MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Maria Emeninta: Perbaikan kondisi kerja buruh tanpa tanggung jawab pengusaha hanyalah omong kosong


photo
Maria Emeninta KSBSI

Pada 30 Mei hingga 10 Juni 2016, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) melaksanakan Konferensi Perburuhan Internasional (ILC) ke-105. ILC dihadiri oleh perwakilan serikat buruh, organisasi pengusaha dan perwakilan pemerintah.

ILC merupakan mekanisme tertinggi di ILO untuk memberikan arahan program kepada Governing Body ILO. Berdasarkan rekomendasi ILC tersebut Governing Body merumuskan program kerja untuk dilaksanakan oleh Direktur Jenderal ILO yang dibantu oleh kantor-kantor ILO di setiap negara anggotanya.

Pada 11 Juni 2016, Majalah Sedane berkesempatan berbincang-bincang dengan salah satu perwakilan serikat buruh Indonesia yang hadir di ILC ILO,  Maria Emeninta. Maria delegasi yang berasal dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI).

Apa tema ILC sekarang dan apa yang dihasilkannya?

Tema ILC sekarang adalah Membangun Masa Depan dengan Kerja Layak. Di dalamnya ada beberapa topik, seperti rantai pasokan global dan pelaksanaan standar perburuhan internasional di tiap negara. Pidato pembukaan Dirjen ILO Guy Ryder bertema The End to Poverty Initiative in Line With Agenda 2030 sebagai arahan fokus perjuangan ILO ke depan.

Hasil dari ILC adalah rekomendasi atau konvensi atau program yang dimandatkan kepada ILO dan negara-negara anggotanya. Selain itu adalah penerimaan anggota baru ILO dan pemilihan Governing Body.

Apa saja yang menjadi perdebatan dalam ILC?

Perdebatan di ILC masih antara serikat buruh dengan perwakilan pengusaha, terutama soal persepsi. Perbedaan persepsi ini maksudnya, pengusaha lebih melihat perubahan-perubahan ekonomi seperti supply chain itu murni perkembangan ekonomi dan komersialisasi. Dan terabaikan bahwa dari kerjanya supply chain itu ada jutaan buruh yang bekerja.

Sementara itu penomena dari tahun ke tahun pemerintah lebih suka bermain aman, kecuali pemerintah dari negara-negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pemerintah negara-negara maju itu begitu agresif seperti hendak menyetir desain rekomendasi kepada ILO dan tata perekonomian global.

Saya sendiri masuk di Komisi Global Supply Chain. Di sini sangat terasa keakuan pengusaha sebagai pemain mata rantai pasokan dan mereka terang-terangan menyatakan bukan tanggungjawabnya soal menurunnya kualitas hidup buruh karena yang terjadi saat ini adalah lemahnya penegakan hukum, dalam konteks Indonesia pengawasan perburuhan yang tidak efektif. Pernyataan itu sama artinya menikam jantung buruh melalui tangan pemerintah yang memang harus bertanggungjawab soal penegakan hukum. Pernyataan itu juga berarti pengusaha mengakui memang pelaku pelanggar hukum, tapi adalah tugas pemerintah untuk memberi sanksi namun tidak melakukan apa-apa sehingga keterpurukan itu melenggang mulus di tiap negara ini. Jika demikian maka perbaikan kondisi kerja buruh, to end poverty dalam konteks pembangunan negara-negara berkembang itu, hanyalah omong kosong.

Pengusaha hanya peduli pada bidang-bidang yang dikomersialisasi dan berpegang teguh pada prinsip ekonomi, tanpa berpikir lebih jauh tentang kehidupan banyak orang terutama buruh yang dirugikan oleh rantai pasokan global. Kesimpulannya, pengusaha beranggapan bahwa ILC ini tidak memerlukan standar-standar baru atau ide-ide baru untuk mengatasi persoalan yang dihadapi buruh.

Di era rantai pasokan global ini apakah peran ILO masih relevan untuk melindungi hak-hak buruh dan serikat buruh?

ILO tetap masih relevan. ILC itu adalah momentum tripartit dan semestinya bisa kita maksimalkan. Tapi kapasitas buruh perlu lebih ditingkatkan lagi. Upaya-upaya untuk mempertajam peran ILO dengan menyosialisasikan inisiatif yang telah ada agar ditingkatkan lagi supaya menjadi rujukan hukum nasional yang lebih mengikat.

Khusus Indonesia, ILO harus lebih kritis. Ada banyak inisiatif, seperti ILO Tripartite Declaration on MNE (Multinational Enterprises), semestinya berkekuatan hukum, tapi ILO tidak berperan maksimal. Selain itu ada pula tentang Protokol Kebebasan Berserikat yang semestinya menjadi nilai plus Indonesia di mata dunia, tapi ternyata tidak begitu banyak yang mengetahui inisiatif tersebut.

Pidato Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri 8 Juni di ILC mengatakan, pembangunan di Indonesia berhasil mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Juga, pemerintah telah menyiapkan sertifikasi pekerja terampil  dan balai latihan kerja untuk menyongsong pembangunan. Pendapat Anda?

Definisi miskin saja belum jelas sampai sekarang. Mungkin kemiskinan absolut berkurang. Tapi kita harus ingat indikator kuat kemiskinan itu salah satunya adalah sektor informal. Nah, di Indonesia itu pekerja informal meningkat tajam. Jadi mana bisa dikatakan kemiskinan berkurang!

Program sertifikasi tidak begitu jelas mekanismenya. BLK yang dibuat pemerintah pun sulit diakses oleh buruh. Kalau memang benar adanya begitu, pemerintah perlu melakukan sosialiasi lebih luas agar rakyat, terutama buruh di berbagai daerah bisa mengakses program tersebut. Saya menduga jika sertifikasi keterampilan ini menjadi program, khawatir akan menjadi bentuk baru komersialisasi. Ini akan lebih menyulitkan lagi bagi buruh.

Bagaimana agar serikat buruh dapat berperan aktif dan memaksimalkan peran ILO?

 Di mulai dari ILO-nya dan diniatkan serikat buruhnya. ILO boleh saja melibatkan banyak lembaga, NGO atau instansi pemerintah beragam dalam programnya namun serikat buruh dan pengusaha mesti dijadikan konstituen utamanya. Sejumlah inisiatif dan standar perburuhan perlu dijadikan program prioritas-jadi jangan orientasi proyek, pendekatannya.

Serikat juga harus lebih bersatu. Ciptakan ruang diskusi untuk kritisi dan masukan atas semua issu sehingga bisa disikapi satu per satu.
 
 
 
 

Penulis

Tim Redaksi
# ILC # ILO # Konvensi