Jam digital di handphone memperlihatkan pukul 16.10 WIB ketika saya tiba di stasiun Pasar Senen. Saya menuju pulang dari rapat pengadvokasian kebijakan RUU KIA di kantor SPSI KEP di Cempaka Mas Tangerang.
Saya menunggu KRL ke arah Tangerang. Dua KRL saya lewatkan, penumpangnya terlalu berdesakan karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Saya melihat isi KRL lebih mirip akuarium. KRL ketiga saya putuskan ikut berdesakan dengan penumpang lain. Kebetulan saya mendapati gerbong terakhir yang dikhususkan untuk penumpang perempuan.
Walaupun kereta full tapi saya anggap lumayan, karena masih bisa berdiri di depan kursi prioritas. Minimal bisa nyender di antara pintu penghubung ke gerbong sebelah. Di depan saya seorang perempuan paruh baya duduk. Di sebelahnya perempuan muda sekitar 20 tahunan. Di seberang saya dua orang perempuan muda asyik ngobrol bersebelahan perempuan berusia 35 tahunan berseragam instansi pemerintah.
KRL berhenti di stasiun Kemayoran. Saya mengintip melalui kaca jendela: para penumpang sudah berjejer dan bersiaga. Ketika pintu KRL terbuka mereka menyerbu masuk berhimpitan di antara para penumpang yang sudah sesak. Dalam keadaan demikian, pikiran saya selalu menyalahkan pengelola KRL: ‘kenapa KRL tidak ditambah lagi?’.
KRL melajukan mesinnya. Dari rombongan penumpang baru itu, saya melihat seorang perempuan muda sedang hamil sekitar 4 atau 5 bulan dan seorang perempuan lanjut usia dipegang anak perempuannya mendekati kursi prioritas. Mata mereka menatap perempuan-perempuan muda yang duduk di kursi seberang saya. Perempuan-perempuan muda itu semakin asyik HP-nya dan obrolan bersama temannya. Mata anak perempuan yang menuntun perempuan lanjut usia tersebut seakan seakan berbicara, “Bisakah ibu saya duduk?”. Tapi, perempuan-perempuan muda semakin asyik dengan tempat duduknya.
Peristiwa kecil itu membuat bulu kuduk saya merinding. “Apakah kita kehilangan rasa empati,” batin saya.
Kejadian seperti itu bukan hal baru. Ada banyak cerita tentang ‘kekejaman’ gerbong KRL khusus perempuan. Ceritanya diantarkan dari mulut ke mulut atau dari media sosial ke media sosial. Tidak ada perubahan. KRL selalu berdesakan. Lambang dan tulisan di bangku-bangku prioritas untuk ‘lanjut usia, wanita hamil, penyandang cacat, ibu membawa anak’ sekadar hiasan.
Saya pernah berpikir gerbong khusus perempuan. Tentu saja diisi oleh perempuan. Sesama perempuan tentu akan lebih aware. Nyatanya, tidak. Jika tidak ditegur oleh penumpang lain atau Satpam mereka akan berpura-pura tidak tahu. Para penumpang muda itu, seandainya buta huruf sekalipun tentu akan dapat memahami makna simbol dari bangku prioritas.
Setiap KRL berhenti di stasiun hati berdebar-debar berharap ada penumpang turun, ternyata penumpang malah bertambah. Pikiran saya terus tertuju kepada perempuan muda yang enggan berbagi dengan perempuan lanjut usia dan perempuan hamil. ‘Bukankah berbagi ruang merupakan salah satu indikator demokratis yang paling konkret?’, ‘Bukankah berbagi kepada orang yang lebih membutuhkan merupakan perintah agama yang memiliki nilai ibadah yang tinggi?’. Pikiran saya berkecamuk dengan berbagai keheranan.
***
Women supporting women, begitulah salah satu tagar yang ramai dibicarakan di media sosial dan diikuti selebritas di medio 2020. Menurut Kalis Madarsiah, women supporting women adalah sebuah kesadaran bahwa perempuan sebagai kelompok rentan mesti saling mendukung. Kesadaran tersebut memiliki kepercayaan, pengalaman tubuh dan pengalaman sosial perempuan lebih mudah dipahami oleh sesama perempuan.[1]
Membaca tulisan Kalis Madarsiah di atas, pikiran saya berkelana menyusuri lorong-lorong kontrakan buruh perempuan di kota-kota industri dan menjelajahi ruang produksi di balik tembok-tembok pabrik di negeri tercinta ini. Yang diingat hanya kegelapan dan kebisuan. Ribuan perempuan muda bekerja di atas 8 jam kerja per hari, setiap hari dihardik, dibentak dan dicaci maki untuk mencapai target produksi.
Menurut data BPS 2022 partisipasi angkatan kerja perempuan sebesar 54,2 persen.[2] Masih menurut BPS, angka pekerja perempuan di sektor formal pada Februari 2021 meningkat menjadi 40,38 persen.[3] Dewasa ini, perempuan tersebar di berbagai sektor pekerjaan, bahkan sektor yang diasosiasikan sebagai pekerjaan laki-laki pun perlahan diisi perempuan. Apakah perempuan Indonesia bekerja karena pilihan bebas berbasis karir atau keterdesakan ekonomi? Itu pun sesuatu yang patut didiskusikan.
Tentu saja, 40,38 persen bukan sekadar angka. Angka tersebut mewakili manusia bernyawa yang telah mengerahkan tenaga dan pikirannya dalam membangun negara. Dari setiap belanja dan pendapatannya negara meraup untung melalui pajak. Apakah negara memberikan perlindungan terhadap buruh perempuan?
Hak Buruh Perempuan dalam Peraturan Perundangan di Indonesia
UU No 12/1948
UU No 13 /2003
UU No 11/ 2020
Perppu No 22/2022
Pasal 7 Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita. (2)Dapat dikecualikan dari larangan termaksud dalam ayat (1) hal-hal dimana pekerjaan wanita pada malam hari itu tidak dapat dihindarkan berhubung dengan kepentingan atau kesejahteraan umum. (3) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal yang dikecualikan termaksud dalam ayat (2) beserta syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan kesusilaan buruh wanita itu.
Pasal 76 Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (2)Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib : a.memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b.menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. (4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. (5)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri
Tidak dicantumkan
Tidak dicantumkan
Pasal 8 (1) Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan di dalam tambang, lobang di dalam tanah atau tempat lain untuk mengambil logam dan bahan-bahan lain dari dalam tanah. (2)Larangan tersebut dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap kepada orang wanita, yang berhubung dengan pekerjaannya kadang-kadang harus turun di bagian-bagian tambang di bawah tanah dan tidak menjalankan pekerjaan tangan.
Pasal ini dihilangkan
Pasal 9 (1) Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatannya, demikian pula pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaannya berbahaya bagi kesusilaannya. (2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang termaksud dalam ayat 1.
Pasal 13. (1) Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haidh; (2)Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung. (3)Waktu istirahat sebelum saat buruh wanita menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan jikalau didalam suatu keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya. (4)Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu-kerja.
Pasal 81 Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 82 Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. (2)Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Pasal 83 Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja
Tahun 1948 tiga tahun setelah kemerdekaan, SK Trimurti, perempuan pertama yang menjadi menteri buruh. Ia pun merupakan menteri perempuan pertama dalam jajaran kabinet Amir Syarifudin II (11 November 1947 – 29 Januari 1948). Trimurti pejuang kemerdekaan, bekerja sebagai jurnalis dan menjadi aktivis serikat buruh. Tahun 1950 SK Trimurti menjadi salah satu pendiri organisasi perempuan bernama Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) lalu berganti nama menjadi Gerwani.[4]
Di era SK Trimurti-lah hak-hak perempuan diakui, dilindungi dan dimajukan. Seperti cuti haid tanpa syarat, cuti keguguran, cuti melahirkan, jam kerja untuk buruh perempuan, sektor pekerjaan bagi perempuan dan kesempatan menyusui.
Tahun 2003 di bawah kepemimpinan presiden perempuan pertama Indonesia yaitu Megawati Soekarno Putri, keluar-lah Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang yang melibatkan tim kecil dari serikat buruh tersebut mempreteli hak-hak perempuan. Cuti haid yang dalam UU Kerdja Nomor 12 Tahun 1948 berbunyi, “Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid” menjadi “Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid” (UUK Nomor 13 Tahun 2003).
Klausulnya berubah. Dalam UU Kerdja Nomor 12 Tahun 1984, haid diakui sebagai hak alamiah perempuan, dilindungi oleh undang-undang, dan dimajukan dalam bentuk hak untuk tidak bekerja dan mendapat upah penuh. Dalam UUK Nomor 13 Tahun 2003, haid tidak diakui, tidak dilindungi karena dianggap sakit dan tidak dimajukan karena dibatasi dengan keharusan memberitahukan kepada pengusaha.
Pelaksanaan UUK Nomor 13 Tahun 2003 berdampak besar terhadap pelaksanaan cuti haid, terutama di sektor produksi yang mempekerjakan lebih banyak perempuan, seperti tekstil, garmen, sepatu, kulit, makanan, minuman, dan elektronik. Di beberapa pabrik pelaksanaan cuti haid harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter, bahkan melalui melalui pemeriksaan fisik. Bentuknya, Satpam perempuan memeriksa secara langsung perempuan yang sedang haid. Artinya, haid disamakan dengan sakit tipes, influenza, dan jenis penyakit lainnya.
Bukan hanya mengubah pasal cuti haid, di masa Megawati pula kerja kontrak dan outsourcing dilegalkan di berbagai sektor industri. Akibatnya, hubungan kerja kontrak, outsourcing, harian lepas, dan jenis-jenis pekerjaan yang merampas hak buruh semakin banyak.
Tahun 2020, Menteri Ketenagakerjaan dipegang kembali oleh perempuan, Ida Fauziah. Keluarlah Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Pasal-pasal perlindungan buruh perempuan tidak dicantumkan. Selain itu, Ida Fauziah pun mengeluarkan item pembalut dan diganti korek kuping dari KHL melalui Permenaker Nomor 20 Tahun 2020. Ida Fauziyah dan jajarannya dengan segala daya membela UU Cipta Kerja, yang telah merampas hak-hak buruh perempuan.
Begitu juga dalam Perppu Nomor 21 Tahun 2022 yang ditandatangani Presiden Jokowi di akhir 2022. Aturan yang melindungi hak reproduksi buruh perempuan tidak dicantumkan. Hak reproduksi perempuan diserahkan kebijakannya ke perusahaan. Perppu Cipta Kerja dengan sistematis merampas hak buruh perempuan melalui legalisasi no work no pay dan perluasan buruh kontrak dan outsourcing.
Di salah satu pabrik pakaian olahraga merek internasional di Kabupaten Tangerang, buruh kontrak yang hamil otomatis putus kontrak kerjanya, walaupun masa kontrak belum selesai. Begitu juga dengan keguguran, perusahaan hanya memberi dispensasi tiga hari dengan surat dokter. Lebih dari itu, perempuan keguguran dan melahirkan otomatis putus kontrak, walaupun bisa melamar kembali di perusahaan tersebut apabila sudah melahirkan atau keguguran.
Praktik cuti melahirkan di pabrik sepatu merek internasional di Karawang. Buruh yang melahirkan mendapatkan cuti melahirkan, tapi harus bersedia bekerja jika perusahaan memanggil untuk bekerja meskipun masa cutinya belum kelar. Itu-lah yang dimaksud dengan ‘kebijakan diserahkan ke perusahaan’, yang tidak hanya sekali diungkapkan Ida Fauziyah di media massa. Pemilik perusahaan dengan sesukanya mempreteli hak-hak buruh perempuan.
Peraturan cuti haid memang telah dibakukan pula dalam PKB (Perjanjian Kerja Bersama). Di beberapa pabrik sektor garmen, tekstil dan sepatu, yang memproduksi brand-brand internasional di kota-kota yang disebutkan di atas, peraturan cuti haid sekadar tulisan tanpa makna. Mayoritas buruh perempuan tidak pernah mengambil hak cuti haid. Apa masalahnya? Menurut salah satu pimpinan serikat buruh, perempuan nyaris tidak memanfaatkan hak cuti haid karena dipersulit dan terancam mendapat hukuman. “Ketika masuk kerja kembali setelah cuti haid khawatir mendapat teguran dari atasanya atau dipindah-pindah kerja,” kata pimpinan serikat buruh tersebut.
Kesulitan mendapat cuti haid ditopang pula oleh sistem produksi berbasis target pekerjaan. Ketika buruh perempuan meninggalkan bagian pekerjaanya otomatis pekerjaan akan bertumpuk di kawan kerjanya, sehingga ia akan dipersalahkan oleh kawannya.
Megawati Soekarno Putri, Ida Fauziah dan banyak lagi nama perempuan yang menduduki posisi strategis di lembaga-lembaga negara, serta dua perempuan muda yang mengabaikan hak perempuan lanjut usia dan perempuan hamil di dalam KRL, kalau saja memiliki keberpihakan, solidaritas dan saling menguatkan, tentu ceritanya akan lain.[]
Selamat pagi kawan-kawan BWI yang saya cintai! Salam perjuangan! Perkenalkan, nama saya Sabri Bin Umar, buruh migran Indonesia dari Bone Sulawesi Selatan. Umur saya 30 tahun. Saya menempuh perjalanan 6.500 kilometer untuk hadir di sini[2], bertemu dengan anda semua. Melelahkan, tapi saya bahagia dan bersyukur. Saya masuk ke Tawau, Sabah, Malaysia ketika lulus sekolah dasar. […]
Pagi itu, Sabtu, 29 Juni 2024, betapa terkejutnya aku saat membaca pesan yang dikirimkan Bung Kiki melalui aplikasi Messenger yang terinstal di smartphone-ku. Bung Kiki mengabarkan, kamu (Triono) mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia pada pukul 02.30 dini hari. Pesan itu dikirim satu jam lalu, setelah Bung Kiki berkali-kali gagal menghubungiku lewat panggilan telpon di Messenger-Facebook. Aku […]
Dirampas Perusahaan, Diabaikan Lembaga Negara Perlawanan berlangsung. Saya pun keluar dari penjara. Di tengah perjuangan itu, satu per satu kawan kami wafat. Ketika tulisan ini dibuat jumlah kawan yang meninggal mencapai empatpuluh tiga orang. Kawan kami gagal tertolong. Semuanya tidak dapat mengakses layanan kesehatan karena BPJS Kesehatan diblokir. Kami pun tidak memanfaatkan layanan kesehatan mandiri […]