Sumber gambar: http://www.ciungtips.com/2011/10/apakah-buruh-kontrak-akan-selamanya.html
Di Sukabumi, Irfan tidak diperpanjang kontrak kerjanya karena sedang berusaha mendirikan serikat buruh. Ahmadi Suandi tidak diperpanjang kontrak kerjanya akibat protes pada sikap atasan yang sering berkata kasar. Sumiarti tidak diperpanjang kontrak akibat mempertanyakan hak cuti melahirkan. Dan masih banyak lagi nama-nama lainnya.
Secara “resmi” perusahaan menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak diperpanjang lagi kontraknya karena berkurangnya pekerjaan yang ada. Meski faktanya kemudian perusahaan merekrut lagi orang baru untuk meggantikan mereka. Sehingga alasan berkurangnya pekerjaan sulit diterima akal bahkan dapat dikatakan tidak benar adanya. Bahkan mayoritas nama-nama di atas tercatat memiliki kondite kerja yang baik.
Dan secara “resmi” pula, isi paragraf pertama di atas adalah tuduhan tidak berdasar. Setidaknya begitulah jawaban yang selalu dilontarkan pegawai dinas tenaga kerja kepada buruh saat membuat pengaduan. Walaupun sistem kerja kontrak yang diterapkan sebagian besar bertentangan dengan aturan yang ada.[1]
Menurut data Biro Pusat Statistik, jumlah orang yang bekerja pada 2014 adalah 118,2 juta orang.[2] Sedangkan Kementrian Ketenagakerjaan memublikasikan hasil pendataan jumlah anggota serikat buruh di seluruh Indonesia pada 2015 adalah 1,6 juta orang.[3] Artinya, 1,4% dari seluruh jumlah buruh di Indonesia yang berserikat!
Banyak hal menjadi penyebab kian rendahnya partisipasi buruh dalam organisasi serikat buruh dan sistem kerja kontrak adalah salah satu penyebabnya. Seperti pada 2010, sebuah organisasi serikat buruh di perusahaan vendor Kenwood, bubar dengan sendirinya setelah seluruh anggota dan pengurus, tidak diperpanjang kontrak kerjanya.
Secara “resmi”, serikat buruh di perusahaan tersebut kehilangan seluruh anggotanya karena telah habis masa kerjanya. Meskipun yang terjadi sesungguhnya adalah pemberangusan serikat buruh (union busting)! Sebagaimana kasus-kasus di paragraf pertama di mana hak-hak buruh dirampas melalui sistem kerja kontrak, intimidasi agar buruh tidak berserikat hingga pemberangusan serikat buruh pun dilakukan dengan dalih “habis kontrak”.
Bagi serikat buruh sebagai sebuah organisasi sekaligus wadah perjuangan kaum buruh, sistem kerja kontrak juga merupakan ancaman serius. Serikat buruh dapat kehilangan anggota dan pengurus akibat “habis kontrak” sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan dapat bubar dengan sendirinya.
Tetapi sungguh disayangkan hanya sedikit serikat buruh yang menuntut penghapusan sistem kerja kontrak dalam program kerjanya. Bahkan jika dicermati lebih jauh, perwakilan serikat buruh mainstream terlibat dalam penyusunan UU Ketenagakerjaan nomor 13 Tahun 2003.[4] Melalui UU tersebutlah sistem kerja kontrak, outsourcing dan magang mendapatkan jalan lebih lapang.
Dengan tidak adanya program menuntut penghapusan sistem kerja kontrak, maka otomatis harapan buruh untuk tetap bekerja sekaligus mempertahankan mata pencaharian, ada pada pengusaha. Kondisi ini membiasakan buruh untuk semakin lama tidak lagi menaruh harapan pada serikat buruh, yang seharusnya menjadi wadah untuk memperjuangkan harapan-harapan buruh.
Di sisi lain, dengan melemahnya serikat buruh sebagai wadah (persatuan), berarti juga semakin sedikit tuntutan yang ditimbulkan. Dengan demikian efisiensi sejauh mungkin untuk memangkas kewajiban-kewajiban (pengeluaran) dapat lebih leluasa dilakukan. Sebagai sebuah alat, maka sistem kerja kontrak telah terbukti dapat bekerja secara efektif.
Dari Kontrak ke Kontrak Sekitar Maret 2015. Saya menandatangani kontrak kedua di perusahaan ini. Perusahaan ini bernama PT Longvin Indonesia. Ketika pertama bekerja saya menandatangani kontrak enam bulan. Kemudian menandatangani kontrak yang kedua untuk setahun. Ketika habis kontrak, saya pun diminta mengajukan lamaran. Kata kawan kerja saya, begitulah cara kerja di PT Longvin. Jika kontrak […]
Pada 2013, saya mengikuti perpindahan suami ke Sukabumi. Kepindahan itu mengantarkan saya kenal daerah berbudaya Sunda. Tinggal di tengah desa yang sehari-hari mengunakan bahasa Sunda dengan dialek Sukabumi. Perlahan saya beradaptasi meski masih susah berkomunikasi. Saya dikelilingi orang-orang Sunda baik itu di lingkungan rumah, di tempat kerja maupun di pengajian. Di Sukabumi saya melihat pepohonan […]
Rabu, 18 Desember 2024, di Hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta, Septia Dwi Pertiwi membacakan pledoi sebagai pembelaan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Septia adalah buruh perempuan yang dikriminalisasi oleh mantan bosnya, Jhon LBF atas tuduhan pencemaran nama baik. Septia dituntut satu tahun penjara dan denda Rp.50 juta. Dalam pledoinya Septia menegaskan komentarnya di media […]