MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Nikel Morowali: Mengubah Lanskap, Mengobrak-abrik Kehidupan (Akhir)

Tulisan ini merupakan bagian akhir dari Nikel Morowali: Mengubah Lanskap, Mengobrak-abrik Kehidupan. Di bagian ini kita mendiskusikan unit-unit dari praktik produksi. Kekhususan produksi, mekanisme proses kerja dan asal modal memperlihatkan wajah industri pertambangan. Bagaimana gerakan buruh membangun kekuatan di tengah pengorganisasian dan perlawanan yang dilemahkan oleh negara dan modal?

***

IMIP sebagai Kawasan Industri, sebagai Penyalur Buruh

IMIP saat ini memperkerjakan sekitar 66.000 buruh. Selain buruh lokal, IMIP juga mempekerjakan buruh asing. Mayoritas buruh asing (Tenaga Kerja Asing/TKA) didatangkan dari China. Jumlah TKA di IMIP diperkirakan sekitar 5.000 buruh.

Di media massa jumlah total buruh di IMIP disebutkan dengan angka berbeda-beda. Perbedaan angka tersebut dikondisikan oleh dua hal. Pertama, berlakunya hubungan kerja fleksibel di mana jumlah keluar-masuk buruh sulit terdeteksi. Kedua, sistem pendataan negara lebih teliti menghitung jumlah investasi ketimbang lokasi-lokasi pekerjaan warga negaranya.

Jika buruh lokal bisa memilih tempat tinggal antara di dalam kawasan atau di luar kawasan. Tidak demikian dengan TKA, mereka semua tinggal di dalam kawasan IMIP.

Sebagai kawasan industri, IMIP menerapkan manajemen terpadu. Hal ini terlihat pada kantor manajemen yang dipusatkan di satu gedung yang biasa disebut dengan kantor General Affair (GA). Sedangkan kantor pusatnya terletak di RT 16/RW 7, Meruya Utara, Kembangan, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11620

Kantor GA berisikan seluruh perwakilan atau HRD dari perusahaan yang berada dalam komplek atau kawasan industri IMIP. Dalam kantor GA inilah masalah–masalah administrasi dan ketenagakerjaan di IMIP diatur dan diurus. Buruh-buruh IMIP akan mengurus berbagai keperluan administrasi dari kontrak kerja, kasus ketenagakerjaan, hingga mutasi atau bahkan ketika mereka diberhentikan atau terkena PHK.

Jika ada yang ingin bekerja di IMIP maka calon buruh memasukan lamaran kerjanya ke PT IMIP. Setelah itu, IMIP akan menempatkan calon tenaga kerja yang dikelola oleh IMIP. Dengan demikian, calon tenaga kerja baru akan mengetahui nama perusahaan dan departemen kerjanya setelah dinyatakan diterima bekerja oleh IMIP. Misalnya, si Aldi melamar dan diterima, setelah itu IMIP akan menempatkan Aldi di PT ZHN, bagian departemen feronikel divisi mekanik kendaraan. Dengan demikian, model kawasan IMIP agak berbeda dengan kawasan industri di Jabodetabek. Di Jabodetabek, pengelola kawasan industri adalah pengusaha properti yang menyiapkan berbagai kelengkapan untuk operasi pabrik. Setiap pabrik dikelola oleh manajemen berbeda. Sedangkan di IMIP, unit-unit usaha dikendalikan oleh pengelola kawasan.  

Umumnya lowongan pekerjaan dibuka secara online di website IMIP. Ketika melamar kerja melalui sistem online pelamar memasukan kelengkapan dokumen lamaran sebagaimana dipersyaratkan. Setelah itu, pelamar menunggu pemberitahuan panggilan. Kabarnya daftar tunggu pelamar kerja di IMIP saat ini sudah mencapai ribuan.

Dengan sistem online maka terhindar dari kemungkinan calo tenaga kerja, sebagaimana terjadi di pabrik-pabrik garmen di Jabodetabek. Selain itu, sistem online pun membuka kesempatan semua orang dari berbagai pulau untuk mendaftar, terhindar dari biaya penggandaan dokumen dan pengiriman lamaran kerja secara manual. Tidak diketahui dengan pasti berapa lama sistem yang relatif terbuka tersebut akan bertahan. Sementara ini, sebagai industri yang berambisi menjadi penguasa nikel dunia, IMIP butuh tenaga kerja lebih banyak. Karena para pemilik modal dan pengelola pabrik tidak akan bersedia memegang dan menggerakkan alat-alat kerja pertambangan. Mereka akan secara agresif mencari tenaga-tenaga segar untuk dipekerjakan.

Upaya lain merekrut buruh dilakukan melalui skema kampus hiring. Kampus hiring dilakukan dengan membuka both di kampus-kampus di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, terutama di Makassar dan Palu.

Upaya lain untuk merekrut buruh dilakukan pula melalui penyalur-penyalur tenaga kerja. Penyalur-penyalur tenaga kerja tersebut membuka kantor di sekitar IMIP. Sebenarnya, sejak IMIP beroperasi santer berita mengenai pungutan liar oleh agensi penyalur resmi dan tidak resmi. Para penyalur resmi memungut uang muka atau potong gaji dari buruh yang diterima bekerja. Mereka menyebutnya sebagai ‘uang administrasi’. Besaran uang administrasi dipotong dari upah harian. Dari upah harian Rp200 ribu akan dipotong Rp40 ribu (Metrosulteng.com, 27/10/2021). Ada pula praktik pungutan liar yang dilakukan oleh komplotan aktor penyalur tenaga kerja tidak resmi. Biasanya mereka memungut Rp2 juta per calon buruh yang akan diterima bekerja (Bursabisnis.id, 4/10/2017).

Dari informasi yang dikumpulkan dari pelamar kerja yang menempuh jalur resmi. Setelah mengajukan lamaran ke PT IMIP, mereka akan mendapatkan panggilan wawancara dan psikotest dari HRD PT IMIP. Wawancara dilakukan dengan undangan langsung untuk datang ke IMIP. Undangan didapat melalui pesan ke telepon genggam atau melalui email.

Setelah tahapan pertama, calon tenaga kerja akan mendapat pemberitahuan lagi untuk memasuki tahap lanjutan. Tahap lanjutan tersebut berupa MCU (medical check up). Setelah mengikuti MCU calon pekerja yang lulus akan mendapat panggilan untuk melakukan registrasi ulang dengan membawa tiga belas syarat administrasi dan salinan rekening bank yang telah ditentukan. Misalnya untuk buruh Tsingshan Grup (SMI, ITSS, GCNS, IRNC, OSMI dan TSI) diharuskan menggunakan bank BRI wilayah Morowali atau Bank Sulteng; dan Tsingshan (ONI, OSMI, QFF, QSEM, YWI, SMI) BRI dan Mandiri wilayah Morowali.

Sedikit berbeda dengan jalur kampus hiring. Untuk kampus hiring, wawancara biasanya dilakukan di lokasi both kampus/lokasi maupun dengan video call. Perbedaan lainnya adalah calon buruh dari kampus hiring akan langsung mendapatkan offering letter (surat penawaran), bersamaan dengan tahap medical checkup.

Offering letter yang diberikan berupa tawaran untuk bekerja di salah satu perusahaan di IMIP lengkap dengan departemen dan divisinya, besaran jumlah gaji dan tunjangan hingga sistem kerja di IMIP. Namun begitu, ditemukan juga offering letter yang isinya hanya memberikan penawaran kerja pada departemen tertentu di IMIP tanpa disebutkan penempatan perusahaannya. Penempatan kerja baru diketahui saat registrasi ulang di IMIP.

Isi offering letter dari IMIP untuk hiring kampus antara lain:

Pertama: Posisi yang ditawarkan di IMIP. Biasanya yang paling banyak dicari oleh pelamar adalah posisi kru dan operator dalam departemen tertentu. Di IMIP ada banyak departemen (bagian kerja) yang tidak terbatas pada satu perusahaan. Satu departemen bisa saja membawahi buruh di beberapa perusahaan sekaligus. Misalnya Departemen Erection 2 yang membawahi semua mekanik di IMIP, atau kemudian Departemen Erection 1 yang membawahi semua mekanik elektrik/listrik serta buruh yang bekerja di pembangkit listrik IMIP. 

Beberapa departemen di IMIP adalah: Departemen Feronikel, Departemen Erection 1, Departemen Erection 2, Departemen Ferro Chrome, Departemen HSE (membawahi semua petugas safety), Departemen CRP, Departemen FPD dan lain sebagainya.

Kedua: Jam kerja, upah dan tunjangan. Di IMIP, sistem kerja untuk buruh tergantung pada penempatan departemen dan divisi.

Secara umum ada tiga yang digunakan yaitu: 8 jam per hari,  kemudian 6 hari kerja per minggu serta yang steady day. Sementara untuk upah, tahun 2022, IMIP menawarkan upah pokok sebesar Rp2,9 juta. Kemudian tunjangan tetap yaitu tunjangan perumahan Rp600 ribu dan tunjangan lokasi sebesar Rp100 ribu. Sementara tunjangan tidak tetapnya berupa insentif kehadiran sebesar Rp260 ribu per bulan, uang skill hingga tunjangan keluarga. Angka tersebut tidak termasuk dengan hasil cuti yang besarannya tergantung pada departemen kerjanya. Padahal jika dilihat dari jenis produksinya, IMIP seharusnya masuk dalam sektor industri logam dan kimia, di mana upah minimum sektoralnya sebesar Rp 3.650.000. Jadi selisih upah pokoknya yang dibayarkan sangat besar.

Secara umum praktik pengupahan IMIP berdasar standar besaran upah yang sama di tiap perusahaan. Misalnya untuk kru (operator produksi dengan upah paling rendah) yang bekerja di perusahaan dalam kawasan IMIP semuanya mendapatkan besar upah Rp3,6 juta, perbedaannya besarnya upah kemudian ditentukan oleh lama jam kerja yang mereka dapat.

Karena upah buruh sangat rendah maka buruh di IMIP cenderung memilih untuk bekerja dalam model shift atau long shift atau steady day daripada yang regular.

Sebagai gambaran, kru yang bekerja regular akan menerima upah maksimal Rp5 juta per bulan termasuk tunjangan-tunjangan. Sedangkan untuk yang sistem shift akan menerima sekitar Rp6 juta per bulan dan Rp7 juta hingga Rp8 juta untuk yang long shift.

Setelah registrasi ulang, buruh juga harus melakukan registrasi induksi. Induksi adalah proses semacam tahap perkenalan dan training.  Mulai dari induksi BPJS, induksi keselamatan hingga induksi perusahaan penempatan. Dalam proses induksi buruh akan melalui tahap sebagai buruh kontrak. Panjang kontrak bervariasi antara 3 hingga 6 bulan per kontrak. Padahal, jika buruh telah melalui tahap training seharusnya diangkat menjadi buruh tetap bukan menempuh perjanjian kerja waktu tertentu alias kontrak.

Calon buruh yang diterima akan mendapatkan APD (Alat Pelindung Diri), yang terdiri dari helm, sepatu safety, satu stel baju kerja, masker dan kacamata sesuai dengan penempatan kerja. Namun tidak sedikit mendapatkan APD yang berbeda dengan tempat kerjanya. Misalnya si A kerja di PT GCNS, namun saat pembagian APD dia justru mendapatkan seragam kerja bertuliskan PT IRNC.

Praktik tersebut menempatkan PT IMIP seperti penyalur buruh untuk perusahaan–perusahaan yang ada di kawasan tersebut. Kebijakan ketenagakerjaan seperti ini tidak akan ditemui di kawasan industri yang biasa di Indonesia. Ini menimbulkan pertanyaan lain tentang sejauh mana hubungan pasar ketenagakerjaan yang fleksibel bisa dimanifestasikan di IMIP.

Praktik lainnya adalah kebijakan mutasi atau pemindahan buruh dalam satu kawasan IMIP. Buruh yang bekerja di IMIP dapat dipindahkan ke perusahaan lain sewaktu-waktu. Padahal biasanya mutasi hanya dilakukan dalam satu perusahaan, dari satu unit kerja ke unit kerja lain, baik dalam satu divisi atau departemen yang sama ataupun yang berbeda.

Di IMIP ditemukan banyak praktik perpindahan/mutasi buruh dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Praktik ini umumnya terjadi kepada kru dan operator perusahaan yang sudah lama bekerja, seperti yang terjadi pada seorang buruh di PT SMI yang sudah bekerja selama 7 tahun dan kemudian dimutasi ke OSMI.

Pemindahan atau mutasi tersebut tidak hanya terhadap buruh kontrak (PKWT), juga kepada buruh yang sudah berstatus tetap atau buruh dalam status Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Buruh kontrak yang dipindah seperti yang dialami oleh Misbah (bukan nama sebenarnya), di awal tulisan ini. Misbah dipindah ke OSMI meskipun awalnya kontrak di PT GCI. Misbah akhirnya tidak diperpanjang kontraknya dengan alasan yang tidak jelas. Seharusnya Misbah otomatis diikat sebagai buruh tetap setelah dua kali masa kerja kontraknya. Misbah adalah buruh yang dikontrak oleh CGI selama 6 bulan, sebelum kemudian dipindahkan ke OSMI pada kontrak periode keduanya. Ironisnya Misbah baru tahu kontrak kerjanya tidak diperpanjang saat sedang cuti di kampung halamannya di Sulawesi Selatan.

Sementara buruh tetap atau PKWTT saat terjadi pemindahan atau mutasi memang tidak mengubah statusnya sebagai PKWTT. Namun demikian masalah kemudian timbul ketika perpindahan tersebut menghilangkan masa kerja yang telah dialami oleh si buruh tersebut. Dengan kata lain masa kerja buruh tersebut kembali ke nol atau dihitung kerja dari awal lagi.

Pemindahan divisi kerja yang sewenang-wenang dan penghangusan masa kerja menimbulkan kerentanan tersendiri bagi buruh. Mereka terancam kehilangan hak-haknya terutama terkait dengan masa kerja akibat praktik yang begitu fleksibel dalam rotasi dan perpindahan buruh di dalam IMIP.

Situasi lain yang memperlihatkan bagaimana cairnya praktik hubungan industrial dalam lingkungan IMIP adalah adanya buruh “titipan”. Buruh titipan adalah buruh yang hubungan ketenagakerjaannya dengan kerjanya berbeda perusahaan. Misalnya buruh yang statusnya bekerja di PT ONI tetapi dalam kerjanya di PT GCNS. Praktik ini terjadi biasanya karena perusahaannya masih dalam tahap pembangunan atau belum beroperasi penuh, sehingga buruh dipekerjakan sementara untuk perusahaan lain. Buruh ‘titipan’ ini cukup banyak, mengingat pembangunan dan pengembangan IMIP yang terus berlangsung.

Dalam pengupahan, buruh ‘titipan’ tidak menerima tunjangan produksi dan uang skill. Hal ini tentu menguntungkan perusahaan, karena mereka tidak perlu membayar tunjangan buruh ‘titipan’ meskipun kerja mereka sama dengan buruh di perusahaan tempatnya dipekerjakan.

Di IMIP, semua buruh mendapatkan perintah lembur wajib yang jumlah jam kerjanya tergantung pada sistem kerjanya. Misalnya buruh regular mendapatkan lembur wajib selama satu jam, sementara yang long shift mendapatkan lembur wajib hingga empat jam.

Hal tersebut perparah dengan situasi lain dalam ketersediaan saranan dan prasarana kerja di IMIP. Misalnya masalah K3 (Keamanan & Keselamatan Kerja), yang menimpa buruh di IMIP. Kecelakaan kerja di IMIP terjadi setiap hari. Indikasi awal adalah alat dan sasaran kerja di pertambangan merupakan bidang yang berbahaya. Keberbahayaan ruang kerja dikondisikan oleh intensitas jam kerja kerja buruh. Namun, APD yang dipergunakan merupakan jenis perlindungan yang tidak memadai.

Contoh kejadian akibat masalah K3 adalah ketika ada buruh yang terjatuh dari truk saat menumpang untuk pulang. IMIP kemudian merespons kejadian tersebut dengan surat edaran: melarang buruh menumpang truk baik untuk pulang maupun berangkat ke perusahaan mereka. Contoh kecil tersebut memperlihatkan tanggung jawab pengelola kawasan sangat rendah, bahkan menyalahkan buruh.

Dalam masalah K3 IMIP menerapkan mekanisme sanksi bukan mengurangi risiko, apalagi menghilangkan faktor-faktor terjadinya kecelakaan. IMIP menetapkan bahwa buruh yang tidak mematuhi aturan-aturan teknis keselamatan kerja mendapat surat peringatan hingga pemotongan upah. Misalnya, jika seorang buruh kru kedapatan melanggar aturan K3 akan dipotong upah dengan tidak diberikannya tunjangan skill sebesar Rp500 ribu dan tunjangan produksi Rp300 ribu.

Selain buruh kru dikenai hukuman potongan upah, personel bagian safety di divisi tersebut pun harus mengalami pemotongan upah dengan tidak diberikannya tunjangan safety sebesar Rp500 ribu. Selain itu pelanggar K3 juga akan diberi surat peringatan (SP) bahkan terancam PHK. Namun SP ini hanya berlaku untuk buruh lokal, karena buruh TKA hanya mendapatkan pemotongan upah.

Masalah ketenagakerjaan di IMIP juga terlihat pada kesenjangan upah antara TKA dengan buruh lokal. TKA memang bekerja di hampir semua bagian kerja di perusahaan yang ada di IMIP, dari yang terendah sebagai buruh di kontraktor (istilah untuk pekerjaan di konstruksi), level kru, operator hingga level yang tinggi seperti manajemen.

Perbedaan perlakuan upah buruh lokal dan TKA dengan jenis pekerjaan yang sama telah menimbulkan persoalan serius: rasisme.

Namun demikian masalah utama dalam ketenagakerjaan di IMIP memang berakar pada kebijakan yang membuat buruh dalam posisi rentan. Perbaikan kondisi ketenagakerjaan di IMIP bukan semata pada masalah upah, tetapi secara keseluruhan dari K3 hingga aturan ketenagakerjaan yang bisa memastikan posisi buruh terlindungi di hadapan negara dan pengelola IMIP. Untuk mencapai harapan tersebut, dibutuhkan model pengorganisasian yang komprehensif. Lagi pula, diskriminasi upah telah melanggar konvensi internasional mengenai upah yang sama untuk pekerjaan dengan nilai yang sama. Dalam konteks tersebut, tuntutan kesetaraan upah menjadi masuk akal bagi buruh di IMIP.[]

Penulis

Catur Widi
Peneliti Rasamala Hijau Indonesia