MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Serikat Buruh: Perlawanan, Dilemahkan dan Perpecahan

Judul Buku     : Gerakan Buruh Indonesia: Perlawanan dan Fragmentasi

Penulis           : DR. AF. Sigit Rochadi, M.Si.

Editor             : Muhammad Rizal Rumra

Halaman       : x + 296 halaman

Cetakan         : Pertama

Tahun             : 2020

Penerbit         : Bumi Aksara

***

Buku ini menceritakan pembentukan, persatuan dan perpecahan serikat buruh. Dari masa kolonial hingga era reformasi. Buruh menyusun perlawanan dengan membentuk serikat buruh. Setelah berserikat dan melakukan perlawanan terjadi perpecahan. Di tengah kepingan perpecahan itu serikat-serikat buruh membangun persatuan. Persatuan yang diupayakan dengan setengah payah kemudian mengalami perpecahan lagi. Tapi perlawanan buruh tidak berhenti. Serikat buruh bangkit dan melawan.

Perlawanan serikat buruh tidak henti walaupun rezim terus berganti. Perlawanan tetap dikobarkan. Pemerintah dengan banyak cara melemahkan gerakan buruh. Melalui buku ini penulis mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong perpecahan di serikat buruh.

Kelebihan buku ini karena ditulis oleh orang yang bertahun-tahun berkecimpung di dunia perburuhan. Disertai studi dokumentasi dan wawancara mendalam dengan aktor-aktor penting di serikat buruh periode 1980-an. Penulis berhasil mewawancarai tokoh gerakan buruh di era Soeharto yang terlibat dalam pembentukan serikat buruh di era tersebut dan menjadi pendukung rezim. Uniknya, hampir seluruh tokoh tersebut mengakui bahwa masa jaya serikat buruh hanya ada di era 1950-an. Bagian ini dipaparkan dalam Bab 5 dalam subjudul ‘Romantisme Politik’.

Bagi yang hendak belajar keserikatburuhan kadang mengalami kebingungan dengan ratusan dan singkatan nama dan warna bendera. Nyaris sulit membedakan antara satu serikat buruh dengan serikat buruh lain. Untuk melihat perbedaan-perbedaan tersebut, buku ini menyediakan informasi tersebut. Bahkan, ada bagan untuk mempermudah melihat silsilah kemunculan sebuah serikat buruh. Buku ini menyediakan informasi lengkap serikat buruh di akhir 1990-an hingga 2019: dari aktor yang terlibat, sejarah pembentukan, nama-nama hingga singkatan serikat buruh.

Bagi yang penasaran; mengapa ratusan serikat buruh yang membawa tuntutan sama tapi sulit membangun persatuan; atau slogan persatuan kerap dengungkan tapi perpecahan kerap terjadi. Buku ini membantu menjawab persoalan-persoalan tersebut.

Sigit Rochadi, penulis buku ini, bergaul dengan buruh sejak 1970-an di Klaten. Pada 1980-an, ia pun hidup bersama buruh di bantaran sungai Ciliwung, Cawang Jakarta Timur. Tidak sekadar itu. Ia pun melengkapi interaksinya dengan buruh, dengan belajar lebih terstruktur. Sigit menamatkan pendidikan sarjana ilmu politik di Universitas Nasional, menyelesaikan pendidikan magister di Universitas Gadjah Mada dan menamatkan program doktor Ilmu Sosial di Universitas Airlangga. Secara teori dan praktik penulis buku ini terbilang mumpuni menorehkan karyanya tentang dinamika gerakan serikat buruh di Indonesia.

Buku ini merupakan desertasi Sigit Rochadi yang diedarkan dalam bahasa Indonesia. “Buku ini terdiri dari 6 (enam) bab, bab satu dan bab enam ditulis khusus untuk penerbitan buku ini. Sedangkan bab 2, 3, 4 dan 5 adalah isi yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan untuk penerbitan buku,” kata penulis di halaman vi.

Melalui karya doktoralnya, Sigit menjelaskan pembentukan, perlawanan dan perpecahan serikat buruh dari pra-Kemerdekaan hingga masa Reformasi dalam konteks kebijakan negara. Dari penjelasan tersebut, simpulan tentang persatuan dan perpecahan serikat buruh terdapat dalam Bab 6 halaman 254-259.

Pertama, gerakan buruh mudah mengalami fragmentasi. Secara inheren serikat buruh mudah pecah karena alasan ideologis, soal kekuasaan hingga keuntungan finansial. Kedua, watak politik dari gerakan. Sejak era Kemerdekaan, serikat buruh sulit menyatukan kekuatan dan cenderung berpolitik berdasar kepentingan para pemimpinnya. Ketiga, tetap kuatnya gerakan buruh yang menggunakan agama sebagai basis. Faktor basis keagamaan pun kian menyekat buruh, bahkan sesama serikat buruh berbasis agama akan mengalami kesulitan mencari persamaan. Keempat, lemahnya gerakan buruh yang berbasis lapangan usaha atau lapangan pekerjaan. Poin ini menjelaskan mengenai jenis industri, kecenderungan isu serikat buruh dan kemudahan melakukan pemutusan hubungan kerja kepada buruh. Kelima, gerakan buruh di Indonesia senantiasa menghadapi kekerasan oleh kekuatan dominan. Sejak zaman Kolonial hingga Reformasi aktivis serikat buruh senantiasa menghadapi penangkapan hingga pembubaran. Keenam, peran sentral aktivis di luar buruh. Peranan aktivis luar serikat buruh kerap memperkeruh persatuan serikat buruh.

***

Berserikat adalah melawan

Di Bab 1 dan Bab 2, penulis menceritakan mengenai sejarah pembentukan serikat buruh di zaman penjajahan. Penekanan pembentukan serikat buruh dimulai ketika terjadi interaksi antara kaum terdidik dengan buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan asing dan munculnya serikat buruh yang dibentuk oleh buruh. Beberapa nama serikat buruh awal dapat disebutkan adalah Indisch Onderwijzers Genootschap (NIOG) Suikerbond, Culturbond dan Handelsbland. Tentu saja, nama VSTP (Vereeniging Van Spoor-En Tramweg Personeel) dan PFB (Personeel Fabriek Bond), sulit dilepaskan dari pelopor pembentukan serikat buruh oleh orang-orang pribumi.

Upaya persatuan dilakukan melalui PKBT (Perkumpulan Buruh dan Tani). PKBT adalah salah upaya persatuan dan tani dengan isu buruh dan tani. Usianya tidak berlangsung lama. Perpecahan dalam PKBT, dipengaruhi oleh perdebatan ideologi di antara para pemimpin serikat buruh yang mencerminkan perpecahan di tubuh SI (Sarekat Islam). Nama-nama yang berpengaruh dan mewakili perdebatan tentang perlawanan dan pembentukan serikat buruh di periode ini di antaranya Semoen, Soerjopranoto,Sosrokardono, Haji Misbach, Agus salim, Abdul Moeis dan Henk Sneevlit. 

Eksplorasi selanjutnya adalah pembentukan serikat buruh di era Kemerdekaan. Kemudian upaya unifikasi serikat dalam SOBSI (Sentral Organisasi Serikat Buruh Indonesia), pada 1947.

SOBSI adalah gabungan dari GSBV (Gabungan Serikat Buruh Vertikal) dan GASBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia) yang bersifat konfederasi. Zaman dulu disebutnya vakcentral. SOBSI memayungi 34 federasi serikat buruh. SOBSI sangat gencar memperjuangkan hak-hak para anggotanya dan menolak kembalinya modal asing.

Salah satu federasi terbesar SOBSI adalah Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia). Salah satu bentuk perlawanan Sarbupri dan kerap dimenangkan adalah kenaikan upah dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik asing. Metode perlawanan Sarbupri sangat variatif dari memperlambat jam kerja, mogok kerja dan pendudukan perkebunan. Ekplorasi selanjutnya, penulis menceritakan tentang keadaan keserikatburuhan di tahun 1950-an. Serikat buruh terpecah dalam ‘politik aliran’ ketika partai-partai politik mendirikan secara langsung serikat buruh. Pada akhirnya, serikat buruh pun terpecah dalam perbedaan ideologi dan afiliasi politik ketika ramai-ramai pendirian partai politik.

***

Berserikat di zaman ketat

Di Bab 3, Bab 4 dan Bab 5, penulis meletakan pembentukan serikat buruh dalam konteks perubahan ekonomi dan politik Soeharto. Kemudian melihat mekanisme-mekanisme negara mengendalikan gerakan buruh melalui SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Penulis mengeksplorasi pembentukan dan perlawanan serikat buruh yang relatif dinamis adalah di penghujung kekuasaan Soeharto.

Setelah pembumihangusan SOBSI dan seluruh simpatisannya, periode pertama penyatuan serikat buruh dalam MPBI (Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia) dari 1969 hingga 1972. Di antara perdebatan yang muncul adalah tentang kemandirian serikat buruh, perlu-tidaknya serikat buruh berpolitik, tentang pemaknaan hubungan industrial dan bangunan serikat buruh berdasarkan lapangan pekerjaan atau unitaris.

Periode selanjutnya adalah unifikasi serikat buruh dalam FBSI (Federasi Serikat Seluruh Indonesia), pada 1973 hingga 1984. Sejak 1985, seluruh buruh disatukan di bawah payung SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Setelah itu, SPSI menjadi alat kontrol gerakan buruh dengan mengubah istilah buruh menjadi pekerja, larangan pemogokan, harus mendukung kebijakan negara, campur tangan tentara dalam kasus perburuhan, dan sebagainya.

Di bagian-bagian tersebut pula kita akan menemukan pembentukan dan perlawanan serikat buruh di zaman yang sangat kejam. Di tengah tekanan negara yang sangat kuat dan kesengsaraan buruh yang meluas, serikat buruh yang seumur jagung pun mengalami perpecahan.

Di awal 1990-an, gerakan buruh kembali muncul. Ada yang dibentuk oleh koperasi, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), aktivis mahasiswa, grup teater dan paguyuban asal daerah. SBMSK (Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan) merupakan salah satu tonggak kepenting perlawanan buruh di zaman Soeharto. Serikat buruh tersebut dibentuk di Solo Jawa Tengah. Meskipun kekejaman Soeharto meningkat dan kesengsaraan buruh meluas, SBMSK mengalami perpecahan. Dari SBMSK, hadirlah SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia). Kemudian lahir pula PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia). Setelah dibubarkan, PPBI muncul kembali dengan nama FNPBI (Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia).

Di aras lain, para tokoh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) mendorong kelahiran PPMI (Persatuan Pekerja Muslim Indonesia), di penghujung 1990-an. Dari  tokoh-tokoh ICMI lahirlah, PPMI, PPMI 98, Gaspermindo (Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia) dan Gasbumi (Gabungan Serikat Buruh Muslim Indonesia). Perpecahan serikat buruh muncul di akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Perdebatan di periode ini adalah tentang perlu-tidaknya serikat buruh mendirikan partai politik; dan perlu tidaknya serikat buruh mendukung partai politik. Sementara SBSI mendorong kemunculan PBSD (Partai Buruh Sosial Demokrat). Sedangkan FNPBI mendorong PRD terlibat dalam kontestasi Pemilu 1999, sementara beberapa tokoh lain melihat perlunya mendukung PDI P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).

**

Berserikat di zaman sulit

Sekilas isu perburuhan tidak mengalami perubahan: Upah lagi! PHK lagi! Pecah lagi! Namun, amatan lebih gerakan buruh begitu dinamis. Perlawanan berlangsung. Persatuan terus diupayakan. Melalui buku ini, Sigit Rochadi, merinci dengan baik berbagai perpecahan di tubuh serikat buruh dan upaya-upaya persatuan serikat buruh.

Seperti diperlihatkan dalam serikat buruh sendiri, buku ini pun tampak lebih mencerminkan dinamika serikat buruh manufaktur yang berpusat di Jakarta. Memang tidak mudah mendapat informasi tentang gerakan buruh di luar Pulau Jawa, terutama di sektor pertambangan dan perkebunan. Tampaknya, dua isu tersebut akan menjadi perhatian para peneliti lain.

Kadang mengikuti isu perburuhan melalui media massa memerlukan konfirmasi berulang. Hal ini setidaknya di paragraf berikut, “Di era Jokowi dengan kebijakan pengupahan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2015, kembali mempersatukan buruh dan membentuk Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) yang bertugas menyiapkan Partai Buruh untuk ikut berlaga pada Pemilu 2019.” Pernyataan tersebut tentu saja benar. Karena memang serikat buruh menyiapkan sebuah persatuan luas untuk menolak PP 78. Namun predikat dan keterangannya salah.

Untuk merespons penolakan PP 78 serikat buruh membangun persatuan. Tapi yang dibentuk adalah KAU GBI (Komite Aksi Upah Gerakan Buruh Indonesia). Sedangkan MPBI dibentuk pada 1 Mei 2012 untuk mengampanyekan penolakan outsourcing dan upah murah (Hostum). Latar pendirian MPBI karena karena serikat buruh merasa berhasil dengan isu jaminan sosial melalui KAJS (Komite Aksi Jaminan Sosial). Di periode ini, wacana buruh go politik sebatas menitipkan kader buruh ke partai politk yang lebih mapan. MPBI kemudian tidak berlangsung lama. Muncullah berbagai nama aliansi seperti KNGB (Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh) dan Gebrak (Gerakan Buruh Bersama Rakyat). Setelah itu, muncul rencana pembentukan Partai Buruh melalui proses pembentukan RRI (Rumah Rakyat Indonesia) dan ORI (Organisasi Rakyat Indonesia), pada 2016. Setelah melalui proses yang cukup serius, pada akhirnya ide membentuk partai buruh adalah melanjutkan partai buruh yang dibentuk Mukhtar Pakpahan.

Seperti teks-teks buku sejarah lainnya, di buku ini, akan ditemukan pembagian serikat buruh dalam garis ideologi Islam, Nasionalisme dan Sosialisme. Tesis pembelahan tersebut sebenarnya sudah cukup lama ditinggalkan oleh para sejarawan yang menggunakan pendekatan oral history. Tesis pembelahan ideologi, sebenarnya, diwariskan oleh pejabat Hindia Belanda Petrus Blumberg, untuk memecah dan mengontrol perlawanan rakyat (Siraishi, 1997). Selama ini jarang sekali akademisi maupun peneliti Indonesia menulis secara mendalam tentang perburuhan di Indonesia yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Umumnya, tulisan tentang perburuhan sifatnya respons terhadap peristiwa tertentu. Sekalinya kajian mendalam tentang perburuhan Indonesia ditulis dalam bahasa Inggris baik oleh peneliti dalam negeri maupun luar negeri. Padahal, tidak semua peneliti perburuhan atau pengurus serikat buruh memiliki akses yang sama terhadap sumber-sumber perburuhan. Pada akhirnya, kontribusi intelektual perburuhan sekadar meramaikan perdebatan di jurnal internasional.