MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Narkobus Pelumas Kapital

Kita sering mendengar istilah “malam minggu, malam yang panjang’’. Malam ketika banyak anak muda yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), menghabiskan waktunya di akhir pekan. Keasyikan menghabiskan malam dengan bercengkrama bersama teman atau pacar di tongkrongannya hingga larut malam, bahkan hingga azan Subuh. Itulah sebabnya malam minggu adalah malam yang selalu ditunggu oleh sebagian besar anak muda.

Namun, menikmati malam minggu, untuk sebagian orang tidak bisa dinikmati setelah lulus SMA. Terutama bagi mereka yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan dan terpaksa bekerja karena tuntutan ekonomi keluarga. Pun untuk buruh-buruh yang bekerja.

Memasuki fase kerja, bulan pertama hingga ketiga, biasanya masih bersemangat bekerja. Apalagi saat baru menerima upah. Namun, ketika memasuki bulan keempat, secara perlahan mulai merasakan sulitnya untuk bisa menikmati dan menghabiskan waktu di akhir pekan dengan orang-orang terdekat, sebagaimana ketika masih sekolah.

Setelah bekerja menjalankan mesin produksi di pabrik dengan berbagai omelan atasan, dari hari Senin hingga Jumat, akhir pekan adalah waktu yang ditunggu-tunggu buruh. Namun bukan untuk nongkrong seharian bersama orang-orang terdekat, melainkan  untuk beristirahat, tidur dan bermalas-malasan di rumah. Setelah bekerja, bersosialisasi, pertemanan, dan persahabatan mulai berjarak. Keberjarakan itu lambat laun secara tak sadar menjadikan buruh seperti individual.

Setelah memiliki beban kerja, akhir pekan dan malam minggu berubah. Dari hari dan malam yang panjang untuk bersosialisasi, bercengkrama dan pacaran, berubah menjadi hari yang pendek untuk beristirahat.

Waktu untuk bersosialisasi menjadi terbatas, sebagian besar buruh memanfaatkan akhir pekannya untuk pemulihan tubuh. Agar di awal pekan berikutnya tetap segar bugar berangkat ke tempat kerja. Itu pun jika akhir pekan tidak dituntut lembur. Dari pengamatan dan pertemuan saya dengan beberapa orang, buruh kelahiran 90-an hingga 2000-an memiliki cara masing-masing untuk menghibur dan mengatasi kelelahannya agar dapat bekerja kembali di hari berikutnya dengan beban dan tuntutan dari perusahaan.

Beban kerja tinggi menjerumuskan buruh

Rita (bukan nama sebenarnya) adalah perempuan muda kelahiran Bogor yang bekerja di salah satu perusahaan e-commerce di Jakarta. Saat ditanya kenapa sangat rajin bekerja. Katanya, karena hampir setiap hari mendapatkan ‘doktrin’ tentang kesuksesan.

Quote “bekerja keraslah, karena orang sukses terlahir dari para pekerja keras” selalu menjadi kata mutiara ketika ia mulai lelah dan bosan dengan segala tuntutan pekerjaan. Quote semacam itu, tak hanya datang dari atasannya di tempat kerja, orang-orang di sekitar lingkungan rumahnya pun kerap menyampaikan kerja keras Rita kelak akan membuahkan hasil. Menjadi orang sukses. Pengertian sukses dalam masyarakat indutri adalah memiliki banyak uang dari hasil kerjanya.

Awalnya Rita percaya bahwa quote itu bisa men-sugesti dirinya, sebagai penyemangatnya ketika bekerja. Namun ketika atasannya sering memarahinya karena selalu menuntut kerja terbaik, Rita mulai meragukan quote kesuksesan tersebut. Bahkan, Rita mencurigai quote yang ditulis dengan huruf kapital berukuran jumbo di pintu masuk perusahaan atau yang sering diucapkan oleh atasannya saat briefing pagi adalah kibulan semata.

Kecurigaan itu semakin diperkuat ketika Rita setiap 6 bulan harus memperpanjang kontraknya. Oleh sebab itu, memercayai kesuksesan yang status sosialnya hanya sebagai buruh adalah kebodohan. Nyatanya, Rita bekerja keras, pemilik perusahaan yang kaya raya. Apalagi, ia yang hanya sebagai buruh kontrak yang upahnya hanya mentok di besaran upah minimum. Sementara pemilik perusahaan terus menikmati keuntungan dan kemewahan dari kerja Rita dan buruh lainnya.

Menurut Rita, buruh jauh lebih rajin ketimbang pemilik perusahaan. Bagaimana tidak, setiap hari, sepuluh menit setelah azan Subuh Rita harus sudah sampai di stasiun kereta api. Setiap pagi harus berlomba  memenangkan perebutan kursi di kereta dengan buruh-buruh lainnya. Jika terlambat tiba di stasiun, ia terpaksa  berdiri di kereta selama 1 jam 25 menit dengan berdesakan seperti ikan cue.

Tiba di tempat kerja, Rita langsung duduk menghadap layar laptop selama 7 jam. Jika kerjanya berlebih, terkadang perusahaan tidak menghitungnya sebagai kerja lembur. Bahkan, ketika bel pulang kerja berbunyi Rita tak bisa langsung menyudahi pekerjaannya dan pulang. Dengan alasan urgent, atasannya kerap memerintahkan Rita untuk mengerjakan revisi-revisi dadakan yang harus diselesaikan saat itu juga.

Dari pengalamannya bekerja, dongeng tentang kesuksesan menjadi khayal bagi Rita yang hanya seorang buruh. Bukan kesuksesan yang terjadi, sebaliknya  kesehatan, pola tidur dan kehidupannya malah makin berantakan setelah lebih dari dua tahun ia bekerja.

Apapun itu, sebagai anak muda, Rita tetap membutuhkan healing. Agar tetap bisa menikmati waktu healing-nya, sering kali Rita berpura-pura sakit agar bisa terhindar dari tuntutan pekerjaan. Walaupun itu hanya menunda pekerjaan saja, karena esok harinya ia tetap dituntut  menyelesaikan pekerjaan yang ditundanya di hari sebelumnya.

Waktu healing Rita biasanya dengan menonton acara festival musik. Hal itu dilakukan agar bisa menikmati musik favoritnya secara langsung. Terutama penyanyi atau group musik yang  lagu-lagunya selalu menemani Rita ketika dirinya dimarahi oleh atasannya.

Selain menonton acara musik, untuk mengatur ritme tubuhnya agar terus kuat bekerja dan menjadi penenang untuk segala emosi ketika tidak bisa berbuat apa-apa. Terutama saat berhadapan dengan omelan atasanya. Rita mengonsumsi psikotropika jenis sabu. Meskipun ia tahu, hal itu bisa menjadi masalah baru bagi hidupnya. Selain risiko ditangkap polisi, juga risiko harus mengeluarkan cost lebih banyak di luar kebutuhan pokok jika sudah menjadi ketergantungan.

Jangan membayangkan Rita bisa membeli sabu sendiri. Karena upahnya pasti tidak cukup. Untuk bisa membelinya, ia patungan dengan beberapa temannya yang juga mengalami problem yang sama: stress kerja.

Mengonsumsi narkotika terpaksa ia lakukan agar tetap bisa bekerja di bawah tekanan pekerjaan yang menurutnya tidak masuk akal. Seperti atasan yang meminta revisi pekerjaan pada saat tengah malam. Jika menolak, Rita akan mendengarkan 30 menit suara omelan atasannya di sambungan teleponnya.

“…terpaksa karena kadang merasa tidak sanggup untuk bertahan di pekerjaan yang seperti itu. Membuat stres. Namun gue harus menghidupi hidup yang serba butuh uang,” keluh Rita.

Selain Rita, saya juga menemui beberapa buruh yang melakukan hal serupa. Mengonsumsi psikotropika. Alasan mereka mengonsumsi narkotika beragam, dari yang sebagai ajang rekreasi dan penenang dikala tubuh dan pikiran lelah setelah bekerja hingga menjadi penambah stamina ketika bekerja.

Kasus kelelahan dan stress kerja berkorelasi dengan perkembangan industri dan kebijakan indutri, termasuk kebijakan tentang perburuhan. Hasil survei yang dilakukan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI) tentang dampak kondisi kerja terhadap kesehatan mental  menemukan:  40 dari 100 orang pekerja di bidang e-commerce, arsitektur dan media yang berstatus kontrak mengalami stress berat akibat beban kerja tinggi. Hal itu disebabkan oleh kurangnya waktu istirahat secara teratur.[1]

Dengan demikian apa yang dilakukan Rita bukan semata-mata karena salah bergaul alias masalah moral. Tapi juga disebabkan oleh faktor kondisi kerja dan faktor tempat kerja yang buruk dan berdampak pada kesehatan mentalnya. Untuk  mengatasi stressnya Rita mengonsumsi narkoba. Tentu saja tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan.

Stamina buruh dan pelumas kapital

Terlepas dari itu semua, ketika buruh mencari caranya sendiri agar mampu bekerja dengan segudang bebannya yang diuntungkan tidak lain dan tidak bukan adalah pemilik perusahaan.

Selain Rita, cerita yang sama saya dapatkan dari Adam (bukan nama sebenarnya), yang  berstatus sebagai buruh magang pada salah satu pabrik otomotif yang memproduksi suku cadang mobil di Tangerang. Agar kuat menunaikan semua perintah lembur dari atasannya, Adam mengonsumsi obat jenis Tramadol. Ia tak dapat menolak perintah lembur, apalagi statusnya hanya buruh magang. Tidak ada lembur yang Adam lewatkan setiap harinya. Hal itu harus ia jalani karena upah hariannya tidak mencukupi untuk hidupnya.

Tramadol adalah obat yang juga dikategorikan narkotika bukan psikotropika yang digunakan untuk meredakan rasa nyeri. Obat ini banyak dijual di apotek dan dengan resep dokter. Adam mengonsumsinya setiap hari agar kuat bekerja lembur hingga tengah malam.

Hal yang sama juga dilakukan Roni (bukan nama sebenarnya), buruh yang bekerja pada pabrik garmen di Sukabumi. Roni harus menelan obat jenis Excimer atau Trihexyphenidyl setiap hari untuk bekerja. Untuk membelinya ia harus merogoh kocek lebih banyak daripada Adam. Jika Adam harus membeli Tramadol setiap seminggu sekali seharga Rp20-Rp30 ribu, sementara Roni harus membeli Excimer seharga Rp40 ribu setiap dua hari sekali.

“…[B]iasanya kalo untuk hiburan nelennya lebih dari tiga, itu belum termasuk alkohol, karena hiburan untuk menghilangkan masalah sejenak itu ngefly,” ucap Roni yang menunjukkan bahwa mengonsumsi Excimer dan alkohol selain untuk daya tahan bekerja juga untuk hiburan.

“Untuk mencari uang. Gesit di pabrik. Untuk rekreasi kalo malam mingguan,” ucap Roni ketika menyatakan hal yang serupa dengan Adam.

Rita mengakui bahwa dirinya mengenal barang tersebut karena depresi menghadapi pekerjaan kantornya. Jika tidak memakai itu ia mengaku belum tentu kuat mengerjakan pekerjaan yang tak masuk akal. Walaupun ia mengakui hal tersebut menambah cost tambahan untuk membeli barang tersebut.

Sementara Roni dan Adam memakai obat-obatan tersebut untuk bekerja lebih gesit dan kuat. Dengan mengonsumsi itu Adam berhasil menunaikan semua perintah lembur setiap hari selama sebulan, tanpa terlewatkan. Meskipun sekarang Adam sudah merasakan dampak terhadap kesehatannya dan berusaha sekuat mungkin mengurangi ketergantungannya terhadap obat.

Roni pun mempunyai alasan yang sama. Awalnya hanya untuk menambah semangat kerja, namun menurutnya karena bisa dipakai untuk rekreasi ia menggunakannya. Dan membuat dirinya ketergantungan dengan obat-obatan tersebut.

Terhimpit antara dua dunia yang membunuh, perusahaan terus menggerogoti tubuh Rita, Adam, dan Roni dengan bekerja lebih panjang. Risiko mengonsumsi obat-obatan pun berpotensi besar terjadinya penurunan kondisi kesehatan bahkan kematian. Risiko lainnya, mereka akan berhadapan dengan hukum yang kadang lebih tajam ke bawah.

Cerita Rita, Adam dan Roni bukan semata kenakalan remaja yang haus hiburan. Namun ada hal yang lebih penting, di bawah rezim kerja yang tidak aman dan upah murah akan selalu banyak orang-orang seperti mereka. Untuk bersenang-senang atau menenangkan dirinya saat beristirahat setelah jam kerja panjang.

Jika melihat survei Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2017, proporsi penyalahgunaan narkoba terbesar adalah kelompok buruh yaitu sebesar 59 persen, disusul oleh pelajar 24 persen dan populasi umum 17 persen. Menurut laporan survei tersebut besarnya presentasi pemakai narkoba di kalangan buruh karena bisa dipicu oleh tekanan kerja dan tingkat stress yang tinggi serta kemudahan mendapatkan pasokan narkoba.[2]

Rezim upah murah biang kerok buruh adiktif

Tulisan ini tidak sedang menggeneralisasi semua buruh melakukan hal yang sama. Namun hanya ingin memperlihatkan bahwa rezim upah murah dan rezim jam kerja tidak hanya memisahkan kita dengan orang-orang terdekat dan terkasih. Tapi juga menjeremuskan buruh dari dunia gelap, menjadi pecandu ‘narkobus’.

Sementara pemilik perusahaan terus mendapatkan keuntungan dari cara buruh mengatasi beban dan tuntutan kerja dari perusahaan. Buruh tidak hanya diperas tapi juga dijerumuskan. Di sisi lain negara semakin tidak menunjukkan keberpihakannya terhadap buruh melalui undang-undang antiburuh: Omnibus Law Cipta Kerja. Buruh terus menjadi korban dari rezim pabrik yang buruk dan tidak manusiawi.

Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Per.11/Men/Vi/2005 Tahun 2005, perusahaan diwajibkan melakukan Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya di Tempat Kerja (Permenakertrans 11/2005).

Melakukan pencegahan narkoba di dalam perusahaan bukan hanya berbicara pemakai di dalam perusahan dan peredaran di tempat kerja. Dalam kasus Rita, Roni dan Adam mereka mendapatkan barang tersebut bukan di dalam perusahan melainkan di luar perusahaan. Sudah menjadi rahasia umum peredaran narkoba ini juga banyak dibekingi oleh oknum aparatur negara. Seperti baru-baru ini kasus terbesar yang ramai dibicarakan seorang jenderal bintang dua ditetapkan sebagai tersangka karena menjual barang bukti jenis sabu.

Terlepas dari mana barang itu didapatkan, kasus Rita, Adam dan Roni menunjukkan musabab kenapa mereka mengonsumsi narkoba. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena efek domino dari rezim upah murah dan rezim pabrik yang menuntut para buruh bekerja lebih panjang.

Oleh karena itu, pencegahan terhadap peredaran dan penyalahgunaan narkoba di tempat kerja dapat juga dilakukan dengan mengawasi secara ketat perusahaan-perusahaan yang memberlakukan jam kerja panjang dan tidak manusiawi, atau mengawasi perusahaan yang membayarkan upah di bawah upah minimum. Selain memperketat pengawasan tentu saja pemberian sanksi terhadap perusahaan yang melanggar aturan harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

***

Sebelum tulisan ini selesai saya mendapat kabar bahwa Roni ditangkap  karena membawa tiga bet Tramadol dalam tasnya untuk stock ia agar kuat bekerja. Sementara Rita baru saja menelepon saya mengabarkan bahwa ia baru saja beres menjalankan rehabilitasi. Sebulan sebelumnya ia di-PHK oleh perusahaannya.

Rita menutup telepon dengan kesal, “Perusahan Bajingan memang!”


[1] Pekerja Kurang Istirahat dan Tak Punya Kejelasan Karir di Masa Depan – SINDIKASI. Tersedia: https://sindikasi.org/pekerja-kurang-istirahat-dan-tak-punya-kejelasan-karir-di-masa-depan/ diakses pada tanggal 02 Oktober 2022.

[2] Porsi Terbesar Penyalahguna Narkoba Adalah Karyawan! Hal apa yang perlu perusahaan lakukan?. Tersedia:https://sukabumikab.bnn.go.id/porsi-terbesar-penyalahguna-narkoba-adalah-karyawan-hal-apa/ diakses pada tanggal 12 Juli 2023