MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Menduduki Stasiun, Menguasai Perkebunan, dan Menjalankan Pabrik: “Dewan Pimpinan Buruh” Pada Masa Revolusi 1945-1946

Di tahun 1950, Adam Malik menuliskan pengalamannya tentang proklamasi kemerdekaan dan masa-masa revolusi 1945. Sebagai seorang pemuda pejuang yang turut dalam arus sejarah bangsa, Adam Malik mengetahui seluk-beluk gejolak masyarakat masa itu.[1] Di dalam tulisan rangkaian pengalamannya itu, Adam Malik melukiskan peran penting pemuda sebagai motor dalam gerakan kemerdekaan – apa yang disebutnya sebagai “Kekuasaan Pemuda”. Menariknya, dalam lukisannya itu Adam Malik menyebutkan “kekuasaan pemuda” tersebut didukung “tindakan revolusioner-tangkas” yang sudah kuat mengakar.  Yaitu, seperti yang dilukiskannya:

Kaum Buruh telah bertindak, Kereta-Api ditangan Republik. Alat-penghubung jang terutama didaratan Djawa dikuasai. Dengan demikian bertambah lantjarlah perhubungan dan penjebaran orang dan berita keseluruh peloksok Djawa. Tindakan revolusioner-tangkas ini diikuti oleh Buruh-Trem, Buruh-Kolff, Buruh Peredaran Pilem dan ratusan-ribu tindakan perebutan-perusahaan diseluruh Indonesia. “Hak milik Republik, Hak milik-Buruh” Sang Merah Putih dikibarkan lambang kuasa.

(Adam Malik 1950, hal.71)

Apa yang dilukiskan Adam Malik di atas menjadi rekaman ingatan akan peran gerakan buruh di masa awal revolusi 1945. Meski diabaikan dalam sejarah resmi Orde Baru, “tindakan revolusioner-tangkas” kaum buruh nyatanya punya andil penting bagi gerakan kemerdekaan. Jika pemuda diibaratkan sebagai motor gerakan kemerdekaan, maka kaum buruh adalah otot yang menyokong motor tersebut.

Tulisan ini bermaksud melukis-ulang apa yang sesungguhnya dilakukan kaum buruh pada masa awal revolusi itu. Akan dijabarkan bahwa  “tindakan revolusioner-tangkas” kaum buruh adalah episode penting dalam sejarah berbangsa, dan terlebih lagi, dalam sejarah perburuhan. Sejarah perburuhan di Indonesia masih diselimuti kabut tebal tudingan “radikalisme” dan “komunisme” yang ditebar rejim Orde Baru dalam sejarah resmi. Tudingan label sosial ini bukan hanya menodai peran kaum buruh tapi juga, mengaburkan esensi perjuangan kaum buruh dalam perjalanan bangsa. Dengan demikian, tulisan ini menjadi tapak awal dalam menawarkan sudut-pandang yang membebaskan sejarah perburuhan dari tudingan label sosial, dan lebih berbasis pada rincian fakta sejarah. Tujuannya, agar kaum buruh dapat menepis kabut tebal sejarah perburuhan Orde Baru dengan menyelami sejarah perjuangannya sendiri.

Tulisan ini terdiri dari tiga bagian. Bagian Pertama akan membahas singkat hubungan antara gerakan buruh dengan gerakan kemerdekaan. Sejarah gerakan buruh sejak zaman penjajahan Belanda memang sudah dipenuhi (dan juga, melahirkan) ide-ide akan kemerdekaan bangsa (lihat: Ingleson 1981; Shiraishi 1990). Namun, sejak kemerdekaan bukan lagi sekedar ide, tapi sudah menjadi sebuah kenyataan, maka terbentuklah pola hubungan antara gerakan buruh dan negara. Di masa awal revolusi 1945, gerakan buruh dianggap bagian dari lengan negara. Bagian Kedua menggambarkan “tindakan revolusioner-tangkas” kaum buruh di daerah berupa perebutan, penguasaan dan pengelolaan stasiun, pabrik dan perkebunan di tanah Jawa. Tindakan kaum buruh ini, sebagaimana akan dibahas dalam bagian Ketiga, menimbulkan persoalan dan kecurigaan ekonomi-politis di kalangan para elit nasional (dan juga aktivis buruh di tingkat nasional). Kaum buruh dipaksa untuk tunduk pada kewenangan negara dalam hal penguasaan dan pengelolaan sarana-sarana publik tersebut. Di bagian akhir tulisan, akan disimpulkan makna sejarah atas “tindakan revolusioner-tangkas” yang dilakukan kaum buruh di masa awal revolusi 1945 ini.

Kaum buruh dan negara yang baru merdeka

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dilaksanakan dengan persiapan yang seadanya, karena bermaksud untuk segera mengisi kekosongan kekuasaan di tengah situasi dunia saat itu, khususnya setelah Jepang mengaku kalah atas Sekutu. Meskipun waktu persiapannya pendek, seperti yang dicatat oleh Kahin (1952, hal. 38), “pemerintahan negara yang baru merdeka ini dibentuk dengan segera,” dan Undang-undang Dasar yang menjadi pedomannya disusun pada minggu pertama. Negara republik yang baru merdeka ini menyadari bahwa dirinya mesti berhadapan dengan Belanda yang ingin menjajah kembali melalui pasukan tentara di bawah NICA. Oleh karenanya, untuk membuktikan diri sebagai negara yang berdaulat, lembaga-lembaga kenegaraan didirikan dan fungsi-fungsi kenegaraan diperluas. Sedari awal, republik muda ini ingin tampil dan bekerja sebagaimana layaknya sebuah negara yang normal dalam zamannya. 

Di dalam Undang-undang Dasar, disebutkan bahwa negara muda ini memiliki sejumlah prinsip dasar formal yang melingkupi struktur politik, kerangka kerja pemerintahan, serta mekanisme pembuatan aturan dari pemerintah pusat yang berkedudukan di Jakarta (kemudian dipindahkan ke Yogyakarta). Semuanya itu telah tersusun dengan cukup baik dan unsur-unsurnya diperlukan sebagai cerminan negara yang berdaulat – setidaknya di atas kertas.

Dalam kenyataannya, ruang lingkup dan kerja pemerintah masih sangat terbatas dan sempit. Ini dikarenakan berbagai faktor. Utamanya, karena tidak ada anggaran – sehingga menteri/anggota kabinet sekalipun kerap tidak menerima gaji bulanan secara teratur. Pada masa-masa awal revolusi ini, banyak lembaga negara baru mulai mencoba bekerja mengatur masyarakat dengan menerbitkan ketetapan dan aturan. Lingkup tugas, kelembagaan dan perangkatnya masih dalam tahap awal – dan karenanya, banyak mewarisi praktek-praktek dari masa kolonial. Selain itu juga, dalam rentang 1945-1950, yaitu selama 5 tahun, kabinet pemerintahan kerap berganti. Kebijakan pemerintahan pun sering berubah. Di dalam struktur pemerintahan, kaum elit politisi saling bersaing dengan membawa pesan-pesan ideologis. Inilah kondisi empirik negara Indonesia yang masih bayi. Fungsi negara yang normal hampir tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Oleh karena itu, periode revolusi 1945-1950 dapat disebut sebagai tahap awal pembentukan negara Indonesia.

Sementara negara sedang sibuk menata susunan pemerintahan, sejumlah aktivis pemuda di tingkat nasional merencanakan pertemuan besar di Jakarta. Sebagai hasil dari pertemuan tersebut, pada tanggal 15 September 1945, didirikanlah Barisan Buruh Indonesia (BBI) dengan tujuan untuk “mengikat mereka bahwa buruh sebagai warga negara wadjib ikut mendjalankan tugasnja, turut melaksanakan revolusi nasional” (Sandra 1961, hal. 65). Demikianlah, dengan mengatas-namakan “buruh”, aktivis pemuda membentuk BBI untuk menyatukan dan mengordinasikan buruh dari berbagai industri, demi kepentingan perjuangan kemerdekaan. Oleh karena itu, tidaklah heran pertemuan ini didukung Iwa Kusumasumantri, Menteri Sosial saat itu (Anderson 1972, hal. 213). Ia memberikan dukungan tidak resmi dengan menyampaikan resolusi BBI kepada pemerintah. Keterlibatannya dalam pertemuan ini jelas memperlihatkan peran aktif negara dalam membentuk pola hubungan buruh-negara di masa-masa awal revolusi ini.

Sebagai organisasi, BBI dianggap mewakili kaum buruh – walau sesungguhnya BBI tidak memiliki basis di daerah-daerah. Baru di kemudian hari, para aktivis BBI menyerukan pembentukan BBI di daerah-daerah republik (Van der Kroef 1953). Secara praktis, negara memandang BBI sebagai organisasi yang dapat memobilisasi massa buruh, melalui kampanye-kampanye. Massa buruh dianggap sebagai sumber tenaga pertahanan sipil di saat satuan tentara belum terbentuk. Oleh karena itu, BBI sebagai gerakan aktivis di tingkat nasional dianggap merupakan bagian dari lengan negara. Peran inilah yang sering dilekatkan atas kaum buruh di dalam perjuangan kemerdekaan.

Rebut, Duduki, Kuasai

Gerakan buruh sebagai bagian dari lengan negara sesungguhnya hanya terjadi di tingkat nasional. Di masa-masa awal revolusi 1945 peran BBI memang hanya sebatas di lingkup politik nasional belaka.  Di tingkat daerah, kondisi riil yang ada menyingkap fakta yang berbeda.

Sudah sejak awal bulan September 1945, kaum buruh sudah melakukan “tindakan revolusioner-tangkas”. Semenjak mendengar proklamasi kemerdekaan (yang beritanya mereka dengar lewat radio), kaum buruh langsung menjalin kontak satu sama lain dan menggabungkan diri dalam kelompok. Tanpa dukungan dari pihak lain manapun, kaum buruh membentuk persatuan di antara mereka dan bersiap untuk mempertahankan kemerdekaan. Berlandaskan niat “murni”demi bangsa, kaum buruh merebut pabrik, perkebunan, dan stasiun kereta dari tangan tentara pendudukan Jepang.

Adalah buruh kereta-api yang pertama kali melakukan aksi pendudukan dengan merebut stasiun-stasiun kereta api. Mereka melakukannya dengan penuh semangat dan gagah berani, berketetapan hati menunjukkan rasa kebangsaan menjadi tindakan nyata. Ini mendorong mereka untuk merebut kantor pusat kereta api, sebagaimana digambarkan dari catatan ini:

Semangat untuk merebut kekuasaan di Djakarta sementara itu telah demikian meluapnja, sehingga pada malam hari tanggal 3 September [1945] diadakan rapat dirumah Sdr. Bandero chusus untuk membitjarakan pelaksanaan pengambilan keputusan dari tangan Djepang. Esok harinja tanpa menunggu hasil utusan di Eksplotasi Barat Djakarta dilaksanakan perebutan kekuasaan. Sebagai Ketua Dewan Pimpinan merangkap pimpinan pekerdjaan dinas seharihari dipilih Sdr. Soegandi.

(Panitia Penjusun Buku 1970, hal.29)

Pada hari yang sama, sesama buruh di stasiun pusat Manggarai, melakukan tindakan serupa:

…at the Manggarai railway center in Djakarta, railway workers passed a resolution in the name of all railway employees in Indonesia, which declared the railway systems in Indonesia to be Milik Negara Republik Indonesia (state property) as of that day. Indonesian personnel were urged to consider themselves state employees, and a committee headed by Soegandi was set up to facilitate their take-over of the railways.

[…di stasiun pusat Manggarai, Jakarta, buruh kereta api mengeluarkan keputusan, atas-nama seluruh buruh kereta api di Indonesia, menyatakan bahwa seluruh kereta api di Indonesia menjadi milik Negara Republik Indonesia, terhitung sejak pada hari itu. Para personil Indonesia diserukan untuk menyatakan diri mereka sebagai pegawai negara dan sebuah panitia yang dipimpin oleh Soegandi dibentuk untuk mengatur pengambilalihan ini.]

(Sutter 1959, hal.293)

Rekaman ini membuktikan bahwa dua minggu sebelum terbentuknya BBI, buruh kereta-api sudah langsung melakukan tindakan nyata, tanpa basa-basi. Dapat terlihat bahwa, kaum buruh kereta-api membentuk kelompok berdasarkan wilayah kerja mereka. Ini tentunya, merupakan strategi praktis dalam mengambil-alih stasiun-stasiun dari tentara Jepang. 

Meskipun tanpa koordinasi, kabar dari Jakarta ini langsung tersebar ke daerah lain di Jawa. Di stasiun kota-kota besar, buruh-buruh ini membentuk kelompok yang untuk menuntaskan pengambil-alihan tersebut. Inisiatif kaum buruh kereta-api ini terus meluas, sehingga pada akhir bulan September 1945, seluruh stasiun kereta-api di tanah Jawa sudah direbut, diduduki dan dinyatakan oleh mereka sebagai milik negara.

Buruh kereta-api menyadari vitalnya fungsi stasiun kereta sebagai ruang publik sekaligus sarana perhubungan. Mereka telah menunaikan kerja yang sangat penting: merebut stasiun dari tangan tentara Jepang, menduduki stasiun dan mempertahankannya agar tetap dalam kendali kaum republik. Kondisi ini juga yang sebagaimana dicatat Adam Malik di atas, merupakan peran vital buruh kereta-api dalam menyebarkan bara api revolusi.

Pengambil-alihan stasiun-stasiun kereta-api praktis berhasil ditunaikan, tanpa banyak halangan, sepanjang bulan September 1945.  Pada tanggal 5 Oktober, dikeluarkan pengumuman resmi bahwa seluruh stasiun kereta-api di tanah Jawa sudah tidak lagi dikuasai bala tentara Jepang; tidak satupun tentara Jepang diperbolehkan memasuki stasiun, kantor, atau bengkel kereta api (Parwitokoesoemo 1946).

Dalam pengambilahan stasiun ini, kaum buruh kereta api bertindak dengan niat melayani kepentingan nasional. Motif yang sama, yaitu demi bangsa, menjadi dorongan awal dari tindakan perebutan sarana publik ini. Proses pengambilalihan itu sendiri berlangsung tanpa banyak hambatan, sebagaimana diceritakan oleh banyak catatan. Namun sesudah stasiun direbut kaum buruh kereta-api, apa yang selanjutnya dikerjakan mereka?

Inisiatif pengambil-alihan sarana-sarana publik ini tidak hanya berhenti dengan perebutan stasiun. Buruh kereta-api paham bahwa mereka perlu memastikan bahwa proses pengambilalihan tetap berada dalam kendali buruh. Dalam kondisi politik yang tidak stabil pada masa itu, kaum buruh kereta-api menyadari bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk menjalankan dan mengelola perkereta-apian, meski pengetahuan dan skill/ ketrampilan mereka sering terbatas – dan tentu saja, tanpa bantuan pemerintah barang sedikitpun. Karenanya, di setiap stasiun, buruh kereta-api membentuk sebuah unit kerja untuk mengemban tugas itu. Dalam konteks ini, stasiun tempat kerja menjadi rujukan utama mereka. Pembentukan kelompok berdasarkan wilayah ini serupa dengan yang terjadi pada buruh di banyak industri lainnya di tanah Jawa.

Demikianlah, segera setelah stasiun direbut, kaum buruh kemudian menjalankan operasionalnya sendiri. Untuk dapat menjalankan operasi kereta-api, seketika itu pula ada kebutuhan untuk membentuk suatu sistem organisasi kerja sendiri yang mampu berjalan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Kondisi inilah yang melahirkan “dewan pimpinan”.

Usai pengambil-alihan stasiun Jakarta-Kota, buruh-buruh memilih sendiri pimpinan-pimpinan bagian di antara mereka sendiri. Sebagaimana dicatat oleh Adam Malik, mereka yang dipilih  “mengutjapkan sumpah dan kesanggupan diruangan-terbuka tingkat-atas dari Stasion Kota dengan disaksikan oleh Buruh-rendahan, Pemuda dan Rakjat umum” (1950, hal. 71). Selanjutnya, di masing-masing wilayah operasinya, terbentuk Dewan Pimpinan. Tugasnya, mengawasi, mengelola, mengkoordinasikan, dan utamanya memegang kewenangan atas kelancaran sistem perkereta-apian. Sebagaimana dicatat oleh Sutter di atas, Dewan Pimpinan ini diketuai oleh Soegandi.

Tidak hanya terbatas dalam kelompok buruh kereta-api, penggambaran yang serupa juga tercatat pada buruh-buruh di perkebunan di tanah Jawa. Selo Soemardjan, berdasarkan pengamatan pribadi dan pengalamannya, mencatat episode yang sama pada buruh perkebunan gula di Yogyakarta:

A meeting of all the native factory and field workers was called to decide upon the status of the factory and to determine the way in which the open positions should be filled. The meeting unanimously decided not to recognize the foreign company as owner of the factory, but no decision was reached as to its future ownership. A second decision was made that the workers then present should run the factory and the cane plantation. Use of the profits was to be determined by a board, its composition reflecting the former technical staff and its head to be the director. In overwhelming majority, a man who had been the assistant of a former European sugar analyst and who had chaired the meeting was elected director; he was the only one who had any specialized education in sugar production (actually only a one-year training period). The other open positions were to be occupied by the highest-ranking and oldest native worker in each branch.

[ Rapat seluruh buruh pabrik dan perkebunan diadakan untuk memutuskan status pabrik dan menentukan cara mengisi jabatan-jabatan yang lowong. Rapat memutuskan secara bulat untuk menolak perusahaan asing sebagai pemilik pabrik, meski tidak ada keputusan tentang kepemilikan pabrik untuk waktu seterusnya. Keputusan kedua, buruh yang ada saat itu harus menjalankan pabrik dan perkebunan tebu. Peruntukkan keuntungan diputuskan oleh suatu dewan yang beranggotakan tenaga-tenaga bagian teknik, dan kepalanya bertindak sebagai pimpinan. Dengan suara mayoritas, seseorang yang pernah menjadi asisten dari seorang analis gula Eropa, yang bertindak memimpin rapat, terpilih sebagai pimpinan; ia adalah satu-satunya orang yang pernah mengenyam pendidikan khusus di bidang produksi gula (meski sesungguhnya hanya merupakan pendidikan satu tahun). Posisi lain yang lowong diisi oleh pegawai pribumi pemegang jabatan tertinggi dan yang tertua dari setiap cabang.]

(Selo Soemardjan 1957, hal.194)

Di sini kita menyaksikan bagaimana buruh-buruh perkebunan menapak jejak yang serupa dengan kaum buruh kereta api. Yaitu, bergerak menjalankan roda perkebunan dengan melangsungkan pertemuan untuk mengkonsolidasi kelompok, dan kemudian memilih pimpinan di antara mereka guna menjaga arahan kerja bersama di dalam perkebunan.

Demikianlah, rebut-duduk-kuasai adalah langkah awal dalam proses pengambil-alihan sarana-sarana publik di tanah Jawa di masa awal revolusi 1945. Proses selanjutnya adalah pembentukan Dewan Pimpinan. Kewenangan atas stasiun, pabrik dan perkebunan diserahkan ke pundak rekan sejawat yang memiliki keterampilan dan pengalaman lebih. Kepemimpinan di antara mereka diakui dengan dasar bahwa pemimpin harus diberi kewenangan untuk mengambil keputusan dan mengatur pekerjaan. Karenanya, dewan pimpinan yang terpilih menjalankan tugas manajemen dan meletakkan dirinya untuk bertanggungjawab kepada kaum buruh secara keseluruhan. Kaum buruh menguasai, mengatur, dan menjalankan stasiun, pabrik dan perkebunan.  Dalam konteks demikian, kaum buruh di daerah sudah menentukan “tindakan revolusioner-tangkas” ini jauh dari hingar-bingar politik nasional yang dikampanyekan BBI di Jakarta.

Semua kasus yang tersebar ini tampaknya timbul secara organik di masa awal revolusi 1945. Kaum buruh menganggap pengambil-alihan sarana-sarana publik sebagai bentuk pemenuhan panggilan nasionalisme demi kepentingan terbaik dari bangsa yang masih bayi ini. Selain itu, tidak ada catatan yang menggambarkan adanya pihak luar yang menganjurkan atau memprovokasi langkah-langkah yang diambil kaum buruh ini. Kaum buruh bertindak secara mandiri. Dalam situasi sosiopolitik yang tidak stabil pada masa itu, jelaslah pengambil-alihan oleh buruh merupakan reaksi yang tepat.

Di dalam mengatur stasiun dan menjalankan perkereta-apian, kaum buruh bekerja di bawah arahan bersama Dewan Pimpinan. Organisasi kerja masih mengikuti penjenjangan yang dibuat pada masa pendudukan Jepang, yang membagi buruh dalam tiga tingkatan (atas, menengah, bawah). Hanya saja, pada masa revolusi ini tidak ada lagi pembagian kerja berdasarkan ras. Tidak ada lagi perwira tentara Jepang ataupun tuan Belanda kulit putih yang menjadi pimpinan mereka. Hal ini penting, karena kaum buruh sekarang dibebaskan dari sistem kerja rasialis-kapitalisme. Mereka bekerja di bawah pimpinan yang mereka pilih sendiri. 

Operasional perkereta-apian pun berjalan lancar seperti semula. Di masa-masa awal ini, Dewan Pimpinan berhasil mengatur operasional dan memutar kembali layanan perkereta-apian menghubungkan kembali kota-kota besar di tanah Jawa. Tercatat bahwa layanan perkereta-apian mampu berjalan “cukup lancar …[meskipun] ada pertempuran-pertempuran dan kejadian-kejadian yang berkaitan dengan masuknya pasukan Ingris (dan Belanda)” (Sutter 1959, hal. 359). 

Demikianlah, kaum buruh bukan saja menjawab panggilan nasionalisme, tetapi juga memberikan bukti nyata dalam pengelolaan sarana-sarana publik. Bahwa kaum buruh mampu merebut, memimpin dan menjalankan stasiun, pabrik dan perkebunan – dan semuanya ini dikerjakan secara mandiri. 

Di dalam pengaturan Dewan Pimpinan ini, peningkatan taraf penghidupan menjadi persoalan yang penting. Kaum buruh tidak ingin mengulang kembali kondisi kerja yang buruk seperti yang sudah mereka alami di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Namun demikian, ada satu persoalan riil yang mereka hadapi. Yaitu, persoalan ketiadaan gaji. Pada masa-masa awal revolusi ini, kaum buruh tidak memperoleh gaji. Di dalam kondisi demikian, di kalangan buruh kereta-api tumbuh semacam pemahaman bersama bahwa dengan menjalankan tugas sehari-hari mereka memperoleh pemasukan secara kolektif yang mereka pahami bersifat informal dan tidak semata-mata dalam bentuk uang, bisa juga berupa barang. Situasi serupa terjadi di antara para buruh yang bekerja di perkebunan gula, sebagaimana direkam oleh Selo Soemardjan:

The director and the board, not knowing to whom they owed responsibility, communicated every important decision to their fellow workers by written announcement upon the communication boards. As an additional incentive for the workers, the board decided to distribute a part of the sugar product to them, everyone receiving an amount of sugar according to the position he held in the hierarchy. Another part of the sugar product was put aside to support the guerilla troops. Relations with others outside the factory were carried out by the director, assisted by the members of the board. In this way the factory for several months acted as an autonomous organization, resisting any interference from outside.

[Pimpinan dan anggota dewan, yang tidak tahu kepada siapa mereka bertanggung-jawab, mengabarkan semua urusan yang penting kepada sesama buruh, melalui keputusan tertulis yang disampaikan melalui bagian komunikasi. Berkenaan dengan imbalan tambahan untuk buruh, dewan memutuskan untuk membagikan sebagian produksi gula kepada buruh, semua buruh mendapatkan jatah gula yang jumlahnya sesuai jenjang jabatan. Sebagian produksi disisihkan untuk menyokong pasukan gerilya. Hubungan dengan pihak luar pabrik dilakukan oleh pimpinan dibantu anggota dewan. Jadi, sepanjang beberapa bulan tersebut pabrik bertindak sebagai organisasi otonom, yang menolak campur tangan dari luar.]

(Selo Soemardjan 1957, hal.195)

Demikianlah, dapat kita ketahui bahwa Dewan Pimpinan sebagai perwakilan buruh tidak hanya mengatur operasional tetapi juga menyatu-padukan semua hasil kerja bersama untuk dibagikan secara merata di antara kaum buruh sendiri. Sistem pengelolaan yang kaum buruh jalankan atas stasiun, pabrik dan perkebunan ini memperbolehkan mereka memegang kendali, memutuskan, menjalankan keputusan dan membagi hasil kerja bersama. Semuanya dilakukan sendiri oleh buruh, tidak ada tangan kekuasaan apapun atas mereka. [2]

Pada sistem pengaturan bersama dan pengelolaan oleh Dewan Pimpinan, garis perintah produksi bersifat horisontal – ini jelas berbeda dari sistem kapitalisme yang berstruktur vertikal. Dengan pengelolaan oleh sesama mereka sendiri, kaum buruh menjalankan dan mengatur tempat kerja sehingga roda produksi tetap menggelinding. Dalam konteks situasi masa itu, hal ini mampu mempertahankan kepentingan mereka sebagai buruh. Mereka dapat tetap bekerja, tidak kehilangan pekerjaan dan dapat bertahan di tengah kesusahan sosial-ekonomi jaman itu. Oleh karena itu, berbeda dari sistem rasialis-kapitalisme kolonial Belanda ataupun pengerahan tenaga dalam sistem fasisme tentara pendudukan Jepang, sistem kolektivisme yang dijalankan Dewan pimpinan jelas lebih memberdayakan kaum buruh. 

“Tindakan revolusioner-tangkas” yang kaum buruh jalankan pada masa revolusi ini nyatanya tidak hanya sebatas dalam rebut-duduk-kuasai, tapi juga merupakan satu bentuk penolakan atas sistem produksi kapitalisme. Kepemilikan berada di tangan Dewan Pimpinan yang dipilih bersama, dan produksi tidak didikte oleh mekanisme pasar. Dengan keberhasilan tersebut – sebagaimana tercermin pada kelancaran layanan kereta-api dan berjalannya baiknya perkebunan – maka Dewan Pimpinan dianggap menantang kekuasaan struktur hirarki “atasan”, baik yang bersifat ekonomi (yaitu, kaum majikan) ataupun politis (yaitu, negara). Oleh karenanya, Dewan Pimpinan dipaksa tunduk dalam wacana ekonomi-politik dan sebagaimana akan dijabarkan di bawah ini, menjadi hanya berumur pendek.

Wacana ekonomi-politik yang mengukung kaum buruh

Seiring dengan berjalannya waktu, sampai di akhir tahun 1945, republik muda membenahi diri dan mulai menunjukkan taring kepemerintahannya. Negara menaruh perhatian yang besar akan apa yang terjadi di daerah, dan khususnya, yang dilakukan oleh kaum buruh. Di mata pemerintah, perkebunan adalah alat produksi yang penting dan kereta-api merupakan sarana angkutan utama hasil produksi tersebut. Karena memiliki fungsi ekonomi dan strategis, negara merasa berhak untuk menguasainya. Terlebih lagi, dengan semakin banyaknya pabrik dan kawasan perkebunan yang dikuasai oleh buruh, pemerintah beranggapan bahwa meluasnya gejala sosial ini tidak menguntungkan bagi stabilitas ekonomi secara keseluruhan dan/atau bagi penanaman modal, karena perusahan-perusahaan tersebut secara hukum masih milik Belanda. Selo Soemardjan mencatat bahwa kaum buruh menguasai hampir semua pabrik asing yang ada di daerah (1957, hal. 196). Oleh karenanya, di awal tahun 1946 negara menyusun langkah untuk menguasai stasiun kereta-api dan perkebunan di seluruh Jawa.

Kondisi politik di akhir tahun 1945 juga menentukan arah gerak republik muda atas gerakan kaum buruh. Berbeda dari kondisi bulan September 1945 saat negara mendukung gerakan buruh dan menyokong BBI, maka di bulan November 1945 negara mulai melihat gerakan buruh dengan mata awas. Kaum buruh dapat berpotensi menjadi sumber ketidakstabilan politik. Ini dikarenakan adanya pembaruan politik di bulan November 1945 yang melahirkan sistem kabinet parlementer. Sistem kabinet parlementer melahirkan beragam partai politik, dari berbagai aliran ataupun ideologi yang diusungnya. Di saat inilah, Sjahrir naik ke panggung dan menjadi perdana menteri. Republik muda tidak lagi dinahkodai oleh Soekarno dan Hatta, tetapi ada di bawah kendali Sjahrir sebagai harapan kelompok pemuda yang menghendaki perubahan.

Kabinet Sjahrir yang didominasi oleh kaum sosialis (dan kelompok kiri dari beragam aliran) nyatanya tidak cukup kuat menghadapi desakan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang mewakili berbagai kelompok dalam masyarakat. Sementara itu pula, hadir satu aktor yang memasuki panggung nasional: Tan Malaka, yang menantang keabsahan pemerintah. Lewat organisasi Persatoean Perdjoeangan (PP), Tan Malaka mulai menanen dukungan rakyat dalam mendesakkan ide-ide politiknya yang radikal. Secara khusus, Tan Malaka menyerukan pengambilalihan seluruh perusahaan asing, tanpa gantirugi.

Di lain sisi, kondisi politik nasional ini juga dimanfaatkan oleh aktivis Sjamsu Harja Udaja – yang membangkang dari BBI – dan melihat peluang bagi gerakan buruh untuk mengedepankan agendanya sendiri. Dia memobilisasi pembentukan Partai Buruh Indonesia (PBI), yang dengan segera menyelenggarakan kongres pertamanya pada tanggal 15 Desember 1945. Lewat PBI, aktivis buruh tingkat nasional mulai memasuki gelanggang kekuasaan politik praktis.

Dalam kondisi politik yang demikian, pemerintah beranggapan bahwa gerakan buruh harus dibatasi agar tetap berada dalam kendali negara. Pemerintah mencurigai apa yang Dewan Pimpinan lakukan adalah bentuk penguasaan buruh atas ekonomi nasional dan simbolisasi ambisi kaum buruh di dalam gelanggang politik, yang akan difasilitasi oleh PBI. Meski curiga atas kegiatan kaum buruh, Sjahrir tidak menekan atau memberangus gerakan kaum buruh – ini tentunya juga, untuk memelihara citra pemerintahannya yang demokratis. Sjahrir menyadari bahwa menindas buruh hanya akan membangkitkan militansi mereka. Pemahamannya tersebut mungkin didasari pengalamannya saat aktif di dalam gerakan buruh selama di negeri Belanda pada masa sebelum Perang Dunia kedua. Di dalam satu tulisannya yang diterbitkan tahun pada tahun 1933 (diterbitkan kembali tahun 1947), Sjahrir menegaskan bahwa: “pergerakan buruh tidak dipersamakan dengan pergerakan kebangsaan, bahwa pergerakan buruh tidak dibuntutkan sadja kepada pergerakan kebangsaan” (1947, hal. 24).[3]

Dapatlah kita tafsirkan bahwa Sjahrir sudah dapat memperhitungkan bahwa buruh memiliki kepentingannya sendiri dan oleh karenanya, negara tidak dapat memperlakukan buruh semata-mata sebagai bagian dari lengan negara seperti yang terjadi di masa-masa awal revolusi 1945.

Adalah justru wakil presiden Hatta yang dengan terang-terangan mengecam praktek penguasaan oleh Dewan Pimpinan. Dalam konferensi ekonomi yang diselenggarakan di Yogyakarta di awal tahun 1946, Hatta menyebutnya sebagai “sindikalisme” (Sutter 1959, hal. 377).[4] Konferensi itu sendiri diselenggarakan guna merumuskan cetak biru bagi pembangunan ekonomi. Hatta hadir dan berbicara lebih sebagai seorang ekonom (daripada sebagai seorang politisi), dengan memperingatkan kaum buruh agar “tidak salah memahami sindikalisme sebagai demokrasi ekonomi dan secara sewenang-wenang mengganti pejabat tanpa sepengetahuan atau tanpa persetujuan pemerintah” (Sutter 1959, 393). Tak diragukan lagi bahwa Hatta sudah menerima laporan dari beberapa pejabat daerah tentang sulitnya meminta Dewan Pimpinan untuk melepaskan penguasaan atas stasiun, pabrik dan perkebunan di daerah masing-masing.

Nyatanya, pemakaian istilah  “sindikalisme” melahirkan wacana ekonomi-politik yang mencurigai tindakan penguasaan kaum buruh atas stasiun, pabrik dan perkebunan. Ia mengandung makna bahwa penguasaan kaum buruh atas sarana publik senantiasa memiliki tujuan politik, dan merupakan bentuk pembangkangan terhadap kewenangan negara. Dalam kondisi revolusi yang masih labil, istilah “sindikalisme” seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, gerakan buruh diakui memiliki kekuatan menggerakkan massa bagi kepentingan negara. Di lain sisi, gerakan buruh mengandung potensi untuk menantang pemerintah berkuasa (terutama, yang masih bayi). Demikianlah, kekuatan proletariat yang terkandung dalam gerakan buruh dielukan, dikagumi, dan bernilai fungsional, tetapi juga dicurigai dan ditakuti karena dapat menggulingkan kekuasaan negara.

Setelah pidato Hatta di Yogyakarta, pemerintah mulai memusatkan perhatiannya untuk mengendalikan situasi ekonomi-politik perburuhan. Terlebih lagi, di tingkat nasional PBI di bawah Sjamsu berusaha meradikalisasi kaum buruh, dengan memanfaatkan kekecewaan buruh dalam bidang ekonomi untuk menantang keputusan pemerintah (Anderson 1972, hal. 251-6). Meski belum ada rencana yang matang, sasaran umum pemerintah adalah mengambil-alih sarana-saran publik dari tangan kaum buruh, dan menjinakkan potensi ancaman gerakan buruh di daerah. Sejak saat itulah kaum buruh dianggap sebagai entitas terpisah, bukan lagi dianggap sebagai lengan negara, yang perlu diawasi dan perlu dijaga agar tidak melakukan langkah politik yang tak terduga.

Bagi kaum buruh sendiri, istilah “sindikalisme” yang dilontarkan Hatta melahirkan kegelisahan sosial baru. Kaum buruh di daerah, berbeda dari para aktivis di tingkat nasional, tidak memiliki tujuan politik praktis. Meski gerakan buruh digambarkan sukar untuk tunduk-patuh pada keputusan pemerintah, tidak ditemukan laporan yang menggambarkan kaum buruh di daerah memanfaatkan praktek penguasaan sarana publik itu untuk tujuan politik tertentu. Selain itu juga, “tindakan revolusioner-tangkas” yang mereka lakukan adalah bukti kesetiaan dalam semangat kebangsaan, yang pada gilirannya ternyata cukup mampu melindungi kepentingan mereka sebagai buruh. Tudingan “sindikalisme” mematahkan semangat perjuangan kaum buruh di daerah.

Demikianlah bahwa “tindakan revolusioner-tangkas” berupa penguasaan dan pengelolaan sarana publik oleh kaum buruh merupakan gejala yang baru untuk dapat dipahami. Elit nasional, pemimpin politik dan aktivis buruh di Jakarta masih meraba-raba bentuk gerakan buruh di daerah. Sayangnya, dalam upaya memahami gejala baru ini, tudingan “sindikalisme” lebih punya gaung daripada mendekatkan telinga untuk dapat mendengar sendiri suara kaum buruh di daerah.

Tudingan “sindikalisme” membuktikan bahwa kebanyakan pemimpin politik di tingkat nasional tidak menyetujui penguasaan dan pengelolaan oleh kaum buruh di daerah. Aktivis aliran kiri (dan juga kelompok sosialis) juga mempunyai pendapat yang serupa. Meski berbeda aliran politik, nampaknya elit nasional dan aktivis kiri punya kecurigaan yang sama. Penguasaan dan pengelolaan oleh kaum buruh dianggap menyalahi pakem wacana ekonomi-politik akan kewenangan negara. Bagi mereka, ekonomi nasional sepenuhnya harus berada di dalam kewenangan negara, dan karenanya, pengelolaan sarana publik oleh kaum buruh tidak boleh dibiarkan menjadi lembaga yang permanen.

Dalam konteks demikian, dapat kita mengerti mengapa aktivis buruh di tingkat nasional justru mendukung kebijakan pemerintah untuk menguasai sarana-sarana publik dari tangan buruh – dan bukannya membela pencapaian dan pengorbanan kaum buruh daerah selama ini. Dukungan aktivis buruh di Jakarta dapat kita baca dari pernyataan resmi BBI tentang persoalan ini (lihat: koran Merdeka, 11 Mei 1946).

Di dalam pernyataannya, BBI menuding kaum buruh di daerah memiliki “salah pengertian tentang paham sosialisme jang berdasarkan milik bersama atas alat-alat prodoeksi.” BBI juga menyatakan bahwa penguasaan dan pengelolaan sarana publik oleh kaum buruh adalah “kinderziekte” atau, penyakit kanak-kanak, yang “menjesatkan pergerakan boeroeh kearah syndicalisme, jang sebenarnja bermaksoed hendak mempergoenakan hasil peroesahaan oentoek kepentingan golongan-golongan atau orang-orang terseboet.” Di akhir penyataannya, BBI mengusulkan agar pemerintah segera melakukan “tindakan-tindakan tepat dengan tjepat”, yaitu: 

  1. Meloeaskan dan mendalamkan penerangan serta pendidikan kepada kaoem boeroeh jang dapat membimbingnja kearah perdjoeangan boeroeh jang benar. Oesaha ini hendaklah dilakoekan disamping oesaha mengkonsolideer organisasi boeroeh jang masih labiel atau gojang.
  2. Pemerintah hendaklah selekasnja mengko-ordineer peroesahaan-peroesahaan, onderneming-onderneming paberik-paberik jang masih terlantar dengan memegang pimpinan prodoeksinja jang disertai dengan sikap jang lebih tegas terhadap status peroesahaan-peroesahaan vital milik kapital asing jang kini dikoeasai oleh kaoem boeroehnja.
  3. Membersihkan pergerakan boeroeh daripada pengaroeh-pengaroeh dari golongan-golongan atau orang-orang jang hendak menjesatkan haloean perdjoeangan boeroeh. Inilah kewadjiban daripada pimpinan boeroeh jg. hendaklah dilakoekan dengan kebidjaksanaan jang disertai tanggoeng-djawab.
Barisan Buruh Indonesia

Jelaslah, susunan kalimat pernyataan di atas adalah buah pikiran intelektual kota dengan segala prasangka politik praktis. Meski mengklaim sebagai wakil kaum buruh, BBI yang dibentuk oleh para aktivis buruh di tingkat nasional, ternyata tidak memahami apa yang sedang dipertaruhkan. Dengan menuding perjuangan buruh di daerah sebagai “penyakit kanak-kanak”, BBI telah memangkas kemajuan nyata yang dicapai kaum buruh atas penguasaan dan pengelolaan sarana publik. Dengan menyerukan agar pemerintah menggunakan ototnya untuk membekukan pengelolaan oleh buruh dan “membersihkan pergerakan boeroeh”, mereka sudah menyerahkan cek kosong kepada pemerintah untuk mengkontrol arah perjuangan gerakan buruh.

Peristiwa-peristiwa di kemudian hari memperlihatkan bahwa BBI dalam kenyataannya tidak memiliki pengaruh kuat di daerah-daerah dimana kaum buruh sungguh berjuang. Kaum buruh di daerah mesti memperjuangkan nasib dan kepentingannya sendiri, tanpa dukungan dari aktivis nasional di Jakarta. Terlebih juga, elit nasional kerap memanfaatkan kaum buruh untuk kepentingan ideologi-politik mereka sendiri.

Atas seruan BBI tersebut, pemerintah sesungguhnya juga menyadari kapasitas kelembagaannya yang masih terbatas untuk membekukan seluruhnya praktek pengelolaan kaum buruh di daerah. Untuk beberapa kasus, pemerintah mengambil tindakan praktis. Misalnya, untuk menguasai stasiun kereta-api dari tangan Dewan Pimpinan, pemerintah menerbitkan serangkaian “makloemat” (aturan internal) di bulan Februari 1946 yang mengatur kelembagaan perkereta-apian secara terpusat. Administrasi dan pengelolaan kereta-api disusun di bawah kendali suatu badan pemerintah yang baru dibentuk, yaitu: Djawatan Kereta Api (DKA). Dengan membentuk DKA, maka pemerintah memaksa pembubaran Dewan Pimpinan buruh kereta-api. Terlebih pula, anggota-anggota DKA adalah orang-orang yang ditunjuk oleh pemerintah, tanpa adanya konsultasi dengan kaum buruh kereta-api terlebih dahulu. Kaum buruh kereta-api akhirnya berjuang dengan membentuk Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) di bulan Maret 1946, sebagai wadah kebersamaan mereka. Hal yang sama juga terjadi dengan kaum buruh perkebunan gula, sehingga melahirkan Serikat Buruh Gula (SBG) (lihat: Brown 1994).

Untuk menguatkan langkah praktis yang ditempuhnya, pemerintah pusat juga kemudian mengumumkan pada tanggal 20 Maret 1946 bahwa “seluruh perusahaan yang dulu di bawah kendali pemerintah Jepang dikelola oleh pemerintah Republik di daerah” (Reid 1974, 125). Dengan ini maka pemerintah memaksa kaum buruh untuk menyerahkan stasiun kereta-api, pabrik dan perkebunan yang selama ini berada di dalam pengelolaan Dewan Pimpinan. Demikianlah, perjuangan kaum buruh di daerah sejak September 1945 lewat perebutan, penguasaan dan pengelolaan sarana-sarana publik tersebut, berakhir hingga sekitar bulan Maret 1946. Terbelenggu wacana ekonomi-politik negara, Dewan Pimpinan buruh hanya berumur pendek.

Penutup

Memahami apa yang kaum buruh lakukan pada masa ini membuka perspektif baru akan revolusi 1945. Revolusi kemerdekaan 1945 bukan hanya melulu soal perang dan tentara, ataupun pengaturan sistem kenegaraan. Justru ketika negara Indonesia sedang sibuk dalam tahap menata susunan pemerintahan, kaum buruh di daerah sudah mampu mengorganisir dirinya. Apa yang kaum buruh kerjakan itu bukanlah semata-mata kebetulan sejarah, tetapi memiliki makna penting sebagai penanda kemandirian kaum buruh dalam mengatur dirinya sendiri pada masa-masa genting tersebut. 

“Tindakan revolusioner-tangkas” kaum buruh di masa awal revolusi 1945 merupakan bukti nyata keterlibatan kaum buruh akan perjuangan kemerdekaan republik. Kaum buruh merebut, menduduki dan menguasai stasiun kereta-api, pabrik, dan perkebunan sebagai bentuk pengamanan atas hak-hak milik republik. Tak sebatas itu, kaum buruh juga mengatur dan mengelola operasional jalannya perkereta-apian dan perkebunan sehingga mampu mengamankan pelayanan dan produksi, guna mencukupi kebutuhan hidup mereka sebagai buruh. Meski berumur pendek, Dewan Pimpinan sebagai pengatur dan pengelola kerja-bersama kaum buruh pada masa revolusi tersebut, telah menjalankan peran sejarahnya yang krusial. Ia menjadi rekaman ingatan akan kematangan kaum buruh dalam berorganisasi secara mandiri. Oleh karena itu, apa yang dilakukan kaum buruh di daerahnya masing-masing selama periode awal revolusi ini merupakan episode penting dalam sejarah kebangsaan dan juga, sejarah perjuangan buruh.[]

Daftar Pustaka

Adam Malik. 1950. Riwajat proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Widjaja.

Anderson, Benedict. 1972. Java in a time of revolution: occupation and resistance, 1944-1946. Ithaca:

Cornell University Press.

Brown, Colin. 1994. “The politics of trade union formation in the Java sugar industry, 1945-1949,” dalam

Modern Asian Studies 28 (1), hal. 77-98.

Cooper, Frederick. 1996. Decolonization and African society: the labor question in French and British

Africa. Cambridge: Cambridge University Press.

Ingleson, John. 1981. “‘Bound hand and foot’: railway workers and the 1923 strike in Java,” dalam

Indonesia 31, hal. 53-87.

Kahin, George. 1952. Nationalism and revolution in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Moenadi. 2012. Otobiografi dan tulisan-tulisannya. Bogor: Lembaga Informasi Perburuhan Sedane.

Panitia Penjusun Buku (ed.). 1970. Sekilas lintas 25 tahun perkereta-apian, 1945-1970. Bandung, PNKA.

Parwitokoesoemo. 1946. “Kereta api didalam perdjoeangan kemerdekaan satoe tahoen,” dalam  Kereta

Api 24, hal. 18-20.

Reid, Anthony. 1974. The Indonesian revolution, 1945-1950. Hawthron: Longman.

Sandra. 1961. Sedjarah perkembangan buruh Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakjat.

Shiraishi, Takashi. 1990. An age in motion: popular radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca: Cornell

University Press.

Sjahrir. 1947. Pergerakan sekerdja. Jogjakarta: Sarekat Buruh Pertjetakan Indonesia.

Soemardjan, Selo. 1957. “Bureaucratic organization in a time of evolution,” dalam Administrative

Science Quaterly 2 (2), hal. 182-199.

Stoler, Ann Laura. 1983. “In the company’s shadow: labor control and confrontation in Sumatra’s

plantation history, 1870-1979.” Ph.D. Thesis, Columbia University.  

Sutter, John. 1959. Indonesianisasi: politics in a changing economy, 1940-1955. Volume II: The

Indonesian economy during the revolution. Data Paper no. 36-II.  Ithaca: Cornell University.

Van der Kroef, Justus. 1953. “Indonesia’s labour movement: its development and prospect,” dalam

United Asia 5 (4), hal. 223-231.

Wolf, Charles Jr. 1948. The Indonesian story: the birth, growth and structure of the Indonesian republic.

New York: John Day Co..


[1] Tulisan ini pernah terbit di http://www.majalahsedane.net, 2012.

[2] Menariknya, laporan mata-mata Belanda juga mengakui hal ini. Lihat: Nefis Publicatie no. 11 (27.6.46).

[3] Lengkapnya: “Kaum buruh harus menjokong pergerakan kemerdekaan, dan pergerakan kebangsaan harus menjokong buruh untuk mendjadi kuat dan subur sebab kekuatan dan kesuburannja itu, berarti menambah kekuatan Ra’jat Indonesia, menambah kesuburan dan kekuatan pergerakan kemerdekaan, pergerakan kebangsaan. Akan tetapi kaum buruh mempunjai lapangan pekerdjaan jang lebih lebar lagi dari pergerakan kebangsaan, jaitu selain dari mengadakan pertahanan nasib dan penghidupannja dalam sarekat sekerdja, mengadakan ichtiar jang tersusun dan teratur untuk meruntuhkan kapitalisme. Bagi kaum buruh untuk mendapat kemerdekaanja tidak sadja imperialisme, didalam makna imperialisme pendjadjahan jang dimusuhi, akan tetapi imperialisme didalam makna kapitalisme jang ada pada waktu ini didunia, didalam makna memerangi stelsel perburuhan, stelsel kapitalisme, untuk mentjapai socialisme. Sebab itu kemadjuan pergerakan buruh meminta supaja pergerakan buruh tidak dipersamakan dengan pergerakan kebangsaan, bahwa pergerakan buruh tidak dibuntutkan sadja kepada pergerakan kebangsaan, bahwa pergerakan buruh dibenamkan didalam pergerakan kebangsaan” (Sjahrir 1947, hal. 24).

[4] Sindikalisme adalah satu sistem ekonomi, sebagai tandingan kapitalisme dan juga sosialisme, yang bersendikan serikat-serikat buruh dalam mengatur dan mengelola perekonomian negara. Istilah sindikalisme yang dilontarkan Hatta menggambarkan bahaya dan risiko yang muncul bila kaum buruh berada di luar kontrol negara. Sebagai tudingan, istilah ini tidak dimaksudkan untuk menggambarkan proses sebenarnya dari apa yang buruh kerjakan, melainkan untuk menentang atau mengecamnya.

Penulis

Jafar Suryomenggolo
Penulis buku Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal (Marjin Kiri, 2015) dan Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita (EA Books, 2022).