Mengendalikan Perlawanan Buruh
Senin, 1 Mei 2017. Pemogokan dengan demonstrasi dimulai bertepatan dengan Hari Buruh Internasional. Demonstrasi diikuti pula oleh buruh dari perusahaan privatisasi dan kontraktor dan keluarganya. Beberapa di antara kami ada yang mengendarai sepeda motor, mobil dan ada pula yang berjalan kaki membawa keranda jenasah, sebagai tanda matinya keadilan. Tidak lupa kami menggunakan atribut organisasi, atribut adat Papua dan bendera merah putih. Saat itu saya ditugaskan menyiapkan beberapa alat peraga kampanye dan mendokumentasikan aksi massa. Titik kumpul dimulai di halaman gedung serbaguna Eme Neme Jaware, milik Pemda Mimika.
Selepas aksi massa May Day, perusahaan memanggil para buruh agar bekerja seperti biasa. Sementara itu, organisasi kami telah menyatakan mogok sebagai bentuk protes terhadap kebijakan furlough dan PPHKS. Bujukan dan ancaman untuk bekerja dilakukan dengan menyatakan bahwa pemogokan kami ilegal. Bujukan tersebut disampaikan melalui gereja, masjid, tokoh-tokoh masyarakat di lingkungan tempat tinggal dan aparat keamanan. Tidak hanya itu, perusahaan pun menjanjikan, jika buruh bersedia bekerja kembali akan mendapat tambahan upah pokok. Karena bujukan dan ancaman tersebut, beberapa kawan akhirnya bersedia kembali bekerja. Ada pula beberapa kawan yang mengambil program PPHKS.
Setelah dianggap mangkir dan terkena furlough, kami tidak mendapat lagi upah bulanan. Tidak hanya itu, rekening pribadi kami pun diblokir oleh pihak bank atas permintaan perusahaan tanpa konfirmasi kepada kami. Begitu pula kepesertaan BPJS Kesehatan dinonaktifkan sehingga tidak dapat mengakses layanan kesehatan berdasarkan iuran yang telah kami setorkan.[1] Akhirnya, saya ditugaskan untuk mengumpulkan iuran agar perjuangan berlanjut. Saat itu pula kami merencanakan memberangkatkan kawan-kawan ke Jakarta.
Pemogokan berlangsung dan kami pun tidak mengetahui entah sampai kapan perjuangan ini akan berakhir. Kami membagi waktu dengan membuat piket di kantor sekretariat dan tenda pusat perjuangan. Sepanjang pemogokan tersebut berbagai tuduhan untuk melemahkan pemogokan dihembuskan seperti tuduhan ditumpangi Organisasi Papua Merdeka, akan membangkrutkan perusahaan, dan tidak tahu terima kasih kepada perusahaan. Hingga muncullah peristiwa yang disebut dengan insiden Check Point 28, pada 19 Agustus 2017.
Kejadian di Check Point 28. Pada 19 Agustus 2017, sekitar 2000 buruh dan keluarganya berkumpul di Check Point (CP) 28 sekitar pukul 2 siang hingga pukul 5 sore. Mereka tengah melaksanakan kegiatan ibadah seperti salat, zikir dan doa Nasrani. Saat di CP 28 terlihat barakuda milik kepolisian, water canon dan polisi dengan bawa rotan. Ada pula pasukan Brimob Polri dan TNI yang berjumlah ratusan. Beberapa intel berbaur dengan kami.
Saat berdoa itulah aparat keamanan meminta kami membubarkan diri. Namun kami terus melangsungkan acara berdoa. Kawan kami yang beragama Islam kemudian melangsungkan kegiatan salat berjamaah. Tiba-tiba aparat keamanan menyerang dan memukul.
Kawan kami yang sedang memimpin salat berjamaah tetiba ditendang oleh pasukan keamanan. Ia pun terjatuh. Water canon dan gas air mata disemprotkan ke arah massa yang sedang salat dan berdoa. Dengan menggunakan senjata tumpul seperti rotan, kulit mati dan tangan kosong aparat keamanan mendorong, menyeret dan memukul para buruh. Perempuan keluarga buruh berteriak. Beberapa kawan kami mencoba membela diri sekuat tenaga. Massa tunggang langgang, berhamburan dan tidak terkendali.
Peristiwa brutal dan menyakitkan itu berlangsung kurang lebih sejam. Sekitar pukul 7 sore buruh berkumpul di terminal Gorong-Gorong dalam keadaan kecewa, marah dan sedih. Di terminal Gorong-Gorong terjadi pembakaran mobil dan fasilitas milik PT Freeport. Dari terminal Gorong-gorong, massa bergerak ke Petrosea. Di Petrosea, beberapa fasilitas dibakar.
Di tengah kekacauan tersebut, kawan kami yang disebut Pak Haji terkena pantulan gas air mata dan peluru karet di tangannya, dan serpihan peluru di telapak tangan kiri. Akibatnya, jari kiri Pak Haji tidak dapat bergerak normal. Pak Haji mengalami cacat otot. Ada pula Ansye, salah satu istri buruh, mencoba menyelamatkan diri dengan menaiki sepeda motor. Aparat keamanan mengejarnya hingga ke daerah lokasi gardu yang berjarak kurang lebih 200 meter dari CP 28. Di lokasi gardu aparat keamanan mendorong sepeda motor Ansye. Ansye pun terjatuh dari atas sepeda motor. Dengan tenaga yang tersisa, Ansye mencoba berdiri tapi dipukul dengan senjata tumpul dari belakang di bagian kepala. Ansye tersungkur.
Setelah itu, sembilan belas orang ditangkap dengan kasar dan diperlakukan dengan merendahkan martabat kemanusiaan oleh Polres Mimika. Mereka ditangkap di tempat dan ada pula yang ditangkap di kediamannya.
Merino, misalnya. Ia digelandang, dipukul, dan bahkan rambut gimbalnya dipotong oleh Kasat Reskrim. Nuryadin, digruduk dua mobil dengan membawa sepuluh orang polisi pukul 00.30 malam pada 20 Agustus 2017 di kediamannya. Empat orang dari sepuluh orang tersebut kemudian menangkap Nuryadin. Nuryadin sempat menolak karena istrinya hamil tua dan menunggu kelahiran anak. Polisi memaksa. Nuryadin mengalah dan meninggalkan istrinya yang berlinang air mata.
Winarno dan San Basri, sebenarnya, tidak berkumpul saat kejadian. Beberapa jam sebelumnya, keduanya berada di sekretariat serikat buruh. Sekitar pukul 8 malam keduanya menuju CP 28. Tiba di lokasi, massa sudah berhamburan. Ketika menghentikan sepeda motor, tiba-tiba salah satu polisi menunjuk Winarno, “Ini yang tadi memimpin doa (di CP 28)”. Belum sempat berkata, tiba-tiba Winarno dipukuli ramai-ramai oleh tiga sampai empat orang polisi dengan tangan kosong. Sembari mengeroyok, salah satu polisi berteriak, “Kalau berani jangan keroyokan!”. Keduanya tersungkur bersama sepeda motornya. Polisi menggeledah tas Winarno, mengambil helm dan memukulkan lebih dari tiga kali kepala San Basri.
Sedangkan saya ditangkap pada 21 Agustus. Saya dibawa ke kantor polisi. Di sana sudah ada beberapa buruh lain. Ketika tiba di kantor polisi, saya dikerumuni lebih dari tiga orang polisi. Tetiba salah satu polisi mengeluarkan beberapa kata kasar tentang ketua serikat buruh saya. Mereka mengatakan bahwa kami hanya diperalat untuk kepentingan pribadi pimpinan kami. Kami diam. Tidak peduli. Setelah diperiksa, saya ditetapkan sebagai tersangka. Polisi melihat wajah saya di CCTV. Saya pun dikurung di sel Polres Mimika.
Di Aula Polres Mimika. Kami disambut Kapolres Mimika dengan senyum kecut.
“Siapa yang menyuruh kalian melakukan aksi di CP 28?”, tanya Kapolres.
Kami diam.
“Tanggung sendiri akibatnya,” suara Kapolres meninggi.
Kapolres melanjutkan, “Kalian semua tidak menghargai manajemen (PT FI), disuruh kerja, digaji.”
Kami dipanggil salah satu polisi. Kemudian mengetikan nama, nomor telepon dan alamat rumah kami di komputer. Kemudian kami disuruh duduk jongkok. Kami diperlakukan seperti kriminal. Kami ditempatkan di sebuah ruangan, dikunci dari luar dan tidak bisa buang air kecil. Pukul 2 pagi polisi datang, memotret dan memindahkan kami ke ruang lain.
Sekali waktu di penjara. Saya menyaksikan salah satu polisi, dalam kondisi mabuk, meracau. Kemudian memaki ibu saya. Saya marah. Tapi tidak dapat berbuat apa-apa. Di kemudian hari, kejadian tersebut saya laporkan ke tim Mabes Polri yang melakukan investigasi. Walaupun begitu, saya tidak pernah mendapat kabar bagaimana hasil pelaporan saya.
Selama penahanan, saya dan kawan-kawan kerap ditekan dan dipaksa oleh polisi. Kami dipaksa harus mengakui bahwa tindakan kami di CP 28 diperintahkan oleh ketua serikat buruh. Tentu saja kami tidak mengiyakan. Kami dituduh melakukan tindakan penghasutan dan perusakan aset milik PT FI. Jika tuduhannya berkaitan dengan aset perusahaan sangkaan kami tidak salah: aparat polisi sedang menindaklanjuti laporan dari perusahaan. Bagaimana tindakan polisi dengan kesewenang-wenangan perusahaan terhadap kami? Itulah yang kami sesalkan!
Tentu saja kami merasa diperlakukan tidak adil. Karena kejadian di CP 28 merupakan rangkaian tidak terpisah dari pemogokan. Saya menilai bahwa pengadilan, aparat kepolisian, tentara, PT FI dan subkontraktornya secara aktif merampas hak mogok dan hak berunding kami.
Kami menjadi tahanan selama tiga bulan di Polres Mimika. Pada 12 Desember kami dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan (Lapas) di luar Timika. Sekitar Februari 2018, kami menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Timika. Persidangan berlangsung hingga 28 Juni 2018. Saya dan beberapa kawan seperti George Suebu, Lukman, Napoleon Korwa dan Patriot Wona dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara. Sedangkan Arnon Merino, Denny Purba, Steven Yawan dan Jhon Yawang, dinyatakan bebas.[]
(Baca selanjutnya)
Baca juga:
Moker Underground: Perlawanan Buruh PT Freeport Indonesia (1)
Moker Underground: Perlawanan Buruh PT Freeport Indonesia (2)
Moker Underground: Perlawanan Buruh PT Freeport Indonesia (3)
[1] Sejak 2015, Pemerintah Indonesia memperkenalkan sistem pelayanan kesehatan melalui BPJS Kesehatan. BPJS menggantikan sistem pelayanan kesehatan oleh Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja). BPJS dikelola oleh badan otonom. Kepesertaan BPJS berlaku wajib untuk semua warga negara dan wajib membayar iuran bulanan. Salah satu peraturan BPJS Kesehatan menyebutkan, jika terlambat atau tidak membayar iuran, status kepesertaan nonaktif secara otomatis dan layanan kesehatan BPJS tidak dapat digunakan. Meski kepesertaan dinonaktifkan, kewajiban membayar iuran bulanan tetap berlaku dan menjadi utang. Ketika kepesertaan diaktifkan, peserta harus melunasi tunggakan iuran agar dapat mendapat pelayanan. Dalam kasus buruh PT Freeport, para buruh tidak dapat menggunakan kartu kepesertaan karena perusahaan tidak membayarkan iuran. Sedangkan para buruh tidak dapat mengalihkan menjadi kepesertaan mandiri karena masih terikat hubungan kerja. Dalam kasus tuduhan mangkir karena melakukan mogok kerja dan penonaktifan kepesertaan BPJS Kesehatan seringkali dijadikan sebagai siasat untuk menghentikan pemogokan dan buruh menerima keputusan sepihak perusahaan.
Penulis
-
Corneles Musa Rumabur
-