MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Lebaran: Ritual Kejahatan Majikan dan Birokrasi yang Menambah Masalah

Ramadan hari keduapuluh lima, kasus-kasus perburuhan, terutama berkaitan dengan THR (Tunjangan Hari Raya) dan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) makin mengemuka.
Baru-baru ini, 300 buruh pabrik Arnott’s Indonesia menggedor gerbang Kantor Menteri Ketenagakerjaan. Hasilnya? Hanya selembar surat dengan kop Kementerian bernomor B-155/PHIJSK/VI/2018 tertanggal 6 Juni 2018. Isinya semacam “lemparan tanggung jawab” dari Kementerian Ketenagakerjaan kepada kepala Disnaker Kota Bekasi untuk: meneliti dan menyelidiki benar-tidaknya kejadian PHK tersebut.
Jika benar, silakan lakukan langkah-langkah penanganan, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dan atau Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Nomor 2  Tahun 2004. Artinya, ketika buruh datang, mengadu, dengan nafas tercekik di tenggorokan, diberikan mekanisme yang rumit.
Yang menimpa buruh Arnott’s Indonesia, hanya sedikit dari berbagai persoalan perburuhan yang muncul dalam situasi mendesak. Hanya pucuknya, sedikit sekali.
Di waktu yang tidak jauh, di Karawang kita mendengar seorang Ketua Serikat Buruh Pabrik Garmen digugat oleh majikannya ke Pengadilan. Nilai gugatannya Rp 1 Miliar. Di Sumatera Selatan anggota FSP2KI merencanakan pemogokan karena dipecat dengan dalih status outsourcing dan habis masa kontraknya, ditambah kekurangan upah belum dibayar. Masih di Sumatera Selatan, anggota SERBUK Indonesia juga sama; kekurangan upah lemburnya selama empat tahun sebesar 1,1 M tidak juga bisa dieksekusi, padahal Pengawas sudah menetapkan nilai itu dengan stempel negara.
Setahun lalu, menjelang Idul Fitri, saya menuliskan kisah duka Nuratmo, Ketua Serikat Buruh bernama Awak Mobil Tanki Pertamina yang ter-PHK bersama 1095 orang buruh lainnya. Tahun sebelumnya pun, saya menulis hal sama untuk buruh-buruh pabrik mobil bernama Honda di Karawang. SK pencatatan serikat buruh mereka belum juga diberikan.
Saat-saat genting dan dari tumpukan berbagai kasus, ke mana Sang Menteri? Ketika tulisan ini huruf per hurufnya sedang diketik, Instagram mengabarkan, dia sedang gegap gempita menceritakan Konferensi Perburuhan Organisasi Perburuhan Internasional (ILC ILO) 2018 di Jenewa.
Ramadan memang bulan yang didesain sebagai bulan perjuangan, melawan lapar, melawan dahaga, agar teruji keimanan. Tapi, kita tak pernah mengira bahwa ujian keimanan itu justru menjadi semakin berat karena polah perilaku negara, pemerintahan yang abai.
Anggap saja benar, Bung Menteri Ketenagakerjaan sedang bertugas mengemban amanat negara, memajukan dunia perburuhan, membawa misi NKRI di Jenewa. Mari kita tanyakan: berapa banyak rekomendasi kasus yang dibuat ILO diselesaikan oleh Kementerian? Kasus Buruh Panarub Dwikarya adalah salah satu jawaban yang serius: tidak ada! Tidak ada yang diselesaikan! Jangan lupa, tengok juga yang dialami buruh-buruh PT Freeport yang dipecat sesudah mogok kerja. Tak ada solusi yang sesuai harapan buruh.
Lebaran semakin dekat. Ritual “kejahatan” para majikan berlanjut. Apalagi kalau bukan tentang Tunjangan Hari Raya alias THR. Dengan gelora penuh heroisme, Bung Menteri kembali membuka Posko Pengaduan THR. Tidak salah kalau dalam benak buruh yang terbayang adalah: ketika majikan menolak membayar THR sesuai aturan, lalu mereka mengadu pada Menteri. Menteri akan menyelesaikan masalah ini. Sayang sekali, kenyatannya tidak begitu. Tidak!

Melalui berbagai media nasional, Bung Menteri mengatakan bahwa pengusaha wajib membayarkan THR; pada waktu yang sudah ditetapkan, dengan jumlah yang sudah diatur oleh ketentuan. Mari kita tengok bersama-sama. Beberapa tahun lampau, saya menemani buruh-buruh pabrik kayu di Karawang menuntut THR. THR mereha  hanya dibayarkan Rp 50.000. Sesudah aksi berhari-hari, Pengawas Disnaker menolak memidanakan kasus ini. Demikian juga Polres Karawang. Kata Polres, THR itu hadiah bukan kewajiban seperti upah. Lalu Pemda, melalui Sekda merayu buruh agar menerima tawaran THR sebesar Rp 300.000 yang diusulkan pengusaha.
“Terima saja, sudah lumayan naik 600 persen dari THR tahun kemarin yang hanya Rp 50.000,” kata Sekda berlagak pahlawan.
Waktu itu kami mengadukan kasus ini ke Posko Pengaduan THR Kementerian Tenaga Kerja dan tak ada kabar berita apapun hingga hari ini.
Lalu, apa yang bisa diharapkan dari Posko THR tahun ini? Ternyata, tugas Posko THR yang dibentuk Kementerian sama saja. Tugasnya hanya menampung lalu akan didisposisikan kembali ke Disnaker di kota masing-masing sesuai asal buruh yang mengadukan kasus THR. Dengan catatan, pengaduannya lengkap. “Ada banyak yang datanya tidak lengkap, nama buruh, nama perusahaan, alamat, dan lain-lain,” kata Menteri.
Lalu bisa ditebak bukan, bagaimana ending-nya?! Dari Menteri didisposisi ke Disnaker kota atau kabupaten, lalu diterima Kepala Disnaker. Dari Kadisnaker diteruskan kepada Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Persyaratan Kerja, diteliti, dipelajari, dan seterusnya. Lalu dipanggillah pengusaha dan buruh untuk bertemu sesuai panduannya peraturan perundangan. Artinya, buruh mengadu dan diberika prosedur yang makin membuat sengsara. Demikian kasusnya menguap hingga tahun depan.
Apa yang bisa kita harapkan dari orang, yang menganggap jabatan sebagai Menteri Ketenagakerjaan hanya sebagai sebuah kebetulan belaka?! Sebenarnya tidak begitu juga. Kemnaker juga bertindak serius. Tapi hanya untuk dua hal; ngurusin May Day is A Fun Day dan nge-band.
Perlahan dari ujung loadspeaker mushola di samping rumah saya mendengar kumandang azan Zuhur. Sambil menutup laptop, saya hanya bisa bergumam dan tak henti berpikir. Benar adanya, belum pernah saya melihat Menteri Ketenagakerjaan mengerjakan sesuatu seserius dia mengurus May Day is A Fun Day dan promosi band kesayangannya.
Selamat menjelang Iedul Fitri 1439 Hijriah. Bukalah pintu maaf atas kesalahan saudara-saudaramu yang telah lalu. Tapi, jangan pernah sekali-kali memaafkan Pejabat yang mengabaikan nasib buruh, siapapun dia!
Temanggung, 10 Juni 2018.