Di masa Covid-19, kehidupan buruh dan keluarganya makin tidak menentu. Dengan alasan terdampak Covid-19, buruh terancam dipecat atau dikenai pemotongan upah; atau bekerja dengan terpapar virus karena tidak disediakan alat pelindung diri memadai.
Seperti tidak ada pilihan lain: bekerja dengan kondisi tidak aman atau tidak mendapat upah. Mengadukan persoalan di tempat kerja ke dinas ketenagakerjaan pun sia-sia karena petugasnya menjawab: ‘sedang WFH’. Sementara protes jalanan dapat dibubarkan karena berpotensi menimbulkan kerumunan.
Tidak bekerja tidak mendapat upah alias ‘no work no pay’ mewabah selama Covid-19 dan menggantikan paradigma ‘hak buruh timbul saat terjadi ikatan hubungan kerja’. ‘No work no pay’ muncul 1980-an dan menjadi dalih baru di masa Covid-19 untuk melucuti hak buruh dan keluarganya. Di era Covid-19 situasi perburuhan hanya menggambarkan satu hal: tingkat eksploitasi lebih kejam.
Meski serba sulit, sejumlah kampanye dan tindakan dilakukan. Dengan slogan ‘rakyat bantu rakyat’ gerakan sosial saling mendukung. Ketika para buruh kantoran bergantung pada pesanan di aplikasi, para buruh-pengemudi Ojol semakin dibutuhkan. Isu kekerasan dan pelecehan seksual serta pekerja rumah tangga merangsek di media sosial. Sektor garmen, tekstil dan sepatu menuntut tanggung jawab pemilik merek yang telah berkontribusi langsung terhadap pemburukan kondisi buruh.
Pengantar
Kehidupan mulai seperti dua tahun lalu. Angkutan umum, pasar tradisional, sekolah dan tempat wisata kembali ramai. Para pedagang kaki lima menghiasai trotoar jalan umum. Kemacetan melanda kota-kota besar. Pemerintah tidak bosen mengajak masyarakat melaksanakan vaksin, bahkan dibujuk dengan Sembako. Kampanye hidup bersih, mencuci tangan, mengindari kerumunan dan menjaga jarak terus dilakukan. Pemandangan yang relatif baru; orang-orang menggunakan masker, para penjual masker dan sanitasi tangan; klinik-klinik menjajakan harga beragam dari jenis-jenis tes reaksi Covid-19; media massa lebih mewanti-wanti varian baru virus korona ketimbang mewartakan jumlah orang yang terinfeksi dan meninggal dunia akibat Covid-19. April 2022, genap dua tahun wabah Covid-19, sejak diumumkan sebagai bencana nasional bukan alam.
Pemerintah Indonesia terhitung lambat dan setengah hati merespons wabah Covid-19 dibanding negara-negara lain. Jika negara-negara lain menempuh lockdown di Desember 2021 dan awal Januari 2020, Pemerintah Indonesia mengambil langkah pembatasan sosial di wilayah dan sektor terpilih.
Per 13 April 2020, Presiden Joko Widodo menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional. Penetapan dikukuhkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Pemerintah melihat wabah virus korona merupakan ancaman terhadap perekonomian nasional. Berbagai upaya dilakukan melalui realokasi anggaran dalam bentuk pemberian paket stimulus ekonomi dunia usaha dan jaring pengaman sosial berupa program bantuan sosial, program kartu prakerja dan subsidi upah.
Sialnya, penetapan pembatasan sosial menjelang Ramadan dan Idul Fitri. Di grup-grup media sosial, masalah ‘pembatasan sosial’ dengan mudah dimaknai pelarangan kegiatan ibadah bagi umat Islam. Sementara orang berkampanye tentang salat berjamaah di mesjid, di pemukiman miskin orang-orang kehilangan sebagian pendapatan, kehilangan pekerjaan, dan terancam mati karena terpapar virus korona di tempat kerja dan tidak dapat mengakses fasilitas kesehatan.
Keppres 12 menyebutkan, penanggulan bencana Covid-19 dilaksanakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Poin selanjutnya menegaskan bahwa kebijakan penangangan Covid-19 di daerah harus merujuk pada kebijakan pemerintah pusat. Setelah itu, muncul istilah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan berbagai peraturan setingkat menteri dan pemerintah daerah.
Setelah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) muncul idiom lain, seperti PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), New Normal dan PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional). Sekali lagi, penanganan Covid-19 dilihat sebagai ancaman bagi perekonomian bukan tentang layanan kesehatan. PSBB maupun PPKM mengatur hal yang sama: menutup semua kegiatan perkantoran dan industri tidak esensial, termasuk pusat perbelanjaan; pengetatan kapasitas kendaraan dan larangan makan di tempat bagi restoran dan rumah makan; pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, bekerja dan ibadah di rumah; larangan berkerumun dalam kegiatan sosial, kebudayaan dan keagamaan; dan pengaturan jarak serta pengurangan mobilitas barang dan orang.
Pemerintah menyadari bahwa pandemi Covid-19 merusak kinerja pasar konsumsi. Pemerintah merealokasi anggaran negara dengan memperbanyak Bantuan Sosial (Bansos), pada September 2020. Pertama, Bansos untuk 12 juta usaha mikro dan ultramikro. Kedua, Bansos Sembako untuk 10 juta program keluarga harapan (PKH). Ketiga, Bansos korban PHK, berupa sumbangan uang tunai Rp 600.000 per bulan bagi 13,8 juta buruh swasta bergaji di bawah Rp 5 juta. Keempat, pemerintah pun mempercepat pelaksanaan kartu prakerja. Program ini menyasar 5,6 juta orang buruh korban PHK dan warga negara usia di atas 18 tahun. Kelima, pemerintah mengeluarkan kebijakan Bantuan Subsidi Upah bagi buruh peserta BPJS dengan upah di atas Rp 3,5 juta per bulan.
Seperti biasa, penyaluran Bansos diwarnai dengan kritik: bantuan tidak tepat sasaran, kolusi penerima Bansos dan sekadar karitatif. Akhirnya, Menteri Sosial Juliari Batubara terjerat kasus korupsi Bansos.
Dapat dibandingkan, ketimbang menyelamatkan hak atas pendapatan dan pekerjaan yang layak dan memerhatikan layanan kesehatan, pemerintah justru memberikan keleluasaan bagi para pemilik usaha besar. Melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pemerintah memberikan berbagai insentif kepada pengusaha berupa subsidi bunga (Rp34,15 triliun), insentif pajak korporasi (Rp34,95 triliun), insentif pajak UMKM (Rp28,06 triliun), penjaminan kredit modal kerja (Rp6 triliun), dana restrukturisasi debitur (Rp35 triliun), penyertaan modal negara, talangan modal kerja untuk usaha BUMN. Dana stimulus ditambah kembali sebesar Rp 121,90 trilun. Termasuk dalam program PEN adalah pembelian vaksin Rp35,1 triluan dari APBN 2020 dan Rp13,9 triliun dari APBN 2021. Tentu saja, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 pada November 2020.
Sementara rakyat miskin harus menanggung beban pengeluaran baru berupa penyediaan air bersih, pembelian masker, makanan bergizi dan sanitasi tangan, Kementerian Ketenagakerjaan membolehkan THR dicicil atau ditunda dan upah minimum tidak mengalami kenaikan. Menurut LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta, tahun pertama pandemi korona sebanyak 7188 buruh di Jabodetabek dirampas haknya. Dengan dalih terimbas Covid-19 secara sewenang-wenang pengusaha memotong upah, memecat tanpa pesangon dan dirumahkan tanpa diupah. Menurut BPS, selama wabah Covid-19 kebutuhan rumah tangga melonjak 51 persen dan pendapatan terjun 70 persen.
Tulisan ini akan memotret kembali kejadian-kejadian perburuhan semasa dua tahun Covid-19 dan setahun pengesahan UU Cipta Kerja, sebagaimana akan diuraikan di bawah.1
1. Intro2. Kerja atau Kelaparan3. Kerja, Kerja, Pecat4. Upah: Dirampas Pengusaha, Negara dan Pinjol5. Menuntut Ganti Rugi Ke Buruh: Varian Baru Union Busting6. Wabah Korona, Virus Ciptaker, dan Percepatan Eksploitasi7. Meramaikan Serikat dengan Diskusi, Melawan FleksibilisasiDi Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota […]
1. Intro2. Kerja atau Kelaparan3. Kerja, Kerja, Pecat4. Upah: Dirampas Pengusaha, Negara dan Pinjol5. Menuntut Ganti Rugi Ke Buruh: Varian Baru Union Busting6. Wabah Korona, Virus Ciptaker, dan Percepatan Eksploitasi7. Meramaikan Serikat dengan Diskusi, Melawan FleksibilisasiBegitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di […]
1. Intro2. Kerja atau Kelaparan3. Kerja, Kerja, Pecat4. Upah: Dirampas Pengusaha, Negara dan Pinjol5. Menuntut Ganti Rugi Ke Buruh: Varian Baru Union Busting6. Wabah Korona, Virus Ciptaker, dan Percepatan Eksploitasi7. Meramaikan Serikat dengan Diskusi, Melawan FleksibilisasiProses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses […]