MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Perlawanan dalam Tulisan, Pelajaran Bersama untuk Kita


Office Girl: Bunga Rampai Memoar Buruh

Penulis : Zaenal Arifin, Annas Ansorulloh,  Agus Mulyono, Yolanda Dwi Martika, Andi Hidayat, Mamat Wahyudin, Abdul Gopur,  Budiyansah, Abdul Hapid, Nursari, Hasan Basri, Juni Teriogo, Ahmad Haris, Agus Rohim, Khamid Istakhori, Adi Pratomo, M. Husain Maulana, Kuswoyo.

Penerbit : Pustaka Media Semesta

Cetakan : Cetakan Pertama

Tahun Terbit : 2021

ISBN : 978-786237-231301


Dunia buruh tidak melulu soal pabrik, tapi juga tentang keluarga, cinta dan perlawanan. Begitulah yang hendak disampaikan oleh para penulis buku “Office Girl: Bunga rampai memoar buruh”. Buku ini merupakan kumpulan tulisan tentang kehidupan dan pengalaman-pengalaman riil buruh yang ditulis oleh mereka sendiri. Kisah-kisah di buku ini dimulai dari masa mereka kecil hingga pilihan, atau keterpaksaan, menjadi buruh.

Sebagaimana pengantar yang ditulis oleh penyunting, lahirnya tulisan-tulisan ini dimediasi oleh sebuah lokakarya menulis oleh LPM UIN Sunan Gunung Jati bersama Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK) Indonesia. 18 penulis buku ini adalah pengurus dan anggota SERBUK yang tersebar di beberapa wilayah dan sektor yang berbeda-beda. Dari Sumatera Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ini merupakan inisiasi yang patut diacungi jempol karena meramaikan lagi literasi gerakan buruh Indonesia yang ditulis oleh pelaku sejarahnya sendiri.

Dari buku ini, kita diceritakan banyak hal tentang kehidupan buruh yang secara psikologis kaya. Perasaan gembira, sedih, bimbang dan marah tercermin dalam kalimat-kalimat yang lugas. Ini menunjukkan kejujuran para penulis dalam merefleksikan pengalaman-pengalaman penting yang paling mempengaruhi hidup mereka. 

Jika kita membaca buku ini dengan cermat, masalah-masalah laten dalam dunia perburuhan muncul hampir di setiap tulisan. Misalnya, bagaimana praktik-praktik pasar kerja fleksibel yang memudahkan pengusaha merekrut dan memecat buruh. Buruh direkrut jika dibutuhkan dengan satu syarat, “patuh”, dan kemudian dipecat jika berusaha melawan.

Hubungan kerja yang fleksibel dalam bentuk pekerjaan harian, kontrak dan outsourcing menyebabkan buruh dengan mudah terlempar dari pabrik satu ke pabrik lain, dari mandor satu ke mandor lain, dan dari penderitaan satu ke penderitaan yang lain.

Sebagian penulis buku ini mengungkapkan bagaimana rentannya kehidupan mereka ketika tidak adanya kepastian dan keberlangsungan atas pekerjaan. Kerentanan dipecat, didiskriminasi, diintimidasi, direpresi, bahkan dikriminalisasi ketika mereka menuntut haknya. Padahal, yang mereka tuntut adalah hak-hak dasar yang telah dijamin oleh konvensi ILO, UUD, dan UU, seperti hak atas upah layak, jaminan sosial, keselamatan kerja dan hak cuti, serta hak untuk berserikat. 

Buku ini juga menceritakan bagaimana peengusaha berusaha mengamankan aktivitas usahanya dengan menggunakan praktik-praktik korupsi. Sebagaimana cerita Yolanda yang bekerja sebagai ‘office girl’ di sebuah mess perusahaan asal China. Pengalamannya bekerja di tempat tersebut membuat Yolanda tahu bahwa untuk mengamankan usahanya, pengusaha harus menyogok kepala desa, staff disnaker dan kepolisian. Cerita Yolanda setidaknya memberi kita jawaban kenapa selalu saja terjadi pelanggaran atas hak-hak dasar buruh. Kewajiban dari penegak hukum untuk memberikan hukuman bagi perusahaan yang melanggar aturan, tumpul karena praktik korupsi.

Cerita lain datang dari Nursari. Ia mengisahkan bagaimana perusahaan memperlakukannya dengan semena-mena, merekrut dan memecatnya berkali-kali karena statusnya sebagai buruh kontrak. Bahkan, untuk dapat bekerja lagi sebagai buruh kontrak selama 3 bulan itu, Nursari harus membayar sejumlah uang kepada organisasi dan tokoh lokal di lingkungan atau desa sekitar pabrik. Nursari tak punya pilihan. Namun kemudian situasi ini membuatnya berpikir dan belajar bagaimana caranya melawan dan keluar dari situasi tersebut. 

Kisah-kisah yang dituliskan Yolanda, Nursari, juga Khamid Istakhori, Abdul Gopur dan Andi Hidayat, merupakan cermin yang jernih, yang memantulkan pengalaman berlawan mereka selama bertahun-tahun menjadi buruh.
Kontradiksi, kesenjangan, dan ketidakadilan yang mereka temukan, terutama ketika mereka menjalankan mesin-mesin pabrik demi keuntungan pengusaha, membuat mereka terdorong untuk mengubah keadaan yang mereka alami dengan cara berserikat. Inilah satu-satunya cara yang benar untuk meruntuhkan kesewenang-wenangan pengusaha atas buruh.

Berserikat merupakan kegiatan yang sangat penting dalam meningkatkan kesadaran kelas buruh, sehingga hal itu dapat menumbuhkan keberanian merebut kembali hak-hak mereka yang telah dirampas, dan memperjuangkan keadilan atas seluruh rakyat. Aktivitas berserikat memungkinkan buruh pelan-pelan memahami kontradiksi dari hubungan antara  buruh dan majikan, hubungan yang kerap ditutup-tutupi dengan istilah “harmonis”, “ideal”, padahal kenyataannya adalah hubungan yang menindas, penuh pemerasan (eksploitatif).

Pengalaman konkrit dan buruk yang dirasakan buruh sebagai akibat hubungan produksi yang eksploitatif tersebut membuat mata buruh semakin terbuka atas perbedaan kepentingan antara majikan dan buruh. Dalam kesadaran yang paling tinggi, buruh bisa menerima segala konsekuensi dari perlawanannya. Sebagaimana yang alami oleh Abdul Gopur, ketika melawan perusahaan dan berujung pada pemecatan, ia tidak sedikitpun merasa menyesal atau membenci serikat buruh. Bahkan ia mengungkapkan bahwa penghargaan tertinggi seorang buruh adalah dipecat.

Dari kisah Gopur ini, kita dapat mengambil poin bahwa pengalaman melawan atau berkonflik merupakan syarat bagi lahirnya kesadaran kelas. Dan jika buruh atau serikat dapat melihat persoalan secara lebih luas, yang artinya dapat memahami keterkaitan pengusaha dan sistem di luarnya yang sama-sama berkepentingan untuk memeras tenaga buruh, maka buruh tidak akan pernah terpukul atau menyalahkan diri dan kelompok lain, sekalipun belum berhasil dalam melawan.

Selain cerita tentang pabrik dan serikat, buku ini juga membagi kisah-kisah pribadi mereka, namun begitu tetap ada hubungan yang erat dengan perjuangan yang mereka lakukan. 

Kisah-kisah pribadi ini menggambarkan bagaimana perjuangan dan perlawanan buruh dibentuk oleh relasi-relasi sosial yang cenderung tidak menguntungkan. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Nursari, ia terpaksa mengakhiri hubungan rumah tangganya dengan suaminya ketika anaknya baru berusia 1,5 tahun karena rasa khawatir dan sifat cemburu yang berlebih suaminya.  

Buku ini menambah koleksi bagi kepustakaan kelas pekerja (working class literature) di Indonesia. Ia tidak hanya menceritakan realitas kehidupan  8 jam di dalam pabrik, tapi juga di luar pabrik, dan bagaimana mereka membentuk dan dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial baik di dalam keluarga, lingkungan, bahkan lebih besar lagi adalah negara. Buku ini diharapkan bisa menjadi panduan untuk memahami kehidupan buruh dan juga dapat menjadi bahan belajar bagi buruh secara umum. Bagi kelas buruh, buku ini setidaknya bisa memupuk rasa solidaritas antar sesama.