MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Hari Berkabung dan Solidaritas Buruh, Bukan Hari Olahraga Nasional

Setiap 28 April diperingati sebagai Hari Berkabung Buruh. Sedangkan 1 Mei diperingati sebagai Hari Solidaritas Internasional, meski sering disalahpahami sebagai hari kemenangan 8 jam kerja. 

Kelas buruh di berbagai negara memperingati dua hari tersebut dengan aksi massa dalam bentuk demonstrasi, kampanye, pawai dan sebagainya. Aksi massa ditujukan untuk mengajak masyarakat umum dan menuntut tanggung jawab negara dan pemodal.

Selain Hari Berkabung, 28 April disebut pula dengan Peringatan untuk Orang Mati dan Terluka. Penanggalan 28 April mulai diperingati pada 1984 di Kanada. Sejak itu diperingati di berbagai negara. Pada 2001, ILO (Internasional Labour Organisation) menetapkan hari tersebut sebagai Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sedunia. 

1 Mei ditetapkan sebagai Hari Solidaritas Internasional pada 1889. Penetapan 1 Mei sebagai hari solidaritas internasional ditujukan untuk menghormati para pejuang buruh yang dibantai oleh aparat keamanan dan pemodal di lapangan Haymarket Chicago pada 1886. Kala itu, kaum buruh yang tergabung dalam Gerakan Pengurangan Jam Kerja (Short-time Movement) dan Gerakan Delapan Jam Kerja (Eight-hour Movement) menuntut pengurangan jam kerja, melarang buruh anak atau pembatasan usia kerja, dan kondisi kerja yang aman, dan kenaikan upah dengan aksi massa (Arifin, 2016). Sejak itu, buruh di berbagai negara memperingati hari tersebut dengan aksi massa. 

Setelah bertahun-tahun berjuang, akhirnya ILO menetapkan 8 jam kerja sebagai standar internasional pada 1919. Di Indonesia, 8 jam kerja baru diakui pada 1948.

28 April dan 1 Mei memang harus diperingati sebagai Hari Berkabung dan Solidaritas Buruh Internasional dengan aksi massa. Karena dunia kerja semakin memburuk serta menumbalkan tubuh serta nyawa buruh demi keuntungan pemodal. Setiap tahun lebih dari 2,78 juta buruh meregang nyawa, 374 juta buruh mengalami luka dan 160 juta buruh terdampak penyakit akibat kerja (Ohsrep). Buruh meninggal dan mengalami luka bukan karena kecelakaan atau penyakit misterius tapi karena kesehatan dan keselamatan bagi buruh tidak pernah menjadi prioritas (TUC). Sementara pejabat negara lebih mengutamakan peningkatan angka investasi, pemilik modal menghitung keuntungan bulan ini harus lebih besar dari bulan kemarin. 

Di Indonesia, peringatan 1 Mei telah dilakukan sejak 1918 di Surabaya. Pada 1948, 1 Mei diakui sebagai hari libur nasional. Di zaman Soeharto, 1 Mei dilarang bahkan diganti dengan hari pekerja nasional di tanggal 20 Februari. Pada 1995, kaum buruh kembali berjuang menuntut 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja. Pada 2013, 1 Mei kembali ditetapkan sebagai hari libur nasional.  

Sebenarnya, penetapan 1 Mei sebagai hari libur nasional merupakan kemenangan merebut waktu senggang. Di hari tersebut, pemilik modal kehilangan kesempatan melipatgandakan keuntungan di pabrik. Meskipun, kita harus bersolidaritas kepada kaum buruh yang masih bekerja di hari tersebut, seperti buruh-buruh ritel dan buruh media. Kapital pun tidak hanya beroperasi di sektor manufaktur. Ketika hari libur ceruk keuntungan kapital siap menyedot pendapatan kaum buruh di tempat wisata. 

Sejak 2015 1 Mei diakui sebagai hari libur nasional, para penyelenggara negara kerap menggunakan hari tersebut dengan kegiatan yang tidak memiliki relevansi dengan hak perburuhan, bahkan mengabaikan hak-hak buruh, seperti kegiatan mancing, jalan sehat, pembagian hadiah dan kegiatan foya-foya lainnya. Kenyataan tersebut merupakan pelajaran penting; ketika hak buruh diakui peraturan perundangan tanpa serikat buruh terorganisir dan ruang demokrasi yang terbuka luas, penyelenggara negara dapat dengan mudah menyingkirkan hak buruh.

Buruh Tumbal Investasi

Belum lama ini, penyelenggara negara merayakan kemenangan melawan rakyatnya, yaitu mengesahkan UU Cipta Kerja. UU yang didaku akan membuka lapangan kerja luas dengan mempermudah beroperasinya investasi. Melalui UU tersebut, negara menyediakan kemudahan pembebasan lahan, perizinan, AMDAL dan mempreteli hak-hak buruh.

Di lapangan ada cerita lain. Kamis, 25 April 2024 sejumlah warga di Sukabumi memprotes mengenai maraknya perekrutan berbayar di PT Glostar Indonesia (GSI) Sukabumi. Pungutan liar yang mencapai Rp15 juta per orang agar diterima bekerja di pabrik pembuatan sepatu Adidas asal Taiwan tersebut menyulitkan pelamar kerja mendapatkan pekerjaan (Radarsukabumi.com, 25 April 2024).

Meskipun dikondisikan oleh tingginya jumlah pencari kerja, perekrutan berbayar tumbuh subur ketika negara menyerahkan sistem perekrutan kepada pasar dan pabrik-pabrik manufaktur dioperasikan dengan melibatkan orang-orang kuat lokal. Sejak 2003, perekrutan berbayar semakin meluas di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia. Praktik perekrutan berbayar melibatkan aktor kuat lokal dan aktor kuat di dalam pabrik (Arifin, 22 Agustus 2019).

Ciri lain dari pasar kerja saat ini adalah meluasnya hubungan kerja informal di sektor formal dengan kondisi kerja yang semakin buruk. Buruh nikel bekerja dalam kondisi berbahaya tanpa alat perlindungan diri. Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dari 2020 hingga 2021 mengalami peningkatan sebanyak 5 persen atau setara dengan 12.630 kasus (ILO, 7 April 2023).

Pemburukan kondisi kerja dialami pula oleh dosen-dosen kampus. Sebanyak 42,9 persen dosen dari 1.200 partisipan dosen menyebutkan hanya menerima pendapatan di bawah Rp3 juta per bulan (lihat, Pertiwi, dkk., 4 Mei 2023)

Kemudian, sembari tidak sudi mengakui Ojol sebagai buruh, pemerintah mengeklaim bahwa penyedia aplikasi transportasi daring telah menyerap tenaga kerja. Lebih dari 4 juta buruh Ojol yang bekerja sebagai pengantar makanan, barang dan orang tidak memiliki kepastian kerja dan tidak memiliki perlindungan sosial. Pekerjaan yang lebih buruk adalah Host Live Streaming yang bekerja melebih jam kerja normal dengan upah di bawah standar yang telah ditetapkan pemerintah.

Pemantauan LIPS terhadap peristiwa kecelakaan kerja di sepuluh media massa daring nasional menemukan, sepanjang Januari-Maret terjadi 107 kasus kecelakaan kerja, yang mengakibatkan 166 buruh luka dan 177 buruh meninggal.

Diolah dari 10 media massa nasional: Tempo.co, Kompas.com, Katadata.co.id, CNNIndonesia.com, Pikiran-rakyat.com, BantenNews.co.id, Antara.com, JPNN.com, Detik.com dan CNBCIndonesia.com

Kasus kecelakaan terbanyak dialami oleh sektor Informal sebanyak 21 kasus yang menyebabkan 19 buruh luka dan 26 meninggal, diikuti sektor Pertambangan sebanyak 13 kasus dengan 92 luka dan 33 orang meninggal dan terakhir sektor Gig Ekonomi sebanyak 12 kasus disertai 4 luka dan 8 meninggal. Di lapangan angka kecelakaan kerja yang menyebabkan luka dan meninggal diperkirakan lebih tinggi. Namun, data yang tersedia di atas lebih baik ketimbang data yang disediakan oleh Kemnaker.

Data kecelakaan kerja yang disediakan Kemnaker hanya menampilkan data di periode 2023. Data tersebut menyebutkan, di tahun 2023 jumlah kasus kecelakaan kerja di Indonesia tercatat sebanyak 370.747 kasus. Sekitar 93,83 persen merupakan kasus peserta penerima upah, 5,37 persen kasus peserta bukan penerima upah, dan 0,80 persen kasus peserta jasa konstruksi (Kemnaker.go.id, 26 Februari 2024).

Aksi massa pasti mengisi dua hari bersejarah tersebut dan tidak berarti aksi massa hanya dilakukan di dua tanggal tersebut. Namun, akan terasa janggal jika hari berkabung dan hari solidaritas internasional diisi dengan donor darah atau jalan sehat, seperti dilakukan oleh Pemkot Bandung (Antaranews.com, 24 April 2024) dan salah satu serikat buruh di Kabupaten Kudus (Zonanews.id, 26 April 2024). Karena Hari Olahraga Nasional jatuh di tanggal 9 September dan Hari Donor Darah Sedunia jatuh tiap 14 Juni. Pejabat daerah yang menyambut May Day dengan rupa-rupa kegiatan hura-hura mengandaikan bahwa tidak ada persoalan perburuhan, jika tidak disebut menghina para pejuang buruh yang telah dan sedang memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik.

Menjelang Hari Buruh Internasional tahun ini, berbagai poster dan flyer juga bertebaran di media sosial. Salah satu diantaranya terdapat poster yang menyerukan para pengemudi Ojol turun ke jalan pada 1 Mei. Seruan untuk pengemudi Ojol terlibat dalam aksi May Day relatif baru, setelah 9 tahun bisnis ride hailing ini muncul di Indonesia. Tampaknya para pengemudi Ojol mulai menyadari status kemitraan yang disematkan kepada mereka adalah upaya perusahaan platform menghindar dari tanggung jawab menunaikan hak-hak perburuhan terhadap pengemudi Ojol. Sebagaimana tuntutan yang muncul ketika mereka melakukan protes terhadap kondisi kerja. Mereka menuntut Jaminan Pendapatan, Jaminan Sosial, Kebebasan berserikat dan berunding, bahkan tuntutan lugas muncul mendesak pemerintah mengakui Ojol sebagai buruh.[]