MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

‘Ngalong’, Melampaui Kerentanan

Triono, pengemudi ojol Serang Banten, tertabrak mobil losbak ketika mengantarkan penumpang dini hari, pada Sabtu, 29 Juni 2024. Triono sempat dibawa ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong. Sementara, penumpangnya, yang diduga buruh pabrik meninggal di tempat. Sepeda motor Triono hancur berkeping-keping. Gawai yang dibawanya raib.

Empat tahun terakhir, Triono memutuskan ngalong alias mengaktifkan akun ojol di malam hari. Dia menggunakan waktu istirahat malamnya untuk bekerja malam.

Sebulan sebelum meninggal, saya bertemu Triono. Ia menenteng helm dengan logo salah satu transportasi daring. Logo itu terpampang pula di jaket yang ia kenakan. Dengan wajah kusam dan sorotan mata kurang tidur, Triono lebih mirip papan iklan berjalan ketimbang pengemudi ojol. Saya menebak tubuhnya lemah dan mudah terserang virus atau bakteri. Jauh beda dengan brand ambassador Gosend Ariel ‘Noah’ dan duta merek Gofood Bangtan Boys, yang semakin kinclong dan dengan pasti menatap masa depan. 

Amatan saya, satu dari lima dari total perkiraan 5 juta pengemudi ojol menempuh metode ngalong, terutama sejak kebijakan bonus dan insentif disetop pada 2020. 

Sebenarnya, di era banjir bonus dan insentif pun, para pengemudi menempuh ngalong tapi dengan maksud meraih poin agar dapat mencairkan insentif dan bonus. Terdapat kisah buruk mengenai para ojol yang memilih ngalong: dari dibegal, tidak dibayar oleh penumpang, waktu istirahat yang tidak teratur, tekanan mental, mendapat order fiktif hingga terbunuh (Rianur, 2/2/2024). 

Saya pun menemukan, tiga dari lima ojol merasa pekerjaannya tidak aman karena sewaktu-waktu dapat turun rating bahkan dipecat. Dan, merasa tidak percaya diri dengan pekerjaannya karena direndahkan oleh orang di sekitarnya. Tidak hanya itu, meskipun sering terungkap bebas mengatur waktu, mereka harus konsisten mengatur waktu onbid dan menghabiskan lebih dari 12 jam waktunya untuk melayani algoritma aplikasi. Tentu saja, pengaturan waktu berkaitan dengan rating, performa dan order. Makanya, saya masih tidak habis pikir dengan temuan para peneliti LD FEB UI (Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019), yang menyebutkan bahwa para pengemudi ojol merasa bahagia dengan pekerjaanya karena pendapatannya cukup, sesuai keterampilan dan dapat mengatur waktu untuk keluarga. 

Berikut ini saya akan memperlihatkan ciri-ciri utama pekerjaan transportasi daring. 

1. Spekulatif alias untung-untungan

Menurut para pengemudi, ngalong adalah metode untuk menghindari persaingan sesama driver, apalagi jumlah aplikasi transportasi daring pun bertambah. Saat ini, terdapat empat tranportasi daring, yaitu Gojek, Grab, Maxim dan Indrive. Dugaan mereka, di malam hari ojol tidak sebanyak siang hari. Sehingga lebih mungkin mendapatkan order di malam hari. Tentu saja mereka mengira pengguna ojol di malam hari jumlahnya sama dengan di siang hari. 

2. Bersaing sesama driver

Persaingan sesama driver merupakan salah satu ciri bisnis transportasi daring. Buruh manufaktur menghasilkan produk bersama-sama. Meskipun bagian-bagian tertentu dari produk tersebut dipecah di tempat berbeda, namun hasil akhirnya merupakan karya bersama. Misalnya, sepatu. Dari pembuatan outsole, upper hingga tali sepatu, meskipun dikerjakan di tempat berbeda semuanya saling bergantung. Beda halnya dengan pengemudi ojol, menyelesaikan pekerjaannya satuan. Nah, sifat pekerjaan yang satuan tersebut diperteguh, dirawat dan diawetkan oleh sistem algoritma dengan membuat mekanisme rating, performa dan level akun. Akhirnya, siapa yang paling rajin dia-lah yang paling banyak order. Tak heran jika muncul semacam wirid di kalangan driver, “Kalau kamu ingin gacor harus konsisten mengatur waktu dan jangan pilih-pilih order”. 

Para driver dipecah-belah oleh sistem internal platform aplikasi dan sesama platform aplikasi. Politik pecah-belah dilakukan pula oleh penyelenggara negara dengan menerapkan kebijakan tarif berbeda di setiap daerah. Tarif di pusat kota lebih besar ketimbang di wilayah pinggiran.

3. Kondisi kerja yang buruk dan tidak terprediksi

Kaum ojol bekerja di jalanan di bawah terik matahari, suhu ruangan terbuka, polusi, debu jalanan, angin dan guyuran hujan serta keadaan jalanan. Umum diketahui sarana jalan umum: berlobang dan penerangannya buruk di malam hari. Di jalanan, kaum ojol berlomba dengan kendaraan bermotor lain, sehingga muncul istilah ‘tertabrak atau menabrak’. Sebagai gambaran, dari  2021 ke 2023, angka kecelakaan lalu lintas melonjak.

Pada 2023, jumlah kecelakaan lalu lintas mencapai 116.000 kasus. Angka tersebut meningkat dari 2022, yang mencapai 94.617 kasus. Jauh lebih tinggi ketimbang kecelakaan pada 2021, yang mencapai 70.000 kasus kecelakaan. Dari jumlah kecelakaan lalu lintas terserbut, sebanyak 77 persen kecelakaan dialami oleh sepeda motor (Dephub.go.id, 19/9/2023; Indonesia.go.id, 1/1/2024). Ruang kerja yang buruk adalah ciri lain dari transportasi daring. 

Pengusaha transportasi daring menyediakan opsi ‘manual bid’ dan ‘autobid’, yang seolah-olah pengemudi ojol dapat memilih ‘menerima, mengabaikan atau menolak’ pesanan atau ‘menerima dengan otomatis’. Ketika menerima pesanan antar barang, orang dan makan, platform akan menginformasikan jenis pesanan yang akan dikirimkan. Platform pun menyediakan alasan pembatalan order, jika tidak sesuai dengan pesanan. Namun, platform, terutama pengantaran orang, tidak menyediakan volume dan berat pesanan yang akan diantarkan. Pengemudi akan mengetahui volume dan berat pesanan setelah berhadapan dengan konsumen. Di media massa maupun dalam cerita harian di komunitas ojol, tersebar informasi mengenai pengemudi ojol harus mengantarkan orang atau barang dengan bobot di luar kapasitas sepeda motor, misalnya mengantarkan kulkas (Tribunnews.com, 27/2/2017; Detik.com, 3/12/2020). 

Pilihan ‘mengabaikan’, ‘menolak’ dan ‘membatalkan’ akan berdampak pada pelevelan, performa dan rating akun pengemudi, yang berakibat pada hilangnya kesempatan mendapatkan order di periode berikutnya. Atas nama konsumen dan sistem algoritma, platform aplikasi pun telah menyiapkan mekanisme hukuman dari meng-anyepkan aplikasi hingga putus mitra alias dipecat. Tidak terprediksi, adalah ciri ketiga dari sistem transportasi daring. Dalam kasus, semakin banyak pengemudi ojol menempuh ngalong maka kondisi kerja tidak terprediksi semakin besar. Mereka bekerja di malam hari di jalanan, dengan penerangan yang buruk, yang sewaktu-waktu berhadapan dengan order fiktif dan begal atau kejahatan jalanan lainnya. 

Aplikasi rela membayar mahal untuk mendeteksi fake GPS, dan mengetahui lokasi setiap pengemudi dalam menyelesaikan pekerjaannya. Tentu saja perusahaan aplikasi mampu mendeteksi lokasi-lokasi berbahaya bagi para pengemudi. Namun, mereka membiarkan para pengemudi mengatasi sendiri kondisi berbahayanya. Dalam banyak hal, kondisi berbahaya yang menjadi tanggung jawab aplikasi dan negara tersebut ditanggung sepenuhnya pada pengemudi dan komunitas. 

4. Bacot ‘Bekerja di mana pun dan kapan pun’

Platform aplikasi menggunakan slogan, ‘Anda dapat mengatur penghasilan, kapan pun dan di mana pun’. Ojol diiming-imingi pengaturan waktu dan tempat fleksibel untuk mengatur penghasilan. Slogan tersebut, tidak lebih dari jebakan yang mengondisikan ojol hanya dapat menerima dan mengantarkan pesanan tiba ke tujuan dengan sempurna dan terus-menerus bekerja tanpa waktu libur.

Jamak diketahui, para pengemudi menunggu order di pusat-pusat keramaian. Di kalangan ojol pun diyakinikan dengan narasi: agar mudah mendapatkan order jangan mengubah-ubah waktu onbid dan selalu menerima order. Menolak order atau mengubah waktu onbid akan mengacaukan sistem algoritma. Tentu saja algoritmanya sengaja dibuat demikian agar para pengemudi terus-menerus bekerja dan keuntungan mengalir kepada aplikator. 

Bersembunyi di balik kata ‘mitra’, perintah, jarak pengantaran dan perhitungan pengupahan buruh ojol diatur melalui algoritma. Bagian ini merupakan salah satu kebingungan para pengamat perburuhan untuk mengategorikan ojol sebagai bagian dari buruh. Karena mereka hanya memperhatikan hubungan kerja dan bergumul dengan istilah perjanjian kemitraan yang dinarasikan oleh platform aplikasi. Sehingga mereka bersusah payah memblejeti ‘kemitraan palsu’ dengan merujuk pada Undang-Undang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 mengenai pelaksanaan kemitraan. 

Ada pula kalangan yang menyebut bahwa sepeda motor dikategorikan sebagai alat kerja dengan melepaskannya dari keberadaan akun pengemudi dalam ekosisem digital. Sebagai syarat menjadi ojol, tentu saja sepeda motor dan gawai merupakan atribut yang melekat di tubuh pengemudi. Akun adalah sarana produksi. Karena itu, driver sangat bergantung, aplikator pun menghukum dan memisahkan driver dari akunnya, dan akun dapat diperjualbelikan.

Kemitraan merupakan bentuk lain wujud praktik perburuhan fleksibel. Istilah tersebut lumrah dipertukarkan dengan istilah contractual independent dan partnership. Karena itu, mendefinisikan penyedia transporasi daring sebagai pengusaha dan majikan akan lebih bermanfaat ketimbang menggunakan istilah platform digital yang terkesan netral.   

Ketika mengirimkan pesanan, dengan posisi duduk mengendarai sepeda motor, perhatian pengemudi ojol terpecah menjadi tiga: mengantarkan kiriman dengan selamat sampai tujuan, menghindari agar tidak terjadi kecelakaan, berharap agar tidak mendapatkan penilaian buruk dari konsumen dan memikirkan agar segera mendapat order baru atau segera pulang. Mengurasi energi adalah merupakan ciri selanjutnya dari transportasi daring.  

Kelas Buruh, Bukan Prekariat 

Cerita mengenai buruh yang tidak memiliki kepastian dan jaminan kerja serta tanpa perlindungan, bukan hanya dialami oleh ojol. Cerita yang mirip dapat ditemukan di industri perkebunan, pertambangan, serta transportasi pelabuhan dan bandara. 

Tidak seperti ratapan Guy Standing (2011) mengenai precariat, sebagai fenomena baru di industri modern. Standing meratap bahwa berbagai kemewahan buruh Eropa dihantam oleh neoliberalisme melalui pasar kerja fleksibel. Buruh-buruh Eropa kehilangan kemewahan sebagai ‘buruh sejahtera’ yang dapat menikmati waktu libur yang cukup sembari melemparkan kondisi kerja yang buruk dan jam kerja panjang bagi buruh-buruh di negara-negara Asia lebih dari seabad yang lalu. 

Di Indonesia, jenis-jenis buruh di atas telah berlangsung lama, diawetkan dan semakin meluas di sektor lain. Sektor-sektor yang tadinya dianggap aman, stabil, mentereng, dan memiliki masa depan cerah, telah berubah menjadi sektor pekerjaan tidak stabil dengan masa depan yang suram. Jenis pekerjaan sementara, tanpa jaminan upah dan perlindungan sosial, tersebar di buruh-buruh BUMN, aparatus sipil negara dan sektor manufaktur.

Triono, dan jutaan pengemudi ojol setiap hari, bahkan tanpa waktu istirahat mengantarkan orang, barang dan makan. Harus diantarkan dengan aman hingga tiba tujuan tepat waktu.

Apa yang dilakukan oleh Triono dan jutaan ojol tersebut? Bisnis pengantaran merupakan salah satu tulang punggung perekonomian. Orang diantarkan dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya; makanan dan barang diantarkan dari toko ke pembeli. Mereka-lah yang menghidupkan ekonomi daerah. Laporan Momentum Work menyebutkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang mencatat GMV (Gross Merchandise Value) terbesar di Asia Tenggara untuk bisnis pengiriman makanan, yakni sebesar USD 4,6 miliar atau Rp 72,5 triliun sepanjang 2023. Bisnis pengiriman makanan terbesar ditempati oleh GrabFood sebesar 50 persen, GoFood 38 persen dan terakhir ShopeeFood 12 persen (CNBC Indonesia, 1/2/2024). Keuntungan Grab misalnya. Pada Kuarta IV 2023 mencapai USD 5,44 miliar. Dengan rincian bisnis pengiriman naik 13 persen menjadi USD 2,65 miliar, taksi dan ojek online alias ojol naik 28 persen menjadi USD 1,47 miliar, keuangan turun 14 persen menjadi USD 1,26 miliar, inisiatif baru naik 40 persen menjadi USD 64 juta (Katadata.co.id, 26/2/2024).

Tidak sekadar menopang transaksi perekonomian, Triono dan kaum ojol sedang menanggung tugas negara dan perusahaan, yakni siap sedia mengantarkan pesanan dalam 24 jam. Padahal, kewajiban menyediakan layanan transportasi di kota dan kabupaten merupakan kewajiban pemerintah daerah di tingkat kota atau kabupaten, seperti ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 139. Pasal tersebut pun menyebutkan bahwa penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, milik daerah atau badan hukum lain. Kewajiban menyediakan transportasi umum yang aman dan nyaman pun merupakan kewajiban perusahaan yang mempekerjakan buruh di malam hari.  

Meskipun ojol merupakan penyumbang besar transaksi perekonomian bisnis transportasi daring, menanggung tugas-tugas negara dan perusahaan manufaktur, mereka tidak disebut sebagai orang yang dipekerjakan oleh perusahaan platform, tidak disebut sebagai buruh dinas perhubungan, bukan pula buruh perusahaan manufaktur. Mereka adalah orang-orang yang tidak dilindungi, tidak diakui dan tidak dapat mengakses perlindungan hukum.

Sejak bisnis transportasi daring beroperasi, para pengemudi ojol membangun solidaritas sesama ojol dan buruh di sektor lain dengan membangun komunitas dan menemukan metode perlawanan melalui offbid massal. Para pengemudi ojol memproduksi bahasa perlawanan dengan menyebut perusahaan penyedia transportasi online dengan aplikator, sebagai sosok yang hidup dan mengatur-atur kehidupan para pengemudi ojol.[] 

Penulis

Syarif Arifin
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane