Tulisan ini merupakan refleksi dari diskusi grup buruh di SBA (Serikat Buruh Anggota) SERBUK di Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di wilayah Kabupaten Sambas. Diskusi ini merupakan panggilan berkumpul pertama bagi anggota serikat yang turut dihadiri pengurus Komite Wilayah SERBUK Kalimantan Barat dan Transnational Palm Oil Labor Solidarity.
Sore itu gerombolan laki-laki berkemeja merah terlihat tidak tenang. Seorang diantaranya mondar-mandir mengecek tumbukan spanduk berwarna serupa. Seorang lainnya memeriksa kelengkapan kotak penuh kabel dan mikrofon berbaterai. Sementara sisanya, ke sana-ke mari, rumah ke rumah, telepon ke telepon demi menyebarkan sebuah berita: undangan berkumpul serikat buruh.
Bagi serikat buruh di kebun sawit, ajakan berkumpul bersama anggota di sore hari merupakan ritual mengundi nasib. Bila beruntung, pertemuan yang direncanakan akan ramai betul dengan kedatangan buruh yang lelah bekerja seharian dan membutuhkan ruang bersosialisasi. Bila nahas, misalnya pertemuan tidak sengaja berbarengan dengan pengajian, pesta, kemalangan, dan agenda wajib balik kampung setelah hari gajian yang otomatis memecah fokus kehadiran buruh, para pengurus hanya dapat menghela napas panjang.
“Sepertinya kita tunggu 30 menit lagi saja. Ibu-ibu masih berkumpul di pengajian mingguan. Sementara beberapa bapak-bapak masih ada di syukuran pensiunan. Beginilah hidup di tengah perkebunan sawit, harus saling memahami saja satu dengan lainnya.” Ketua Serikat Buruh menjelaskan kondisi persiapan pertemuan.
Perkumpulan Kamis sore di balai warga kali ini merupakan agenda perkenalan SBA (Serikat Buruh Anggota) SERBUK di Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawitdi Kalimantan Barat dengan Komite Wilayah SERBUK dan Jejaring Solidaritas Transnasional Buruh Sawit dalam upaya membangun kepercayaan serikat buruh dengan anggotanya. Bagi buruh di kebun, pertemuan ini merupakan kali pertama serikat mengajak berkumpul secara ramai.
Tempo waktu, buruh mengalami pengalaman berserikat kurang menyenangkan. Tepatanya, lima tahun lalu. Perusahaan membentuk serikat buruh, menarik iuran dari upah, namun tidak melakukan kerja-kerja yang signifikan. Justru, buruh menjadi kecewa dan trauma dengan masalah penggelapan dana iuran anggota dan pemangkasan pesangon.
Bekas dari kecewa dan trauma yang menumpuk masih terasa hingga hari ini. Beberapa buruh masih enggan berserikat. Sementara sisanya, mulai memupuk antusiasme untuk kembali berserikat setelah melihat keaktifan serikat buruh yang ada saat ini.
Hari yang semakin larut, sirene dari megafon berisikan ajakan berkumpul semakin nyaring. Satu per satu motor pun diparkirkan di depan aula terbuka. Satu per satu mereka memundurkan duduknya untuk memperbesar diameter lingkaran yang kini, saking penuhnya, sudah mencapai ujung lantai semen.
Lingkaran itu semakin padat oleh laki-laki pada rentang usia 20 sampai 50 tahunan yang berdatangan kebanyakan dengan kaos dan kemeja bernuansa merah-hitam dan beberapa muncul dengan kaos cerah dengan bordiran lambang perusahaan. Mereka dengan mudahnya bergaul, sembari menonjolkan identitasnya sebagai “karyawan perusahaan” maupun “anggota SERBUK”. Sementara itu, di sudut-sudut pilar berkerumun pula tokoh adat dan buruh yang nonserikat, penasaran dengan gerak-gerik apa yang bisa ditawarkan serikat buruh di tengah pendudukan perkebunan sawit.
“Selamat malam Bapak-Bapak, mari kita mulai diskusi. Agenda malam ini perkenalan, kita kedatangan komite wilayah dan jaringan solidaritas buruh. Pertemuan ini sekaligus bagian dari tahapan penguatan serikat mempersiapkan Perjanjian Kerja Bersama untuk dimenangkan tahun depan. Hari ini, kita dapat mulai dari sharing kondisi kerja. Kita bisa evaluasi bersama untuk advokasi dan perbaikan kondisi kerja. Harapannya, ke depannya diskusi ini menjadi agenda mingguan serikat buruh.” Rangkuman salam pembukaan oleh Ketua SBA SERBUK
Merentangkan lingkaran
Salah satu kerja fundamental perkebunan sawit sejak era kolonialisme hingga sekarang, yaitu membuat dunia baru yang menjadikan tanah, manusia, dan sistem ekonomi dan dalam kontrol perusahaan (Li & Semedi, 2021). Tanah yang berganti kepemilikan menjadi penuh dengan sawit yang meluas. Manusia menjadi buruh, bahkan di ladang milik nenek moyang mereka. Sayangnya, tidak banyak pilihan untuk bekerja selain mengelola tanah yang semakin menyempit dan kelak mau tak mau menjadi buruh.
Kehadiran serikat buruh di tengah-tengah kontrol penuh perusahaan perkebunan menjadi sebuah awalan baik untuk merebut kontrol yang disertai berbagai tantangan. Tantangan pertama, tentunya dari berbagai bentuk represi perusahaan. Tantangan lainnya, berhubungan dengan internal, yaitu ragam kerentanan tiap buruh yang dapat memicu fragmentasi gerakan (Pye, 2017).
Malam itu, buruh yang berdatangan seolah sama. Mayoritas jenis hubungan kerja mereka “Karyawan Harian Tetap”[1] yang diperoleh dengan susah payah dari bekerja melampaui target dan tidak mangkir sepanjang tiga tahun. Akan tetapi, tiap-tiap dari mereka memiliki upah berbeda yang dihitung per hari kerja berdasarkan capaian target kerja harian dan tambahan premi.[2]
Secara kasat mata perbedaan itu seolah tidak ada. Toh kita melihat buruh tinggal di barak yang sama, berburu jamur di blok-blok kebun yang sama, menyekolahkan anak di tempat yang sama, dan berangkat dari truk yang sama. Bila lebih teliti, buruh memiliki latar belakang sosio-kultural beragam dan beberapa di antaranya menyebabkan struktur hierarkis yang sering kali menimbulkan konflik.
Konflik identas ini seolah tabu, padahal muncul dalam setiap aktivitas kerja dan organisasi buruh. Sentimen antaretnis, seperti “pribumi malas”, “pendatang rajin”, “Jakarta pintar”, dan istilah “lokal-pendatang” juga muncul disela-sela jam kerja.
Alih-alih mengalah dari identitas, serikat buruh justru memantik dengan pertanyaan yang sengaja membiarkan tiap buruh dari berbagai posisi kerja, usia, dan etnisitas mengutarakan kondisi kerjanya secara subyektif, yaitu: “Bagaimana tantangan dan keluhan sakit di buruhan yang sedang dikerjakan sekarang?”
Pertanyaan pertama terkait tantangan atas beban kerja menjadikan buruh emosional. Seperti apapun identitas tidak dapat mengamankan kondisi tubuh yang lebih mengejar target kerja tinggi. Mereka malu dan tak tahu harus bercerita pada siapa. Tidak jarang masalah ini berakhir diindividualisasi.
Misalnya, cerita seorang pemanen yang kelelahan terpaksa bekerja di akhir pekan dan hari libur nasional karena target mingguannya belum terpenuhi. Dengan berat hati, ia pergi ke kebun ketika sepi dengan berbagai risiko: tidak diawasi mandor, diserang hewan buas, hingga celaka tanpa ada yang tahu.
Kemudian, pemuat yang kerjanya satu fase setelah panen turut membagikan sudut pandang lain dari kerja kejar target pemanen. Para pemuat harus bekerja sesegera mungkin dari kerja pemanen agar buah tidak restan dan busuk. Celakanya, mereka terpaksa harus bekerja di malam hari, akhir pekan, tanggal merah, pada kondisi banjir, berlumpur, dan gelap tanpa penerangan.
Sering kali, permasalahan antara pemanen – pemuat ini menjadi sentimen dan konflik di hari kerja. Belum lagi, buruh perawatan lainnya yang iri karena premi mereka tidak sebesar pemanen dan pemuat. Bila tidak dikelola dengan baik, tidak jarang permasalahan ini terbawa-bawa dalam diskusi tetangga.
“Bapak-bapak, diskusi ini bukan hendak mencari kesalahan pemanen, pemuat, supir, mandor, dan kerani. Tapi dengan diskusi ini jadikan kita saling mengenal. Karena masalahnya cuma satu, kita karyawan tetap tapi diupahnya dari hasil. Bagaimana bisa mereka memperlakukan kita begitu?” Ketua SBA SERBUK kembali menggawangi diskusi.
Keluar dari lingkaran yang itu-itu saja: serikat buruh merespon kondisi sakit
Perjuangan buruh sawit perkebunan memiliki formulasi unik yang tidak dapat diremehkan (Pye, 2021). Kemunculan perjuangan muncul dari masalah sehari-hari hingga memunculkan gerakan serikat buruh. Hal ini menjadikan serikat buruh punya bentuk solidaritas spasial unik yang dekat dengan hal-hal lokal.
Hanya saja, membentuk solidaritas spasial dari permasalahan buruh sehari-hari di perkebunan tidak semudah yang dibayangkan. Selama ini serikat buruh dikerangkakan hanya membahas hak normatif dan sedikit membahas masalah sosial, lingkungan, atau kesejahteraan kesehatan diluar dari aturan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Makin larut, makin nampak kegusaran yang menjadikan diskusi semakin panas. Buruh bersahut-sahutan membagikan cerita upah dan premi yang kepalang murah tidak sebanding dengan kondisi kerja berbahaya.
Bagi buruh, fitur perkebunan sawit tampak asing, berbahaya, dan tidak manusiawi. Rentetan pepohonan setinggi 2 meter dengan pelepah yang jangkauannya 2 – 3 meter ditanam di atas tanah gambut, lahan curam, hingga lahan potensial banjir. Sialnya, penyambung petak blok sering kali hanya disusun dari sebatang papan kayu yang licin.
“Itulah, jalan cuma setapak kayu begitu. Kita ini (pemanen) bawa angkol melewati kayu begitu. Tidak terhitung jatuh berapa kali. Mau mengeluh dan mengadukan juga bingung pada siapa.” Buruh pemanen bercerita sembari menertawakan kondisinya.
Lingkaran diskusi mengulas bagaimana sehari-harinya buruh berada dalam kondisi rentan celaka dan sakit akibat kerja. Pemanen dan pemuat terancam tersayat duri sawit, pemupuk dan penyemprot terancam keracunan dan ragam penyakit laten, bahkan buruh perawatan yang menebas gulma dan mendongkel anak sawit perlu hati-hati mengganggu habitat lebah tanah, ular untup, dan kobra yang dapat tiba-tiba menyerang.
Tidak lama, suara-suara putus asa terdengar. Seorang buruh merasa keadilan di kebun sawit sulit diwujudkan. Baginya, bekerja tanpa ancaman berserikat dan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) saja sulit dibayangkan. Apa lagi untuk bekerja sehat dan aman.
Sementara itu, para pengurus serikat mengerutkan keningnya, mereka dihadapkan pada tantangan baru: memaknai dan menyampaikan pada anggota bahwa hak normatif, hak untuk hidup sehat, hak untuk kerja aman merupakan bagian dari perjuangan serikat buruh. Seluruh masalah perlu dimulai dengan memupuk solidaritas untuk memenangkan peperangan bersama yaitu Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Lingkaran yang aman: Jejaring solidaritas buruh yang kuat
Salah satu keunikan serikat buruh perkebunan yaitu pengorganisasian spasial, posisi kerja yang strategis yaitu di hulu rantai pasok dengan dukungan keterbukaan rantai pasok, dan ragam isu sehari-hari. Setidaknya, dengan tiga kondisi itu dapat menjadi kondisi awal yang baik bagi serikat melancarkan aksi massa (Pye, 2021).
Berbicara tentang solidaritas gerakan di luar buruh, hari itu perwakilan dari komite wilayah yang terlibat dalam diskusi terlihat menikmati dinamika diskusi. Setelah pembukaan dan perkenalan, ia lebih banyak menjadi pemerhati diskusi.
Satu kalimat yang terus diulangnya, buruh penting untuk berserikat. Serta, salah satu pertarungan yang harus dimenangkan adalah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang punya kekuatan hukum di bawah undang-undang. Kelak, PKB akan menjadi sumber hukum utama bagi serikat buruh dalam memperjuangkan hak-haknya.
“Maka dari itulah Bapak-bapak pentingnya Serikat.” Perwakilan Komite Wilayah SERBUK Kalimantan Barat mengawali responnya dengan propaganda pentingnya berserikat.
Sebelumnya, serikat buruh boleh jadi telah merancang PKB, yang salah satu perubahan utamanya yaitu perubahan status buruh harian lepas menjadi buruh tetap yang disertai dengan tunjangan kerja dan pesangon. Hanya saja, perjuangan belum usai, kali ini level perjuangan meningkat. Sebut saja bagaimaana kerja buruh masih didasarkan hasil, potongan pajak yang tidak sesuai, kecilnya nominal premi, kerja yang berbahaya bagi kesehatan, hingga buruknya fasilitas kerja.
Selain itu, salah satu bantuan yang ditawarkan komite wilayah adalah dukungan jejaring solidaritas sesama buruh yang dapat membantu pengurus untuk berdiskusi. Terdapat beberapa tawaran koneksi: Pertama, berjejaring advokasi secara hierarkis dari perusahaan, lokal, sampai pusat federasi. Kedua, berjejaring dengan aliansi buruh maupun jejaring solidaritas di isu sektoral untuk memperkaya pendalaman permasalahan di perkebunan.
Serikat buruh juga didorong untuk mengenali banyak aktor dalam jejaring bisnis sawit agar membangun jejaring yang baik. Penting bagi serikat mendapatkan akses pada tiap pengadaan audit Roundtable and Sustainable of Palm Oil (RSPO). Kelak, serikat juga berhak menjadi pihak yang mengajukan keluhan keanggotaan. (Lihat lebih lanjut: link)
Lingkaran (yang tidak lagi) kasat mata: Memberikan ruang bagi perempuan
Jauh di balik jendela dengan tirai merah muda, para perempuan mengintip-intip obrolan yang dilakukan suaminya. Beberapa yang ingin bergabung merasa obrolan yang ada terlalu maskulin. Seperti terlihat, lingkaran diskusi tersebut bernuansa bapak-bapak, identik dengan gelas kopi, kepulan asap rokok, suara tawa yang berat, dan wacana politik. Akhirnya, mereka urung bergabung dalam obrolan.
Ketiadaan perempuan merupakan tantangan yang banal bagi serikat buruh. Agenda diskusi berjam-jam yang kental dengan obrolan politik, mungkin bisa didatangi laki-laki. Tapi para perempuan, berat hati meninggalkan rumah, dapur, dan anak-anaknya.
Malam itu obrolan tentang kondisi kerja menyakitkan sempat menyinggung tentang beban kerja penyemprot yang mayoritas perempuan. Sebagai laki-laki, menyadari beban kerja istri mereka begitu tinggi, yang ditandai dengan keluhan sakit punggung, pusing-pusing, dan sakit kaki yang bermunculan di malam hari. Sayangnya, diskusi ini tidak digawangi sampai akhir.
Usai diskusi, ketua serikat menyadari bahwa malam itu tidak ada perempuan yang datang dan kelak dapat menjadi masalah. Satu hal optimis yang dikatakannya:
“Mau bagaimana lagi, memang ada pengajian ibu-ibu hari ini. Tidak apa-apa. Kita tunggu dulu sampai Kak Sisi mau jadi ketua kelompok perempuan.”Ketua SBA SERBUK menanggapi minimnya keterlibatan perempuan pada diskusi malam hari.
Diskusi sudah ditutup dengan sesi foto bersama-sama. Sementara pengurus kembali berkumpul. Tokoh adat juga terlihat serius menganggapi diskusi larut malam itu.
Saya pribadi memutuskan pulang tepat sebelum hari berganti. Begitu masuk rumah, ibu yang menjadi induk semang saya sudah tertidur dan terbangun sebentar untuk menyapa. Sedikit tidak percaya, ternyata durasi diskusinya cukup panjang.
Keesokan paginya, saya bangun terlambat, ketika induk semang saya sedang mengikuti briefing pagi yang disebut lingkaran pagi. Segelas teh dan buah salak sudah tersaji di ruang tamu. Saya menunggunya pulang sembari menikmati teh yang tidak lagi panas.
Tepat pukul 07.00 pagi ibu kembali dari lingkaran pagi untuk menyarap dan membawa perbekalan. Kami mengobrol santai tentang pertemuan semalam. Beliau, sama antusiasnya dengan laki-laki yang hadir malam itu.
Beliau bercerita tentang permasalahan perempuan cukup banyak. Termasuk kendala gunjingan sesama perempuan yang terlibat dalam serikat buruh yang dianggap kumpul-kumpulan tidak jelas. Ia tertawa kecil, sadar betul kondisi itu tidak benar. Tapi menurutnya, cepat atau lambat perempuan perlu bergabung dalam serikat.
Catatan istilah perkebunan sawit:
Pemanen
:
Buruh yang bekerja memanen buah sawit
Pemuat
:
Buruh yang bekerja mengangkut buah sawit dari titik kumpul panen ke bak truk. Kadang, bila kondisi banjir juga bertanggung jawab mengumpulkan buah dari tempat ke tempat.
Penyemprot
:
Buruh yang bekerja menyemprotkan berbagai macam bahan kimia (lebih sering, herbisida dan rhinosida)
Pemupuk
:
Buruh yang bekerja menaburkan berbagai macam jenis pupuk kimia.
Mandor
:
Merujuk pada jabatan buruh yang mengendalikan, mengawasi, dan melakukan pengecekan target kerja di kelompok kerja sesuai jenis buruhan lalu melaporkannya pada asisten kebun.
Kerani
:
Merujuk pada buruh yang bertugas mencatat hasil panen.
Premi
:
Insentif buruh atau upah yang dibayarkan bila buruh bekerja melampaui target.
Extra fooding
:
Kebijakan memberikan gizi tambahan pada buruh, perusahaan memaknai dengan pemberian Susu Kental Manis (SKM) saset pada buruhan yang berhubungan dengan bahan kimia dengan asumsi dapat menguatkan daya tahan tubuh.
Bacaan lebih lanjut:
Li, T. M., & Semedi, P. (2021). Plantation Life. Corporate Occupation in Indonesia’s Oil Palm Zone.
Pye, O. (2017). A Plantation Precariat: Fragmentation and Organizing Potential in the Palm Oil Global Production Network. Development and Change, 48(5), 942–964. https://doi.org/10.1111/dech.12334
Pye, O. (2021). Agrarian Marxism and the Proletariat: a Palm Oil Manifesto. Journal of Peasant Studies, 48(4), 807–826. https://doi.org/10.1080/03066150.2019.1667772
[1] Karyawan Harian Tetap (KHT) merupakan istilah yang merujuk pada jenis hubungan kerja tetap di perusahaan perkebunan sawit. KHT berhak atas upah, tunjangan tetap, tunjangan tidak tetap, cuti, jaminan kesehatan, pesangon. Hanya saja, perhitungan upah KHT dikalkukasikan dari capaian target kerja dan bisa jadi minus bila tidak dipenuhi.
[2] Premi merupakan insentif buruh atau komponen upah yang dibayarkan bila buruh bekerja melampaui target
Di Kota Semarang, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi berbagai furnitur berbahan dasar olahan kayu. Hasil produksinya dipasarkan ke berbagai kota di Indonesia, bahkan untuk ekspor ke luar negeri. Produk yang dihasilkan berupa meja, kursi, lemari dengan desain yang tampak mewah, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun perkantoran. Namun, dibalik kemegahan produk furnitur yang memanjakan mata […]
Begitu banyak petani yang datang dari daerah, mengorbankan biaya dan tenaga sekeluarga demi perjuangan di ibukota. Entah kenapa harus di ibukota. Begitu sedikit dari mereka berorasi dari atas mobil komando, tahta bergerak para raja dan brahmana khas gerakan Nusantara. Dihantam hujan deras dan terik cahaya, datang dari ribuan kilometer jauhnya, hanya untuk berbaris dan duduk […]
Proses penangkapan ikan di Kepulauan Aru dilakukan oleh nelayan tradisional, nelayan lokal, dan kapal-kapal penangkap ikan industrial. Hulu dari proses produksi perikanan di Kepulauan Aru adalah kapal-kapal nelayan tradisional dengan mesin speed yang memiliki kemampuan berlayar lebih dari 12 mil, bahkan hingga mencapai batas negara Indonesia–Australia. Nelayan-nelayan ini beroperasi selama satu hari dan hasil tangkapan […]