MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Setelah ‘Staycation Syarat Perpanjang Kontrak’

Satu bulan berlalu. Media massa tidak lagi diramaikan dengan berita ‘staycation syarat perpanjangan kontrak’ di salah satu pabrik di Cikarang. Hingga hari ini saya menganggap kasus tersebut sangat penting. Hampir setiap hari saya update berita-berita kasus ini baik media-media online. Tapi tampak sepi.

Kasus staycation menurut saya makin menjauh dari akar persoalan yang menahun, yaitu kekerasan dan pelecehan berbasis gender di dunia kerja. Sementara itu, pemberitaan di media massa lebih banyak menyoroti kehidupan pribadi korban, AD. Bahkan, netizen yang tadinya berpihak kepada AD sekarang berbalik menyerang, apalagi setelah Tiktok dan Instagram AD diumumkan ke publik. Media massa umum turut mengeksploitasi dan menjadikan AD sebagai obyek, seperti judul berikut ini: Begini Paras Cantik Alfi Damayanti Karyawati di Cikarang yang Tolak Staycation Bos Berujung Pemecatan, Netizen: Pantesan… (Tvonenews.com, 12/5/2023); Tolak Staycation, Ini Wajah Alfi Damayanti Karyawati Cikarang Tanpa Masker yang Bikin Penasaran (Tribunnews.com, 12/5/2023).

Dengan sengaja media massa umum pun lebih banyak memberitakan barang-barang yang dipergunakan oleh AD seperti handphone, jam tangan, perayaan ulang tahun di hotel mewah, sehingga postingan-postingan di akun Tiktok AD menjadi bulan-bulanan warga dunia maya. Netizen berpikir bahwa pelecehan yang dialami AD, semata karena gaya hidupnya yang hedon. Dari kasus AD, harapan menjadikan dunia kerja yang bebas dari pelecehan seksual semakin jauh.

Saya membaca di media online Tribunjateng.com (15/5/2023) dengan berjudul Sikap Asli Alfi Damayanti yang Diajak Bos Staycation Diungkap Leader Pabrik, Ini Tanggapan Wamenaker. Di berita tersebut Wamenaker Alfiansyah Noor mengatakan, “Tapi Mbak AD bisa melaporkan ke pengawas kita jadi Kemenaker itu punya direktorat pengawasan di sini lah fungsi pengawasan untuk menerima laporan dan kami segera melakukan investigasi langsung cepat”. Isi berita tersebut diedit dengan buruk. Tapi, saya senang dengan pernyataan Wamenaker. Makanya, di tulisan ini saya menebalkan pernyataan tersebut dengan harapan, pernyataan tersebut bukan sekadar cuap-cuap.

Namun, sejauh pengalaman saya, berurusan dengan pengawas ketenagakerjaan baik di tingkat provinsi maupun pusat hasilnya mengecewakan.

Saya akan menceritakan pengalaman saya mendampingi kasus dan berurusan dengan pengawas ketenagakerjaan. Ketika mendampingi kasus, saya akan membuat surat pengaduan ke pengawasan. Pengaduan tersebut akan disertai dengan berkas-berkas lain, seperti bukti dan kronologi.

Apakah surat tersebut mendapat respons? Tidak! Makanya, tidak heran kebanyakan kasus perburuhan akan mendapat respons ketika viral di media sosial atau karena kita melakukan demonstrasi di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan. Saya sih tidak menyarankan ‘datang baik-baik dengan cara yang sopan’ karena memiliki konsekuensi tidak menyenangkan. Misalnya, diusir secara halus. Sepengetahuan saya, salah satu sambutan baik Kemnaker terhadap tamu adalah kedatangan rombongan pengusaha yang menuntut fleksibilisasi jam kerja pada akhir 2022.

Satu bulan setelah mengirim surat tidak ada jawaban, saya dan kawan-kawan memutuskan melakukan demonstrasi di Kantor Kemnaker. Setelah melakukan audiensi, akhirnya mereka memberikan respons. Tapi, bukan menyelesaikan masalah. Pembaca pasti mengetahui jawabannya. Mereka mengatakan: “Keluhan Anda kami tampung. Silakan lengkapi berkasnya.”

Itulah yang dialami saya dan kawan-kawan. Pola ‘tidak ada respons’ dan ‘direspons jika Kemnaker didemo terlebih dahulu’ itu terjadi berulang. Itulah yang saya alami dari 2012 sampai 2023. Inilah jawaban template ketika kami mempersoalkan pengawas ketenagakerjaan, “Mohon maaf tenaga pengawas kami terbatas sedangkan jumlah perusahaan di satu wilayah bisa ribuan”.

Setelah audiensi biasanya perwakilan Kemnaker akan berbaik hati menyediakan dan menawarkan nomor kontak untuk dihubungi. Bulan pertama akan terjadi komunikasi untuk memberitahukan perkembangan kasus. Lebih dari sebulan, komunikasi akan mulai terganggu. Jika kita memberitahukan tentang perkembangan kasus, mereka sekadar membaca. Jika kita berinisiatif datang ke kantor, mereka akan beralasan sedang keluar atau harus membuat janji terlebih dahulu.

Suatu hari saya dan beberapa kawan mendatangi Kantor Kemenaker. Tujuannya menemui bagian pengawasan. Tentu saja untuk melaporkan kasus, sebagaimana mereka klaim di atas,”[K]ami segera melakukan investigasi langsung cepat”. Tiba di Kantor Kemnaker, Satpam meminta kami mengisi buku tamu. Setelah itu, Satpam menghubungi bagian pengawasan yang kami sebutkan. Biasanya, setelah prosesi itu kami dipersilakan masuk. Nahas sekali, hari itu Satpam memberitahu kami bahwa bagian pengawasan sedang ke lapangan. Jadi kami tidak boleh masuk dan dipersilakan pulang.

Karena terlanjur di Jakarta, saya berinisiatif menghubungi petugas pengawasan melalui telepon genggam. Saya mengirimkan pesan Whatsapp. Tidak dibalas, bahkan tidak dibaca. Saya berusaha menelepon tapi tidak diangkat. Saya dan kawan-kawan akhirnya memutuskan untuk masuk melalui pintu lain. Kami berhasil masuk. Akhirnya kami langsung menuju ruangan yang dituju. Tiba di ruang pengawasan, ternyata, mereka memang sedang duduk-duduk. Saya kesal. Saya berbicara dalam hati, “Ini Satpam yang berbohong atau pengawas yang berbohong. Rasanya Satpam tidak mungkin berbohong atas nama atasannya. Tapi, mana mungkin pengawas berbohong karena mereka adalah pejabat publik yang dibayar rakyat”.

Kembali lagi ke masalah pengawas ketenagakerjaan. Persoalan-persoalan perburuhan memang bisa mengadu ke pengawasan. Menurut peraturan perundangan, tugas mereka di antaranya mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Dengan tugas tersebut memang semestinya pengawas ketenagakerjaan di berbagai level bergerak aktif. Bukan menunggu laporan. Tapi, mereka beralasan tidak dapat melakukan pengawasan karena jumlah pengawas sangat sedikit dan anggaran pengawasan terlalu kecil. Tapi, sebenarnya, permasalahan yang diadukan pun belum tentu ditindaklanjuti.

Untuk perusahaan-perusahaan di sekitar Jabodetabek saja, mereka masih memiliki alasan untuk tidak melakukan pengawasan atau menghindar menindaklanjuti pelaporan. Kita bisa membayangkan buruknya kinerja pengawasan di perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan di luar Pulau Jawa. Menurut saya, jumlah pengawas yang sedikit dan anggaran yang kecil memang disengaja. Sejak duapuluh tahun lalu, alasan itu-lah yang selalu dipergunakan untuk menutupi bobroknya peran negara di hadapan pengusaha. Jadi, menurut saya, mereka memang tidak berniat melaksanakan perintah peraturan perundangan: seorang pengawas wajib memeriksa paling sedikit lima perusahaan setiap bulan atau 60 perusahaan dalam satu tahun.

***

Kembali dengan kasus AD. Tadinya saya sedikit optimis pengawas ketenagakerjaan akan mengatasi kasus ‘staycation’ minimal sampai di ranah pidana. Saya optimis karena kasus ini viral. Dalam pengamatan saya hampir semua media massa mengangkat kasus ini. Artinya, kredibilitas Kemnaker sedang dipertaruhkan. Kasus ini berakhir dengan: pelaku diadukan ke Polres Metro Bekasi (Tempo.co, 16/5/2023). Bareskrim Mabes Polri mengambil alih kasus tersebut dengan alasan ingin mendalami kasusnya. Pelakunya pun ditetapkan sebagai tersangka (Suara.com, 18/5/2023).

Sekarang, kasus AD dianggap selesai. Bagaimana dengan peristiwa-peristiwa pelecehan seksual di tempat lain? Lagi-lagi saya mengingatkan kasus pelecehan di dunia kerja bukan kejadian tunggal dan bukan sekadar masalah individual. Kejadian seperti AD merupakan gejala umum di dunia kerja yang harus segera diatasi dan diakhiri. Ini adalah masalah struktural.

Sejauh pengetahuan saya, sudah banyak penelitian mengungkapkan mengenai praktik pelecehan berbasis gender. Dalam lima tahun terakhir, serikat-serikat buruh tingkat nasional telah melakukan penelitian mengenai kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Jika Kemnaker beralasan tidak menerima hasil penelitian tersebut atau malas untuk membaca hasil penelitian tersebut atau tidak memiliki waktu untuk membaca laporan-laporan yang masuk ke website lapor.go.id, dapat mengandalkan komentar-komentar netizen di media sosial. Komentar-komentar tersebut dapat menjadi langkah awal melakukan investigasi.

Menurut saya, bagi serikat buruh penting untuk melihat kembali akar persoalan kasus ‘staycation syarat perpanjangan kontrak’ dalam konteks yang lebih luas. Di artikel sebelumnya, Ekspoitasi Seksual, Bukan Bahan Candaan, saya menulis,

“Kita berhadapan dengan kebijakan yang merugikan semua kalangan: Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang tersebut membuat kesempatan kerja semakin sulit, buruh semakin dihargai murah tanpa kepastian kerja. … [R]ibuan buruh perempuan yang sedikit memiliki pilihan, negara tidak pernah memberikan perlindungan. Mereka hanya dapat mengandalkan dirinya sendiri”.

Nonon Cemplon, 2023

Artinya, sebagai buruh, apalagi buruh kontrak, apalagi perempuan, nyaris tidak memiliki daya tawar. Agar diangkat menjadi buruh tetap modal rajin bekerja, patuh dan taat saja tidak cukup. Sedangkan atasan di tempat kerja memiliki kuasa sepenuhnya. Atasan dapat menggunakan kekuasaannya untuk melecehkan tubuh perempuan atau mengeruk uang ‘membayar untuk perpanjangan kontrak’. Jika ‘staycation’ dikategorikan sebagai pelecehan seksual, ‘membayar’ dapat dikatakan sebagai kekerasan ekonomi.

Dari kasus-kasus yang saya amati ada dua situasi atasan melakukan pelecehan, yaitu saat melamar kerja dan ketika berakhirnya kontrak kerja. Tentu saja pelaku akan membuat skema agar tujuannya tercapai. Pertama, atasan akan bersikap baik atau seperti menjadi ‘dewa penolong’ di hadapan korban. Tujuannya adalah mendekati korban. Misalnya, membelikan barang-barang mahal, menjanjikan diterima bekerja, atau dijanjikan perpanjangan kontrak. Di tahap ini, tampak tidak terjadi kekerasan dan pelecehan.

Kedua, jika target sudah mendekat, pelaku akan mengeluarkan jurus selanjutnya. Biasanya kalimat yang diungkapkan bernada intimidatif yang membuat korban serba salah, ‘Oh, kamu ingin bekerja di sini. Nanti kita bicarakan sambil makan siang?’. Dalam kasus perpanjang kontrak kalimatnya seperti ini, “Sebentar lagi kontrak kamu berakhir. Bisa kita bicarakan sambil makan siang?” Kalimat itu bisa disampaikan secara langsung atau melalui pesan elektronik. Di tahap ini, pelaku dapat saja berhasil atau gagal. Di tahap kedua ini, atasan sudah melakukan dua tindakan, yaitu penyalahgunaan kekuasaan dan ancaman tidak langsung. Di tahap kedua ini pula bentuk-bentuk pelecehan seksual mulai dilakukan.

Saya punya cerita tentang tindakan kekerasan dan pelecehan saat melamar kerja di salah satu pabrik di Kota Tangerang, yang memproduksi sepatu merek internasional. Pabrik tersebut dikenal dengan buruhnya yang muda dan cantik. Meskipun tidak tercantum di persyaratan resmi, bukan rahasia lagi jika melamar dan memiliki peluang diterima bekerja di pabrik tersebut adalah: perempuan yang putih, usia maksimum 25 tahun, tinggi minimal 165 cm dan good looking.

Ketika proses pengajuan lamaran kerja, saya mendapat cerita muak dari salah satu buruh. “Dulu waktu diwawancara sama ‘aki-aki’. Satu-satu dipanggil ke ruangan. Dikira beneran diwawancara kerjaan, ternyata ditanya ‘udah nikah belum?’. Saya disuruh jalan kayak peragawati. Si ‘aki-aki’ pegang-pegang payudara saya.” ‘Aki-aki’ adalah istilah yang familiar di pabrik tersebut untuk menyebut laki-laki di yang ditugaskan di bagian penempatan dan perekrutan buruh baru.

Tidak berhenti diproses wawancara. Buruh-buruh perempuan muda dan good looking tersebut akan ditempatkan di bagian assembling di bagian belakang gedung seperti ‘nali’, menempel hang tag dan bungkus. Kenapa di bagian tersebut seperti dikhususkan untuk perempuan muda dan good looking? Karena bagian tersebut akan diperiksa oleh perwakilan brand. Atau, perempuan muda dan good looking tesebut ditempatkan di bagian inspect. Di bagian inspect tugas mereka memperlihatkan hasil-hasil produksi ke perwakilan brand, dari membuka hingga merapihkannya kembali. Lalu apa hubungan perempuan muda dan good looking dengan hasil produksi? Ya saya tidak tahu. Tanya saja ke pemilik pabrik.

Sudah menjadi rahasia umum di pabrik tersebut bahwa perempuan-perempuan muda dan good looking tersebut akan mendapat perlakuan khusus. Seperti dilibatkan dalam event-event, diajak jalan bersama, diberikan barang-barang mewah. Lagi-lagi dalam pandangan para buruh perempuan tersebut, relasi tersebut adalah relasi kerja. Mereka bisa saja menolaknya dengan berbagai cara, tapi memiliki konsekuensi terhadap pekerjaan. Namun, ada saja cerita yang tidak sanggup menolak. Kemudian, perempuan muda dan good looking tersebut menjadi obyek pelecehan. Pada akhirnya, ketika satu di antara mereka akan kedapatan hamil, mereka akan segera dibuang.

Saya rasa saat ini adalah waktu yang tepat untuk mendorong pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 190 dan Rekomendasi 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Kita tidak bisa terus-menerus meratapi kekalahan dan meromantisasi gerakan buruh di periode 2011-2012, apalagi gerakan buruh di periode 1990-an. Memang di dua periode tersebut, gerakan buruh begitu kuat. Sekarang masalah ada di depan mata. Saatnya kita bergerak kembali. Menata kembali pengorganisasian, pendidikan dan perlawanan.[]