Pembangunan kawasan berikat berbasis eksport (export processing zone/EPZ) berlangsung selama kurun boom minyak (1976 – 1981). EPZ merupakan penanda utama peralihan kebijakan ekonomi di Indonesia. Peralihan strategi industri dari subtitusi impor menjadi berorientasi ekspor. Kawasan berikat menawarkan kemudahan berinvestasi seperti keringanan pajak, proses perizinan yang serba mudah dan cepat, serta ketersediaan jaringan infrastruktur yang baik untuk memperlancar proses produksi, logistik, dan transportasi.
KBN Cakung merupakan satu dari kawasan berikat yang dikelola PT KBN (Kawasan Berikat Nusantara) yang berdiri pada 1986. Mulanya Cakung merupakan salah satu kawasan berikat terbesar di Indonesia. Secara spasial, KBN Cakung dihubungkan dengan jalan tol dan pelabuhan utama Tanjung Priok, kawasan berikat dan pergudangan Marunda, serta dengan kawasan-kawasan berikat industri ekspor dan padat buruh di Bekasi, Depok, Bogor, Karawang, dan Purwakarta.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta menyebutkan, dengan luas 176,7 hektare, Cakung disewa oleh 104 investor, dengan 15 investor bergerak di sektor pergudangan, dan 34 investor untuk usaha jasa lainnya, dan sisanya pabrik pengolahan. Tidak terdapat data yang memadai—yang dapat diakses publik—mengenai daya tampung KBN Cakung dan berapa persisnya jumlah pabrik yang beroperasi. Namun hasil investigasi yang dikumpulkan oleh salah satu serikat buruh, Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) pada 2014, menyebutkan bahwa kapasitas KBN Cakung dapat menampung kurang lebih 130 pabrik. Dalam data lain, pada 2013, tercatat lebih 90 pabrik beroperasi dan lebih dari 70.000 buruh bekerja memproduksi pakaian mahal dan diekspor ke mancanegara, seperti GAP, Zara, Adidas, dan H&M.
Pada 2015 ketika melakukan penelitian di KBN Cakung, saya menyaksikan kawasan tersebut ramai dipadati buruh perempuan muda. Saat jam makan siang, para buruh tumpah ke jalan-jalan kecil antarpabrik, menyerobot makanan yang dijajakan penjual. Kebanyakan pabrik di KBN Cakung tidak memiliki kantin yang memadai. Sementara kantin yang disediakan pengelola KBN relatif jauh, yang tidak memungkinkan ditempuh dengan sisa tenaga setelah bekerja. Lagi pula, dengan sistem kerja ‘target produksi’ meski rata-rata waktu istirahat kerja 1 jam, nyatanya hanya terealisasi 30 menit
Sebagai kawasan yang dikelola Pemerintah Daerah DKI Jakarta, KBN Cakung menerima pasokan air, listrik, jaringan jalan, pembuangan limbah, dan telekomunikasi yang disediakan oleh negara. PLN menyediakan pasokan listrik 233 KVA per unit pabrik untuk seluruh kawasan yang dikelola PT KBN. PDAM menyediakan pasokan air bersih sebanyak 23.000 m3 per bulan untuk keperluan di pabrik maupun rumah tangga. Karena pasokan air dan listriknya rendah, rerata pabrik di Cakung hanya memberlakukan satu shift kerja. Dengan kapasitas tersebut, KBN Cakung tidak mungkin memenuhi target produksi massal.
Juli 2018, salah satu pengurus serikat buruh di Cakung menyebutkan bahwa setiap jam 5 sore listrik di pabrik dimatikan. Toilet di pabrik pun sering kekurangan air bersih. Lima bulan sebelumnya, sebuah pabrik kebakaran. Pada 2008 pun, Cakung dikenai gilir pemadaman listrik selama dua jam dari PLN. Tidak hanya itu. Jaringan jalan di sekitar Cakung pun rusak dan macet. Jika banjir, pabrik, mesin, dan bahan baku terendam air. Buruh diliburkan. Para pemilik usaha garmen merasa rugi, karena target produksi dan jam kerja terganggu. Kesempatannya tiba. Pada 2010-2013, para buruh di Jabodetabek mendeklarasikan perlawanan terhadap upah murah dan buruh outsourcing: melakukan mogok kawasan menuntut kenaikan upah upah minimum dan menuntut penghapusan buruh kontrak dan outsourcing. Pada 2013, upah minimum DKI Jakarta naik 40 persen. Apindo mengancam akan mengganti buruh dengan robot dan merelokasi pabrik ke luar negeri. Lagi pula, akhir-akhir ini persoalan-persoalan buruh di Cakung semakin mudah tersebar di media massa.
Pertengahan 2018, ketika berkesempatan datang lagi ke KBN Cakung, saya tidak menjumpai suasana padat dan ramai seperti sebelumnya. Kerumunan dan desak-desakan di jalan-jalan kecil kawasan yang biasa tercipta saat jam masuk, istirahat, dan jam pulang kerja, terlihat lengang. Gerbang belakang KBN Cakung yang biasanya dipenuhi ojek, angkot KBN, serta para pedagang pasar, tidak lagi riuh. Banyak pintu pabrik tutup dan lingkungannya tidak terurus.
Keadaan yang mulai sepi di KBN Cakung berkaitan dengan relokasi (dan ekspansi) pabrik. Beberapa buruh dan pengurus serikat buruh yang memiliki basis keanggotaan di Cakung mengatakan saat ini kurang lebih hanya 30 pabrik saja yang beroperasi. Beberapa perusahaan di KBN Cakung dilaporkan telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya dengan alasan sepi order atau efisiensi.
Bukan hanya KBN Cakung, relokasi dan ekspansi juga dilakukan oleh pabrik-pabrik garmen tekstil dan sepatu yang dibentuk pada periode 1980-an lainnya, seperti Bogor, Bekasi, Purwakarta, Tangerang, Serang, Bekasi, Bandung, Gresik, Surabaya dan Batam. Sasaran relokasi dan ekspansi adalah wilayah baru, di sekitar Jawa Barat (Majalengka, Cirebon, Sukabumi, Cianjur, Subang), Jawa Tengah (Sukaharjo, Boyolali, Seragen, Jepara), Jawa Timur (Jombang, Ngawi, Pasuruan). Ciri utamanya, di daerah-daerah tujuan relokasi serikat buruh belum terbentuk dan upah minimumnya setengah dari Jabodetabek. Fakta yang tidak dapat dihindari bahwa penentuan lokasi pindah berdasarkan pertimbangan lain yaitu, dukungan fasilitas dari pemerintah, ketersediaan air, tenaga kerja dan harga tanah yang murah.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut terdapat 90 pabrik dari kawasan industri di Jabodetabek memutuskan relokasi ke Jawa Tengah sejak 2013. Sementara Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) pada 2015 menyebutkan 47 pabrik dari Jawa Barat dan Banten melakukan relokasi ke daerah Jawa Tengah. Pada 2016, 5 perusahaan padat karya pindah dari Gresik ke Lamongan.
Sejauh yang dapat dicatat (lihat tabel 1), relokasi dan ekspansi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan padat tenaga kerja dengan mayoritas buruh perempuan. Umumnya, perusahaan-perusahaan tersebut merupakan pemasok untuk merek-merek internasional, seperti Nike, Adidas, Puma, Uniqlo, H&M, The North Face, Tommy Hilfiger, JC Penney, GAP, dan merek-merek internasional lainnya. Beragam merek tersohor tersebut sebetulnya dimiliki oleh grup pemegang merek yang menguasai jaringan ritel di berbagai belahan dunia.
Tabel 1: 20 Perusahaan Relokasi dan Ekspansi di Jabotabek
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]
Begitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di ibukota. Begitu sedikit dari mereka berorasi dari atas mobil komando, tahta bergerak para raja dan brahmana khas gerakan Nusantara. Dihantam hujan deras dan terik cahaya, datang dari ribuan kilometer jauhnya, hanya untuk berbaris dan duduk […]
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]