhadap proses-proses kerja, kontrol yang seringkali diterapkan dengan lebih ketat dibandingkan ketika sistem waktu diterapkan” (Braverman, 1998).[3]
Sebagaimana yang akan diceritakan dalam tulisan ini, piece-rate system adalah sebuah strategi untuk meningkatkan ekstraksi nilai lebih dan sebagai cara untuk menciptakan buruh yang patuh akan menjadi sangat tidak manusiawi ketika buruh yang dipekerjakan dalam sistem ini adalah perempuan. Bagian selanjutnya akan mendiskusikan penerapan khusus piece-rate sistem yang disebut dengan buruh borongan.
Buruh Borongan dan Penerapannya
Buruh borongan yang dibahas dalam tulisan ini adalah sebuah istilah yang umum dikenal di sebuah pabrik penghasil karton boks di Bekasi untuk merujuk pada sekelompok buruh berjumlah 120 orang yang bekerja di bagian bernama stitching. Sembilan puluh di antaranya adalah buruh tetap, sedangkan sisanya adalah buruh kontrak yang masa kontrak antara dua minggu sampai dengan dua belas tahun. Durasi kontrak paling pendek, yaitu dua minggu, muncul dalam situasi tertentu seperti ketika perusahaan kebanjiran order dan selama bulan puasa—untuk mencapai target produksi sebelum libur Idul Fitri.
Buruh-buruh ini sebenarnya tidak tahu apa yang ditulis dalam kontrak kerja mereka. Manajemen perusahaan hanya membuat satu salinan kontrak kerja. Setelah seorang buruh menandatangani kontrak, manajemen akan menahan satu-satunya salinan kontrak. Tak seorang buruh pun yang memegang salinan kontrak kerja. Tetapi ke-120 buruh itu tahu bahwa mereka diupah berdasarkan sistem piece-rate meskipun mereka tidak pernah tahu berapa mereka dibayar oleh perusahaan untuk per unit hasil kerja mereka.
Manajemen juga seringkali tidak memberikan slip gaji kepada buruh. Dengan demikian tak seorang pun, kecuali manajemen, tahu berapa unit yang dihasilkan oleh buruh dan berapa mereka dibayar untuk setiap unit yang mereka hasilkan. Selain itu, manajemen juga tidak mencantumkan nama perusahaan pada slip gaji buruh. Seorang buruh mengungkapkan,
“Kontrak kerja hanya dibuat satu copy. Setelah ditandatangani oleh kedua belah pihak, kontrak disimpan oleh manajemen, buruh tidak diberi salinannya. Slip gaji juga sering tidak diberikan. Tiga bulan terakhir tidak ada slip gaji sehingga buruh atau siapapun di luar manajemen tidak dapat mengetahui berapa satuan yang dihasilkan dalam satu bulan dan berapa per-satuan dihargai. Pada slip gaji buruh borongan sama sekali tidak mencantumkan nama Perusahaan.”
Tanpa salinan kontrak kerja, buruh tidak akan tahu hak dan kewajiban yang tertulis dalam kontrak mereka masing-masing. Oleh karena itu, buruh tidak akan bisa menuntut apa-apa kepada perusahaan terkait dengan hak-hak mereka. Setiap kali buruh bertanya, manajemen akan mengelak dengan mengatakan bahwa harga per unit ditentukan oleh pembeli dan berdasarkan tinggi rendahnya permintaan.
Pendeknya, buruh borongan dalam tulisan ini adalah sebuah implementasi khusus dari sistem pengupahan piece-rate yang melemparkan buruh ke dalam situasi yang mengenaskan. Buruh tahu bahwa mereka akan diupah berdasarkan sistem piece-rate namum mereka benar-benar tidak tahu berapa yang harusnya mereka terima untuk setiap unit yang mereka produksi. Mereka bahkan tidak tahu hak-hak mereka yang seharusnya tertulis dalam kontra kerja mereka.
Kondisi Kerja dan Perlawanan
Di bagian ini, tulisan ini akan mendiskusikan kondisi kerja yang diakibatkan oleh sistem buruh borongan di pabrik karton boks pada sebuah pabrik sebagaimana tersebut di atas. Buruh yang dipekerjakan di bawah sistem ini bekerja di bagian stitching yang hanya mempekerjakan buruh perempuan. Ada dua bagian lain yang juga menggunakan sistem ini yaitu ekspedisi dan operator mesin tertentu. Upah dihitung berdasarkan jumlah karton boks yang dihasilkan oleh seorang buruh dalam satu bulan. Pada tahun 2014, seorang buruh yang dipekerjakan di bawah sistem buruh borongan di perusahaan ini mendapatkan upah Rp 1.500.000 sampai Rp 1.900.000 per bulan. Jumlah ini jauh di bawah upah minimum yang berlaku di wilayah itu. Upah minimum Kabupaten Bekasi tahun 2014 adalah Rp 2.447.445. Padahal Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No.13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89”.
Pendapatan mereka yang rendah membuat mereka bekerja lebih lama. Selama masa-masa sibuk ketika perusahaan kebanjiran order, buruh borongan bekerja dua belas jam sehari. Mereka menyebutnya sebagai long shift. Shift ini dimulai jam tujuh pagi dan berakhir jam tujuh malam. Mereka juga bekerja di akhir minggu. Meskipun buruh borongan bekerja di hari Minggu atau long shift, upah mereka akan tetap dihitung berdasarkan unit yang dihasilkan. Buruh yang bekerja di bawah sistem buruh borongan ini tidak mengenal kerja lembur dan, dengan demikian, mereka juga tidak pernah menerima upah lembur.[4] Buruh yang bekerja di bawah sistem buruh borongan hanya menerima tambahan uang delapan ribu rupian jika mereka bekerja di hari Minggu atau hari libur lainnya. Jika mereka bekerja long shift di hari biasa, mereka akan menerima teh manis sebagai bonus. Seorang buruh yang bekerja di bawah sistem buruh borongan ini bisa menghabiskan seluruh waktunya di dalam ruang produksi. Tanpa hari libur sama sekali. Namun, tak seorangpun  keberatan dengan hal ini. Karena, dengan bekerja long shift dan di hari Minggu mereka bisa mendapatkan uang tambahan. Buruh yang bekerja di bawah sistem ini tidak menerima tunjangan masa kerja maupun tunjangan untuk keluarga.
Buruh yang bekerja di bawah sistem buruh borongan di perusahaan ini yang hamil lalu melahirkan akan kehilangan pekerjaannya di pabrik. Di hari buruh perempuan itu kembali bekerja setelah melahirkan, ia akan harus membuat surat lamaran pekerjaan lagi. Jika perusahaan mempekerjakannya kembali maka ia akan dianggap sebagai buruh baru. Artinya, ia kehilangan kesempatan untuk diangkat menjadi buruh tetap. Buruh perempuan yang bekerja di bawah sistem ini tidak memiliki hak untuk cuti melahirkan apalagi cuti menstruasi.
Untuk memenuhi target produksi, buruh yang bekerja di bawah sistem ini kerap meninggalkan waktu istirahat; hanya sebagian menggunakan waktu istirahat atau mengisi waktu istirahat dengan tetap bekerja. Salah satu buruh yang bekerja di bawah sistem buruh borongan menyebutnya dengan “digober”. Artinya, mereka harus bekerja sekuat dan serajin mungkin, dengan makan dan minum sekadarnya, dan meninggalkan salat zuhur.
Buruh yang bekerja di bawah sistem ini kebanyakan berasal dari penduduk asli Bekasi. Pekerjaannya spesifik, melamarnya mudah tidak mempersyaratkan banyak hal, dan upah yang stabil didapat setiap bulannya. Kemudahan mendapatkan pekerjaan di perusahaan ini menjadi faktor utama bagi buruh yang bekerja di bawah sistem buruh borongan untuk enggan mempersoalkan nasibnya. Ada seorang buruh perempuan yang bekerja di perusahaan itu selama lebih dari dua belas tahun. Ia menandatangani kontrak ketika mulai bekerja. Selama dua belas tahun bekerja, ia tidak pernah menerima tunjangan apapun.
Kondisi kerja dan relasi produksi yang demikian telah memicu sebuah perlawanan. Pada tahun 2012 seorang buruh yang bekerja di bawah sistem ini bernama Narti, seorang janda yang sedang hamil yang sudah bekerja di pabrik itu selama dua tahun, akhirnya berhasil mengambil cuti melahirkan. Ini adalah sebuah terobosan besar dalam sistem yang menindas yang sudah mapan ini. Ketika usia kehamilannya delapan bulan, ia berpikir untuk mengambil cuti melahirkan. Ia menghadap manajemen dan mengisi formulir cuti melahirkan. Setelah ia melahirkan, ia datang ke pabrik untuk bekerja kembali. Ia tidak diizinkan untuk masuk ke ruang produksi karena ia dianggap sudah tidak bekerja lagi di perusahaan itu. Narti menolaknya. Ia bersikeras bahwa manajemen sudah menyetujui cuti melahirkan yang ia ajukan dan oleh karena itu ia masih berhak bekerja kembali. Supervisornya kemudian mengatakan kepadanya untuk menemui manajer HRD dan memeriksa apakah namanya masih terdaftar sebagai buruh di perusahaan itu. Ia menemukan bahwa namanya masih ada di dalam daftar dan kartu kehadirannya masih ada di tempatnya. Narti lalu pergi menemui supervisornya dengan membawa data yang ia temukan, ia bersikeras kembali bekerja hari itu juga. Supervisornya tidak mampu berkata apa-apa.
Belajar dari keberhasilan Narti mendapatkan kembali pekerjaannya setelah melahirkan, banyak buruh perempuan lain yang bekerja di bawah sistem ini kemudian memutuskan untuk punya anak. Salah satunya bernama Entin. Anak pertamanya berumur 13 tahun dan lahir sebelum ia mulai bekerja di perusahaan itu. Selama dua belas tahun bekerja, Entin tidak berani punya anak lagi. Pada tahun 2013 akhirnya Entin melahirkan anak keduanya.
Narti tidak berhenti di situ saja. Setelah keberhasilannya mengambil cuti hamil dan kembali bekerja setelah ia melahirkan dan oleh karenanya mendorong sesama buruh yang bekerja di bawah sistem borongan untuk punya anak lagi, ia mulai mempertanyakan buruh borongan sebagai sebuah sistem. Narti berulang kali mendatangi pengurus serikat buruh tingkat pabrik dan meminta mereka melakukan sesuatu terhadap sistem buruh borongan. Namun jawabannya selalu sama,“Buatlah surat pengaduan, maka kami bisa bertindak. Jika tidak ada pengaduan maka kami tidak tahu ada cerita apa, dan tidak bisa mengambil tindakan.”[5] Narti tidak dapat memahami jawaban itu. Sistem pengupahan itu sudah berlangsung di depan mata semua orang selama lebih dari sepuluh tahun. Terkadang Pengurus  menyindirnya “Mainlah ke sekre, kita bisa ngobrol dan cerita.” “Tapi bagaimana anggota mau main ke sekre kalo setiap hari sekre dalam kondisi tergembok tanpa ada orang,”[6] kata Narti. Ia merasa berada di tengah-tengah kondisi yang mandeg. Ia harus mendorong anggota serikat yang lain untuk mau mengubah keadaan, ia juga harus mendorong pengurus untuk membantu anggotanya mengubah keadaan tersebut.
Tanggal 30 Maret 2014, Narti berhasil membuat 44 buruh borongan baik laki-laki maupun perempuan untuk kumpulan.[7] Kumpulan diselenggarakan di rumah salah seorang buruh borongan. Kumpulan ini bertujuan membahas sistem upah borongan yang dijalankan oleh perusahaan dan bagaimana cara mengubahnya. Narti bercerita bagaimana susahnya ia mengumpulkan ke-44 orang itu.
“… Saya datangi satu-persatu rumah mereka. Kadang tidak dibukakan pintu, kadang pintu dibanting di muka saya, kadang dimaki-maki. Selain saya datangi rumah atau kontrakan mereka, saya tunggu di pintu keluar pas pulang kerja. Kapan saja saya ketemu satu atau dua orang buruh borongan yang lain, saya jelaskan betapa tidak adilnya sistem pengupahan borongan ini. Saya sampai nangis memohon agar mereka mau melihat ini sebagai sebuah ketidakadilan dan mau berjuang bersama. Jika ini berhasil kita bisa memperoleh upah yang lebih adil, dengan kemungkinan jam kerja yang tidak akan terlalu panjang.”[8]
Akhirnya, serikat buruh tingkat pabrik berhasil mengadvokasi buruh yang bekerja di bawah sistem buruh borongan. Pada tahun 2015, setelah beberapa kali negosiasi selama hampir satu tahun, seluruh buruh yang bekerja di bawah sistem buruh borongan diangkat menjadi buruh tetap dan dibayar dengan upah minimum Kabupaten Bekasi.
Untuk meringkas, sistem buruh borongan yang diterapkan di pabrik ini mengakibatkan kondisi kerja yang buruk yang dialami oleh buruh yang sebagian besar adalah perempuan. Di sisi lain, buruh yang kemudian mengetahui bahwa sistem ini tidak hanya tidak manusiawi dan eksploitatif namun juga telah melemparkan mereka ke dalam hidup yang mengenaskan. Pelajaran inilah yang membuat mereka melawan dan menciptakan perubahan. Sekarang mereka, setelah mengajukan protes dan meberikan tekanan pada pihak manajemen, sudah menjadi buruh tetap yang dibayar dengan skema upah minimum.
Penutup
Sebagai kesimpulan, piece-rate system adalah sebuah strategi untuk meningkatkan ekstraksi nilai lebih dan sekaligus sebagai cara menciptakan buruh-buruh yang patuh yang akan menjadi lebih tidak manusiawi jika buruh yang bekerja di bawah sistem ini adalah perempuan. Sistem buruh borongan adalah implementasi khusus dari sistem pengupahan piece-rate yang melemparkan buruh kepada situasi yang mengenaskan. Buruh yang bekerja di bawah sistem buruh borongan mengetahui bahwa mereka akan dibayar berdasarkan sistem piece-rate tapi mereka tidak tahu berapa mereka dibayar untuk setiap unitnya. Mereka bahkan tidak tahu hak-hak mereka yang seharusnya tertulis dalam kontrak kerja. Sistem buruh borongan mengakibatkan kondisi kerja yang buruk. Kondisi kerja bahkan akan lebih buruk ketika buruh yang bekerja di bawah sistem ini adalah perempuan. Dalam cerita sebelumnya, buruh kemudian mengetahui bahwa sistem ini tidak hanya tidak manusiawi dan eksploitatif namun juga telah melemparkan mereka ke dalam kehidupan yang menyengsarakan. Pelajaran inilah yang membuat mereka melawan and menciptakan perubahan.
Sebagai sebuah istilah, buruh borongan juga dikenal dan ditemukan di banyak pabrik di berbagai sektor sebagai sebuah sistem pengupahan atau sebuah relasi produksi. Namun, diperlukan penyelidikan lebih jauh tentang bagaimana sistem ini diterapkan. Sebagian mungkin adalah praktik sistem piece-rate, sebagian lagi mungkin bukan. Dan ini bisa menjadi agenda belajar tentang kajian perburuhan selanjutnya. Penting untuk melihat variasi dan model-model penerapan sistem piece-rate sekaligus kondisi kerja yang diakibatkannya dan dinamika perlawanan buruh terhadap sistem seperti ini.
Bahan bacaan
Braverman, H. (1998). Labor and Monopoly Capital. New York: Monthly Review Press.
Ghosh, J. (2012). Women, Labor, and Capital Accumulation in Asia. Monthly Review, 63 (08).
Marx, K. (1976). Capital: A Critique of Political Economy (Volume 1). London: Penguin Books.
______________________________
[1]      Diterjemahkan bebas dari kalimat aslinya: “The piece-wage is nothing but a converted form of the time-wage, just as the time-wage is a converted form of the value or price of labour-power”
[2]      Dalam konteks Indonesia bandingkan dengan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) dari mana upah minimum ditentukan.
[3]     Diterjemahkan bebas dari teks aslinya: “Piece rates in various forms are common to the present day, and represent the conversion of time wages into a form which attempts, with very uneven success, to enlist the worker as a willing accomplice in his or her own exploitation. Today, however, piece rates are combined with the systematic and detailed control on the part of management over the processes of work, a control which is sometimes exercised more stringently than where time rates are employed.” (Braverman, 1998)
[4]      Upah lembur dihitung berdasarkan ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi NO. 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Lembur, Pasal 11.
[5]      Wawancara dengan Narti tanggal 30 Maret 2014.
[6]      Wawancara dengan Narti tanggal 30 Maret 2014.
[7]      Kumpulan adalah istilah yang dipakai oleh buruh untuk rapat. Istilah rapat hanya digunakan untuk ‘rapat akbar’ yang artinya mengumpulkan seluruh anggota serikat. Namun untuk rapat-rapat yang tidak mengumpulkan seluruh anggota disebut dengan kumpulan.
[8]      Wawancara tanggal 31 Maret 2014.
 

Penulis

Dina Septi Utami