MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Buruh Harus Menjadi Bagian dari Gerakan Melawan Krisis Ekologi


Banjir Pandeglang, Banten, Maret 2022. Dokumentasi Heri A., 2022

Pada peringatan hari buruh internasional kali ini persoalan krisis ekologi sudah seharusnya dijadikan isu bersama. Di tahun ini dan tahun-tahun mendatang buruh akan menghadapi beban yang berlipat. UU Cipta Kerja tidak hanya mendorong perluasan fleksibilisasi, juga menciptakan jenis kerentanan lain. Buruh tidak hanya akan diperhadapkan dengan hitung-hitungan kebutuhan hidup layak, perampasan hak normatif dan kekerasan terhadap buruh perempuan, juga diintai oleh krisis ekologi.

Mungkin banyak di antara kita yang tidak sadar bahwa krisis ekologi sangat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, khususnya bagi buruh. Contoh konkret krisis ekologi adalah cuaca ekstrem dan tidak menentu: paginya panas tiba-tiba sorenya hujan deras sampai menyebabkan banjir. Selain mengganggu mobilitas dan produktivitas, hujan dan banjir, menimbulkan biaya tambahan yaitu kebutuhan untuk membeli jas hujan dan perawatan kendaraan sepeda motor.

Selain itu, cuaca ekstrem pun berpengaruh pada kondisi tubuh karena meningkatkan risiko sakit. Tentu, para buruh harus mengeluarkan kembali biaya tambahan untuk berobat atau sekadar membeli vitamin yang harganya cukup mahal jika dibandingkan dengan upah mereka per bulan. Padahal setiap bulannya upah buruh telah terkuras untuk menutup kebutuhan sehari-hari, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga.

Dampak lain dari krisis ekologi adalah penurunan kualitas dan kuantitas air, ketersediaan pangan hingga sampai kerugian tidak langsung, seperti menjadi korban bencana banjir, angin kencang, hujan es, longsor, dan lain-lain.

Krisis Ekologi Menambah Beban Buruh

Salah satu artikel Majalah Sedane berjudul “Gerakan Buruh dan Hak atas Air,” yang ditulis oleh Sofyan, Komalawati, Mukhlis dan KRuHA (2022) menjelaskan bahwa mayoritas buruh di wilayah Tangerang, Jakarta, Bekasi dan Kota Bandung hampir 56,25 persen menggantungkan kebutuhan sehari-harinya dari PDAM. Sekitar 43,75 persen menggunakan sumur air tanah, sebanyak 46,87 persen mengakses PDAM dan sumur air tanah dengan membeli air jerigen dan air galon untuk memenuhi kebutuhan air.

Selain itu mereka juga dihadapkan oleh semakin naiknya tarif jasa air yang tidak sejalan dengan peningkatan upah. Seiring waktu kualitas dan kuantitas air semakin menurun, mereka harus mengeluarkan biaya ekstra untuk mendapatkan air yang layak terutama untuk minum. Artinya untuk mendapatkan akses atas air sebagai hak dasar mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, ditambah beban penurunan kuantitas dan kualitas air karena degradasi lingkungan, menjadikan kehidupan buruh semakin rentan.

Kondisi di atas menggambarkan persoalan yang tengah dihadapi mayoritas masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di Pulau Jawa, khususnya kota-kota besar. Beberapa tren terkini menunjukkan jika krisis iklim meningkatkan kerentanan masyarakat atas akses terhadap air, yang mana musim kemarau yang lebih panjang dalam beberapa tahun terakhir ini telah menyebabkan kekeringan di beberapa daerah. Sementara itu Pulau Jawa sendiri hanya memiliki 10% dari total persediaan air nasional (Walton, 2019). Kondisi tersebut semakin diperparah dengan memburuknya kualitas sungai di Jawa, hampir 59 persen tercemar berat dan kualitasnya menurun (Antara, 27 Juli 2021). Ke depan masyarakat terutama para buruh akan menghadapi situasi yang disebut sebagai water scarcity atau kelangkaan air. Hal ini tentu menambah beban kehidupan buruh yang sehari-hari sudah rentan.

Persoalan lain yang akan dihadapi oleh buruh yakni bencana iklim, di mana perubahan iklim seperti meningkatnya suhu udara, hujan disertai badai, banjir hingga longsor akan mereka hadapi pada hari-hari ke depan. Merujuk pada studi ILO (2018) bahwa perubahan iklim berdampak pada mayoritas buruh di seluruh dunia, ILO memperkirakan sepanjang tahun 2000 sampai 2015, kurang lebih 23 juta buruh kehilangan penghidupan setiap tahunnya, karena meningkatnya bahaya lingkungan (natural hazard) yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Menurut ILO keadaan tersebut setara dengan 0,8 persen buruhan setahun, mengingat sekitar 2,8 miliar orang berusia 15 sampai 64 bekerja pada tahun tertentu. Bencana iklim telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan banyak kecelakaan industri, memperentan keselamatan buruh terutama mereka yang bekerja di luar ruangan dan mendorong hilangnya beberapa buruhan yang sangat bergantung pada alam. Selain itu perubahan iklim yang salah satu dampaknya adalah peningkatan suhu udara telah memicu stress yang berimplikasi pada penurunan produktivitas buruh terutama mereka yang bekerja di luar ruangan. Penurunan produktivitas buruh ini setara dengan jam kerja dari 80 juta buruhan penuh waktu pada tahun 2030 nanti, hal ini menunjukkan jika ada sekitar 2,2 persen dari total jam kerja dunia dapat hilang karena panas ekstrem (ILO, 2019).

Selain menyebabkan stress dan keamanan pada buruh, perubahan iklim juga memperentan kesehatan buruh. Merujuk pada catatan dari Occupational Medicine Forum (2019) menyebutkan bahwa buruh menjadi sangat rentan kesehatannya akibat perubahan iklim, meningkatnya suhu udara bercampur dengan polusi udara akan menurunkan kualitas udara yang tentu berakibat pada kesehatan buruh, di mana penyakit seputar pernafasan akan meningkat. Sementara Levy dan Roelofs (2019) dalam penelitiannya mengungkapkan jika perubahan iklim akan meningkatkan risiko kesehatan bagi buruh, terutama mereka yang berada di luar ruangan. Peningkatan resiko kesehatan buruh di antara lainnya adalah cedera yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja karena faktor cuaca ekstrem, lalu meningkatnya paparan penyakit menular karena perubahan iklim mendorong tumbuh suburnya patogen. Jika dikaitkan dengan tahun 2021-2022 ini adalah potensi munculnya wabah seperti COVID-19 di masa yang akan datang akan semakin besar peluangnya.

Tidak hanya di tempat kerja, kerentanan buruh juga akan semakin meningkat karena bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Wilayah-wilayah kawasan industri di sekitar Jakarta Utara contohnya menjadi langganan banjir, baik karena curah hujan tinggi maupun disebabkan oleh rob. Selain harus kehilangan akses atas air bersih, mereka juga harus menambah biaya untuk mengakses air bersih lebih dari sebelum adanya bencana. Selain itu mereka juga harus mengalami kerugian materil yang diakibatkan oleh banjir. Kondisi serupa juga dialami oleh para buruh yang berada di wilayah Surabaya Barat, mereka harus berjibaku dengan banjir ketika hujan deras datang menghampiri, rumah-rumah kontrakan mereka harus terendam. Kondisi tersebut juga menambah beban pengeluaran buruh untuk membersihkan atau mengganti perlengkapan rumah yang rusak. Belum lagi risiko kecelakaan karena banjir, karena rawan korsleting yang dapat mengakibatkan kesetrum.

Gerakan Buruh Harus Terlibat dalam Aksi Lingkungan

Semakin rentannya kehidupan para buruh di tengah himpitan krisis ekologi, sudah seharusnya mendorong munculnya kesadaran terkait pentingnya memperjuangkan keberlanjutan ekosistem ke depannya. Praktik perjuangan buruh baik dalam bersolidaritas sampai turut terlibat dalam gerakan lingkungan sudah banyak terjadi. Seperti solidaritas KPBI terhadap perjuangan warga Kendeng yang menolak pertambangan semen di wilayahnya (Buruh.co, 23 Maret 2017), hingga bersuara mengenai bahayanya UU Cipta Kerja pada klaster lingkungan. Menjadi sebuah praktik nyata bahwa gerakan buruh memang sudah seharusnya turut hadir dalam perjuangan melawan perusakan lingkungan hidup, karena paling tidak mereka juga akan terdampak.

Praktik perjuangan buruh dalam lingkungan hidup secara global sudah banyak dilakukan, salah satunya perjuangan buruh penyadap karet yang tergabung dalam The National Confederation of Agricultural Workers (Conferderação Nacional dos Trabalhadores na Agricultura ‘CONTAG’) sebuah organisasi yang diinisiasi oleh Chico Mendes. Selain memperjuangkan hak-haknya, serikat buruh penyadap karet ini juga berjuang melawan kehancuran lingkungan, yang saat itu hutan Amazon mengalami deforestasi habis-habisan akibat ulah korporasi (Mendes, 1992). Di Inggris sejak 2008 aktivis lingkungan dan serikat buruh bersama-sama mengkampanyekan terkait perubahan iklim, tidak hanya soal itu mereka juga mengampanyekan bahwa perubahan Iklim telah menguraikan secara rinci bagaimana berbagai sektor ekonomi dapat dirancang ulang menciptakan lapangan kerja dan mengurangi emisi (Neale, 2010).

Pada tahun 2009 terjadi pendudukan di pabrik komponen mobil di Pemasok Ford Visteon di Belfast dan Greater London, dan di pabrik turbin angin Vestas di Isle of Wight. Ini merupakan bagian dari gelombang kecil pemogokan global dan pendudukan untuk mempertahankan pekerjaan setelah krisis keuangan tahun 2008, yang diilhami oleh contoh-contoh seperti pendudukan Waterford Crystal di Irlandia. Tuntutan lingkungan hanya memainkan peran kecil dalam pendudukan di Visteon pada Maret 2009. Namun demikian, pendudukan tersebut menggambarkan daya tarik yang bertahan lama dari Lucas Plan dan kekhawatiran akan degradasi lingkungan yang berkembang di kalangan buruh (Bradley, Michael & Kimber, Charlie, 2009).

Terakhir pada 2019 lalu, aksi yang menyuarakan krisis iklim bertajuk Strike4Climate meluas hampir di seluruh dunia. Aksi yang digawangi oleh anak-anak muda yang rata-rata masih bersekolah melakukan bolos sekolah untuk turun ke jalan menyuarakan mengenai krisis iklim yang sedang mengancam bumi. Tidak hanya anak-anak muda, beberapa serikat buruh juga turut melakukan aksi serupa. The International Trade Union Confederation (ITUC) mendorong 200 juta anggotanya untuk turut tergabung dalam aksi iklim ini. Sementara di Australia 350.000 ribu anak muda yang melakukan aksi climate strike didukung oleh 33 serikat buruh (Sandev, 2019). Di Inggris Trade Union Congress (TUC) dalam rilis di websitenya juga menyerukan solidaritas dan turut mendukung gerakan anak muda yang tengah menyuarakan krisis iklim (TUC, 16 September 2019).

Di Indonesia ke depan gerakan buruh sudah saatnya mulai mengangkat persoalan krisis ekologi sebagai musuh bersama yang harus dihadapi. Di dalam sistem neoliberalisme krisis ekologi akan semakin masif dan dampaknya juga akan dirasakan oleh para buruh. Gerakan buruh harus mengambil bagian dalam gerakan lingkungan di Indonesia, berkolaborasi dengan kelompok-kelompok lingkungan dan anak muda serta komunitas lain yang tengah bersuara tentang krisis ekologi sebagai salah satu dampak yang disebabkan oleh kapitalisme. Selain menghisap para buruh dengan kerja upahan, sistem tersebut juga mengeksploitasi alam tanpa henti hingga mengakibatkan bencana, sebagaimana yang kita rasakan sekarang.


Referensi

Bradley, Michael &Kimber, Charlie. (2009). Will the Sparks Flare up?. International Socialism 124 (autumn 2009), Diakses dari https://isj.org.uk/interview-will-the-sparks-flare-up

Editor(s): attorney. (2019). The Occupational Medicine Forum is a JOEM Forum reviewed opinion piece and does not necessarily represent official ACOEM position. The Forum is intended for professionals and is not intended to provide medical or legal advice, including illness prevention, diagnosis or treatment, or regulatory compliance. Such advice should be obtained directly from a physician and/or an health “How Can Climate Change Impact the Workplace and Worker Health?” Part 3, Journal of Occupational and Environmental Medicine: October 2019 – Volume 61 – Issue 10 – p e427-e428 doi: 10.1097/JOM.0000000000001694

International Labour Office. (2018). The employment impact of climate change adaptation; Input Document for the G20 Climate Sustainability Working Group. Diakses dari https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—ed_emp/documents/publication/wcms_645572.pdf

International Labour Office; Marek Harsdorff; Mous. (2019). Working on A Warmer Planet; The Impact of Heat Stress on Labour Productivity and Decent Work. Research Department. Diakses dari https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—dgreports/—dcomm/—publ/documents/publication/wcms_711919.pdf

Levy, B. S., & Roelofs, C. (2019). Impacts of climate change on workers’ health and safety. In Oxford Research Encyclopedia of Global Public Health.

Mendes, Chico. (1992). The Defence of Life. Journal of Peasant Studies, volume 20, number 1.

Neale, Jonathan. (2014). One Million Climate Jobs, Tackling the Environmental and Economic Crises (Campaign Against Climate Change Trade Union Group).

Sandev, Miro. (2019). Unions Back Climate Strike for Jobs and Secure Future. Solidarity (17 October), Diakses dari  https://www.solidarity.net.au/climate-change/unions-back-climate-strike-for-jobs-and-secure-future/

Sofyan, Hery., Komalawati, Kokom., Mukhlis & KRuHA. (2022). Gerakan Buruh dan Hak Atas Air. Diakses dari https://majalahsedane.org/gerakan-buruh-dan-hak-atas-air-2/

Walton, Kate. (2019). In Java, the water is running out. Lowy Institute diakses dari https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/in-java-water-is-running-out#:~:text=Indonesia’s%20Ministry%20of%20Public%20Works,is%201600m3%20per%20year

Sumber Berita

https://www.antaranews.com/berita/2292590/hari-sungai-nasional-59-persen-sungai-di-indonesia-tercemar-berat

https://buruh.co/tolak-pabrik-semen-rembang-buruh-ini-ikut-cor-kaki/

https://www.tuc.org.uk/news/how-trade-unionists-can-support-youth-climate-strikes

Penulis

Wahyu Eka Styawan
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur