Juni 2022, beberapa media online memberitakan seorang perempuan bernama Yesi (22 tahun), bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Bengkulu Utara, disiksa oleh suami-isteri yang merupakan majikannya. Yesi disiksa berkali-kali sejak tiga bulan terakhir ia bekerja, hanya karena urusan sepele. Ia dipukul, disiram air panas dan air cabai, dijemur berjam-jam, hingga diikat dan disetrika. Tak hanya itu, upah Yesi selama bekerja juga tak dibayarkan. Yesi pun mendapat ancaman jika ia menceritakan perlakuan majikannya kepada orang lain. Ironisnya, salah satu majikannya seorang anggota polisi yang masih aktif.
Masih di bulan yang sama, Juni 2022. Sebagaimana dilansir kumparan.com (03/06/2022), seorang perempuan PRT berusia 19 tahun di Cengkareng, Jakarta Barat, diperkosa oleh majikannya sejak umur 16 tahun hinggal hamil. Selama bekerja, majikan tidak pernah memberikan upah korban. Setiap kali majikan melakukan kekerasan seksual, majikan selalu mengancam tidak akan diberi makan, jika menolak korban akan mendapatkan kekerasan fisik.
Kasus kekerasan terhadap PRT juga terjadi di Sleman, Yogyakarta. Seorang PRT bernama Irma (29) berkali-kali mendapatkan kekerasan dari majikannya yang merupakan pengusaha apotek. Irma mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya akibat dipukul dengan shower, kepalanya dibenturkan ke tembok, dan disiram air panas. Parahnya, setelah menyiksa, majikannya memaksa Irma untuk melukai dirinya sendiri, sama seperti yang dilakukan sang majikan. Kemudian majikan merekam video sebagai alibi. Videonya ditunjukkan ke tetangga dan memfitnah Irma mengalami gangguan jiwa. Selain disiksa, upah Irma yang dijanjikan dipotong pada dua bulan pertama ia bekerja. Bulan berikutnya, upah Irma tidak sama sekali dibayarkan.
Cerita lain yang lebih tragis dialami Is, seorang anak perempuan berusia 13 tahun di Makassar. Is yang masih duduk di bangku SMP terpaksa bekerja sebagai PRT karena ketidakmampuan ekonomi keluarga. Pilihannya menjadi PRT untuk membantu perekonomian keluarga malah berujung pada peristiwa naas. Is diperkosa oleh majikannya berkali-kali sepanjang November 2021 hingga Febuari 2022. Is terus dipaksa dan dijanjikan akan dibiayai pendidikannya, termasuk membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Diketahui majikannya seorang perwira menengah polisi perairan dan udara di Kota makassar.
Empat kasus di atas merupakan peristiwa kekerasan dan pelecehan terhadap PRT yang tertangkap media sepanjang 2022. Kasus yang dialami keempat PRT tersebut menggambarkan betapa rentan dan minimnya perlindungan terhadap PRT di Indonesia. Dalam banyak kasus, kekerasan dan pelecehan yang dialami PRT bersamaan dengan cerita tentang pelanggaran hak atas upah. Mulai dari pemotongan upah, hingga upah tak dibayarkan sama sekali oleh sang majikan. Padahal pilihan menjadi PRT, agar mereka memperoleh upah untuk keberlangsungan hidup yang lebih layak bagi dirinya dan keluarga.
Berbagai kasus tak berkemanusiaan tak henti-hentinya dialami PRT dari tahun ke tahun. Posisi PRT yang lemah secara sosial karena kemiskinannya, membuat mereka rentan untuk dieksploitasi dan cenderung dianggap sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat. Mulai dari upah murah, jam kerja panjang, tak ada cuti dan hari libur, tidak memiliki jaminan sosial, hingga diperlakukan secara tidak manusiawi oleh majikan. Sebagaimana keempat kasus di atas.
Persepsi tentang pekerjaan rumah tangga atau domestik dianggap sebagai pekerjaan yang tak menghasilkan barang atau komoditas tertentu, membuat PRT tidak diakui sebagai pekerja. Padahal, kerja-kerja domestik sebagaimana dilakukan PRT merupakan kerja reproduksi yang berpengaruh pada kerja-kerja produksi. Kerja reproduksi yang dimaksud adalah kerja perawatan seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah dan mengasuh anak.
Sebagai misal seorang manajer pabrik tidak akan bisa beristirahat dengan tenang jika keadaan rumahnya kotor dan berantakan. Sementara seluruh waktu sang manajer banyak dihabiskan untuk mengurus pekerjaan di pabrik yang katanya produktif. Waktu istirahat yang nyaman bagi seorang manajer pabrik penting bagi pekerjaan di pabrik, agar ia dapat berangkat ke pabrik esok hari dengan segar bugar. Dengan demikian, kerja-kerja domestik PRT tak ubahnya kerja yang dilakukan oleh sang majikan yang bekerja di pabrik. Keduanya sama-sama penting dan keduanya sama-sama pekerja. Hanya saja, jika pekerjaan sang manajer berfokus pada pekerjaan produksi di pabrik, sementara PRT berfokus pada pekerjaan di dalam rumah seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci. Semua pekerjaan ini mendukung sang manajer untuk bekerja dengan baik di pabrik.
Pembagian kerja produksi (di luar rumah) dan kerja reproduksi (kerja rumah tangga) ini kemudian menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan. Status PRT perempuan menjadi rendah dan dianggap tidak memiliki kontribusi apapun terhadap sistem sosial dan perekonomian. Kerja reproduksi PRT inipun bahkan hanya dianggap pelengkap kerja produksi laki-laki. Padahal kerja reproduksi juga memiliki nilai ekonomi yaitu merawat tenaga kerja agar tetap produktif.
***
Di Balik Kesuksesan Para Majikan Ada Keringat PRT
Perubahan sistem ekonomi politik dari penguasaan tanah oleh raja (feodalisme) ke sistem ekonomi yang mengandalkan kerja upahan (kapitalisme) membagi dua wilayah kerja. Kerja produksi dan kerja reproduksi. Secara sederhana kerja produksi ditujukan untuk kerja yang menciptakan komoditas tertentu yang memiliki nilai ekonomi. Sebagai misal buruh pabrik sepatu akan menghasilkan ribuan pasang sepatu dalam aktifitas kerjanya dianggap sebagai kerja produktif. Sementara kerja reproduksi ditujukan pada kerja-kerja domestik dan perawatan yang dikonstruksikan tidak memiliki nilai ekonomi bahkan tidak dianggap sebagai kerja.
Konsekuensi dari pemisahan kerja seperti ini menurut Silvia Federici –seorang feminis asal Italia– berdampak pada perempuan. Ia menyebutnya dengan pendisiplinan tubuh perempuan. Perempuan diatur dan dikontrol sehingga hanya terlibat pada kerja-kerja yang bersifat reproduktif dan bersifat domestik yang tidak dibayar. Padahal, kerja-kerja reproduktif seperti mengurus anak, memasak, mencuci dan sebagainya menempati posisi yang amat penting bagi akumulasi kapital. Meskipun pada perkembangannya menciptakan apa yang disebut dengan ‘feminisasi kerja’ atau terbukanya pasar kerja perempuan. Sayangnya pasar kerja bagi perempuan masih memposisikan perempuan dalam situasi kerentanan, mudah dieksploitasi karena konstruksi patriarki yang sudah mengakar. Mereka hampir tidak memiliki akses terhadap upah yang adil, dianggap sebagai pelengkap ekonomi keluarga dan tidak terampil. Hal ini menjelaskan kenapa PRT yang sangat identik dengan perempuan dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat.
Jika dulu PRT hanya bekerja di rumah-rumah para majikan kaya, kini kelas menengah perkotaan juga menggunakan PRT untuk mengerjakan urusan domestik. Mereka datang dari kampung-kampung yang dimiskinkan oleh praktik-praktik ekonomi yang cenderung ekstraktif dan mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi. Sementara di kota, orang hampir tak punya waktu mengerjakan urusan domestik karena kesibukannya bekerja di pabrik, kantor, dan lain sebagainya. Padatnya pekerjaan di dalam rumah dan di luar rumah membuat menciptakan pasar kerja bagi PRT di perkotaan. Sayangnya sebagian besar kelas menengah perkotaan mempekerjakan PRT dengan upah murah, jam kerja panjang, tanpa libur, dan sedikit majikan yang memikirkan jaminan sosial untuk PRT. Pelanggaran hak kerja ini sering terjadi pada PRT perempuan karena melekatnya sistem patriarki di masyarakat. Kerja reproduksi PRT menjadi jauh dari kata layak dan berharga, kehilangan kesempatan untuk hidup sejahtera dan bermartabat. Padahal dibalik kesuksesan para majikan di ruang publik ada keringat PRT yang mengalir setiap detik.
***
Kerja Layak dan Kebebasan Berserikat untuk PRT
Kompleksitas persoalan PRT menjadi hal penting yang perlu untuk dipecahkan. Mulai dari konteks persoalan perempuan, seksualitas, hingga hak asasi manusia. Semua itu muncul dalam bentuk tidak adanya kontrak kerja, upah kecil, jam kerja yang panjang dan tidak menentu, beban kerja yang tinggi, libur dan cuti yang tidak diperoleh, larangan berorganisasi, tidak tersedia jaminan sosial, bahkan rentan eksploitasi dan kekerasan baik dari majikan maupun agen penyalur.
Pelanggaran hak-hak PRT yang disebabkan tidak adanya perlindungan hukum, membuat PRT yang kebanyakan perempuan menjadi kelompok sangat rentan. Mereka selalu dimiskinkan, dan terpinggirkan karena praktik illegal yang tak berprikemanusiaan. Bahkan berpotensi pada hilangnya kemerdekaan individu karena perakuan-perlakuan kekerasan sering menimpa PRT. Semua itu tentu saja berdampak pada kesehatan fisik dan mental PRT. Padahal, kerja-kerja PRT memiliki peran penting dalam mendukung perekonomian dan keseimbangan fungsi keluarga. Karenanya, memberikan perlindungan dan jaminan hukum terhadap PRT menjadi sebuah keharusan.
Hasil survey JALA PRT 2019 menunjukkan, 99,9% PRT tak memiliki jaminan sosial, 0,1% tak memiliki jamsostek. Survey yang sama juga dilakukan pada 2020, sebanyak 82% PRT yang memiliki program bantuan. Apabila PRT sakit mereka memilih untuk tidak berobat jika terpaksa harus berobat mereka harus meminjam uang ke majikan, teman, rentenir atau pinjaman online. Oleh karena itu perlu memperhatikan kesehatan fisik dan psikis PRT, terutama PRT yang tinggal bersama majikan yang rentan dengan jam kerja panjang. Minimnya jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan pada PRT tentu saja berdampak terhadap hidup dan kerja layak mereka.
Seperti diketahui bahwa relasi kerja antara PRT dengan majikan sangat tidak seimbang. Terdapat relasi kuasa yang lebih menguntungkan mengarah pada majikan. Kebutuhan akan pekerjaan dan menghidupi kebutuhan keluarga menjadikan PRT rela untuk diupah rendah tanpa kontrak kerja. sebagai pemilik modal, majikan ataupun agen penyalur meraup keuntungan akan hal tersebut dan berdampak pada banyaknya pelanggaran atas hak PRT. Sebagai PRT dengan posisi daya tawar rendah, membuat sebagian besar PRT tidak mampu untuk membela hak-hak hidupnya. Ditambah dengan label status sosial rendah dari masyarakat, membuat ruang lingkup kerja PRT dianggap sebagai kodrat perempuan dalam pekerjaan rumah tangga yang tidak memerlukan keahlian.
Sebagai pekerja, tentu saja PRT membutuhkan keahlian dan ketrampilan sama halnya dengan pekerjaan lain. Namun nyatanya, banyak para majikan memandang sebelah mata pekerjaan sebagai PRT. Apabila diperhatikan secara jeli, para pemberi kerja justru yang tidak dapat melakukan pekerjaan itu sendiri tanpa bantuan PRT. Hal tersebut membuktikan bahwa PRT memiliki peran yang krusial dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu, dukungan pemerintah dalam memberikan tempat bagi PRT untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan dapat meningkatkan daya tawar PRT. Selain itu, pelatihan-pelatihan mendorong PRT berserikat juga tak kalah penting. Dengan berserikat, mempermudah PRT untuk memperjuangkan hak-hak kerja layak dan perlindungan secara hukum. Hal ini yang mendorong JALA PRT beserta lembaga pendukung lainnya menginisisasikan terbentuknya Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) di beberapa kota; SPRT Sapulidi Jakarta, Organisasi Pekerja Rumah Tangga (Operata) Panongan Tangerang, Operata Pondok Cabe Tangerang Selatan, Operata Sedap Malan Jakarta Selatan, Operata Kemoceng Depok, SPRT Paraikatte Makassar, SPRT Merdeka Semarang, SPRT Damar Lampung, dan SPRT Tunas Mulia Yogyakarta.
Berbagai macam kegiatan dalam Serikat PRT dilakukan guna membangun kesadaran dan berpikir kritis bagi PRT. Bersama JALA PRT, SPRT dibentuk bertujuan agar PRT memahami segala bentuk hak kerja dan perlindungan hukum, serta kerja layak bagi PRT. Sayangnya pengorganisasian PRT tidak didukung dengan sistem yang membebaskan PRT untuk berserikat. Kendala pengorganisiran PRT disebabkan karena sebagian besar PRT tinggal bersama majikan yang tak bebas untuk ke luar rumah karena jam kerja mereka panjang lebih dari 12 jam. Belum lagi ditambah dengan cerita larangan dari majikan untuk berserikat sehingga PRT takut untuk bergabung.
Rentannya ruang lingkup kerja PRT tentu saja perlu untuk diperhatikan. Meskipun telah ada Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, tetap saja pemenuhan hak PRT tidak selengkap UU Ketenagakerjaan. Selain itu, penerapan Permenaker tersebut nyatanya jauh dari keadilan. Oleh karena itu, tuntutan mendesak untuk segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menjadi penting untuk kesejahteraan PRT. Tak hanya itu PRT namun juga pemberi kerja dan perekonomian Negara.
Cerita empat kasus kekerasan PRT di awal tulisan ini tentu saja harus diselesaikan. Pelakunya dihukum sebagaimana hukum yang berlaku. Namun, dengan memberikan hukuman setimpal kepada majikan tidak menjamin tindakan kekerasan yang sama akan berakhir. Karena persoalan utama dari PRT bukanlah menghukum majikan, tetapi karena tidak adanya perlindungan yang mengatur hubungan kerja yang setara antara PRT dan majikan yang mengikat secara hukum.
Kaum Sarinah, begitulah orang-orang yang memuliakan kelompok Pekerja Rumah Tangga (PRT) menyebutnya. Diambil dan dipopulerkan pertama kali oleh Presiden Sukarno dari kisah perempuan bernama Sarinah, yang bekerja memasak, mengasuh, merawat rumahnya. ‘Sarinah’ menggambarkan bagaimana PRT berkontribusi besar terhadap kerja-kerja reproduksi sosial. Sayangnya, kelompok ini secara historis tidak pernah diakui sebagai pekerja. Pengakuan PRT sebagai pekerja […]