MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Moker Underground: Perlawanan Buruh PT Freeport Indonesia (5)

Dirampas Perusahaan, Diabaikan Lembaga Negara

Perlawanan berlangsung. Saya pun keluar dari penjara. Di tengah perjuangan itu, satu per satu kawan kami wafat. Ketika tulisan ini dibuat jumlah kawan yang meninggal mencapai empatpuluh tiga orang. Kawan kami gagal tertolong. Semuanya tidak dapat mengakses layanan kesehatan karena BPJS Kesehatan diblokir. Kami pun tidak memanfaatkan layanan kesehatan mandiri karena keuangan kami terus menipis. Beberapa kawan kami memang mengalami sakit dalam seperti bronkitis akibat pekerjaan menambang. Ada pula yang terserang penyakit malaria. Saya sendiri pernah terserang malaria selama sebulan. Saya dapat terselamatkan. Dengan menggunakan Kartu Papua Sehat saya mengakses layanan Puskesmas. Kartu Papua Sehat hanya diperuntukan bagi masyarakat asli papua. 

Buruh Freeport yang dipecat menuntut negara bertanggung jawab atas korban pemecatan yang diputus secara sepihak akses layanan BPJS Kesehatan (Foto: Dokumentasi Moker Freeport)

Kawan-kawan yang lain diusir dari rumah tinggalnya karena gagal bayar kontrakan atau rumahnya disegel bank karena gagal membayar cicilan rumah. Ada pula anak-anak tertahan ijasahnya, terlambat membayar uang sekolah, bahkan putus sekolah karena orang tuanya tidak lagi memiliki penghasilan. Kami pun meminta organisasi agar membantu pendidikan keluarga buruh. Organisasi menyurati sekolah agar memberikan keringanan kepada anak-anak korban pemecatan PT FI. Upaya serikat buruh melobi sekolah berhasil dan mengurangi keluarga buruh. 

Akhir 2017, permasalah di PT FI meluas. Setidaknya saya melihat itu di media massa. Kami merencanakan memusatkan perjuangan di Jakarta. Kami pun membentuk tim persiapan ke Jakarta. 

Biasanya di akhir tahun kami mendapat tunjangan akhir tahun. Tapi akhir tahun ini kami tidak memegang sepeser pun uang untuk menyambut Natal dan Tahun Baru. Anak dan istri saya pun menanyakan tentang tunjangan akhir tahun. Saya hanya bisa menjawab agar mereka bersabar dan berdoa kepada Tuhan agar semuanya segera terselesaikan. 

Januari 2018 kami menyelenggarakan pertemuan. Membahas tentang masa depan penyelesaian kasus kami. Pertemuan dilakukan per kelompok. Ternyata, mayoritas kelompok mengevaluasi bahwa perjuangan di Papua tidak membuahkan hasil. Kami bersepakat, harus ke Jakarta! 

Kami pun menyusun langkah-langkah agar bisa tiba di Jakarta dengan selamat. Kami merencanakan keberangkatan dilakukan per kelompok kecil dan per wilayah. 

Kawan-kawan Moker yang telah berada di kampung halaman, seperti di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan dapat menyusul atau membuat janji di tempat tertentu. Kami pun menghubungi kawan-kawan yang telah tersebar di kampung masing-masing. Masing-masing kelompok dikoordinasikan oleh satu petugas. Di kelompok itu pula dibahas tentang cara-cara mengumpulkan iuran dan sebagainya. Pengumpulan iuran berlangsung dari Januari hingga Juli 2018. Ternyata, kami berhasil mengumpulkan sekitar Rp15 juta per bulan. 

Saya bertugas untuk menarik iuran tersebut dari para koordinator kelompok. Saya pun membuat laporan reguler kepada semua kelompok. Tidak mudah untuk mengumpulkan iuran. Saya harus mendatangi satu per satu kawan-kawan yang telah tersebar. Ada kawan-kawan yang sudah beralih pekerjaan menjadi tukang ojek, pedagang, dan pekerjaan serabutan lainnya. Sedangkan saya mencoba peruntungan menjadi buruh bangunan. Kadang saya diajak oleh teman untuk melakukan pekerjaan kelistrikan seperti membuat instalasi listrik di beberapa rumah warga. Pekerjaan lain saya adalah jadi tukang ojek. Menjadi tukang ojek adalah salah satu pilihan saya ketika pekerjaan sementara lainnya tidak tersedia. 

Sambil bekerja serabutan, saya mempersiapkan keberangkatan kawan-kawan dari Papua ke Jakarta. Saya dan kawan-kawan mendata siapa saja yang berangkat. Saat itu, kami mencatat sekitar tiga ratus orang akan berangkat ke Jakarta. 

Seminggu sebelum keberangkatan. Kami melakukan pertemuan dengan mengundang seluruh keluarga buruh, terutama para buruh yang sudah berkeluarga.  Di kesempatan itu kami meminta persetujuan keluarga tentang rencana keberangkatan kami ke Jakarta. Ternyata, dalam pertemuan tersebut keluarga buruh merasa berat hati akan ditinggalkan oleh suami mereka. Utamanya, tidak ada lagi topangan keluarga untuk mencari kebutuhan rumah tangga dan mengantar-jemput anak sekolah. Setelah berdiskusi panjang lebar, akhirnya, kami hanya menyepakati enampuluh delapan orang yang akan berangkat ke Jakarta. Saya adalah bagian dari enampuluh delapan orang tersebut.

Saya dan enampuluh tujuh orang bersiap ke Jakarta. Kami mengatur perjalanan dari Timika ke Jakarta serapih mungkin agar tidak dihadang oleh aparat keamanan. Dari tempat masing-masing kami menuju pelabuhan Pomako Timika pada 21 Juli 2018. Akhirnya kami berhasil keluar dari Timika menggunakan KM Tatamailau. 

Kapal singgah pertama kali di Tual di sebelah Selatan Timika. Perjalanan dilanjutkan ke arah Utara ke Kaimana, Papua Barat. Kapal kemudian singgah ke Fak Fak. Kemudian singgah di Sorong.  Di Sorong kami beristirahat dua hari. Kami mendapatkan bantuan tempat tinggal di gereja GKI Jemaat Manoi yang tidak jauh dari pelabuhan. Pelayan gereja menerima kami dengan sangat baik. Beliau pun menyampaikan keprihatinan terhadap nasib kami. 

Dari Sorong, saya dan kawan-kawan berpindah kapal menggunakan KM Ciremai menuju Bau Bau Sulawesi Tenggara. Perjalanan di atas laut selama dua hari dua malam. Dari Bau Bau, Sulawesi Tenggara, kapal singgah di Makassar. Kemudian, kapal tiba di Surabaya. 

Di setiap persinggahan pelabuhan jumlah kawan yang akan ke Jakarta terus bertambah. Dari Surabaya kami pindah dari kapal ke kereta api menuju Jakarta. 

Pada 1 Agustus 2018, kami menginjakan kaki di Jakarta. Total perjalanan sepuluh hari. Di setiap persinggahan ada beberapa kawan yang bergabung. Ada yang bergabung dari Medan, Palembang, Cirebon, Cilacap, Banyuwangi dan juga Sulawesi. Kini, jumlah kami sekitar 200 orang. 

Kami tiba di stasiun Pasar Senen di ‘Mama’ Kota Jakarta. Kami dijemput beberapa buruh PT FI yang telah lebih dulu di Jakarta. Kami menaiki bus ke kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ternyata, Nurkholis dari Lokataru telah menunggu kami. Nurkholis meminta kami menuju halaman depan kantor Muhammadiyah dengan membentangkan spanduk. Spanduk berisi tentang tuntutan kami. Kemudian beberapa kawan melakukan orasi. Saat itu, kami hendak meminta dukungan kepada Muhammadiyah.

Tidak lama berselang, kami dipersilakan masuk ke aula kantor. Di aula beberapa pimpinan Muhammadiyah menanti. Kami berdiskusi kurang lebih tiga jam. Setelah berdiskusi kami pun dipersilakan menginap selama dua hari di kantor Muhammadiyah.

Pada 4 Agustus kami melakukan pawai ke kantor Persatuan Gereja Indonesia (PGI). Sambil bernyanyi kami membawa keranda jenasah, spanduk dan poster-poster protes. Kami menyanyikan lagu-lagu Papua. Dari Muhammadiyah ke PGI kurang lebih sejam. 

Di kantor PGI kami disambut aparat kepolisian dengan wajah dingin. Dan, disambut hangat oleh beberapa pengurus PGI. Kemudian salah satu pendeta memimpin doa. Kami pun dipersilakan masuk untuk berdiskusi dengan pimpinan PGI.   

Setelah berdiskusi, pengurus PGI mempersilakan kami menginap di Wisma Yakoma PGI. Hari itu kami melanjutkan demonstrasi ke depan Istana Negara. Inilah pengalaman pertama saya melihat dan melaksanakan demonstrasi di depan Istana Negara. Saya mengira akan bertemu presiden atau pejabat penting lainnya. Ternyata, di depan Istana Negara, begitu-begitu saja! 

Kondisi buruh Freeport yang menuntut keadilan, hidup terlunta-lunta di Jakarta (Foto: Dokumentasi Moker Freeport)

Kami pun meninggalkan taman aspirasi menuju Wisma PGI. Beberapa hari di Wisma PGI kami menuju LBH Jakarta. Di LBH Jakarta, kami bertemu dengan berbagai serikat buruh, serikat tani, korban penggusuran dan macam-macam persoalan. Semuanya menyatakan solidaritas dan mendukung perjuangan kami. Hingga tulisan ini dibuat, saya tidak tahu pasti ujung dari kasus kami. Yang jelas, keramaian diskusi tentang divestasi dan pembagian keuntungan PT Freeport Indonesia, yang terkadang dibubuhi dengan kata-kata nasionalisme sudah berakhir. Sementara saya dan lebih dari delapan ribu kawan buruh terlunta-lunta.[]

Baca artikel sebelumnya

Moker Underground: Perlawanan Buruh PT Freeport Indonesia (1)

Moker Underground: Perlawanan Buruh PT Freeport Indonesia (2)

Moker Underground: Perlawanan Buruh PT Freeport Indonesia (3)

Moker Underground: Perlawanan Buruh PT Freeport Indonesia (4)