“… Di talang itu ada bukti debu batu bara, sekarang memang debunya gak item, tapi berwarna abu dan kasat mata. Ya, memang tidak terlihat tapi terasa baunya, dan kerap kali membuat sesak nafas. Debu batu bara jika dilihat sekilas tampak seperti normal, namun dalam beberapa hari, bisa terlihat menumpuk di talang…” (Seraya tangannya menunjuk ke arah talang air rumah).
Sulton, Warga Desa Watusalam
“Aku duwe hak dan keinginan kuat untuk oleh lingkungan yang sehat. Bergerak untuk keadilan lingkungan, sisi aku sebagai pekerja pabrik, aku duwe keluarga dan sebagai warga desa, aku yo duwe hak lingkungan sehat. Pabrik ojo semena-mena, mengko nek diteruske iso parah. Iki wae wes coro delokane parah. Nek ora dirongrong warga malah parah keadaane.”
Ilham, Buruh Pajitex, dan Warga Desa Watusalam
Pada pertengahan Maret 2022, kami bertemu dengan beberapa warga yang mengeluhkan pencemaran lingkungan akibat aktivitas produksi pabrik tekstil. PT Panggung Jaya Indah Textile atau disebut Pajitex, merupakan pabrik yang memproduksi tekstil di Pekalongan, Jawa Tengah. Pabrik itu menjadi sorotan warga sekitar karena aktivitas produksinya yang ditengarai mencemari lingkungan desa sekitar. Tidak sedikit warga yang mengeluh dan melakukan protes ke pabrik terkait permasalahan lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas produksi pabrik tersebut.
Pandangan kami tertuju pada rumah sederhana dengan kios es degan di depannya, itulah rumah Sulton. Kami mencoba untuk menapaki informasi awal mengenai konflik lingkungan yang tengah terjadi. Sulton merupakan salah satu warga Desa Watusalam sekaligus buruh di PT Pajitex yang sedang berjuang untuk mendapatkan ruang hidup dan lingkungan yang sehat. Meskipun sederhana, rumah Sulton kerap menjadi titik pertemuan warga yang mengeluhkan pencemaran lingkungan yang terjadi. Tidak sedikit keluhan dan protes dilakukan warga kepada pabrik, namun tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Terik matahari di atas kepala. Kami menemui sekitar empat orang warga Desa Watusalam pada 17 Maret 2022. Keempat orang tersebut sedang berkumpul di rumah bernama Sulton. Kami saling berkenalan. Suguhan es degan menjadi pelengkap percakapan. Di sebuah pelataran rumah keempat warga tersebut saling bersahut bercerita tentang perjuangan mereka.
Beragam ekspresi warga tersorot dari mimik wajah mereka, ketika mengingat jejak langkah perjuangan warga melawan limbah pabrik PT Pajitex Pekalongan. Salah seorang berwajah merah padam. Ia bercerita dengan penuh amarah. Namun, ada pula warga memasang wajah sayu dan memilih hanya mendengarkan saja.
Melalui penuturan warga kami menelusuri dinamika pencemaran lingkungan di sekitar desa Watusalam, Pekalongan. Hasil penelusuran memberikan peta sebaran pencemaran lingkungan berdasarkan administrasi wilayah Rukun Tetangga (RT). Ada sekitar tiga cerita pencemaran lingkungan, pada kasus pertama terjadi pada RT 13 dan 14 RW 07, Desa Watusalam. Dengan wajahnya yang sayu terpandang, Sulton, menuntut PT Pajitex karena polusi udara akibat proses pembakaran batu bara.
“… Istri dan keluarga sudah merasakan gatal-gatal serta abunya kerap kali masuk ke dalam rumah. Kalau saya emang kerjanya di Boiler sebenarnya, jadi ya udah kebal. Keluarga saya sih yang kena, jadi hal itu mendorong saya untuk tergerak berjuang agar mendapat lingkungan yang sehat…,”
Sulton, Warga Desa Watusalam.
Kasus kedua yakni pencemaran lingkungan yang melibatkan RT 16 RW 08 Desa Watusalam. Secara garis besar, warga RT ini menuntut perusahan PT Pajitex dalam dua jenis pencemaran lingkungan. Jenis pertama, yakni kasus pidana mengenai lokasi Tempat Pembuangan Sementara (TPS) limbah B3 bekas pembakaran batu bara. PT Pajitex dilaporkan karena menggunakan area tanah lapang sebagai tempat pembuangan limbah batu bara. Meskipun area tersebut berada pada status kepemilikan tanah PT Pajitex, namun pada putusan Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan, PT Pajitex dinyatakan bersalah karena tidak memiliki izin pembuangan (dumping) limbah batu bara.[1]
Selain itu, getaran dan gemuruh suara mesin memekik telinga saat aktivitas produksi menggunakan boiler berlangsung. Hal tersebut yang menghasilkan polusi suara, dan menjadi jenis pencemaran kedua yang dikeluhkan warga. Kasus ini sempat masuk dalam meja persidangan pada pokok perkara perdata nomor 11/Pdt.G/2021/PN Pkl di PN Pekalongan. Gugatan perdata ini dilayangkan oleh 13 orang warga dari RT 16 RW 08, dengan tuntutan ganti rugi lebih dari Rp6 miliar kepada PT Pajitex. Nahasnya, kasus tersebut justru dimenangkan oleh PT Pajitex. Pada 11 Januari 2021, Majelis Hakim menolak perkara yang diajukan oleh para penggugat. Hal tersebut membuat warga dihukum dengan konsekuensi membayar perkara secara tanggung renteng sebesar Rp 3.717.000.
Kasus yang ketiga melibatkan RT 01 dan RW 05 Desa Kertoharjo. Jenis pencemaran yang dialami berkaitan dengan pencemaran limbah cair. Limbah ini merupakan hasil pembuangan proses produksi pencelupan benang. Sumur yang digunakan sebagai aktivitas sehari-hari warga desa terganggu. Hitam pekat air bawah tanah, itulah pencemaran yang ditimbulkan oleh pabrik di beberapa sumur dan saluran air rumah. Selain pekat, air bawah tanah tersebut berbau logam yang menusuk hidung. Desa Kertoharjo, merupakan area terdampak limbah cair tersebut. Area Desa Kertoharjo merupakan area perlintasan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) milik perusahaan. Air limbah dan drainase pembuangan limbah ini nantinya bermuara di sungai Kupang, yang dianggap hilir pembuangan limbah.
Terkait dengan kasus yang ketiga, ada sekitar tiga orang warga asal RT 01 RW 05 telah mendapatkan kompensasi dari PT Pajitex. Pihak perusahaan selanjutnya secara rutin menyalurkan air bersih kepada tiga rumah warga terdampak tersebut.
Gambar 1. Peta wilayah pencemaran berdasarkan administrasi wilayah (Sumber: Olahan penulis)
Perkembangan Industri Tekstil, Garmen dan Alas Kaki (TGSL) di Indonesia
Ada dua hal yang perlu dipahami perbedaan antara garmen dan tekstil. Garmen merupakan barang pakaian jadi, sementara tekstil berupa barang mentah berupa kain. Sejarah industri garmen tidak terlepas dari industri tekstil, karena garmen bergantung pada tekstil sebagai bahan dasarnya. Industri Tekstil modern di Indonesia dapat dilihat dari berdirinya Textiel Inrichting Bandoeng (TIB) pada 1922.
TIB berdiri dengan misi untuk mengembangkan industri tekstil dan mempersiapkan tenaga ahli di bidang tekstil. Hal ini didukung oleh Bupati Bandung di masa Hindia Belanda yakni RAA Wiranatakoesoema V. Pengembangan tekstil di Bandung menjadikan wilayah tersebut sebagai kota mode dan kerap dijuluki ‘Parijs van Java’.
Tidak hanya mendirikan pabrik, beragam program pendidikan juga dibentuk untuk mengembangkan tekstil sebagai budaya masyarakat. Berbagai pendidikan tersebut seperti Kursus Tekstil Tinggi (1954), Akademi Tekstil atau AKATEKS (1961), Sekolah Tekstil Tinggi atau STT (1956), Perguruan Tinggi Ilmu Tekstil atau PTIT (1964), hingga kini menjadi Institut Teknologi Tekstil atau ITT (1966) dengan jurusan Teknik Tekstil, Kimia Tekstil, Produksi Garmen, Rekayasa Tekstil dan Apparel.[2] Perkembangan dunia tekstil dan garmen di Indonesia, pada akhirnya berkembang subur dan berpusat di beberapa wilayah seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Peran Industri TGSL dalam Pembangunan Nasional
Perkembangan tekstil dan garmen di Indonesia menjadi hal penting, mengingat, sektor garmen dan tekstil menjadi salah satu industri yang cukup berkembang di Indonesia. Tercatat, dalam data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Republik Indonesia yang dilansir Katadata menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,84% di sepanjang 2022 ketika masa pandemi Covid-19.[3] Kemenperin memprediksikan volume produksi industri pakaian tumbuh 10,44% secara tahunan pada kuartal I-2022.[4]
Keberadaan Industri Tekstil & Produk Tekstil (TPT) dan atau sektor Tekstil, Garmen, Alas Kaki dan Kulit (TGSL/Textile, Garment, Shoes and Leather) memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional. Produk industri TPT menunjang nilai pendapatan ekspor dalam negeri. Sektor industri ini menyerap sekitar 3,65 juta buruh per Agustus 2022. Tingginya angka serapan buruh pada sektor industri TPT, menjadikan industri TPT sebagai sektor industri padat karya.
Melalui peta jalan industri Indonesia, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menjadikan industri TPT sebagai salah satu prioritas pengembangan dalam Peta Jalan Pembangunan Nasional: Making Indonesia 4.0.[5] Industri TPT didorong untuk menggunakan teknologi dan informasi yang canggih dalam proses produksinya. Langkah tersebut yang dianggap akan meningkatkan efisiensi proses produksi tekstil dan hasil produksi yang diharapkan menjadi lebih maksimal.
Adapun beberapa upaya pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri TPT. Pada 2022, Kemenperin menjalankan program pemberian insentif potongan harga mesin melalui Perjanjian Pemberian Penggantian Potongan Harga (P4H). Pemotongan Harga Mesin tersebut didorong untuk industri dan perusahaan TGSL menggunakan teknologi 4.0 yang lebih modern, efisien, hemat energi dan ramah lingkungan seperti artificial intelligence, internet of things, augmented reality, advanced robotics, 3D printing dan machine to machine communication.
Kemenperin juga memiliki Balai Besar Standarisasi dan Pelayanan Jasa Industri Tekstil atau disebut Balai Besar Tekstil (BBT) di Bandung yang memiliki peran untuk menjamin kualitas bahan baku produk, penyuluhan industri, dan pengembangan teknologi. Selanjutnya, Kemenperin mendekatkan industri dengan informasi kebijakan Kemenperin melalui akses terpadu seperti Self-Assessment TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dan Self-Assessment Industri Digital (INDI 4.0). Proses kerja tersebut dilakukan dalam Industrial Service & Solution Center (ISSC)[6] yang diharapkan dapat menjadi pusat solusi bagi permasalahan para pemangku kepentingan dan memperkuat hubungan di antara seluruh pemangku perkembangan sektor TGSL.
Di sisi lain, intervensi berupa kebijakan pemerintah dalam menggenjot sektor TPT untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, juga berimplikasi negatif terhadap kondisi perburuhan dan lingkungan hidup. Di sektor perburuhan, misalnya, berbagai upaya kebijakan dilakukan oleh pemerintah ketika masa pandemi datang. Beberapa kebijakan tersebut antara lain: pemberlakuan relaksasi pajak, penangguhan upah, pemotongan upah, buruh dipaksa bekerja tanpa tersediannya Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai, dan pemecatan yang diperbolehkan oleh perusahaan karena alasan merugi ketika di masa pandemi. Semua paket lengkap kebijakan negara didesain menguntungkan pemodal. Dengan dalih untuk menyelamatkan industri nasional. Sementara, dampak kerusakan lingkungan dan kondisi kerja buruk harus dipikul oleh buruh untuk pembangunan industri nasional.[Lanjut membaca bagian 2]
Nama PT Sai Apparel Grobogan mencuat di awal Februari 2023 setelah video dengan caption ‘Pabrik Elit Bayar Lembur Syulit’ beredar di media sosial TikTok dan Instagram. Para jurnalis memburu informasi tersebut dengan melakukan konfirmasi ke pihak-pihak berwenang dan memberitakannya di media massa lokal maupun nasional. Video dengan durasi 2.02 menit tersebut mengungkapkan ‘kerja paksa tidak […]
Sebuah video adu argumen antara buruh perempuan dan Factory Manager Tenaga Kerja Asing (TKA) yang terjadi di PT Sai Apparel Industries Grobogan, mendadak viral di media sosial Tiktok dan Instagram (Tempo.co, 5 Februari 2023). Video tersebut diunggah ke media sosial pada 1 Februari 2023. Dalam video tersebut, terdengar suara seorang perempuan yang mendesak manajer produksi, […]
Moda Penghancuran Gerakan Perlawanan Warga Perusahaan tidak tinggal diam dalam menghadapi perlawanan dari warga Desa Watusalam. PT Pajitex melakukan berbagai upaya untuk memecah, meredam, hingga membungkam gerakan perlawanan. Hal demikian dilakukan agar kepentingan akumulasi kapital tetap berjalan. Alhasil, surplus tetap muncul dan keuntungan akan tetap dihasilkan. Kami memotret beragam upaya perusahaan mempertahankan roda produksinya dalam […]