Bukan Masalah Receh
Mungkin bagi orang di luar lingkaran kami persoalan-persoalan yang kami hadapi ketika melaksanakan kampanye media sosial adalah persoalan teknis dan receh. Bagi saya dan kawan-kawan persoalan tersebut harus diselesaikan. Jika tidak, akan melemahkan kampanye. Tidak cukup diberikan agitasi dan propaganda. Tapi memang benar-benar dipandu dan ditemani.
Berikut adalah keluhan sering terungkap ketika melaksanakan kampanye:
“Teh seminggu ini saya gak kampanye. Gak ada paketan”. Artinya tidak semua anggota tidak memiliki kuota internet.
“Aduh sinyal dideket rumah saya lagi dibetulin. Jadi gak bisa kampanye”. Ini keluhan salah satu anggota yang di sekitar rumahnya terdapat tower BTS yang sedang diperbaiki. Dia mengira, jika tower BTS-nya sedang diperbaiki maka tidak dapat melakukan kampanye.
“Mbak saya gak bisa kalau kampanye sore ya. HP-nya masih dibawa suami kerja. Suami saya pulangnya pukul 11.00 malam. Minggu ini dia shift dua”. Salah satu anggota yang memiliki satu HP untuk sekeluarga.
“Teh, saya jarang-jarang kampanye. HP-nya rebutan sama anak”. Ini keluhannya sama dengan yang di atas.
“Mbak tolong buatin lagi akun. FB saya diblokir”. Ini biasanya anggota lupa password. Tapi ada juga yang memang diblokir oleh admin FB. Kemudian tidak mengerti cara membuat email.
“Teh, ini gimana akun Twitter saya diblokir”. Kasus ini serupa dengan yang di atas. Tapi kasus ini lebih banyak diblokir oleh admin Twitter.
Demikianlah keluhan yang biasa saya dan kawan-kawan terima, baik disampaikan melalui whatsapp grup maupun pada saat pertemuan rutin bulanan.
Dari kendala yang ditemui, saya dan kawan-kawan mengklasifikasikan kendala-kendala yang kami hadapi di antaranya:
1. Persoalan keuangan
Syarat utama kampanye media sosial adalah memiliki HP dan kuota. Harga kuota Rp50 ribu untuk sebulan untuk yang kerja mungkin bukan persoalan besar. Tapi bagi emak-emak yang sudah tidak bekerja, prioritas keuangan adalah membeli beras, jajan anak atau susu. Anggaran buat kuota internet dialokasikan dari kelebihan uang belanja.
Bagaimana menyelesaikan masalah tersebut? Ada sekitar 500-an anggota yang bertahan. Mereka tersebar di sembilan wilayah tinggal. Kami mendorong setiap anggota di wilayah menggalang ‘dana kolekan’ untuk membantu kawannya agar memiliki kuota untuk melaksanakan kampanye.
2. Tidak memiliki akun media sosial dan tidak mengerti teknis kampanye
Masalah nomor dua ini berkaitan dengan ketidakpahaman dengan teknis kampanye. Mereka biasanya mengalami kebingungan koneksi internet, kuota dan sinyal. Misalnya, mereka melihat di handphone-nya sinyal kuat, kuotanya pun tersedia tapi tidak ada koneksi internet karena fungsi koneksi internet tidak diaktifkan. Persoalan ini kadang membuat kami tertawa geli. Ada juga telepon genggamnya menolak meng-install aplikasi Twitter atau Facebook karena isi memori teleponnya banyak foto atau video atau aplikasi lain yang terpasang.
Ada pula anggota yang telah memiliki akun Twitter tapi masih bingung mengoperasikannya. Ada pula persoalan sudah menginstal aplikasi Twitter. Tapi tidak mengerti cara memiliki akun.
Untuk itu kami pun memandunya dari membuat email hingga tata cara memposting dan sebagainya.
Persoalan-persoalan di atas memerlukan pemecahan teknis. Tidak dapat dianggap sepele. Untuk bagian ini kata kuncinya satu: SABAR! Apalagi jika yang memiliki kendala tersebut bukan anggota tapi keluarga dari anggota. Biasanya mereka meminta waktu khusus untuk mendapat pelatihan media kampanye.
Oh iya, untuk mendorong kampanye itu massif kami juga mendorong anggota dan keluarganya, bahkan saudaranya terlibat. Bayangkan saja, jika kita memiliki anggota 500 orang dan setiap orang memiliki dua anggota keluarga, berarti 1000 orang terlibat dalam kampanye.
Selanjutnya adalah kami membuat kelas belajar cara kampanye media sosial, seperti biasa dalam satu minggu kami membuat dua sesi belajar yaitu hari Sabtu dan Minggu, yaitu pagi sekitar pukul 10.00 WIB-13.00 WIB; dan sore pukul 14.00 WIB–17.00 WIB. Mengingat anggota emak-emak atau ibu rumah tangga yang tidak bisa lepas dari pekerjaan domestik maka agenda yang dibuat harus sefleksibel mungkin agar mereka bisa terlibat.
Seperti yang sudah ditulis di atas bahwa sesi belajar adalah sesi yang berat tapi lucu. Karena kami harus menjelaskan fungsi smartphone, cara membuat email, cara mem-posting, membubuhkan tagar, men-tag akun lain dan sebagainya.
Karena persoalan-persoalan tersebut sangat teknis maka model belajarnya bersifat individual. Model belajar demikian terlalu melelahkan, akhirnya kami membuat video tutorial kampanye media sosial. Tutorial itu dibagikan ke anggota melalui grup Whatsapp atau secara pribadi.
3. Bagaimana mencapai target 100 kampanye setiap hari?
Dengan sumber daya manusia yang belum maksimal target 100 sulit tercapai. Tetapi ketika ada keinginan maka hal yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Walaupun hanya sekitar tiga hari atau seminggu kampanye kami pernah menembus angka sekitar 160-an. Kok tahu? Tentu kami tahu karena setiap bulan Korwil (Koordinator Wilayah) akan memeriksa kampanye anggotanya. Menurut saya langkah ini penting, kita tidak cukup apa hasilnya tapi bagaimana prosesnya, apa kendalanya. Menemani proses dan memecahkan kendala itulah yang lebih penting ketimbang mengetahui hasilnya. Kalau kita hanya bertanya hasil sama saja dengan manajer pabrik.
Walaupun kampanye massif hanya terjadi saat momen-momen tertentu, seperti ulang tahun Adidas, ulang tahun kasus atau di saat ada perundingan atau pengaduan kasus ke OECD, kami melihat itu adalah capaian yang luar biasa.
Agar jumlah yang kampanye maksimal, kami menyiasatinya dengan membuat akun ganda, di mana satu orang membuat dua akun. Ada juga upaya mengajak anak, suami atau saudara yang mempunyai akun media sosial untuk berkampanye. Cara lain adalah kami sebagai pimpinan mencoba meminta solidaritas kepada kawan lain baik dengan mengirimkan surat, Japri atau kotak pesan media sosial. Walaupun untuk hal ini kami harus tahan mental dan tahan malu apabila permintaan solidaritas diabaikan.
Kebahagiaan
Ketika melakukan kampanye media sosial kemudian ada akun yang tidak dikenal turut menyebarkan kampanye rasanya bahagia tak terkira. Ternyata rasa itu dialami kawan yang lain. Ketika kami melakukan evaluasi mingguan mereka akan menceritakan mengungkapkan kebahagiaan bahwa status mereka dibagikan pula orang lain.
Entah karena pernah merasakan kebahagiaan ketika kampanye di media sosial, mereka pun tak sulit untuk memberikan solidaritas terhadap kasus lain. Mereka antusias menanggapi permintaan solidaritas dari siapapun.
Mengapa kampanye media sosial?
Sekarang era media sosial. Telepon genggam yang disebut smartphone tidak hanya sebagai alat komunikasi. Para pemilik perusahaan telah menjadikan telepon genggam sebagai salah satu media iklan. Setiap hari kita dihadapkan dengan berbagai macam iklan korporasi. Hampir seluruh media sosial isinya adalah iklan korporasi. Hampir seluruh anak-anak muda yang berpikir keras untuk membuat konten kreatif capaian puncaknya agar dapat endorse alias dapat giliran jadi bintang iklan dari produk tertentu.
Sampai hari ini saya meyakini bahwa PHK adalah salah satu kejahatan kemanusian. Sayangnya kejadian tentang buruh yang kehilangan pekerjaan, buruh yang dipotong upahnya atau buruh yang dilecehkan, meskipun terjadi setiap hari bukan informasi yang layak diberitakan. Padahal jika diamati kasus-kasus perburuhan tersebut dapat berdampak luar biasa bagi buruh dan keluarganya.
Contoh, kasus PHK 1300 buruh PDK. Akibat pemecatan tersebut keluarga buruh porak-poranda: ada anak yang putus sekolah karena orangtuanya kehilangan sumber pendapatan, ada keluarga buruh yang diusir dari kontrakan karena tak sanggup membayar sewa kontrakan, ada istri diceraikan suami karena dianggap sudah tidak menghasilkan uang, ada yang kehilangan kesempatan untuk berobat, ada anak yang kekurangan gizi, dan dampak-dampak sosial-ekonomi lainnya. Itu adalah dampak yang sangat luar biasa. Peristiwa tersebut tampaknya bukan informasi yang layak diberitakan secara luas. Media massa umum lebih tertarik dengan informasi yang sensasional seperti demonstrasi buruh yang rusuh, perceraian dan perselingkuhan artis, para pejabat yang meresmikan sebuah gedung dan truk pengangkut ayam yang menabrak pohon.
Kecenderugan media massa itulah yang dihadapi dalam mengampanyekan kasus 1300 buruh perempuan PDK. Di satu sisi kami harus bertarung agar kasus ini layak diberitakan dan dapat mengisi lini-lini media sosial. Tidak sekadar diberitakan dan ramai di media sosial, tugas kami selanjutnya adalah menjaga isu dan eskalasi isunya. Mengampanyekan, menjaga dan mengeskalasikan isu membutuhkan dukungan anggota. Sekali lagi, kampanye media massa bukan sekadar: teknik membuat tagar dan menjadi viral. Tapi pengorganisasian dan penguatan anggota.
Bisa saja sebuah isu berhasil dikampanyekan, tapi tidak berhasil dijaga. Karena isunya ditimpa oleh isu lain. Bisa saja sebuah isu berhasil dijaga, tapi gagal menjadi isu bersama, bahkan ditinggalkan oleh anggotanya. Karena itu, kampanye media massa butuh keterlibatan anggota dan butuh strategi.
Saya ingin memberikan catatan. Kampanye kasus bukan sekadar ingin mendapat pemberitaan media massa lokal dan nasional. Bukan pula sekadar mendapat simpati dari pihak luar. Jangan merasa senang ketika diwawancara media massa. Jika tujuan kampanye kasus hanya demikian, Anda bisa mencoba menggunakan search engine Google dengan kata kunci ‘buruh PDK’ maka akan muncul informasi mengenai kasus kami. Menurut saya, tujuan dari kampanye kasus adalah memenangkan tuntutan dan meningkatkan kemampuan buruh agar lebih berani dan terorganisasi. Jadi, kampanye kasus harus dipersiapkan dengan matang.
Kita sama-sama mengetahui, media sosial bukan tempat yang netral. Tiap media sosial memiliki karakter dan ‘penghuninya’. Ketika kami melakukan kampanye media sosial tidak sedikit yang mencibir, menghina, bahkan secara terus terang menolak.
Berikut adalah respon pengguna sosial ketika kampanye berlangsung.
“Kampanye melulu emang ada efeknya?! Emang gak bosen?!
“Mbak, saya minta tolong banget “Brand X” marah sekali. Kampanye Mbak ini berdampak terhadap order di PT X”.
“Mbak minta tolonglah jangan disebut-sebut nama bapak dipostingannya”
Dari hal di atas saya berkeyakinan kampanye yang kami lakukan ada keberhasilan walaupun tidak maksimal. Keberhasilan yang lain adalah kawan-kawan memiliki rasa solidaritas yang tinggi.
“Saya beruntung dan bersyukur diajarin kampanye media sosial. Kalau gak belajar menggunakan media sosial, saya gak terpikir untuk jualan online. Saat suami saya ter-PHK jualan online ini yang menjadi topangan keluarga kami,” kata salah satu anggota yang menggunakan kapasitas kampanyenya untuk keperluan lain. Mendapat pesan itu hati saya tersentuh, saya mengusap mata yang berkaca-kaca: antara sedih dan bahagia. Ternyata, ada hal baik yang kawan-kawan dapat dari perjuangan yang panjang ini.[]
Selesai.
Note: Tulisan ini dibuat sebagai apresiasi saya kepada kawan-kawan yang masih setia berjuang dan masih berkampanye di media sosial. Saya salut kepada kawan-kawan yang masih bertahan, berani dan tidak kenal lelah mempertanyakan hak mereka yang dirampas.
Penulis
-
Nonon Cemplon
-
Labour story teller