Cerita bermula ketika Yi meminjam uang Rp 1 juta dari Incash. Uang yang diterima Yi sebesar Rp 680 ribu. Katanya, dipotong uang administrasi. Jumlah pinjaman tersebut harus dikembalikan dalam seminggu, menjadi Rp 1.054 ribu. Setelah menerima uang, petugas Incash pun membuat grup Whatsapp yang memasukan Yi sebagai salah satu anggota grup.
Tempo pembayaran pun tiba. Yi tidak mampu bayar. Petugas Incash menagih berulang. Yi pun mengatakan jika dirinya belum bisa membayar utang sebagaimana dijanjikan. Penagih terus menagih, bahkan menagih melalui orang-orang sekitar Yi yaitu melalui nomor-nomor kontak yang terdaftar dalam nomor seluler Yi. Sehari kemudian, beredarlah foto yang mempermalukan Yi.
Yi mengenal fasilitas pinjaman online melalui iklan layanan yang diterimanya melalui pesan singkat (SMS/Short message service). Entah bagaimana mereka bisa mendapatkan nomor tersebut. Iklan tersebut menawarkan pinjaman dengan cara mudah yaitu hanya dengan syarat KTP, foto dan memberikan izin mengakses daftar nomor kontak di telepon selulernya. Karena terdesak kebutuhan, Yi pun mengajukan pinjaman sebagaimana diceritakan di atas.
Bukan hanya Yi. Kita juga membaca korban yang terjerat pinjaman online jumlahnya meningkat. Modusnya sama, yakni memberikan kemudahan meminjam, jumlah pinjaman yang diajukan dipotong uang administrasi, waktu pengembalian yang singkat dengan jumlah bunga harian. Ketika jatuh tempo dan gagal membayar, petugas pinjaman online akan menagih dengan cara meneror ke semua nomor kontak telepon seluler.
Karena merasa malu dan tertekan ditagih terus menerus, ada pula pengutang yang mengakali dengan membayar tapi meminjam ke pinjaman online lain. Akibatnya, utangnya menumpuk menjadi ratusan juta ke berbagai pinjaman online. Bahkan, karena bunga harian yang menumpuk, terdapat kasus peminjam yang bunuh diri.
***
Kasus lain dialami kawan saya. Sebut saja namanya Laila (bukan nama sebenarnya), buruh di salah satu pabrik pembuat sepatu merek internasional di Kabupaten Tangerang. Suami Laila juga bekerja di pabrik yang sama. Hanya beda bagian. Setiap bulan upah pasangan suami-istri tersebut jika dijumlahkan mencapai Rp 8 – 9 juta.
Selain bekerja, Laila pun berjualan makanan kecil. Untung dari jualan bisa mencapai Rp 50 ribu per hari. Tetapi seminggu setelah menerima upah, Laila selalu mencari utangan. Untuk apa? Apakah Laila terlalu boros? Apakah Laila tidak mampu mengelola keuangan? Tunggu dulu. Laila mencari utangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bukan untuk membeli tas Hermes atau membeli skincare.
“Saya kayak kerja paksa, capek tapi tidak dapat apa-apa. Terima gaji bukannya senang tapi malah pusing,” keluh Laila kepada saya. “Saya sedih sebenarnya, karena persoalan uang ini bikin saya ribut terus sama suami. Beberapa hari sebelum Idul Fitri saya ribut sama suami karena bingung menghadapi lebaran tidak memengang uang. THR saya habis buat bayar utang. Begitu juga dengan THR suami,” tambah Laila.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Laila dan suaminya, sehingga upah yang hampir Rp 9 juta tidak cukup untuk menopang kebutuhan hidup per bulan? Jawaban umum, karena jumlah upah tersebut tidak dapat menopang kebutuhan dasar keluarga buruh dengan dua anak. Kondisi tersebut mendorong Laila dan suaminya, mencari utangan ke rentenir di sekitar pabrik. Jumlah utang Laila dan suaminya masing-masing sekitar Rp 25 juta. Dalam waktu 12 bulan utang mereka membengkak menjadi Rp 50 juta. Dalam sebulan, masing-masing harus mencicil sebesar Rp 4 juta. Total cicilan keduanya Rp 8 juta.
Bagaiman cara kerja rentenir pabrik? Cara pengajuan utang sangat mudah dan cepat. Cukup menyerahkan identitas, kartu ATM beserta pin-nya sebagai jaminan. Kalau pun si peminjam mendapat transfer uang dari pihak lain dan ingin mengambilnya, harus melalui si rentenir karena ATM dan pin-nya berada di tangan mereka.
Jadi, setiap menerima upah bulanan, si rentenir akan mengambil terlebih dulu upah Lalila dan suaminya. Ketika Laila menerima transfer upah Rp 4,5 juta dari tempat kerjanya, si rentenir langsung memotong Rp 4 juta. Jadi sisa upah Laila hanya Rp 500 ribu per bulan. Dengan dua anak yang masih sekolah tingkat dasar dan menengah, Laila dan suaminya harus berpikir keras agar tidak kelaparan.
Untuk memecahkan persoalan itu Lalila mencari pinjaman. Lagi-lagi pinjaman yang selalu tersedia, mudah dijangkau dengan persyaratan mudah adalah rentenir keliling yang biasa mangkal di depan pabrik, bahkan ada pula buruh yang berprofesi sebagai rentenir. Jenis rentenir tersebut sering disebut Linda alias Lintah Darat atau Bangke singkatan dari Bank Keliling.
Sari seorang pimpinan serikat buruh di salah satu pabrik pembuat sepatu merek internasional di Tangerang. Ia merasa kepayahan menangani persoalan yang dihadapi anggotanya. Nyatanya, Sari bukan hanya membantu menyelesaikan persoalan hubungan kerja. Sari pun harus turut menyelesaikan persoalan pinjaman rentenir. Jumlah anggota buruh yang terjerat rentenir mencapai puluhan orang.
Menurut Sari rata-rata buruh yang berutang tidak memiliki dasar kesepakatan atau perjanjian utang piutang. Mekanisme penetapan pembayaran dan besaran bunga pinjaman ditentukan sepihak oleh si rentenir. Berikut beberapa cara kerja rentenir yang bekerja di sekitar pabrik.
1. Pinjaman berdasarkan bulan
Misal kita meminjam Rp 3 juta. Nanti setiap bulan harus mencicil Rp 600 ribu selama 10 bulan. Jadi dari utang Rp 3 juta menjadi Rp 6 juta.
2. Bunga dari bunga
Cara kerjanya mirip dengan seperti di nomor satu. Bedanya, jika si peminjam tidak membayar cicilan pokok bulanan, dikenai denda. Misal, jika di bulan tertentu tidak membayar Rp 600 ribu, bulan berikutnya harus membayar sisa tunggakan plus denda. Jadi total yang harus dibayar Rp 1.260 ribu. Artinya, jika gagal membayar lagi, berarti bunganya akan mengendap dan dapat diakumulasikan di bulan-bulan berikutnya.
3. Bunga berjalan
Misal kita pinjam Rp 1 juta kemudian bunganya ditetapkan 20 persen. Lazimnya, yang harus dikembalikan berarti Rp 1,2 juta. Ternyata bukan begitu. Selama si peminjam tidak mengembalikan utang pokok Rp 1 juta, berarti tiap bulan harus membayar Rp 200 ribu.
Dari tiga tipe rentenir, tipe yang ketiga-lah yang paling mencekik. Banyak buruh yang terjebak dengan model pinjaman jenis yang ketiga.
Mungkin pembaca berpikir. Oh, para rentenir itu ilegal. Tidak tercatat di-OJK (otoritas jasa keuangan) sehingga tidak ada hukum yang mengikat mereka. Saya mau kasih informasi, pinjaman berbunga oleh siapapun dapat menyengsarakan buruh. Nama bank-nya bisa menggunakan embel-embel ‘syariah’ atau konvensional. Tentu saja lembaga peminjam ini terikat oleh peraturan keuangan yang dibuat Bank Indonesia.
Untuk model peminjaman legal ini mereka memiliki cara kerja sendiri. Biasanya, pihak bank atau marketing bank bekerjasama dengan perusahaan. Tentu agar dapat mengakses data; buruh mana saja yang akan menjadi sasaran. Jika berhasil menggaet konsumen akan segera bekerjasama dengan perwakilan perusahaan agar diberikan kewenangan memotong langsung dari upah buruh untuk membayar utang ketika tanggal gajian tiba. Ada pula yang perwakilan bank yang bekerjasama dengan serikat buruh tingkat pabrik agar dapat mengakses daftar anggota.
Bank resmi tersebut biasanya memberikan persyaratan pinjaman lebih mudah. Cukup dengan menjaminkan kartu BPJS, akte kelahiran, ijasah atau surat nikah, buruh dapat meminjam uang Rp 20 juta.
Pada 2012, dari 680 anggota serikat buruh Panarub Dwikarya, sekitar 248 orang terjerat utang ke Bank Mandiri. Praktik ini ternyata hampir dialami seluruh buruh. Di periode 2011-2012 ketika terjadi kenaikan upah minimum yang relatif lumayan dan ramai dengan pengangkatan buruh kontrak/outsourcing menjadi tetap, marketing-marketing bank berkeliaran di line-line produksi. Dengan agresif mereka menawarkan pinjaman dengan bunga relatif rendah dan persyaratan mudah, yaitu cukup identitas dan surat pengangkatan sebagai karyawan.
Bagaimana buruh rela meminjam ke rentenir?
Saya bosan dan kadang marah mendengar sebagian orang yang sering menghakimi buruh. Sampai keluar istilah BPJS (Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita), buruh tidak pandai mengelola keuangan, tidak pandai melihat prioritas pengeluaran, kebiasaan buruh ‘besar pasak daripada tiang’. Semua vonis itu tidak memiliki dasar yang kuat. Tentu saja kelas-kelas komentariat itu tidak merasakan jadi buruh dan tidak mengalami makan mie seharian; pagi mie rebus, siang mie goreng, malamnya mie telor atau makan makan soto dalam kemasan mie. Karena upah yang diterima hanya cukup untuk dua minggu konsumsi harian.
Berikut adalah temuan kawan saya, Sari. Untuk kebutuhan yang sifatnya besar, rata-rata buruh meminjam ke bank. Biasanya untuk kebutuhan renovasi rumah, menikahkan anak atau membayar keperluan sekolah anak. Untuk keperluan tersebut besarannya bisa mencapai Rp 25 juta.
Cara membayarnya menggunakan sistem auto debet, karena pihak bank bekerja sama dengan pengelola perusahaan. Besaran potongannya ditetapkan oleh bank. Misalnya, Rp 700 ribu per bulan. Di samping itu, biasanya buruh pun memiliki cicilan untuk membayar kebutuhan rumah tangga seperti bed cover, kulkas, sprei. Semua cicilan itu, jika dijumlahkan dalam sebulan bisa mencapai Rp 300 ribu. Jadi total yang harus dikeluarkan buruh dalam sebulan Rp 1 juta.
Di depan mata sudah jelas buruh memiliki utang. Karena itu, mereka sangat berharap mendapat penghasilan tambahan. Harapan tersebut, di antaranya, digantungkan ke over time. Jadi tidak terlalu mudah mengatakan, ‘tolak lembur’, ketika buruh telah dijerat utang.
Persoalan muncul kembali ketika orangtua sakit, kegiatan ‘manasik haji’ anak TK, kegiatan wisata dari sekolah. Ini belum terhitung di bulan-bulan tertentu terjadi “musim menikahkan”. Dalam sehari bisa tiga kali menghadiri undangan kawinan. Di waktu inilah, si iblis rentenir menjadi sosok penolong.
Jumlah pinjamannya bisa sekitar Rp 2-5 juta. Syarat dan pengajuannya mudah. Sehari bisa langsung cair. Karena itu, setiap tanggal gajian, di depan pabrik para rentenir dalam jumlah puluhan sudah berdiri menunggu buruh yang berutang.
Ketika telah dijerat utang dan semua waktu telah dihabiskan untuk lembur, tibalah ke jebakan lainnya menanti harapan palsu: program pengunduran diri sukarela, pensiun dini dan peremajaan karyawan. Karena itu, ketika program perusahaan diluncurkan beberapa buruh berlomba mengambil program tersebut. Tentu saja program perusahaan tersebut sudah diperhitungkan dengan matang. Sehingga semua nasehat dan ceramah pimpinan serikat buruh akan diabaikan.
Jika perusahaan tidak menyediakan program-program resign, buruh berusaha melakukan tindakan indisipliner agar di-PHK. Yaitu dengan cara tidak masuk berhari-hari. Tentu saja dengan tujuan agar segera mendapat kompensasi PHK. Inilah yang menjelaskan, ketika buruh diajak menolak PHK ilegal akan lebih memilih kompensasi.
Cara lain untuk menghindari kejaran rentenir, ya kabur! Berarti tidak masuk kerja. Pengalaman saya ketika masih bekerja. Sehabis tanggal gajian akan ada buruh dari line produksi lain mendatangi bagian saya kerja. Saat itu, ada sekitar tiga orang teman yang satu departemen dengan saya yang terjerat rentenir. Biasanya, sehari atau tiga hari setelah tanggal gajian mereka bisa lolos karena tidak masuk kerja.
Sebut saja Syifa, bukan nama sebenarnya. Akhirnya Syifa mengundurkan diri dari tempat kerja setelah tidak sanggup menghadapi akumulasi utang. Ia menerima pesangon Rp 120 juta plus dana tunjangan yang telah ia endapkan bertahun-tahun di BPJS. Dari jumlah tersebut, Syifa hanya memegang Rp 11 juta, karena harus membayar utang ke bank, ke rentenir, dan utang-utang lain, seperti arisan.
Saat ini Syifa tidak bekerja. Usia menjadi salah satu kendala. Karena pabrik makin selektif merekrut tenaga kerja muda. Lagi pula untuk bekerja harus nyogok minimal Rp 3 juta. Satu-satunya topangan penghasilan ke suaminya, yang bekerja sebagai tukang ojeg.
Penghasilan tukang ojeg dalam sehari tidak menentu. Paling dapat Rp 100 ribu per hari. Dengan dua anak, pendapatan itu harus dipastikan dapat menanggung empat mulut. Karena keluarga Syifa terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan pekerja bukan penerima upah kelas II, dalam sebulan harus membayar iuran Rp 440 ribu. Jadi rencana pemerintah menaikan iuran BPJS Kesehatan untuk pekerja bukan penerima upah telah memeras dan memiskinkan keluarga-keluarga semacam Syifa.
Memang tiap tahun terjadi kenaikan upah minimum. Lagi-lagi harus diingat setiap kenaikan upah minimum selalu dibalas dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, seperti kenaikan tarif dasar listrik, gas elpiji, dan bahan bakar minyak. Jadi bagi buruh kenaikan upah minimum tidak memiliki nilai. Siklus hidup mereka akan tetap seperti semula, bekerja kemudian menerima upah. Dua dua atau tiga hari kemudian mencari utangan untuk menutupi kebutuhan hidupnya satu bulan ke depan. Kemudian mencari-cari akal dari kejaran rentenir yang juga teman sekerja. Kejadiannya terus menerus berulang sampai pengelola pabrik menawarkan program PHK walau dengan kompensasi satu kali ketentuan. Dalam kondisi kepungan rentenir dan kenaikan harga kebutuhan pokok yang berlipat, fungsi serikat buruh berada dimana?
Selamat pagi kawan-kawan BWI yang saya cintai! Salam perjuangan! Perkenalkan, nama saya Sabri Bin Umar, buruh migran Indonesia dari Bone Sulawesi Selatan. Umur saya 30 tahun. Saya menempuh perjalanan 6.500 kilometer untuk hadir di sini[2], bertemu dengan anda semua. Melelahkan, tapi saya bahagia dan bersyukur. Saya masuk ke Tawau, Sabah, Malaysia ketika lulus sekolah dasar. […]
Pagi itu, Sabtu, 29 Juni 2024, betapa terkejutnya aku saat membaca pesan yang dikirimkan Bung Kiki melalui aplikasi Messenger yang terinstal di smartphone-ku. Bung Kiki mengabarkan, kamu (Triono) mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia pada pukul 02.30 dini hari. Pesan itu dikirim satu jam lalu, setelah Bung Kiki berkali-kali gagal menghubungiku lewat panggilan telpon di Messenger-Facebook. Aku […]
Dirampas Perusahaan, Diabaikan Lembaga Negara Perlawanan berlangsung. Saya pun keluar dari penjara. Di tengah perjuangan itu, satu per satu kawan kami wafat. Ketika tulisan ini dibuat jumlah kawan yang meninggal mencapai empatpuluh tiga orang. Kawan kami gagal tertolong. Semuanya tidak dapat mengakses layanan kesehatan karena BPJS Kesehatan diblokir. Kami pun tidak memanfaatkan layanan kesehatan mandiri […]