Bulan lalu, pemerintah menyebut rencana memecat aparat sipil negara (ASN) yang tidak produktif.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mengatakan penerapan kebijakan bekerja dari rumah bagi ASN selama wabah membuat ASN tak produktif dan dinilai tidak bisa menyelesaikan pekerjaan dan tanggung jawab mereka.
Berbarengan dengan itu, pemerintah juga akan menunda pembayaran tunjangan kinerja ASN di kementerian dan lembaga yang belum menyelesaikan pekerjaan rumah mereka terkait penyederhanaan struktur birokrasi. Di tengah wabah, birokrat di Indonesia semakin terjepit di bawah sistem yang ketat, mengeksploitasi, dan mendiskriminasi.
Kontrol atas birokrasi
Ada sekitar 4,2 juta ASN tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Para ASN memegang peran strategis yang beragam mulai dari merumuskan dan mengeksekusi rencana pembangunan dan memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat seperti di ranah perlindungan warga negara, perpajakan, kependudukan, dan masih banyak lagi.
Dalam dua dekade terakhir, manajemen birokrasi di Indonesia menunjukkan betapa kuatnya kontrol pemerintah atas tubuh birokrasi.
Dari wawancara yang kami lakukan dengan sekelompok birokrat Indonesia, kontrol ini mewujud dalam berbagai instrumen seperti absensi sidik jari, pengenalan wajah, bahkan pelacakan via satelit yang kian dianggap normal.
Pengawasan ketat terhadap tubuh birokrasi yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari wacana anti-korupsi yang mengemuka di dunia pada akhir 1990-an. Wacana anti-korupsi global ini memotret birokrasi atau ASN sebagai biang keladi korupsi.
Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa gerakan anti-korupsi global banyak didorong oleh aktor-aktor seperti Bank Dunia dan Transparansi Internasional, yang merefleksikan kepentingan aktor-aktor di dunia Barat.
Mereka memandang korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang berfokus di sektor publik, khususnya di negara-negara Dunia Ketiga.
Pendekatan demikian cenderung mengabaikan persoalan korupsi di ranah swasta, maupun di negara maju.
Di balik pandangan sempit atas korupsi, terdapat peran institusi-institusi yang mengedepankan agenda neoliberalisme – dua yang utama adalah Bank Dunia dan Transparansi Internasional, dua organisasi yang merupakan kolaborasi beberapa negara di Eropa dan Amerika.
Anti-korupsi menjadi lekat dengan agenda memuluskan jalan investasi pemilik modal dan mengecilkan peran negara yang dianggap memiliki sifat ‘korup’.
Paradigma korporatis untuk birokrasi
Sebagai konsekuensi dari gerakan anti-korupsi global, pemerintah Indonesia melakukan upaya pembenahan birokrasi dan memilih pendekatan New Public Management (NPM).
Di dunia, NPM sudah dikenal sejak akhir 1970-an. Pada 1990-an, istilah NPM digunakan untuk menggambarkan pembenahan radikal dalam manajemen layanan publik di beberapa negara seperti Inggris dan Australia.
Di Indonesia, pemikiran terkait NPM mulai diperbincangkan akhir 1990-an. Reformasi birokrasi bisa dikatakan mulai diterapkan pada tahun 2003-2004.
Pembenahan ini menerapkan manajemen ala swasta untuk membuat layanan publik fokus pada pengguna dan lebih efisien.
NPM banyak menerapkan konsep-konsep yang digunakan dalam sektor swasta, termasuk perangkat teknologi disiplin – yaitu perangkat untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pekerja, contohnya penggunaan indikator kinerja dan perangkat absensi yang memindai sidik jari.
Selain itu, NPM juga mengadopsi jargon seperti ‘budaya korporasi’ (corporate culture), ‘manajemen kinerja’ (performance management), birokrat sebagai ‘penjual’ layanan, dan masyarakat sebagai ‘pembeli’.
Lewat program reformasi birokrasi dengan pendekatan NPM, ASN dinilai berdasarkan capaian target kinerja, dan diberi iming-iming remunerasi (pemberian tambahan tunjangan) dalam iklim kerja kompetitif.
NPM menjanjikan birokrasi yang lebih profesional, yang lebih dikenal dengan gagasan good governance. Logikanya, jika birokrat profesional, maka pelayanan menjadi semakin baik di mata publik.
Di atas kertas, ini tampak seperti sebuah cita-cita mulia. Sayangnya, pada saat yang sama, NPM turut mendorong tiap-tiap ASN untuk mengejar kepentingan pribadi di atas segala-galanya.
NPM didasarkan pada public-choice theory, yakni sebuah pandangan tentang kebebasan individu dalam membuat pilihan rasional untuk mengejar tujuan-tujuan pribadi.
ASN didorong untuk menunjukkan kinerjanya, dengan cara apapun, agar bisa mendapat imbalan finansial tertentu.
Ini menjadi bumerang bagi birokrasi itu sendiri.
Karena mengejar tujuan pribadi, individu selalu mempertimbangkan aspek untung-rugi (cost-benefit) dalam membuat keputusan dan dalam bekerja.
Pertimbangan untung-rugi ini juga mendorong ASN untuk sekadar memuaskan sistem evaluasi kinerja demi remunerasi. Para bawahan terpaksa belajar untuk mengakali sistem kontrol kinerja yang berisi objektif-objektif, tenggat waktu, dan indikator, misalnya, dengan melakukan manipulasi pada sistem absensi dan pencapaian indikator.
Iklim kompetitif yang dibentuk menjerumuskan birokrasi pada sistem meritokrasi – sistem menilai orang berdasarkan kemampuan atau prestasi, yang dapat berujung pada eksploitasi dan diskriminasi.
Penggunaan konsep performance-related pay dalam rezim NPM yang telah banyak dikritik mewujud dalam sistem pemeringkatan pegawai maupun instansi yang berdampak pada kesenjangan penghasilan.
ASN dieksploitasi karena didorong untuk terus berusaha memenuhi indikator kinerja (agar mendapat tunjangan tambahan) dengan bekerja sampai larut malam dan di hari libur. ASN menjadi tidak kolaboratif karena berkompetisi untuk mendapatkan penghasilan lebih bagi diri sendiri.
Di samping itu, program reformasi birokrasi juga menjustifikasi penghasilan yang timpang antar ASN, yang merupakan bentuk diskriminasi.
Sebagai contoh, para auditor yang ditugaskan pada instansi pemerintah yang berbeda meski memiliki masa kerja yang sama (misal 10 tahun) akan menerima penghasilan yang berbeda.
Birokrasi yang babak belur
Selain soal kontrol dan budaya korporat, di Indonesia, birokrasi juga kerap jadi bahan perundungan.
Penelitian pada 2019 tentang citra ASN di media sosial menunjukkan bahwa birokrat masih menjadi kelompok yang dicap ‘bobrok’ oleh masyarakat Indonesia.
Ini konsisten dengan studi-studi terdahulu yang mengungkap bahwa birokrat kerap jadi sasaran kritikan dalam opini populis, yang dikenal sebagai bureaucracy bashing.
Politikus dan aktor-aktor pemimpin opini sengaja mendulang dukungan lewat praktik bureaucracy bashing. Selama musim kampanye, misalnya, politikus kerap menjelek-jelekkan birokrasi untuk mendulang suara.
Padahal, praktik itu memiliki dampak negatif seperti rendahnya semangat kerja pegawai dan kualitas rekrutmen yang buruk.
Studi lain di Jerman pada 2016 juga mengungkap bahwa masyarakat cenderung lebih mudah untuk mengabaikan pengalaman positif dengan aparat birokrasi, dibanding pengalaman negatif. Pengalaman negatif ini biasanya kemudian mereka sebarluaskan di media sosial.
Dalam melakukan pekerjaan mereka sehari-hari, birokrat dalam rezim NPM diberi gelar ‘Smart ASN’ dan diimajinasikan sebagai aktor yang gesit penuh kreativitas, meski sebenarnya mereka terpenjara.
Para elite berlindung di balik jargon efektivitas, efisiensi, dan produktivitas . Mereka tidak secara gamblang menjelaskan ideologi di balik NPM, tetapi terus menerus mereproduksi wacana seputar kinerja yang sebetulnya merugikan ASN.
Dengan bersembunyi di balik indikator-indikator capaian tertentu, ketimpangan penghasilan pegawai antar-instansi pemerintah dijustifikasi, sementara hal itu tidak berdampak pada para elite yang masih bisa menikmati sumber penghasilan lain jauh di atas rata-rata bawahannya.
Besarnya penghasilan ASN tidak mempertimbangkan kebutuhan hidup layak, melainkan ditentukan lewat mekanisme pembagian tunjangan layaknya “bonus” di perusahaan.
Gaji pokok dibiarkan kecil, dan tunjangan ditentukan lewat indikator yang bermasalah dan pada kasus ASN daerah akan bergantung pada kemampuan masing-masing pemerintah daerah.
Apa yang harus dilakukan?
Pertama, para birokrat perlu berhenti bersikap naif, dan menyadari situasi yang mereka hadapi, serta tidak menerimanya begitu saja.
Birokrat yang hidup dalam rezim NPM berada dalam perangkap layaknya perlombaan tikus (rat race): hidup dalam ilusi ‘kinerja’ dan ‘produktivitas’ yang tidak ada habis-habisnya.
Mengikuti rezim standardisasi, kuantifikasi dan pengawasan yang konstan hanya akan membebani para birokrat secara tak berkesudahan.
Lagipula, jika ASN benar smart, mengapa perlu dikontrol begitu ketat?
Kedua, para birokrat perlu berkoalisi dengan akademisi untuk membangun pengetahuan tentang birokrasi dari dalam birokrasi itu sendiri.
Birokrat perlu memahami tantangan dan peluang birokrasi dengan menghadirkan analisis yang peka terhadap konteks historis, sosial, budaya, dan politik dari birokrasi.
Birokrasi perlu memberikan suaranya tentang cita-cita ‘reformasi’ sehingga klaim-klaim yang dibuat terkait kegagalan maupun kesuksesannya dapat dikritisi bersama-sama.
Ketiga, birokrat juga perlu menyadari bahwa mereka tidak sendirian dan perlu mengorganisir diri mereka.
Dengan jumlah jutaan pegawai, ASN memiliki modal sosial yang besar.
ASN perlu mengenali modal sosial ini untuk selanjutnya memobilisasi diri untuk memeriksa kembali logika rezim NPM yang ada.
Alih-alih bersaing satu sama lain, birokrat seharusnya berkolaborasi untuk menggugat, bukan justru ikut mereproduksi, ketidakadilan-ketidakadilan yang mereka hadapi.[]
*Artikel ini pernah terbit di Theconversation.com, (21 Juli 2020)
Penulis
-
Kanti Pertiwi
-
Universitas Indonesia