1 Mei 2025 siang hari. Hawa panas Jakarta sungguh berlebihan dan tidak biasa. Partisipan massa aksi sudah datang memenuhi gerbang pintu DPR. Beberapa dari mereka sedang berorasi dalam rangka merayakan Hari Buruh.
Dari poster yang saya dapati aksi massa memang sudah berlangsung dari jam 8.00 pagi. Diawali dengan aksi massa perempuan pekerja rumah tangga menuntut pembahasan RUU Pekerja Rumah Tangga untuk segera disahkan. Bagaimana tidak? Hingga sekarang usia perjuangan mereka mencapai 21 tahun. Namun seperti yang sudah-sudah janji dari pemerintah yang tak kunjung dipenuhi. Saya salut dengan kesabaran serta semangat mereka untuk datang lebih awal. Di situ saya merasa kalah telak karena datang lebih siang untuk merayakan Hari Buruh.
Di sekitar DPR RI saya melihat penjagaan sangat ketat. Beberapa aparat TNI-Polri bersiaga penuh. Di kantor Kementerian Lingkungan Hidup telah ada 8 bus Brimob, 3 bus Kodam, dan 1 mobil raisa atau pengurai massa. Itu baru yang terlihat, belum lagi yang terparkir di dalam gedung DPR dan di perkantoran sekitar.
Sementara itu di Tugu Monas, beberapa serikat buruh sedang merayakan Hari Buruh dengan berpesta pora menyambut kedatangan Presiden Prabowo. Sepertinya cukup menjelaskan mengapa penjagaan aksi yang berlebihan di gerbang DPR. Selain persiapan tameng, pentungan, water cannon, Brimob pun dilengkapi dengan senapan laras panjang. Penanganan demonstrasi semacam ini serasa persiapan di medan perang. TNI-Polri adalah institusi kekerasan dan tindakan kekerasan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari institusi tersebut.1
Di DPR RI para buruh datang dari berbagai daerah. Mereka menempuh jarak yang cukup jauh untuk tiba di tujuan. Beberapa kota di antaranya seperti Karawang, Majalengka, Subang, Sukabumi, Garut, Cianjur, Cirebon, Bekasi, Tangerang, Bogor serta kota-kota industri lainnya. Tentu saja semakin jauh jaraknya maka perjalanan semakin melelahkan menuju Ibukota, apa lagi sebelumnya mereka harus bekerja ataupun lembur sebelum menjadi bagian dari partisipan aksi massa.
Jam kerja panjang, wajib lembur, kondisi kerja yang buruk, upah tidak layak, ketidakpastian jaminan pekerjaan adalah alasan kuat mereka rela datang dari lokasi yang sangat jauh. Saya pun mewajarkan ratusan buruh memilih berteduh dan merebahkan badan di bawah pohon akibat teriknya mentari Jakarta dan jauhnya perjalanan. Seakan-akan tubuh mereka berbicara bahwa “kami bukan robot dan butuh istirahat sejenak”. Memang mobilisasi buruh dari daerah untuk pelaksanaan demonstrasi nasional membutuhkan energi besar apalagi dengan estimasi sekitar hampir menyentuh 2.000 orang. Jumlah tersebut bukanlah angka semata melainkan para buruh yang memiliki sejuta alasan untuk marah.
Pemandangan para buruh menggendong atau menggandeng anaknya di titik aksi massa juga tampak membuat bulu kuduk berdiri. Loh, bukannya tidak boleh membawa anak-anak untuk aksi massa? Daycare atau penitipan anak adalah suatu keistimewaan yang sulit dimiliki oleh kaum buruh.2 Survei yang dilakukan oleh Komite Hidup Layak di tahun 2024 menunjukan bahwa upah murah telah memaksa buruh terjerat utang untuk menambal kebutuhan harian.3 Salah satu komponen pengeluaran yang harus ditambal melalui utang adalah biaya perawatan anak. Jangankan daycare, untuk memenuhi gizi untuk anak seperti susu formula, buruh pun harus diganti dengan susu kental manis dengan kadar gula yang tinggi. Dengan situasi tersebut tidak ada pilihan lain selain menjaga anak mereka sendiri, hitung-hitung sekaligus mengajak anaknya jalan-jalan ke ibukota. Jadi mana yang tidak boleh? Menjaga anak atau membabi buta mengusir paksa para buruh beserta anak-anaknya dengan water canon, pentungan, dan bersenjatakan lengkap.
Benar, aksi buruh kemudian dibubarkan secara paksa oleh aparat tepatnya pada pukul 17.10 WIB dengan alasan ricuh dan tidak kondusif. Pada saat itu massa aksi sedang bersenang-senang menikmati musik yang dibawakan band The Jansen sewaktu memainkan lagu yang kedua. Aksi pada hari itu memang dimeriahkan oleh beberapa band di depan gedung DPR RI. Sebuah keabsurdan ketika massa aksi yang sedang berdendang, berjoget menikmati musik didefinisikan sebagai bentuk kericuhan. Di tengah guyuran water cannon, para soundman membereskan peralatan musik sembari bersiap-siap mundur. Massa aksi kemudian mundur, termasuk para ibu dan anak-anak sembari menyaksikan parade kekerasan tersebut. Bahkan terlihat seorang massa aksi membantu memanggul bass tanpa pengaman sembari lari mundur karena panik.
Pembubaran diwarnai dengan perburuan massa aksi secara membabi buta serta perampasan alat dokumentasi dan penangkapan. Termasuk menyerang paramedis yang tampak secara jelas mengenakan atribut medis hingga merampas kamera yang dikenakan. Padahal secara aturan sekalipun dalam kondisi perang antarnegara dilarang mengganggu kerja-kerja tenaga medis. Sebagaimana terlihat dalam reportase langsung yang dilakukan jurnalis kompas,4 pembatasan terhadap pers pun dilakukan. Pers yang ingin meliput proses tersebut diusir dari lokasi penangkapan dengan alasan yang tidak jelas. Di saat yang bersamaan, di kota Semarang seorang jurnalis Tempo mengalami pemukulan oleh aparat keamanan ketika melakukan peliputan Hari Buruh.5 Suatu perbuatan najis yang sama-sama dipraktikkan oleh IDF (Israel Defence Force) atau pasukan Israel selama membantai warga Palestina.
Penangkapan massa aksi secara sewenang-wenang, kekerasan, pemukulan dilakukan oleh aparat pada hari itu. Setidaknya sebanyak 19 massa aksi di Jakarta dan 18 massa aksi di Semarang menjadi korban penangkapan sewenang-wenang. Dari total penangkapan tersebut, satu orang di Jakarta ditetapkan statusnya sebagai tersangka dan 6 orang di Semarang. Sisanya dibebaskan, namun ini bukan karena kebaikan atau kesadaran dari aparat karena telah melakukan penangkapan tanpa prosedur. Tetapi upaya protes dan solidaritas dari masyarakat sipil lainnya yang mendatangi kantor kepolisian menuntut pembebasan massa aksi. Mereka menunggu di depan kantor polisi hingga tertidur di pelataran kantor kepolisian. Bagaimana tidak, lelah setelah mengawal aksi massa, direpresi dan dipukul mundur. Secara pribadi saya memberikan penghormatan sebesar-besarnya kepada mereka. Di antara mereka adalah massa aksi, serikat buruh hingga pengacara publik yang rela mewakafkan waktunya untuk menolong sesama.
Hal tersebut merupakan pengejawantahan dari poster-poster aksi pada hari itu: “kita semua adalah kelas buruh”. Sebuah slogan yang sangat ditakuti oleh penguasa dari dulu hingga sekarang. Kita bisa melihat ini sewaktu beberapa massa aksi datang menuju titik aksi. Massa yang menggunakan atribut serikat buruh tidak akan mengalami penggeledahan ketika tiba di lokasi. Sedangkan yang tidak, akan dilakukan penggeledahan tas ataupun barang lainnya yang dibawa sebelum menuju titik aksi. Diam-diam tindakan menggeledah dan tidak menggeledah adalah upaya pembelahan. Politik pembelahan itu seolah mengatakan bahwa anggota serikat buruh-lah yang berhak untuk berdemonstrasi. Di luar dari itu akan jadi kambing hitam, dicap sebagai perusuh atau hantu bernama Anarko. Orang-orang tersebut yang akan dianggap “mencederai makna hari buruh”, begitulah pernyataan beberapa serikat di Jawa Tengah.6 Kata tersebut pun muncul di Jakarta ketika kepolisian memberikan peringatan kepada massa aksi sewaktu memadamkan ban yang terbakar di depan gedung DPR melalui pengeras suara. Padahal siapapun memiliki hak dan kekhawatiran yang sama akan bobroknya sistem perburuhan yang berdampak kepada kita semua.
Pola pembelahan: buruh dan nonburuh berulang terjadi dalam perayaan Hari Buruh selama beberapa tahun ke belakang di Indonesia. Pada tahun 2019 misalnya, di Bandung beberapa massa aksi pun dipecah. Mereka tidak dapat bergabung dengan barisan serikat buruh karena dianggap perusuh. Mereka ditelanjangi di depan umum, dihajar, badannya dipilok, dibotakin paksa, dan direndahkan derajat kemanusiaannya. Ketika mereka diarak di jalan oleh aparat beberapa serikat buruh yang lewat meneriaki mereka dengan kata-kata, “Ngapain demo-demo rusuh sekolah aja yang benar”; “Tangkap aja pak memang pantas”. Rupanya sebelum aksi massa berjalan beberapa serikat buruh melakukan potong tumpeng bersama aparat keamanan. 7Kawan-kawan kita yang diperlakukan tidak manusiawi tersebut adalah anak para buruh atau calon buruh yang juga marah melihat orang tuanya diperas habis-habisan oleh manajemen pabrik. Enam tahun setelah peritiwa tersebut, kejadian yang sama kembali berulang. Dengan kata lain, membelah massa aksi dilakukan secara sistematis, dirawat dan dipertahankan.
Ini belum termasuk perayaan-perayaan seremonial hari buruh yang dilakukan pemerintah bersama dengan buruh. Kegiatan seperti memancing, senam, pembagian hadiah dilakukan di berbagai daerah8 dalam rangka mencegah buruh untuk turun ke jalan. Paranoid terhadap persatuan adalah memang nyata dan dihadang secara serius. Hari Buruh pada tahun ini memang beberapa orang kecewa terhadap serikat maupun buruh baik di Monas maupun tempat-tempat lainnya. Namun memusuhi mereka berarti kita sudah termakan umpan yang sudah disiapkan dari dulu. Sebaliknya beberapa kejadian pada hari buruh di tahun ini menunjukan bahwa kita memiliki kekuatan. Slogan “kita semua adalah kelas buruh” adalah ancaman bagi rezim hari ini dan sumber kekuatan kita hari ini. Tapi tidak bagi mereka yang sedang nikmat menjilat pantat kekuasaan dan menutup mata akan kekerasan disertai pelanggaran hak-hak sipil pada hari buruh tahun ini. Jadi siapa yang mencederai makna hari buruh?
Jika Anda menikmati membaca cerita ini, maka kami akan senang jika Anda membagikannya!