MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Anti Unskilled Workers atau Solidaritas Internasional?


Di Balai Kota Semarang. Dari mobil komando, lelaki bertubuh gempal berkaos merah berorasi penuh semangat. Mengecam kebijakan pemerintah dan politik upah murah. Di sela-sela orasi ia mengatakan, “Kita tidak antiinvestasi. Tapi kita menolak buruh kasar dari Tiongkok!”. Orasi diakhiri. Ia pun mengajak peserta demonstrasi menyanyikan lagu Internasionale.

Tak jauh dari tempat tersebut. Di jalan menuju Patung Kuda Kantor Gubernur Jawa Tengah, peserta pawai yang terdiri dari perempuan dan lelaki berbaris di pimpin mobil komando. Poster-poster diangkat di atas kepala. Tertulis berbagai tuntutan tentang upah murah, tentang harga sembako, dan “Tolak TKA Ilegal!”.

Di Jerman, sekitar 350 orang-orang berkaos merah turun ke jalan dengan membawa poster, “Smash Capitalism!” dan tertulis, “Orang Asing Ilegal, Keluar!” Inilah kelompok The Third Way yang memanfaatkan momentum May Day untuk mengampanyekan cita-cita Neo-Nazi.

Kejadian serupa terjadi di Amerika Serikat. Sebuah kelompok menyerukan, “May Day Seattle – Stand Against Rioters”. Kelompok ini mengajak masyarakat menyerang kelompok yang berencana memperingati May Day di kota-kota Amerika Serikat.[1]

Di Jerman maupun Amerika Serikat, kelompok sayap kanan menampilkan diri menggunakan sentimen etnis. Di Amerika Serikat kelompok sayap kanan seringkali meneriakan, “Kejayaan Amerika!” Di Jerman, kelompok sayap kanan lebih agresif. Mereka menyerang pemukiman kaum imigran.

Sepuluh tahun terakhir, Eropa dan Amerika Serikat kedatangan manusia dari Timur. Mereka menyelamatkan diri karena negaranya dijadikan teritori penggandaan kapital. Tidak hanya di Timur Tengah, kapital finansial dan manufaktur pun dipindahkan ke negara-negara di Asia dengan mendesak liberalisasi perdagangan seluas-luasnya. Hasilnya, pengangguran di Eropa dan Amerika Serikat meningkat, upah minimum tak kunjung naik, layanan publik dipangkas dan hubungan kerja kontrak semakin meluas. Problem yang mirip dialami warga di Asia.

Bagi sebagian kecil penduduk Eropa dan Amerika, krisis yang tak kunjung berakhir disebabkan imigran kulit berwarna. Menurut mereka penduduk asing tersebut telah merampas pekerjaan dan membebani anggaran negara. Kelompok-kelompok sayap

kanan tumbuh dengan cita-cita mengembalikan kejayaan asal sukunya dan terlibat dalam kontestasi pemilihan umum. Mereka pun mencaplok peringatan Hari Buruh Internasional dan meminta dukungan masyarakat luas untuk mengusir kaum imigran. Secara sederhana, slogan yang dikumandangkan oleh kelompok neo-Nazi adalah, ‘kami orang pribumi!’, ‘kami orang lokal!’ ‘usir para orang asing!’.

Peringatan 1 Mei memiliki kaitan langsung dengan peristiwa pembantaian buruh di lapangan Haymarket. Mengingat kembali peristiwa Haymarket berarti menelusuri kembali wilayah Chicago di akhir Abad ke-19. Chicago sebagai pusat perdagangan, pertumbuhan industri manufaktur dan kota yang tumbuh dengan cepat. Percepatan yang didorong oleh penemuan teknologi mesin uap, telegraf dan kereta api. Penemuan teknologi berarti pengurangan jumlah tenaga kerja, sekaligus penambahan jam kerja.

Chicago menjadi pusat mencari uang dan pekerjaan. Bekas-bekas budak dari Afrika, penduduk dari Jerman, Irlandia, Skandinavia, Eropa Selatan dan Timur mengadu nasib di Chicago. Orang-orang yang bekerja di Chicago adalah para pendatang, para imigran. Perempuan dan lelaki dari umur 1o tahun bekerja 12-14 jam per hari selama seminggu dengan beban kerja yang tidak manusiawi. Dalam konteks tersebutlah para organisator yang tergabung dalam Knights of Labor (KoL) mengorganisasikan perlawanan menuntut pengurangan jam kerja dan perbaikan kondisi kerja. Tak heran, jika selebaran yang dikeluarkan pada 1-4 Mei 1886 dibuat dalam dua bahasa, yaitu Inggris dan Jerman. Buruh maupun para pencari kerja yang ada di Chicago adalah ‘orang asing’.

Setelah peristiwa Haymarket, pemerintah dan aparat Chicago mengecam para pemogok, sebagai pembuat onar dan perusuh. ‘Buruh pendatang’ menjadi sasaran kemarahan aparat negara dan kaum kaya. Pemerintah pun segera membentuk organisasi buruh baru untuk menandingi Knights of Labor.

Saat itu, di kalangan perburuhan pun terjadi silang pendapat; apakah 8 jam kerja merupakan tuntutan maksimum gerakan buruh atau pengurangan secara bertahap. Sebenarnya, gagasan maupun praktik pengurangan jam kerja bukan hal yang baru. Sebelum peristiwa Haymarket, beberapa negara telah menerapkan 8 jam kerja, seperti di Inggris pada 1833, di Australia pada 1856, dan 10 jam kerja di Massachusetts pada 1874.

Menjelang peristiwa Haymarket, muncul Gerakan Delapan Jam Kerja di Eropa dan Amerika Serikat. Gerakan tersebut menuntut kondisi kerja yang lebih baik, 8 jam kerja, pembatasan umur kerja, dan kenaikan upah. Gerakan Delapan Jam Kerja terdiri dari para buruh muda dan imigran yang bekerja di berbagai sektor. Oleh serikat-serikat buruh mapan buruh migran sering disebut sebagai ‘unskilled workers’.

Lepas dari perdebatan di atas, serta dengan mengenyampingkan beragam kecenderungan ideologi, kalangan perburuhan berkumpul pada 14 Juli 1889 di Paris. Mereka menyerukan 1 Mei sebagai sebagai hari solidaritas internasional; solidaritas kelas buruh melawan penghisapan pemilik modal. Hari tersebut diperingati untuk bersolidaritas kepada para mujahid yang dibunuh kejam di lapangan Haymarket Chicago. Di hari yang sama berbagai lapisan masyarakat diminta mengampanyekan pentingnya pemenuhan hak-hak asasi manusia dan terciptanya dunia yang lebih adil.

Catatan

[1] Fears of far-right violence as US gears up for May Day protests: Far-right groups in Los Angeles and Seattle have announced plans to rally against May Day events. 1 Mei 2018. Tersedia: https://www.aljazeera.com/news/2018/04/hold-anti-day-rallies-seattle-la-180430104241796.html, diakses pada 10 Mei 2018

Penulis

Syarif Arifin
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane