MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Jalan Terjal Mencari Keadilan

Image credit: Louis Roe

Sore yang cerah, angin yang semilir, gemerisik suara dedaunan menemani setiap langkah kakiku Di setiap putaran, beberapa ekor kucing gembul tampak rebah bersantai di bawah pohon yang rindang. Taman ini dikenal ramah dengan binatang berbulu itu, di kuping mereka tampak terpotong sedikit sebagai tanda telah disteril. Bila jam 16:00 WIB tiba, seorang perempuan akan meletakkan beberapa piring berisi makanan basah bercampur dry food di setiap sudut taman. Tak perlu waktu lama, beramai – ramai binatang berbulu akan menyantap dengan lahap tanpa berebut, tak jarang mereka antre. Cukup manis bukan? bahkan binatang pun bisa hidup teratur saat perut terisi.

Setelah 5 putaran mengelilingi taman yang terletak di Kelapa Gading itu, aku berhenti sejenak dan menatap jam tangan di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:30 WIB. Sambil mengusir lelah dan haus, kuteguk sebotol air minum. Kusapu pandangan ke sekeliling taman mencari sosok yang kukenal, namun lama tak bersua.

Namanya, Ika Ching, kami seusia, menghabiskan masa pendidikan yang sama di bangku kuliah, di sebuah  universitas swasta di Yogyakarta. Kabar tentangnya tak banyak kudengar setelah sekian lama kami lulus. Mungkin saja karena kami menempuh jalan yang berbeda untuk bertahan hidup. Beberapa kali menghadiri reuni alumni di Jakarta, tak kulihat ia hadir atau sekedar mendengar kabar tentangnya pun tidak. Namun, selang 16 tahun, tiba – tiba aku menerima pesan darinya di inbox FB. Singkat cerita, Ika ingin bertemu dan bercerita tentang persoalan yang kini dihadapi.

Tak lama, kulihat sosoknya memasuki gerbang taman, peluh keringat memenuhi kening dan wajahnya. Sore itu ia mengenakan kaos oblong berwarna biru muda yang basah dengan keringat, berpadu dengan celana jeans biru muda. Rasa bersalah menyelimuti diri saat kutahu ia berjalan kaki dari halte busway Sunter Kelapa Gading ke Taman Jogging 1.

“Mengapa jalan kaki? Kan jauh” tanya ku sesaat setelah kami duduk di sebuah warung, di dalam taman

“Aku nggak ada uang Di, kukira dekat, ternyata jauh.”

“Lah jauh dong”  Tak berapa lama kuraba saku dan dompetku, juga tak ada selembar uang pun untuk sekedar membelikan temanku ini sebotol minuman. Akhirnya, kumintakan segelas air putih biasa sebagai penghilang lelah.

Tak terasa, waktu terus mengalir, sore hari yang cerah berubah menjadi sendu seiring langit yang menjingga karena matari meredup.

Namanya Ika Ching, ia adalah keturunan tiong hoa, tinggal sebatang kara sejak usia SD. Orang tuanya sejak lama meninggal dunia dan harus menghbiskan masa remajanya di Jakarta. Ika, terbiasa hidup sendirian, namun kengerian tak pernah pergi menjauh. Kesepian adalah satu – satunya teman, terutama bila persoalan mendera, tak ada satupun, baik teman maupun keluarga mendekat. Saat-saat itu adalah saat  paling mengerikan. Tak ada tempat bersandar, tak ada tempat untuk pulang, tak ada tempat untuk beristirahat. Bagi Ika, yang merupakan golongan minoritas di negeri bhineka ini, hidup bagai belantara dengan ranjau di mana-mana.

Selama duduk di bangku kuliah, jujur, aku tak banyak mengenal Ika. Maka, dengan hadirnya momen bertemu Ika seperti sekarang ini, merupakan momen bagiku untuk mendengar dengan khidmat. Satu demi satu kata mengalir, tak jarang air mata menetes dari kedua belah matanya. Sesekali kusodorkan tisue untuk sekedar menyeka matanya yang sembab.

“Aku dibuang begitu saja, padahal aku sudah bekerja sampai larut malam, kadang sampai dini hari tanpa upah lembur” ucapnya.

Singkat kata, Ika bekerja di sebuah perusahaan ekspor import, tugasnya adalah memeriksa barang yang hendak dikirim, mulai dari alamat, jumlah barang dan lain-lain. Ia diupah sebesar Rp 7 juta per bulan dengan kontrak selama setahun. Dengan upah sejumlah itu lah ia rela meninggalkan tempat kerja sebelumnya yang jauh di bawah Upah Minimum Provinsi. Ika bercerita, seorang teman dekat menawarkan kepada dirinya untuk bekerja di perusahaan ekspor import tersebut, sebut saja Perusahaan Suka Marah. Teman dekatnya itu mengatakan bahwa PT. Suka Marah adalah milik seorang saudara jauh yang terhitung  baru dan butuh bantuan orang berpengalaman. Orang berpengalaman itu, tentu saja adalah Ika.

“Bukan sombong Di, aku bergerak di bidang ekspor impor sudah cukup lama, jadi aku tahu seluk beluknya”

Dengan iming – iming upah yang besar, Ika memutuskan meninggalkan zona nyamannya selama ini. Namun tak dinyana, justru dunia kerjanya yang baru tak seindah yang dibayangkan. Awalnya, Ika merasa nyaman saja bekerja di tempat baru, ia bertugas sebaik-baiknya, bahkan bila bekerja dengan jam kerja yang panjang hingga dini hari pun ia lakoni tanpa mengeluh atau meminta upah lembur. Saat itu, Ika tidak tahu tentang haknya, bahkan ia tak menyadari kalau ia juga adalah buruh.

“Di, kalau aku kerja kantoran apakah bisa dibantu? karena kamu kan serikat buruh, apakah aku bisa dibantu? aku soalnya bukan kerja di pabrik?”

“Tentu saja bisa, kan kerja kantoran juga buruh. Semua yang diupah adalah buruh. Punya bos, punya upah, tanda tangan kontrak, ada jam kerja. Ya, buruh”

“Aku kira buruh hanya yang kerja di pabrik. Seneng banget ketemu kamu”

Ah…tiba – tiba hatiku terasa hangat. Alangkah baiknya semesta mempertemukan kami.

“Kalau mau, ayo belajar bareng, kita belajar memproses kasusmu” ucapku.

Mulailah Ika menceritakan tentang kondisi kerjanya, bukan hanya soal jam kerja saja, tapi bagaimana atasannya semena-mena menyuruh karyawan bekerja di luar tupoksinya. Hanya Ika saja yang berani menolak bekerja di luar job desk. Bukan hanya sekali tapi sering kali.

“Apakah aku salah?” Tanya Ika

“Tidak, kamu kan bekerja sesuai tugas. Kalau diminta bekerja di luar tugas, itu yang salah”

“Iya, dan di kontrak kerja, sudah jelas kok tugas aku apa. Aku nggak mau dong bekerja di luar job desk

Menurut Ika, kemungkinan bosnya menjadi tidak suka dengannya sejak Ika sering menolak mengerjakan pekerjaan di luar job desk. Hal itu, di kemudian hari berimbas pada pemutusan kontrak secara tiba-tiba tanpa surat peringatan. Padahal, masa kontrak Ika masih 6 bulan lagi dan pedihnya lagi, sisa upah kontrak Ika tidak diberikan. Dunia serasa runtuh dan sakit hatinya tak terperi. Terlebih, Ika sudah deposit sewa kos selama setahun dan belum lunas. Ika bingung, tak tahu harus bagaimana. Ia tak habis pikir mengapa atasannya bisa sekeji itu, di mana letak salahnya. Selama pandemi, meski bekerja secara daring, Ika sama sekali tidak pernah absen meeting. Yang lebih menyakitkan, teman dekat yang menawarkan ia bekerja di PT. Suka Marah, tiba-tiba menjauh dan tidak memberikan pembelaan.

Ika, terbiasa hidup sendiri, namun demikian, itu selalu tidak pernah mudah.

Syok. Itu kata yang cukup menggambarkan perasaan Ika kala itu. Tiba-tiba harus kehilangan pekerjaan di perusahaan tempat ia mengabdi. Pengabdian. Tentu saja. Ia harus bekerja dengan jam kerja yang panjang, tanpa upah lembur. Menerima ucapan kasar setiap bos sedang tidak baik mood-nya. Tidak adil, karena ia sama sekali tidak memperoleh upah sisa kontrak selama 6 bulan. Sementara,  alasan bos memecatnya sungguh tidak masuk akal, yaitu “kelakuan yang tidak baik”, tanpa penjelasan kapan waktunya dan apa bentuknya. 

Hati Ika bergemuruh; marah, kecewa dan sedih bercampur menjadi satu. Sejak itu, Ika menyadari, bila ia diam tentu hak sulit didapat. Beberapa kali ia mengajukan bertemu dengan bos namun tidak ada niat baik dari atasannya itu untuk menemuinya barang sebentar. Sampai akhirnya, ia mengadu ke suku dinas ketenagakerjaan Jakarta Barat. Dari tiga kali mediasi yang ia jalani, tidak ada barang sekali saja, bosnya hadir dan hanya diwakili pengacara. Di waktu yang sama, selama berproses mencari keadilan,  tak satupun teman merapat untuk sekedar bertanya kabar, apalagi solidaritas. Semua menghilang atas nama rasa takut atau enggan dimintai bantuan. Setelah beberapa bulan, surat anjuran keluar dari suku dinas ketenagakerjaan Jakarta Barat. Dalam surat anjuran tersebut, Ika dinyatakan berhak menerima upah sisa kontrak selama 6 bulan dan dianjurkan melanjutkan proses hukum ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial).

“Bapak mediator suku dinas ketenagakerjaan itu bilang, aku harus pakai pengacara untuk lanjut ke PHI” ujar Ika berurai air mata. Pasalnya, ia tak punya uang sepeser pun untuk membayar pengacara. Satu demi satu teman ia hubungi, apakah ada yang memiliki koneksi pengacara yang bisa mendampinginya. Ika menjanjikan akan membayar bila menang, namun bila kalah ia tak sanggup membayar.

“Nihil” kata Ika. Tak satupun temannya yang mengabarkan kalau ada pengacara yang mau tidak dibayar bila kalah atau dibayar belakangan. Ika memahami, tentu seorang pengacara butuh mendapatkan penghasilan dari kerja pembelaan yang dilakukan. Tetapi, dari mana seorang Ika punya uang untuk membayar, sementara hidup semakin sulit di tengah pandemi yang menghimpit.

Sejak itu, semua pintu harapan seolah tertutup. Sementara, Ika harus menjual semua barangnya, pindah kos ke tempat yang jauh lebih murah, membatalkan depositnya di tempat kos sebelumnya. Sebagai penghasilan tambahan, ia harus berjualan apa saja. Mulai dari masker, aksesoris buatan sendiri dan banyak lagi. Semua ia jual online. Pun, ia harus memasak sendiri, menakar setiap butir nasi yang harus ia telan setiap hari dan biaya transportasi yang harus dipangkas. Setiap hari, untuk mobilitas, Ika mengandalkan transportasi umum seperti KWK dan busway. Bila memungkinkan, Ika bahkan memilih berjalan kaki meski dihajar terik matari dan memakan waktu lebih lama. Sesekali kutatap lekat-lekat sosok Ika yang duduk di hadapanku. Malam itu, kuantar dia dengan berkendara motor menuju halte  halte busway Sunter – Kelapa Gading. Sepanjang jalan, bak sebuah adegan film, aku membayangkan Ika berjalan kaki dari halte busway Sunter – Kelapa Gading yang berjarak 3,6 km. Dari keringat yang berpeluh, tercatat jejak tentang kerasnya jalan untuk bertahan hidup.

**

Berjuang di Meja Hijau Perburuhan

Ika tidak pernah mengenal dunia perselisihan industri antara buruh dan pemberi kerja. Ia bahkan baru saja mengenali jati dirinya sebagai buruh belakangan saat memperjuangkan haknya melalui perundingan bipartit yang membentur dinding dan jalur mediasi melalui suku dinas ketenagakerjaan Jakarta Barat. Semua upaya itu membentur dinding berbalik menjadi luka yang membuatnya terpuruk. Tak jarang, kehendak mengakhiri hidup menghampiri malam-malam sunyinya di bilik kecil tempat ia tinggal. Kesendirian yang ia telan selama hampir setahun, hingga akhirnya ia menemukan celah dinding yang membuatnya bersentuhan dengan kawan lama. Benar, kawan lama yang nyaris tak bersua, bukan teman satu lingkaran yang selama ini bergaul dengannya. Ia letih menelan kekecewaan selepas satu demi satu temannya pergi tanpa memberi kabar. Teman-teman yang ia kira akan selalu bersamanya dalam suka mau duka. Namun, demikianlah hidup. Tak semua realita sesuai kehendak dan ekspektasi. Itulah hidup, tak semuanya berada dalam kendali tangan kita.

Jarum jam sudah menunjuk pukul 11 siang kala Ika sampai di halte busway Sunter Kelapa Gading. Siang itu, ia punya janji bertemu dengan seorang pengurus serikat bidang advokasi. Seorang kawan lain yang direkomendasikan Dian, kawan lamanya. Tak berapa lama, sekitar 11.30 WIB, seorang perempuan muda berkendara motor berhenti tepat di pinggir halte busway, bola matanya tampak mencari-cari sosok yang hendak dijemput. Ika mencoba menghampirinya.

“Mba Ita ya?”

Perempuan berkendara motor dan  berhelm merah itu menoleh dan tersenyum kecil

“Mba ika ya, wah saya cari-cari tadi”
Ika pun mengangguk dan membonceng motor tersebut, menyusuri jalan kelapa gading, melewati jalan suka pura dan memasuki gang menuju sebuah rumah bercat hijau dengan ragam spanduk penuh atribut di tembok depan rumah. Ika merasa asing, namun hangat. Ia bertemu dengan beberapa orang yang tak ia kenal, mereka sedang makan siang bersama. Barulah ia tahu kemudian bahwa rumah itu adalah sekretariat serikat buruh dan mereka sering masak bersama untuk makan bersama. Sebuah hal yang jarang Ika alami karena terbiasa hidup sebatang kara. Ika pun agak canggung saat harus menghabiskan waktu makan bersama. Entah, ia hanya merasa asing. Namun, Ika merasai apa yang disebut dengan kebersamaan.

Persidangan. Mendengar sepatah kata itu saja membuat Ika agak bergidik. Dalam imajinya, ada seorang hakim dengan tampang kering dan garang, memegang palu pengadilan seperti dalam film-film yang kerap lalu lalang di kotak televisi. Siang itu, di sekretariat serikat buruh, Ika diwawancara oleh Ita, departemen advokasi serikat tentang kasusnya. Ia menyampaikan keseluruhan cerita apa adanya, dan menyerahkan berkas dokumen selama ya ia punya selama bekerja. Mulai dari slip gaji, perjanjian kontrak, hingga surat PHK yang menurutnya tanpa alasan jelas itu. Sejak pertemuan tersebut, Ika lalu disibukkan dengan proses menyusun gugatan. Isi gugatan secara garis besar adalah kronologi kasus dan tuntutan. Ika menuntut sisa upah kontrak selama 6 bulan sebesar Rp 42 juta dan upah proses (selama perselisihan berlangsung). Ika memang tidak paham hukum, namun secara garis besar ia mengetahui isi gugatan. Terbersit rasa bangga sekaligus lega telah memulai jalan terjal mencari keadilan yang selama ini ia idamkan. Mimpi buruk tak lagi menemaninya, berganti dengan rasa penasaran yang berkembang seiring dengan semangat hidup. Ia tak peduli kalah atau menang, karena ia hanya ingin mencoba dan melalui jalan mencari keadilan meski penuh liku, di tengah ia tak punya uang sepeser pun.

Bukan Ika tak berusaha. Untuk menempuh jarak menuju sekretariat serikat dan gedung Pengadilan Hubungan Industrial, ia harus memutar otak untuk membiayainya. Ongkos transportasi, biaya hidup sehari-hari baik untuk makan maupun sewa kos. Setiap berapa bulan sekali, sudah lazim buat Ika berpindah – pindah kos. Setiap menemukan kos yang harga sewanya murah, ia akan siap pindah. Begitu terus. Satu hal yang membuatnya kesal adalah setiap orang yang ia temui selalu beranggapan dirinya adalah orang berkecukupan. Hanya dengan melihat kulitnya yang putih terang, bermata sipit, dengan sekejap orang bisa memberinya harga tinggi baik harga sewa kos maupun saat berbelanja sayur di pasar tradisional. Harga yang ditawarkan padanya jauh lebih mahal dibanding harga pada umumnya. Namun, Ika hanya mengeluh dalam hati. Ia harus berpandai – pandai menawar, berkeras mendapat harga sepadan, terutama bila tertangkap matanya sang pedagang bertindak curang menaikkan harga. Semua demi pengeluaran super irit agar bisa hidup hari ini dan esok hari.

Ika sendiri sudah terbiasa dengan diskriminasi semacam itu. Di negeri tempat ia tinggal ini, kelompok minoritas tiong hoa kerap memperoleh perlakuan diskriminatif, terutama ya dianggap berduit atau bergelimang harta. Padahal, banyak kelompok minoritas tiong hoa yang miskin papa seperti dirinya, kesulitan mengakses pekerjaan layak dan kesejahteraan. Yah, apa mau dikata, Ika hanya bisa menghadapinya setapak demi setapak hingga usia dewasa seperti sekarang. Pedihnya, Ika juga merasakan betapa rentan ia dan perempuan minoritas tiong hoa dengan ragam pelecehan seksual. Hingga kini pun, Ika masih gemetar ketakutan setiap melihat bajaj. Memori pahit itu tidak akan dilupa, setidaknya saat ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, ia dan seorang teman sekolahnya naik bajaj dan saat itu terlihat jelas di matanya sopir bajaj meraba paha temannya. Hari itu, Ika ingat ia akhirnya bisa berteriak setelah membeku beberapa saat. Mereka berdua lari sekuat tenaga.

Pengalaman pahit itu bukan yang terakhir, kerap sekali ia mengalami cat calling dan celetukan seperti “Halo moy, mau kemana nih”, “Wah moy seksi ya” dan lain sebagainya. Tanpa perlu banyak berteori, Ika merasai betul, terlahir sebagai perempuan minoritas tiong hoa artinya rentan dilecehkan termasuk secara seksual, dan  rentan kekerasan dalam ragam bentuk. Momen-momen kekerasan itu, terasa lebih dekat dan menakutkan saat ia terhimpit kasus seperti sekarang. Dunia, sepenuhnya, seolah tak berpihak padanya. Namun, sedikit solidaritas dari serikat membuatnya bisa bernafas lebih panjang dan mulai optimis menjalani hidup. Solidaritas, bagai oase di tengah gurun, memberi kesejukan di tengah dahaga.

Hingga suatu hari, tiba masa dimana ia harus menghadiri persidangan untuk pertama kalinya. Gedung PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) terletak di Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat. Untuk kali pertama, Ika menginjakkan kaki di gedung PHI dalam rangka menggugat bos yang baginya sangat berkuasa. Ia bagai Daud yang bertarung melawan goliat, si manusia raksasa. Perlahan, terdengar suara debar jantungnya. Perlahan namun pasti suara debaran itu kian kencang tak beraturan. Ika berhenti sejenak dan mengatur nafas. Di papan dinding pengumuman, bersama Ita, ia perhatikan nomor urut dan jadwal sidang. Sejenak, Ika menghela nafas. Ia kebagian bersidang di siang hari. Masih ada waktu untuk sekedar duduk dan meminum sebotol air putih yang ia bawa sebagai bekal. Dirabanya perutnya, belum terasa lapar. Ia sudah pastikan perutnya terisi sepiring nasi meski hanya berbalur kecap tanpa lauk apapun. Demikianlah Ika menjalani hari-harinya, tidak sekalipun ia jajan di luar meski hanya segelas kopi atau sebotol minuman. Satu perak pun menjadi sangat berharga supaya bisa menyambung hidup. Harga sewa kos yang ia tempati sekarang adalah Rp 600,000 belum termasuk harga listrik dan air. Setap hari ia harus memasak, bila tak sempat, yang penting terisi nasi.

“Mba Ika, mau ngopi dulu?” Tanya Ita saat menunggu di depan ruang sidang

“Nggak perlu, nggak apa” Jawab Ika disambut dengan anggukan Ita. Keduanya pun menunggu hingga sidang yang dinanti tiba.

Debaran itu hadir lagi, Ika maju ke ruang sidang, ia duduk di sebelah kiri sebagai penggugat. Di seberangnya, delapan pengacara pengusaha duduk berjajar, sementara Ika hanya seorang diri. Di posisi tengah, terdapat meja hakim. Ada tiga hakim, satu hakim ketua di tengah dan dua hakim lainnya di sisi kiri dan kanan. Hakim ketua dan dua hakim yang lain tidaklah seseram yang Ika bayangkan. Runtuhlah imajinasi Ika tentang seorang hakim yang seram dan bersuara nyaring. Hakim itu bersuara pelan, lebih pelan lagi karena mengenakan masker. Tidak sampai 15 menit, sidang pun selesai. Ika hanya cukup menyerahkan berkas gugatan kepada hakim dan pengacara lawan. Setelahnya, Ika dan Ita sempat bertukar nomor handphone dengan salah satu pengacara lawan yang berperan sebagai koordinator tim pengacara. Sejak itu, mereka saling berkabar, mengingatkan tentang sidang-sidang berikutnya. Ika mendapat cerita dari Ita bahwa seringkali, di tengah proses persidangan di PHI, pengusaha meminta ruang untuk bernegosiasi. Tak jarang, ada intimidasi dari pihak pengusaha supaya buruh penggugat menyerah.

“Sebenarnya, aku menanti untuk diitimidasi lho Di” celetuk Ika saat kami mengobrol via telpon

“Penasaran ya?” sahutku sambil terkekeh

“Nah, bener. Penasaran dong, eh ternyata nggak ada intimidasi”

Kami pun kemudian tertawa bersama. Ika sudah mendapatkan keceriaannya kembali. Dia sudah jauh berbeda dari Ika di perjumpaan pertama kami di Taman Jogging  Kelapa Gading. Kini, Ika cukup menjalani hidup sehari-harinya dengan lebih lepas. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia berjualan makanan keliling dengan sepeda yang dipinjamkan oleh seorang teman. Bila diingat-ingat, Ika cukup bersyukur karena ada teman yang meminjamkannya sepeda. Meski, kini jumlah temannya jauh berkurang dibanding dulu, ia merasa teman yang kini jumlahnya jauh sedikit justru lebih berharga dan bermakna. Teman – teman yang hadir dan mengulurkan tangan saat dibutuhkan. Penghasilan dari berjualan keliling itu tak seberapa, hanya cukup membayar biaya sewa kos bulanan dan makan harian yang tak jelas nutrisinya. Tapi, Ika cukup bahagia, ia tak sesedih dan sekhawatir dulu bila terpikir tentang masa depan.

Dulu, ia merasa sangat cemas, tiap melamar pekerjaan yang tak kunjung berbuah hasil. Bagaimana ia akan makan esok hari, bagaimana biaya sewa kos bulanan, bagaimana masa depannya. Seiring waktu, Ika lebih fokus pada saat sekarang, bekerja sekarang, menikmati masa sekarang. Semua dijalaninya, berjualan keliling, dagang online apa saja mulai dari snack, kalung dan gelang bikinan sendiri dan banyak lagi. Tak ada lagi air mata di setiap malam yang gelisah. Gelisah yang menghampiri tiap malam cukup ia rangkul dengan pelukan. Tak ada salahnya dengan gelisah, tak ada salahnya dengan khawatir, tak apa. Toh semua manusia memilikinya, terima saja sebagai bagian dari diri. Toh suka dan duka, derita dan bahagia adalah bagian dari hidup. Bagai sekeping uang koin, dengan dua sisi. Mana ada, hidup yang hanya berisikan duka saja atau suka saja. Betapa hambar hidup tanpa masalah dan persoalan. Hidup isinya ya memang masalah. Ya sudah.

Demikianlah Ika kini berdamai dengan hidup dan beragam persoalan di dalamnya, sambil terus melangkah maju. Ika memiliki rutinitas baru selain membanting tulang mencari nafkah. Ia mempunyai rutinitas mempersiapkan bahan persidangan, menghadiri persidangan seminggu sekali. Yang membanggakan, berkas dokumen Ika cukup lengkap, sehingga memperlancar proses persidangan. Bahkan, dalam sidang kesaksian, dimana Ika tidak menyediakan saksi, potensi kemenangan tetap ada di tangan. Secara hukum, menurut Ita, Ika berada dalam posisi yang benar karena setiap buruh yang diputus kontrak sebelum masa kontrak habis, berhak mendapatkan upah sisa kontrak. Ika, hanya cukup mempertahankan komitmen dan konsistensi dalam memperjuangkan hak.

“Kak Ari, kita jadwalnya jam berapa ya sidangnya?” Tanya Ika pada salah satu pengurus serikat di sampingnya. Hari itu, ia tidak ditemani Ita yang sedang mengadvokasi kasus lain.

“Jam 3 sore deh” Jawab Ari.

Hari itu, hari Selasa, langit tampak cerah tidak mendung seperti kemarin. Hari itu adalah hari sidang putusan. Jantung Ika tidak berdebar cepat seperti saat menghadiri sidang pertama. Sekarang, ia grogi bukan kepalang. Selama ini, Ika tidak peduli kalah dan menang, ia hanya ingin maju terus apapun rintangannya. Hanya, saat berada di ujung akhir persidangan, rasa gundah gulana tetap memenuhi pikirannya. Bayangkan, ia dan Ari sudah dari pagi sampai di persidangan, berpenampilan rapi seolah sedang melamar kerja. Apesnya, ia mendapatkan jadwal sore hari untuk persidangan. Sungguh hari keputusan sidang yang menggelisahkan.

Jarum jam menunjuk angka tiga. Ika merapikan baju dan mengikat rambut untuk mengusir gelisah sambil maju ke tempat duduknya di sisi penggugat.  Didekatkannya telinganya ke sumber suara majelis hakim yang membacakan putusan sidang.

“Sial” Desis Ika.

Suara majelis hakim lebih pelan dari biasanya, serasa kumur-kumur. Namun, ia mendengar sepenggal kalimat “Dikabulkan sebagian ….”. Tapi, Ika masih merasa tidak yakin.

“Kacau” ucap Ari yang ternyata juga tidak mendengar dengan jelas hasil putusan sidang.

Selepas dari persidangan, keduanya menertawakan betapa konyolnya mereka yang tidak bisa mendengar dengan jelas putusan hakim, sehingga putusan itu masih jadi misteri antara kalah atau menang. Hari itu, Ika tidak lagi menunduk merenungi nasib. Ia menatap ke depan, melangkah dengan mantap tanpa rasa lelah. Ini bukan soal kalah dan menang, tapi tentang mengembalikan martabat sebagai manusia. Bahkan, bilapun harus kalah, kepalanya tetap tegak.

***