MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Keadilan Buruh di PHI?

Jenny Suziani dan Syarif Arifin

Pengantar
Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) Nomor 2 Tahun 2004 disahkan pada 14 Januari 2004. UU PPHI mengamanatkan pembentukan pengadilan khusus hubungan industrial yang berada di peradilan umum. Pengadilan khusus tersebut berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Perselisihan yang dimaksud adalah: Perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan serikat pekerja/serikat buruh. Tata beracaranya merujuk pada hukum acara perdata yang juga berlaku di peradilan umum.
UU PPHI keluar atas perintah Pasal 136 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan mencabut UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU Nomor 12 tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta. Dengan begitu, PPHI mengganti secara keseluruhan peradilan sebelumnya, yaitu P4 (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan).
Perubahan yang cukup menonjol dari P4P/D ke PHI adalah diperkenalkannya mekanisme surat gugatan sebagai bagian integral dari hukum beracara di-PHI. Selain itu, PHI pun memberikan kemungkinan penyelesaian kasus perburuhan oleh perorangan, di mana dalam peraturan sebelumnya hanya mengakomodasi melalui perwakilan serikat buruh. Perubahan lainnya adalah dimasukkannnya perselisihan antarserikat buruh di satu perusahaan sebagai bagian dari perselisihan hubungan industrial. PPHI menjanjikan penyelesaian perselisihan perburuhan dengan cepat, tepat, adil, dan murah.
UU PPHI merupakan paket perundangan yang telah dipersiapkan sejak 1997 atau dua tahun setelah Presiden Soeharto menandatangani surat kesepakatan (Letter of Intent/LoI) dengan dana moneter internasional (IMF) untuk mendapatkan kucuran hutang. LoI mengamanatkan Presiden Soeharto melakukan serangkaian deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi. Di bidang ketenagakerjaan, rangkaian deregulasi dan debirokratisasi mewujud dalam upaya menciptakan iklim tenaga kerja yang lebih lentur atau yang disebut dengan kebijakan pasar kerja fleksibel (labour market flexibility) di bawah proyek Reformasi Hukum Perburuhan.
Sebenarnya, pada 1997, deregulasi ketenagakerjaan telah dilakukan dengan keluarnya UU Ketenagakerjaan Nomor 25, namun tidak efektif karena mendapatkan penolakan kuat dari para pegiat perburuhan, kontradiksi yang menguat di kalangan pejabat politik, dan melemahnya kekuatan rezim Soeharto. UUK Nomor 25 Tahun 1997 dicabut di masa Presiden Abdurahman Wahid.
Meski demikian, proyek liberalisasi pasar tenaga kerja tidak patah arang. Reformasi hukum perburuhan terus dilakukan dengan mendapatkan asistensi teknis dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dengan bantuan pendanaan dari Belanda, Perancis, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan AusAid (Quinn, t.th.).
***
Dengan alasan ketidaksiapan institusi dan sumber daya manusia, UU PPHI baru efektif dua tahun kemudian, pada 2006. Sejak beroperasi janji-janji PHI mendekati ilusi. Dalam banyak peristiwa, buruh memilih jalur-jalur nonlegal untuk mengadvokasi hak-haknya. Peristiwa grebek pabrik pada periode 2012 merupakan salah satu gejala kuat yang menunjukkan ke arah tersebut. Tulisan ini hendak melihat persepsi serikat buruh terhadap PHI.
 Gerakan Buruh Merebut Keadilan
Secara umum, gerakan merebut keadilan merupakan reaksi terhadap pendekatan “reformasi hukum dari atas”. “Reformasi hukum dari atas” menempatkan, semua orang setara di depan hukum, hukum pasti berkeadilan, dan hakim dapat memutuskan perkara secara netral sesuai dengan semangat hukum. Untuk menjaga tata tertib semua tindakan mesti sesuai dengan hukum. Keyakinan inilah yang diajarkan di bangku-bangku sekolah dan menjadi praktik umum di pengadilan. Pendekatan ini sering pula disebut dengan legalisme atau positivisme.
Pendekatan di atas mendapatkan kritik tajam dari ahli hukum kritis. Dalam kenyataannya, hukum merupakan hasil pertarungan ekonomi dan politik. Para penegak hukum bukan agensi yang tidak memiliki kepentingan-kepentingan dan tidak mungkin mampu bersikap netral. Muncullah gagasan bahwa kaum marjinal harus memiliki kemampuan untuk memengaruhi kebijakan negara dan merebut keadilannya sendiri (Berenschot dan Bedner, 2001: 18). Pencarian keadilan dimulai ketika seseorang menyadari diperlakukan tidak adil. Gerakan merebut keadilan berkeyakinan bahwa setiap orang adalah ahli hukum. Keadilan adalah sesuatu yang diciptakan dan direbut, bukan hasil dari belas kasihan.
Menurut Berenschot dan Bedner (2011: 22-29), gerakan merebut keadilan setidaknya melalui berbagai tahapan. Pertama, mendefinisikan ketidakadilan (naming). Untuk dapat memrotes ketidakadilan kaum marjinal harus mampu mendefinisikan situasi yang dialaminya. Kegagalan memahami ketidakadilan berarti ketidakberdayaan untuk keluar dari penindasan. Kedua, mencari penyebab (blaming). Ketidakmampuan atau ketidaktahuan mencari penyebab ketidakadilan merupakan hambatan untuk menegakan keadilan. Ketiga, menyampaikan tuntutan (claiming).  Dalam hal ini pencari keadilan dituntut mampu merumuskan ulang atau menerjemahkan situasi ketidakadilan dirinya dalam kerangka hukum atau kerangka normatif yang lebih luas. Keempat, memperluas kekuatan. Hal ini untuk memperluas jangkauan persoalan dengan melibatkan banyak pihak. Kelima, menangani tuntutan (handling). Pencari keadilan harus berikhtiar mempergunakan segala daya upaya di luar konteks hukum normatif, karena dapat saja ketentuan perundangan tidak jelas dan bertentangan satu sama lain. Keenam, menegakkan pelaksanaan (enforcing). Tahapan ini diperlukan untuk memastikan terpenuhinya keadilan yang diputuskan oleh pengadilan maupun nonpengadilan. Pencari keadilan harus dapat memastikan bahwa putusan yang menguntungkan akan dijalankan.
Di tubuh gerakan buruh Indonesia bentuk-bentuk gerakan akses terhadap keadilan beserta upaya mengatasi hambatannya telah dilakukan seumur kemunculan gerakan buruh di Hindia Belanda. Tonggak utamanya adalah upaya gerakan buruh memrotes Ordonantie Koeli untuk mengurangi bentuk-bentuk kerja paksa di tanah Deli Sumatera Timur. Perjalanan selanjutnya adalah kemunculan organisasi buruh di awal abad ke-20 sebagai alat penting mengatasi hambatan mencapai keadilan. Pada akhirnya, dengan terlibat dalam laskar-laskar rakyat, membangun media massa sendiri, aksi demonstrasi dan pemogokan umum, melakukan pendudukan di perusahaan-perusahaan Belanda dan Jepang, gerakan buruh mewujudkan keadilan dengan gerakan pembebasan nasional (Tedjasukmana, 2008: xix).
Periode Kemerdekaan, gerakan buruh memperluas gerakannya dengan memperluas jangkauan politik. Hasilnya adalah serangkaian peraturan perburuhan yang menguntungkan kaum buruh (Manning, 1998; Castels, 2001). Pada masa itu pula gerakan buruh berkenalan dengan mekanisme panitia penyelesaian perselisihan perburuhan di tingkat pusat dan daerah yang bekerja semiformal. Contoh paling menarik gerakan akses terhadap keadilan di masa Kemerdekaan adalah perjuangan buruh menuntut Tunjangan Hari Raya (THR). THR diperjuangkan secara radikal dan militan dari yang bersifat negosiasi dan sukarela menjadi hukum positif. THR merupakan jerih payah gerakan buruh pada 1950-an dan masuk menjadi hukum positif pada 1960-an (Suryomenggolo, 2009: 217).
Pada masa Soeharto, gerakan untuk mencapai keadilan dari organisasi buruh mengalami penindasan yang luar biasa, bahkan struktur hukum nyaris dikembalikan pada masa Kolonial. Gerakan buruh hampir tidak dapat mengakses lembaga peradilan, karena dihantui penyelesaian yang lama dan bertele-tele. Bahkan di ujung kekuasaannya, Soeharto melibatkan aparat militer untuk menangani persoalan perburuhan.
Ada dua contoh popular pencari keadilan berhadapan dengan lembaga peradilan perburuhan di masa Soeharto. Pertama, kasus pencarian keadilan seorang buruh perempuan, Marsinah, yang berakhir dengan pemecatan dan pembunuhan di Kantor Komandan Distrik Militer Sidoarjo pada 1993. Kedua, kasus demonstrasi 20 ribu buruh yang menuntut THR di Medan pada 1994, yang berakhir dengan pembubaran paksa dan pemenjaran aktivis buruh. Di zaman ini, gerakan buruh menamai situasi ketidakadilan sebagai ketiadaan kebebasan berorganisasi, otoritarianisme, dan pembangunanisme.
Runtuhnya Soeharto pada 1998 memberikan harapan besar bagi perlindungan hak-hak buruh. Berbagai pertanda perbaikan diperlihatkan dengan menguatnya kembali ide-ide negara hukum, pengadilan yang transparan, penegakkan hukum yang tidak pandang bulu dan tidak tebang pilih. Berbagai bantuan internasional dan anggaran negara pun digelontorkan untuk mendorong reformasi hukum, mereformasi birokrasi dan memberantas mafia peradilan.
Pemerintah mengeluarkan banyak dana baik dari anggaran negara maupun dari bantuan internasional untuk melakukan reformasi hukum dan reformasi birokrasi. Pada 2009, Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) merumuskan delapan Strategi Nasional Akses (Stratnas) terhadap Keadilan, yang didanai oleh Bank Dunia. Gagasan dasar akses terhadap keadilan adalah upaya mencapai keadilan sosial bagi warga negara dari semua golongan, melalui akses keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Stratnas tersebut meliputi reformasi hukum dan peradilan, pemberian bantuan hukum, tata kelola pemerintahan daerah, tanah dan sumber daya alam, isu jender, hak-hak anak, reformasi perburuhan, dan pemberdayaan masyarakat miskin dan terpinggirkan. Pada 2011, pemerintah pun telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 tentang Bantuan Hukum. Melalui undang-undang tersebut masyarakat tidak mampu akan menerima bantuan hukum dari negara. Untuk memantapkan kinerja hakim, Mahkamah Agung (MA) Indonesia, PHI, Pusat Pendidikan dan Pelatihan MA bekerjasama dengan ILO mengembangkan program pelatihan bagi para hakim yang baru ditunjuk di PHI. Kerjasama tersebut ditujukan untuk memperkuat pemahaman para hakim mengenai penerapan standar-standar ketenagakerjaan.
Buruh dan PHI
Penelitian ini menemukan bahwa realitas untuk mendapatkan keadilan dari PHI jauh dari harapan; baik dari indikator biaya (murah vs mahal), waktu proses (cepat vs lama dan bertele-tele), keadilan (adil vs tidak adil) dan ketepatan (tepat vs tidak tepat).
PHI semakin sulit diakses oleh buruh. Selain berkenaan dengan lokasi, sangat sulit bagi buruh yang berperkara memenuhi alat bukti, terutama bukti yang berkaitan dengan dokumen perusahaan. Mekanisme ini membuat prosedur penyelesaian kasus bertele-tele dan membuang waktu kerja buruh.
Dari segi biaya, boleh dikatakan bahwa biaya yang dikenakan untuk buruh yang berperkara relatif murah. Akan tetapi tidak pernah dipikirkan biaya lain di luar biaya peradilan, seperti transportasi, makan dan lain sebagainya. Bila perkara berlangsung lama otomatis biayanya akan semakin tinggi.
Hasil studi TURC tahun 2010 menggambarkan mengenai aspek “murah” dari PHI.
Biaya Resmi dan Tidak Resmi

Jenis Pengeluaran Biaya Resmi Biaya Tidak Resmi
Leges surat kuasa di Pengadilan Tidak ada Hingga Rp. 50.000,-
Leges alat bukti di kantor pos Rp. 6.000,- / bukti untuk meterai Sering diminta lagi pada waktu leges
‘Uang map’ Tidak ada Rp. 50.000,-
‘Uang ketik’ Tidak ada Rp. 50.000,-
Biaya salinan putusan dari panitera (‘untuk biaya listrik di rumah, karena mengetik putusan di rumah’) Tidak ada Rp. 100.000,- (bisa lebih, tergantung siapa yang mengambil, misal: pengaara membayar lebih)
Biaya ‘pengiriman berkas Kasasi ke MA’ Tidak ada Rp. 50.000,-
Biaya lain-lain Tidak ada Rp. 159.000,-

Sumber: Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, TURC, 2010.
Dari aspek spesialitas, dari hasil penelitian lapangan ditemukan bahwa banyak buruh yang mengeluhkan kondisi hakim adhoc yang kurang menguasai dan menghayati pekerjaannya, sehingga dalam mengeluarkan putusan kadang-kadang tidak memenuhi rasa keadilan bagi buruh. Kenyataannya, lebih banyak kasus yang dimenangkan pengusaha.
Seperti ditemukan dalam penelitian ini bahwa serikat buruh merasa ‘kecolongan’ karena tidak mampu mengontrol hakim adhoc PHI dari unsur serikat buruh. Lepasnya kontrol serikat buruh terhadap hakim adhoc dimulai sejak peraturan pengangkatan hakim adhoc, bahwa hakim adhoc diangkat oleh Presiden berdasarkan usulan dari Mahkamah Agung. Serikat buruh hanya mengusulkan calon hakim adhoc. . Setelah berada di PHI, hakim adhoc dari serikat buruh terjebak dalam mekanisme peradilan.
Sementara itu, seperti diakui oleh para hakim adhoc perwakilan buruh, bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak karena peraturan perundangan tidak memberikan kesempatan lebih untuk memperjuangkan hak dasar buruh. Mereka terikat oleh asas netralitas sebagai hakim (hukumonline.com, 26/10/2008). Bandingkan dengan pengalaman hakim adhoc perwakilan pengusaha. Penelitian ini mendapatkan informasi bahwa hakim adhoc perwakilan pengusaha memiliki mekanisme informal berupa pertemuan bulanan dengan pengusaha.
Strategi Merebut Keadilan Gerakan Buruh Pasca-Soeharto
Empat tahun terakhir serikat-serikat buruh menamai ketidakadilan yang dihadapinya dengan empat topik besar, yaitu tidak adanya jaminan kebebasan berserikat, maraknya buruh kontrak dan outsourcing, rendahnya kenaikkan upah minimum, dan jaminan sosial yang mahal dan bertele-tele. Untuk mewujudkan hal tersebut gerakan buruh menggunakan mekanisme yang telah disediakan oleh peraturan perundangan, seperti perundingan di tempat kerja, pelaporan kepada pengawas ketenagakerjaan, dan mogok. Selain itu, dilakukan pula kerjasama antar serikat buruh dan kampanye massa. Umumnya kampanye massa dilakukan dalam bentuk aksi-aksi protes, aksi demonstrasi di kantor-kantor pemerintahan, pemogokan umum atau mogok nasional, memblokade jalur-jalur lalu lintas perdagangan seperti blokade jalan tol Jakarta-Cikampek pada akhir 2011 dan awal 2012, blokade jalan tol Pantura, dan lain-lain (Dinamika Perburuhan, 2011 dan 2012).
Rumusan tuntutan di atas merupakan abstraksi umum dari situas-situasi yang dihadapi buruh di level pabrik, perusahaan dan level daerah, seperti yang dikuatkan oleh para narasumber dalam penelitian ini. Narasumber dalam penelitian ini menyadari bahwa menggunakan PHI tidak serta merta mengatasi persoalan. Pertama, pengalaman serikat buruh menyebutkan kesulitan untuk menempuh tata beracara perdata. Hukum acara tersebut formalistik dan cenderung melemahkan kekuatan serikat buruh. Hukum acara yang berlaku menyaratkan bahwa penggugat harus membuat surat gugatan. Kesalahan dalam membuat surat gugatan dapat mengakibatkan gugatan ditolak, sehingga berimplikasi pada penambahan biaya dan waktu persidangan; dan harus mampu membuktikan dalil-dalil yang dituduhkan kepada pengusaha. Padahal dokumen pembuktian mengenai perselisihan di tempat kerja seringkali tidak mudah diakses oleh buruh. Persidangan di PHI pun menyaratkan harus melampirkan hasil perundingan bipartit dan mediasi. Namun, lampiran tersebut sekadar bukti bukan bahan pertimbangan putusan. Akibatnya, ketika salah dalam mendalilkan gugatan seringkali menyebabkan kekalahan. Kasus-kasus yang ditempuh melalui PHI pada akhirnya hanya sekadar memenuhi unsur-unsur hukum meskipun jauh dari rasa keadilan. 
Tampak sekali bahwa paradigma PHI berangkat dari keyakinan bahwa antara pengusaha dan buruh memiliki kapasitas yang sama. Para pihak yang mengajukan gugatan ke PHI sama-sama mengetahui dan menguasai hukum acara perdata. Namun, sebagaimana diperlihatkan oleh berbagai penelitian rerata kalangan buruh memiliki kesadaran yang terbatas terhadap hak-hak mereka yang telah dijamin oleh undang-undang (UNDP, 2007). Di kalangan buruh keadaan tersebut muncul berkenaan dengan latar belakang pendidikan dan kesempatan kerja yang terbatas yang menyebabkan persaingan sesama buruh. Akibat hal tersebut adalah pengetahuan dan kapasitas yang terbatas untuk menggunakan hukum sebagai kanal mengatasi ketidakadilan.
Kedua, jarak tempuh yang diperlukan untuk menuju tempat sidang PHI semakin memperumit jumlah biaya dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara. Persidangan PHI ditempatkan di ibukota provinsi. Dengan demikian serikat-serikat buruh yang berada di luar ibukota provinsi harus rela menempuh perjalanan yang melelahkan, di mana untuk satu kasus memerlukan lebih dari enam kali sidang. Misalnya, PHI Jawa Barat berada di Bandung. Sehingga serikat-serikat buruh dari kota dan kabupaten Jawa Barat harus merelakan waktu dan biayanya dihabiskan di perjalanan untuk menuju Bandung.
Ketiga, ketika menempuh jalur PHI, seluruh sumber daya dikerahkan; kontak, uang, mobilisasi massa dan keterampilan, namun kemenangan meraih keadilan dari PHI tidak memiliki kepastian. Dalam bahasa serikat buruh, hanya “kemenangan di atas kertas”. Misalnya, untuk kasus perselisihan PHK dengan amar putusan pemekerjaan, ternyata kewenangan mempekerjakan kembali berada di tangan pengusaha. Lembaga peradilan tidak memiliki kekuatan untuk memerintahkan pengusaha menaati putusan PHI. Hal ini menandakan bahwa akses mendapatkan pekerjaan tidak mendapatkan jaminan dari PHI. 
Dengan sumber daya dan pengetahuan terbatas, apalagi telah diamanatkan dalam peraturan perundangan, PHI bukan merupakan pilihan di antara banyak pilihan yang setara. Sehingga para aktivis serikat buruh tidak benar-benar meninggalkan PHI. Kebanyakan serikat buruh akan berupaya menyelesaikan kasus di tingkat bipartit dan mengadukan situasi ketidakadilan yang dialami buruh kepada pengawas ketenagakerjaan untuk menghindari kontak langsung dengan PHI.
Penggunaan jalur umumnya untuk menghindari masa kadaluwarsa kasus atau ditempuh ketika pihak pengusaha telah mendaftarkan kasus terlebih dahulu. Sebagai catatan penting setiap persidangan di PHI serikat buruh dipastikan mengerahkan kekuatan massa dan pembangunan opini publik untuk mendapatkan putusan yang adil. Langkah demikian memperlihatkan bahwa serikat buruh tidak begitu yakin dengan putusan pengadilan akan berpihak kepada keadilan buruh.
Di luar persoalan tata persidangan dan perangkat hakim, kewenangan PHI terbatas menangani kasus-kasus yang bersifat perdata dan tidak berwenang memroses pelanggaran yang bersifat pidana, seperti pelanggaran upah minimum dan pelanggaran kebebasan berserikat. Salah satu narasumber dalam penelitian ini menggunakan pengetahuan pelanggaran pidana dalam hal pelaksanaan ibadah salat Jumat. Setelah menempuh upaya bipartit dan pelaporan ke pengawasan, serikat buruh tersebut membangun jejaring dengan organisasi-organisasi keagamaan dan menggunakan jalur-jalur nonyudisial. Sampai penelitian ini ditulis pihak pengusaha telah dijadikan tersangka oleh kepolisian. 
Namun, tidak semua serikat buruh dapat menggunakan pemahaman pidana perburuhan. Beberapa narasumber merasa tidak mampu menggunakan kontak dan dukungan kepolisian maupun lembaga-lembaga lain, karena seringkali terjadi lempar tanggung jawab di antara penegak hukum. Lembaga kepolisian merasa bahwa delik pidana dalam perburuhan bukan ranah mereka. Ironisnya, dalam kasus lain kepolisian akan sangat mudah memroses laporan yang diberikan oleh pihak pengusaha yang berlindung di balik pasal-pasal pidana umum, seperti pencemaran nama baik dan perusakan barang milik orang lain. Sementara itu, pengawas tenaga kerja tidak bersedia memroses pelanggaran pidana karena kewenangan mereka sebatas mengeluarkan nota peringatan.
Simpulan
Di tengah upaya keras pemerintah memberantas korupsi dan mengembalikan wibawa hukum, hadim adhoc PHI Bandung, Imas Dianasari tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan kasus suap, di awal 2012. Imas diminta untuk memenangkan kasus salah satu perusahaan Jepang di Karawang Jawa Barat. Selama masa persidangan Imas, serikat buruh dan kalangan pemerhati perburuhan melakukan konferensi pers dan aksi demonstrasi menuntut pemberantasan mafia peradilan di PHI. Banyak kalangan menduga bahwa tertangkapnya Imas merupakan contoh kasus bobroknya PHI secara keseluruhan.
Kisah tersebut berakhir dengan vonis 6 tahun penjara terhadap Imas Dianasari dan seorang Panitera PHI Bandung. Sayangnya, setelah kasus tersebut dianggap selesai upaya gerakan mengusut mafia peradilan seolah tenggelam. Aktivis perburuhan pun larut dalam urusannya masing-masing.
Kasus di atas seolah menegaskan tesis bahwa pranata hukum bukan agensi yang bebas dari berbagai kepentingan ekonomi dan politik. Berangkat dari kenyataan di atas, penelitian ini mengemukakan hal lain mengenai watak dasar perselisihan perburuhan secara tidak langsung sedang menggerogoti hak dasar mogok yang digantikan dengan cara mediasi, arbitrase, dan pengadilan.
Para narasumber dalam penelitian ini menggarisbawahi bahwa “hak” dalam konteks PPHI bukan merupakan sesuatu yang harus dijalankan, tetapi dapat diperselisihkan dan jika sudah diputus belum tentu dilaksanakan. Selain itu, dikeluarkannya perselisihan PHK dari perselisihan hak dan perselisihan kepentingan juga merupakan kesempatan bagi pengusaha untuk melakukan tindakan pengakhiran hubungan kerja. Dengan menggunakan “pengakhiran hubungan kerja” maka hak kekuasaan merekrut dan memecat buruh sepenuhnya berada di tangan pengusaha. Dengan demikian, hak atas pekerjaan yang layak telah berpindah tangan dari negara kepada pengusaha. Tentu saja pengusaha memiliki logikanya sendiri.
Dalam penelitian ini di kalangan serikat buruh muncul dua pendapat yang sulit dipertemukan mengenai PHI. Ada yang menyatakan perlunya mendekatkan PHI ke kantong-kantong industri dan yang menyatakan pembubaran PHI serta kembali menggunakan mekanisme semacam P4. Di pojok lain, ada pula yang mengajukan usul mengenai pembentukan pidana perburuhan.
Di luar persoalan bentuk, tata beracara, dekat atau jauhnya PHI, baiknya kita melihat kembali bahwa formasi lembaga-lembaga kekuasaan di masa reformasi tidak menghasilkan formasi yang sama sekali baru (Hadiz, 2010). Birokrasi dan penegak hukum merupakan warisan Orde Baru, yang pada hakikatnya merupakan cerita bersambung dari birokrasi Kolonial (Anderson, 1999). Sampai di sini, kita tetap mesti memikirkan bentuk-bentuk gerakan merebut keadilan di luar jalur-jalur yang telah dikuasai oleh lembaga yang korup dan feodal.***
 
*Tulisan ini merupakan ringkasan dari hasil penelitian berjudul Pengadilan Hubungan Industrial dan Akses terhadap Keadilan. Penelitian dilakukan pada Mei-September 2013 dengan metode wawancara mendalam, studi dokumentasi dan diskusi terfokus. Penelitian dilakukan di Jawa Barat (Bekasi, Depok, Cimahi), Kepulauan Riau (Batam), Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Jakarta Utara (DKI Jakarta), dan Serang (Banten). Penulis mengucapkan terima kasih kepada serikat-serikat buruh dan Yayasan Tifa yang telah bekerjasama dalam penelitian ini.
_______________________________
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syarif. Kebijakan yang Memangkas Kesempatan Kerja: Catatan Lapangan, dalam Jurnal Analisis Sosial. Akatiga. 2011.
Berenschot, Ward. dkk (ed.). Akses terhadap Keadilan: Perjuangan Masyarakat Miskin dan Kurang Beruntung untuk Menuntut Hak di Indonesia. Jakarta. HuMA-Van Vollenhoven Institute-KITLV-Epistema Institute. 2001.
Carraway, Terry. Survei Pelanggaran Hak Dasar Buruh. Jakarta. Solidarity Center. 2010
Dinamika Perburuhan 2010; 2011; 2012. LIPS (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane)
Fenwick, Collin. “Reformasi Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di Indonesia”, ILO. 2002.
Hadiz, Vedi R. Gerakan Buruh di Asia Tenggara, dalam Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Mengenang Fauzi Abdullah. Arifin, Syarif dkk. Bogor. LIPS. 2010.

  1. Djohansjah. Akses Menuju Keadilan. Makalah. Disampaikan pada Pelatihan HAM Bagi Jejaring Komisi Yudisial. Bandung, 2010.

Simartama, Rikardo. Merumuskan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional. Makalah Tidak Diterbitkan. 2003.
Sinaga, Marsen. Pengadilan Perburuhan di Indonesia. Yogyakarta. Perhimpunan Solidaritas Buruh. 2006.
Anderson, Ben. Nationalism Today and in The Future, dalam New Left Review I/235 May-June 1999
Suryomenggolo, Jafar. Sejengkal Menjadi Sehasta: THR dalam Dinamika Hukum dan Gerakan Buruh Indonesia, dalam Hukum yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2009
Tedjasukmana, Iskandar. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh. Jakarta. TURC. 2008