MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Wajah Muda di Putaran Aksi Hari Perempuan

Matahari menggelincir di atas gedung Istana Negara, Jakarta. Berbagai organisasi lintas sektor memperingati Hari Perempuan Internasional (HPI). Semua memusatkan aksinya di Istana Negara. Tim pengamanan berlapis aparat keamanan bersiaga dengan kawat berduri mengelilingi Taman Aspirasi. Beberapa orang berseragam loreng tampak hilir-mudik dan berusaha mengajak bicara partisipan aksi yang duduk. Beberapa perempuan berkerudung berjalan-jalan menenteng plastik hitam besar berisi minuman dingin, kopi, rokok dan termos. Setiap yang duduk ditawarinya minuman.

HPI telah menjadi salah satu ‘hajatan besar’ dan hari bersama berbagai organisasi sosial. Di hari itu mereka berbaur.  Pemandangan serupa terjadi di Hari Tani Nasional dan Hari Buruh Internasional. Barangkali karena alasan itulah pihak aparat keamanan merasa perlu menyiapkan kekuatan ekstra. 

Partisipan aksi terdiri atas perempuan dan lelaki. Tiap organisasi mengenakan seragam khusus. Ada yang berkaos hitam, merah menyala, ungu, dan merah muda. Empat mokom berjejer di Taman Aspirasi, sebuah taman di seberang Istana Negara, tepat di pintu masuk Tugu Monas. Pengeras suaranya diarahkan ke Istana Negara. Satu per satu para pemimpin aksi berorasi menyampaikan berbagai persoalan rakyat, terutama tentang kaitannya dengan perempuan.

Kali ini perhatian saya terarah pada wajah-wajah muda, perempuan dan laki-laki, yang pernah saya lihat beberapa bulan lalu. Rautnya masih segar. Mungkin karena belum lama berada dalam pabrik, jejak eksploitasi belum kelihatan dalam urat-uratnya. Bersama teman sebaya, mereka tidak diam, kesana-kemari, tidak menghiraukan para orator yang penuh semangat.

Di pojok lain, jauh dari mobil komando, wajah-wajah muda duduk melingkar beralaskan rumput. Sesekali tangan mereka mengusap-usap layar telepon genggam. Kemudian berdiri, selfie atau wefie. Mereka adalah anggota-anggota serikat buruh. Inilah wajah-wajah muda yang sedang dirampas masa depannya oleh hubungan kerja fleksibel. Inilah sebenarnya dari Generasi Milenial dan Generasi Z. Generasi yang dianggap lebih unggul karena mampu mengakses informasi lebih luas.

Mereka adalah buruh-buruh pabrik di Cikarang Bekasi, Cianjur, Sukabumi Karawang, dan wilayah perluasan industri lainnya, anak-anak muda yang terlempar dari tanah dan memasuki hubungan kerja yang tak menentu. Garis wajah mereka agak berbeda dengan buruh-buruh yang berasal dari Jakarta, Tangerang, Bogor atau daerah industri tua lainnya: wajah berumur, pucat, lelah dan sayu, isyarat kuat kekejaman akumulasi kapital yang berlangsung di periode 1980-1990-an.

***

Melihat wajah-wajah muda perempuan buruh, seperti menegaskan keyakinan saya tentang hilangnya 15 ribu petani setiap tahun.[1] Ketimpangan penguasaan agraria di desa dan perluasan kantong-kantong industri baru, menjadikan kaum milenial desa tak memiliki pilihan lain. Dengan berbagai keadaan, mereka cepat meninggalkan desa dan terhisap di pasar kerja yang eksploitatif. Di pusat-pusat industri mereka bertemu dengan hubungan kerja fleksibel: kontrak-pecat-kontrak. Semuanya tahu, jenis hubungan kerja itu merugikan. Tapi tidak ada pilihan lain.

Bagi perempuan muda, kondisinya bertambah sulit. Bertahan di kampung berarti bersedia dinikahkan. Pergi ke kota berarti berada di lingkaran kerja yang tidak pasti.

Tahun lalu pemerintah melalui Badan Pusat Statistik mengklaim berhasil menurunkan angka pengangguran.[2] Saya ragu akan hal itu. Karena bukan ahli statistik, saya akan memberikan gambaran: Jika suatu kali petugas sensus ketenagakerjaan datang, tentu saja si buruh kontrak akan dicatat sebagai ‘orang yang bekerja’ atau ‘orang yang bekerja kepada orang lain dengan menerima upah’. Jika sebulan atau tiga bulan kemudian kontrak habis–terkadang pengusaha menyebutnya dijeda untuk sebulan–tentu saja tidak akan tercatat sebagai bagian dari sensus. Di kali lain, teman saya pernah disensus. Kemudian dia menjawab sekenanya. Begitulah, saya sulit menerima klaim angka pengangguran terus menurun.

Selama tiga tahun kepemimpinan rezim Jokowi-JK, tidak ada langkah koreksi terhadap hubungan kerja yang tidak manusiawi tersebut. Sebaliknya, kebijakan perluasan industri beserta proyek infrastrukturnya terus digenjot hingga ke luar Pulau Jawa. Ke Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Akan banyak warga miskin berhamburan menuju pusat-pusat industri.

Jangan heran, jika wajah-wajah muda yang saya jumpai itu kelak tak hanya mendominasi wilayah Bekasi, Cikarang, Karawang, dan sekitarnya. Sebentar lagi kita akan menyaksikan rona wajah serupa di Papua, Kalimantan dan Sumatera. Wajah itu akan terus ditemui di Arab Saudi, Taiwan, Malaysia, Hongkong dan negara lainnya.

Kita cukup lama menyaksikan Lampung perlahan menjadi Jawa. Kini orang Dayak di Kalimantan tersingkir dari tanah leluhurnya. Orang Asli Papua (OAP) semakin menyusut keberadaannya. 

Senja telah merayap di langit Jakarta. Ditandai gerimis hujan, barisan aksi pun bubar. Perempuan yang masih punya sedikit tanah pulang menuju kampung masing-masing melanjutkan perjuangan. Perempuan buruh singgah sejenak di kamar kontrakan pengap untuk kembali menghirup udara pabrik besoknya.

Laporan selanjutnya:
Para Pengingat Hak-hak Perempuan oleh Sugeng Riyadi
Dari ‘Celana Cingkrang’ hingga RKUHP oleh Dina Septi
Protes dan Perayaan: Hari Perempuan 2018 di Berbagai Negara
Wajah Maskulin Aparat Keamanan oleh Wiranta Yudha
Berbagi Panggung, Melawan dengan Gembira oleh Bambang Dahana
Merawat Solidaritas oleh Syarif Arifin

Catatan

 [1] Raisa Adila. 2015. “Jumlah Petani Berkurang 15 Ribu Orang Tiap Tahun.” Tersedia, https://economy.okezone.com/read/2015/09/22/320/1219099/jumlah-petani-berkurang-15-ribu-orang-tiap-tahun, (diakses pada 9 Maret 2018)
[2] Tribun News. 2018. “Angka Pengangguran Turun di 2017, 2,6 Juta Tenaga Kerja Terserap”. Tersedia,
http://www.tribunnews.com/kilas-kementerian/2018/01/11/angka-pengangguran-turun-di-2017-26-juta-tenaga-kerja-terserap (diakses pada 9 Maret 2018).