MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Dengan Ngecrek dan Menjual TV, Kami Memperingati May Day

Peringatan Hari Buruh Internasional di Jakarta 2012


Waktu belum menunjukan pukul 12.00 di seputaran Bundaran HI. Tetapi matahari seakan berada di ubun-ubun. Aku bersama lebih dari dua ratus orang anggota GSBI Tangerang. Kami berjalan di antara kerumunan orang berseragam organisasinya; ada yang berwarna hitam, merah, dan lain-lain. Dari tulisan di seragamnya aku tahu dari organisasi mana mereka berasal. Ada dari KASBI, FSPMI, PPMI, dan lain-lain. Agak sulit mencari titik kumpul massa GSBI.

GSBI singkatan dari Gabungan Serikat Buruh Independen pada saat itu, adalah afiliasi dari organisasi yang kubentuk di pabrik.

Panasnya hari ini bukan hanya karena sengatan matahari tetapi karena banyaknya orang-orang yang berkumpul, seperti semut. Kelak aku paham kalau orang-orang itu disebut massa aksi.

Ya, hari itu tanggal 1 Mei tahun 2012. Ini adalah May Day pertamaku sebagai buruh. Padahal aku sudah bekerja sejak tahun 2000. Tetapi di tahun ke-12 ini aku baru merayakan lebaran kaum buruh.

Sebelum bergabung di GSBI. Setiap May Day, pada saat aku masih bekerja di Panarub Industry, anggota Perbupas (Persatuan Buruh Pabrik Sepatu, yang merupakan organisasi cikal bakal GSBI), mengedarkan selebaran mengenai apa itu May Day. Mereka berorasi di depan pabrik mengajak buruh untuk ikut aksi ke Jakarta.

Walaupun aku membaca dan memahami isi selebaran Perbupas. Tapi aku tidak pernah terlibat aksi karena tidak ada instruksi dari organisasiku untuk turun ke jalan. Baru pada tahun 2007 aku diajak Susi temen kerjaku yang juga perwakilan anggota di organisasi di mana aku bergabung. Susi mengajak untuk ikut acara May Day Fiesta dengan bintang tamu artis ibukota.

“Ikut aja, Nek! Sekalian lihat artis. Dikasih makan ini,” rayunya agar aku terlibat.

“ Ogah gak minat.Yang satu teriak-teriak panas-panasan. Yang ini joget-joget. Mending tidur,” jawabku. Memang aku tidak berminat ikut acara itu.

***

Peringatan Hari Buruh Internasional di Jakarta 2012

Dengan pakaian biru bertuliskan, Sejati Militan Patriotik Demokratik di punggung, yang merupakan seragam kebesaran organisasiku, aku bersama dua puluh tujuh orang kawanku. Terdiri dari sembilan orang pimpinan harian, lima orang Korlap (Koordinator Lapangan) dan selebihnya adalah anggota. Yang kuketahui mereka baru pertama kali juga merayakan May Day.

Hari itu aku bangun sekitar jam 05.00 pagi. Sambil mendengarkan lagu-lagu Iwan Fals aku siapkan bekal roti bakar. Hari itu aku buat roti bakar sekitar enam tangkup, dua buah naga dan satu apel. Cukup untuk sarapan bersama kawa-kawan nanti.

Dengan menggunakan sepeda motor dari kontrakanku jam 07.30 pagi, kami berkumpul di depan pabrik PT Panarub Industry (PI). Sudah tidak ada buruh karena sudah lewat jam masuk kerja. Pedagang pun sudah membereskan jualannya.

Panarub Industry merupakan induk dari PT Panarub Dwikarya (PDK), tempatku bekerja. Terletak di Jalan Raya Mauk tidak jauh dari PT Panarub Dwikarya. Sekitar seratus kawan-kawan Panarub Industry sudah berkumpul di depan pabrik. Semua dengan pakaian yang sama; seragam biru dengan tulisan, Sejati Militan Patriotik Demokratik. Ada tiga bis sudah terparkir di seberang pabrik. Setiap bis dipasang bendera organisasi kami. Bendera biru dengan logo merpati.

Banyak wajah yang tidak kukenal. Maklum aku yang baru gabung sekitar empat bulan dan hanya mengenal Amin Mustolih. Saat itu, Amin Mustolih merupakan ketua SBGTS GSBI PT Panarub Industry dan Sekretaris DPC GSBI Tangerang. Ada pula Sari Idayani dan Jati Wiyoso Argo, yang merupakan pimpinan SBGTS GSBI PT PI. Aku mengenal ketiganya karena sebelum bergabung di GSBI, bersama Sari aku pernah beberapa kali diskusi mengenai perburuhan dan GSBI. Sedangkan Amin Mustolih dan Jati karena mereka pimpinan DPC. Keduanya yang mendampingi proses deklarasi SBGTS GSBI PT PDK.

Walaupun hanya tiga orang yang kukenal baik, kawan-kawan anggota SBGTS GSBI PT PI menyambutku dan kawan-kawan dengan hangat. Dengan cara bersalaman yang khas (saat ini sudah tidak lagi kutemui kekhasan salaman GSBI itu). Setiap orang menyalami kami dan berkata, “Tetap semangat! Jangan menyerah, yah!” Beberapa kali kudengar mereka mengucapkan kata-kata itu setiap bersalaman denganku dan Fikri.

Saat itu, aku dan Fikri sedang dalam proses PHK setelah mendirikan SBGTS GSBI pada 23 Februari 2012. Tidak dijalankannya upah sektoral serta kondisi kerja yang buruk seperti buruh perempuan hamil masih harus bekerja shift malam, dan lain-lain adalah latar belakang mendirikan SBGTS GSBI. Tanggal 24 Februari 2012 tepat satu hari setelah deklarasi aku, Fikri dan pimpinan lainya yaitu Dedi Sutomo, Harta, Frangko, Aan, Saeful Bahri, Nana Supriatna dan Koharudin. Kami semua dipecat.

Aku dan Fikri bertahan dan melanjutkan kasus ini ke PHI. Bulan Agustus 2012 Fikri menyelesaikan kasusnya dengan mengambil pesangon. Begitu pula yang lain menyelesaikan PHK dengan mengambil pesangon sesuai yang ditawarkan.

***

Selain terlihat semangat yang begitu besar, suasana kekeluargaan terasa kental sekali. Mereka tidak membedakan kami bukan anggota Panarub Industry. Kami juga mendapatkan jatah minum untuk di bis dan mendapat konsumsi berupa lontong dan risoles yang dibagikan untuk anggotanya. Sehingga tidak membuat minder kami yang baru bergabung.

Selain terlihat semangat yang begitu besar, suasana kekeluargaan terasa kental sekali. Mereka tidak membedakan kami bukan anggota Panarub Industry. Kami juga mendapatkan jatah minum untuk di bis dan mendapat konsumsi berupa lontong dan risoles yang dibagikan untuk anggotanya. Sehingga tidak membuat minder kami yang baru bergabung.

Sekitar jam 10.30 WIB datang sekitar lima bis dari kawan-kawan SBGTS GSBI PT Duta Abadi Primantara. Salah satu basis GSBI yang memproduksi spring bed merek Florence. Di pintu bis mereka meneriakan, “Hidup buruh! Hidup buruh!” Lagi-lagi membuat semangatku berlipat ganda. Kata-kata itu seperti menghilangkan rasa jenuh karena menunggu hampir dua jam.

Sebelum berangkat kami berkumpul membentuk lingkaran. Di tengah, Amin Mustolih lewat toa memimpin doa dan mengajarkan kami yel-yel aksi. Seperti, “Imperialisme! Hancurkan! Feodalisme! Musnahkan! Kapitalis birokrat! Musuh rakyat!”

Kulihat kawan-kawan seperti Fikri, Ayunda, semangat mengikuti yel-yel yang diajarkan. Walaupun aku yakin sekali kawan-kawanku belum paham arti yel-yel itu. Tetapi buat kami tidak masalah yang penting ikut teriak saja.

“Ketua, Lu berasa kayak mau perang nggak sih semangat kita ini?!” ujar Fikri yang berdiri di sebelahku.

“Iya Fik. Gw walaupun sebelumnya pernah aksi menolak revisi UUK kok gak berasa kayak gini yah?!” jawabku.

“Lu sih aksinya duduk manis di Kijang kapsul. Iyalah gak berasa aksi. Berasa mau shopping itu.” Fikri meledekku.v

Kami memasuki bis khusus anggota PDK. Hanya setengah yang terisi sehingga kami leluasa untuk menempati bangku yang mana saja. Sopi, salah satu Korlap kulihat langsung rebahan di bangku tengah. Ayunda masih sibuk dengan absensi dan aku asyik mengambil gambar kawan-kawan.

Bukan hal yang mudah bagi kami yang baru mendirikan organisasi yang langsung diberangus pengusaha. Aku hanya merasakan satu hari saja menjadi ketua di pabrik. Mendiskusikan mengenai apa itu May Day setiap sore di kontakanku dan membagikan selebaran mengenai May Day adalah cara yang kami lakukan untuk mengajak buruh PT PDK mau ikut aksi May Day.

Di jalan Kebon Nanas kami sudah ditunggu oleh kawan-kawan PT Hosana Garmentama dengan jumlah massa yang lebih banyak. Terlihat sekitar 8 atau 10 bis.

Untuk kami dapat menyewa bis, kawan-kawan Korlap dan PH selama hampir satu minggu secara sembunyi-sembunyi minta iuran kepada anggota. Pada saat itu baru tercatat sekitar 380 orang.

Ada hal menarik dari proses mengalang dana ini. Ada anggota yang tidak mau memberi uang tetapi akan memberi bekal cilok. Kendala yang dihadapi Korlap adalah karena organisasi kami tidak diterima di pabrik. Jadi harus hati-hati dalam menarik iuran. Selain itu, waktu yang kurang pas juga untuk menggalang dana. Anggotaku baru mendapat gaji tanggal 10 setiap bulannya. Dana dari hasil ngecrek (lagi-lagi kosa kata baru yang kudapat) sejumlah Rp 1.050.000. Tentu masih kurang untuk membayar sewa bis yang sehari Rp 1.200.000 berikut tip sopir sekitar Rp 150.000 dan bayar tol.

Dalam pertemuan tanggal 29 April rapat seluruh pimpinan harian di kontrakanku. Salah satu penyelesaian masalah adalah dengan menjual TV-ku. Ivan kepala Departemen Organisasi yang bertugas menjual TV. TV tadinya kutawarkan sekitar Rp 500.000. Tetapi hanya dihargai Rp 350.000-250.000. Tetapi lumayan untuk menambah kekurangan bayar bis.

***

Kurang lebih jam 11.00 WIB kami sampai di HI. Bertambah lagi semangat yang kurasakan ketika melihat ribuan orang dengan berbagai warna bendera dan teriakan yel-yel dari setiap mobil komando. Kagum sekali. Ketika dalam perjalanan menuju titik kumpul GSBI aku bertemu dengan barisan seragam merah hitam dan ikat kepala warna merah. Mereka berbaris rapih, seperti barisan tentara.

“Wuih, keren banget lihat mereka! Dari mana yah mereka?! Kita kayak mereka gak ya?!” Tanya Ayunda dengan pandangan berbinar melihat ribuan anggota. Banyak sekali polisi yang berjaga di dekat pancuran HI. Begitu juga dengan orang-orang yang berada di trotoar jalan sambil mengambil gambar.

Depan hotel Mandarin adalah tempat berkumpul GSBI. Dari arah mobil komando kudengar lagu perjuangan. Inilah lagu yang pertama kali kudengar ketika aksi pra-May Day, lagu “Buruh Tani”. Sekitar 10 menit datang lagi massa dari Jabagarmindo. Tambah seru dan tambah semangat melihat lagi. Kulihat Ratih bersama Sari dan kawan-kawan lain sedang mengecat badan salah satu anggotanya. Kemudian aku paham mereka sedang menyiapkan tearikal.

Mbak Erna, perempuan berambut panjang sekilas mirip suku Batak, kulihat sudah berdiri di mobil komando mengucapkan salam dan mengatur barisan. Aku mengenal Mbak Erna karena dialah yang hadir mewakili DPP GSBI ketika kami deklarasi serikat buruh di PT Panarub Dwikarya. Aku melihat Mbak Yanti dan Neneng. Neneng, perempuan modis  berjilbab yang sudah kukenal sejak bekerja di PT Panarub Industry. Sedangkan Mbak Yanti adalah nama yang tidak asing di telingaku. Nama itu sering disebut bersama Rudi HB Daman sebagai Ketua dan Sekjen DPP GSBI. Kedua nama itu pernah disebut ketika aku masih di organisasi yang lama. Perkenalan langsungku dengan Mbak Yanti adalah ketika ada aksi di Kemenaker RI.

Mbak Yanti dan Rudi terlihat di bawah mengatur barisan anggota laki-laki yang berjumlah sekitar 50 orang. Para lelaki ini menggunakan helm berwarna kuning dan slayer berwarna kuning juga. Di belakang mobil komando adalah barisan teatrikal, body painting dengan tulisan Tolak Upah Murah. Di belakang barisan body painting, ada Dewi yang berperan sebagai TKI korban penyiksaan, ada Isdiyanti yang berperan sebagai buruh dan satu lagi yang tidak kukenal berperan sebagai petani. Mereka semua dirantai kakinya.

Setelah barisan rapi, kami bergerak ke arah Istana Negara. Sepanjang jalan Mbak Erna sebagai Korlap bersama satu orang laki-laki yang tidak kukenal meneriakan yel-yel yang sebelumnya sudah diajarkan Amin.

Panas sekali cuaca hari itu. Tapi tidak terlihat wajah lelah dari massa aksi. Sesekali kami berlari-lari kecil sambil meneriakan, Upah, Tanah, kerja.

Sampai di Istana Negara, ternyata sudah banyak orang. Ada sekitar lebih dari lima mobil komando. Ada yang berorasi, ada yang nyetel lagu dangdut sambil berjoged di mobil komando. GSBI sendiri silih berganti pimpinan-pimpinan berorasi. Hari ini aku paham mereka dari aliansi FPR (Front Perjuangan Rakyat).

FPR terdiri dari unsur buruh, tani dan mahasiswa. Pada saat itu aku masih heran dengan keterlibatan mahasiswa dan orasi-orasi mengenai petani terlibat aksi buruh. Pikirku, tidak ada hubungan dari ketiganya.

***

Aku dan kawan-kawan tidak beranjak dari barisan melihat orasi-orasi yang disampaikan. Walaupun jujur aku tidak terlalu paham dengan yang disampaikan mengenai reforma agraria dan perampasan tanah. Mengenai politik upah murah pun sama; aku tidak paham sama sekali. Tapi aku kagum dengan cara mereka berorasi. Lebih kagum lagi ketika aku melihat Mbak Yanti orasi. Suaranya begitu lantang meneriakan, “SBY-Budiono! Boneka Amerika!” Bukan aku saja yang melonggo melihat orasi Mbak Yanti. Fikri, Yunda, Eni, Jemirah dll terlihat sama semua. Seperti terbius dengan cara berorasi dari atas mobil komando.

Selama hampir 6 tahun aku bergabung di organisasi, ini adalah kali pertama aku melihat orator perempuan yang hebat. Dengan syal yang dipakai penutup rambut panjangnya dan sepatu boots serta suara yang lantang membuatku berpikir, “Besok aku bisa melakukannya.” Hal itu aku sampaikan sama Fikri,

“Lu lihat Fik! Tahun depan gw akan berdiri di mobil komando yang dipenuhi berbagai warna bendera organisasi itu, “ ungkapku sambil terkekeh.

“Gw yakin Lu bisa, Bro!”

Entah jawaban serius atau ledekan. Tapi sejak hari itu aku semakin memahami bahwa kulit yang gosong seperti yang selama ini kutakuti, bukan hal yang menakutkan.

***

Tahun ini adalah tahun keenam aku mengikuti perayaan May Day. Tahun keenam juga buat kasus PHK buruh PDK. Sejak berkasus, setiap May Day kami selalu meneriakan kasus ini. Tetapi pemerintah menutup telinga untuk menyelesaikan kasus ini. Tahun ini kasus PHK buruh PDK masih akan diteriakan di depan Istana Presiden.

Perlu diketahui, di PDK ada dua kasus besar yang tidak ditangani. Yaitu, kasus PHK terhadap 1300 buruh pada Juli 2012. Sampai hari ini kawan-kawan kami masih tetap memperjuangkan hak-haknya dengan menggunakan jalur nonlitigasi. Kasus yang lain adalah PHK terhadap sembilan pimpinan pada Februari 2012. Delapan orang memilih penyelesaian kasus dengan damai dan satu orang mengikuti gugatan pengusaha ke PHI. Agustus 2014 PHI memutuskan perkara dengan memenangkan gugatan pengusaha.

Satu bulan waktu persiapan May Day 2018. Kami berdiskusi, membagikan selebaran dan aksi pra-May Day. Saat ini May Day telah menjadi hari libur nasional. Tentu harus kami lakukan dengan lebih keras mengajak anggota di tengah propaganda pemerintah yang mengajurkan mengisi May Day dengan masak-masak, jalan santai, dangdutan bagi-bagi door prize dari pengusaha, pulang kampung dan berbagai acara lain. Semua itu jauh dari gambaran perjuangan buruh untuk mendapatkan kesejahteraan atas upah, jam kerja dan jaminan kesehatan di tahun 1886 lalu.