MAJALAH SEDANE

Memuat halaman...

Sedane

Majalah Perburuhan

Merawat Pengorganisasian, Meluaskan Perlawanan: Refleksi Aksi Massa ‘Peringatan Darurat’

Gerakan massa ‘Peringatan Darurat’ berhasil membatalkan revisi RUU Pilkada. Demonstrasi ‘Peringatan Darurat’ mengingatkan kembali mengenai pentingnya aksi massa, kampanye kreatif, pengorganisasian yang luwes dan pendidikan yang telaten.

KAMIS 21 AGUSTUS 2024, Pukul 19.15. Lelaki kurus usia 60-an berkaos oranye-biru belel. Ia menggerakkan kakinya yang dibungkus sepatu bot dengan cepat. Lelaki itu menghampiri dan berbisik kepada lelaki usia 40-an berkemeja putih bersepatu hitam mengilap yang sedang memandang ke jalan. Lelaki berkemeja putih mengangguk. Lalu mengangkat gawainya ke telinga kanan: ia menelepon seseorang. Sembari menyimpan handphone-nya ke saku celana, ia mengarahkan telunjuk tangan kirinya ke lelaki kurus untuk menutup pagar.

Halaman warung bakso di sekitar Gerbang Pancasila Gedung DPR RI, tiba-tiba riuh dengan para lelaki. Mereka yang tadinya tampak tidak saling kenal dan hanya memainkan handphone di sudut warung dan di pinggir jalan, berkumpul. Pagar ditutup dan lampu depan warung dimatikan. Waktu seperti berhenti. Gelap malam menerkam sisa cahaya matahari sore. 

Dari arah warung, dua perempuan berkerudung dengan usia setengah abad melangkahkan kaki menuju pagar. Di belakang mereka, dua laki-laki usia 20-an berjas almamater salah satu kampus di Jakarta.

“Ada apa ini. Jelaskan!” pinta salah satu perempuan. Lelaki berkemeja putih dan lelaki kurus membalikkan badan. Muncul lelaki lain usia 40-an berpakaian sama dengan lelaki kurus tadi. 

“Pagar akan ditutup. Ada ‘penyisiran’ demo,” jelas lelaki 40-an tanpa menyebutkan siapa yang akan melakukan ‘penyisiran’. Ia seperti menganggap bahwa lawan bicaranya akan mengerti maksud ‘penyisiran’. 

Kebingungan dua perempuan berkerudung dipecahkan dengan suara setengah berteriak dari satu lelaki berjas almamater.

“Gak bisa! Ini hak demokrasi!” Mata lelaki berjas almamater melihat-lihat ke sekeliling warung. Ia tidak yakin dengan kata-katanya. Lelaki tersebut segera diam ketika salah satu perempuan berkerudung mengajak bicara. Entah apa yang mereka bicarakan. Dua lelaki usia 20-an membawa tubuhnya ke serambi warung. 

Di serambi warung terdapat tiga lelaki usia 50-an berbadan tegap: satu berpakaian loreng, dua menggunakan tas selempang, dengan kemeja dan rambut gaya disconnected undercut. Sekilas, dua orang tersebut seperti pelanggan di warung tersebut. 

Dua lelaki usia berjas almamater berkumpul dengan tiga lelaki berbadan tegap. Sementara lima lelaki ngobrol, dari sisi kiri warung keluar 20-an polisi dengan tameng dan helm. Mereka berbaris, keluar pagar dan berlari menuju arah Gedung Utama DPR RI. Lelaki kurus menutup kembali pagar. 

Berselang lima menitan, barisan polisi Brimob yang berlari kecil menghentakan kaki sambil berteriak-teriak dengan semangat mengikuti langkah polisi bertameng diikuti dengan satu mobil pengurai massa. Kata-katanya tidak jelas, tapi terdengar seperti pasukan perang yang akan menghancurkan musuh. Mereka bersemangat. 

Para buruh warung bakso mondar-mandir melayani pelanggan. Terdengar dua kali suara tembakan disusul teriakan kesakitan, makian dan suara sirine berulang-ulang. Dua sampai tiga orang menggunakan sweater berlari dikejar oleh sekelompok orang berseragam polisi sambil mengayunkan pentungan.  

Di dalam warung, lima lelaki masih ngobrol. Lelaki jas almamater tersebut mengenalkan diri dari sebuah organisasi Islam yang dibentuk di tahun 1947. Mereka bertukar nomor telepon dan membuat janji pertemuan. “Kalau kamu libur, nanti kita bertemu,” ajak lelaki berbadan tegap.

Orasi, Spanduk dan Poster  

Kamis, 21 Agustus pukul 3 sore gedung depan dan belakang DPR RI dikepung massa. Mereka datang bertahap sejak pukul 9 pagi.  

Di Gerbang Pancasila DPR RI, ratusan massa mahasiswa dari berbagai kampus dari Depok, Jakarta, dan Banten berkumpul. Mereka datang berkelompok dengan membawa megaphone, menggunakan jas almamater kampus, mengibarkan bendera, dan membentangkan spanduk yang ditulis dengan cat semprot. 

Mereka saling menyemangati dengan orasi, bernyanyi dan berjoget. Di dalam Gerbang Pancasila tampak puluhan polisi berdiri kaku ditemani barakuda menonton para mahasiswa. Mereka seperti patung, bahkan lebih mirip siswa sekolah dasar zaman Soeharto yang dijemur karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah. 

Tembok-tembok di sekitar Gerbang Pancasila sudah dipenuhi dengan tempelan poster, spanduk dan coretan dinding. Misalnya, tertulis di salah satu spanduk ‘#JegalDinastiJokowi’ ‘Presiden Suka Giting’ dan sebagainya. Puluhan spanduk partai politik berserakan di pinggir jalan. 

Sekitar pukul 1 siang, mahasiswa jas almamater berhasil merobohkan pintu Gerbang Pancasila dengan cara ditarik bersama-sama menggunakan tali. Mirip dengan lomba tarik tambang dalam acara tujuhbelas Agustusan. Setelah itu, mereka membakar ban dan banner. Kemudian berorasi dengan semangat. Suaranya tidak jelas. 

Beberapa mahasiswa berjas almamater biru tua di luar barisan mengerumuni pedagang ketoprak, penjual siomay, penjual kopi dan penjual bakso. Tiga mahasiswa dari salah satu kampus di Jakarta memesan bakso. Mereka ngobrol random

“Bisa bayar pake Qris, Mang?” tanya salah satu mahasiswa ke tukang bakso.

“Bayar ke sebelah aja!” tunjuk ke tukang bakso ke penjual siomay. 

“UI gak di sini, Co?” tanya satu mahasiswa ke temannya.

“Mereka di depan (DPR RI), njirrr,” jawab temannya. 

“Kita belum dipanggil audiensi, Cok?” 

“Belum-lah, njirrr. Tapi, palingan ketua-ketuanya.”

Sekitar pukul 5 sore, massa mahasiswa merangsek masuk ke halaman gedung parlemen. Polisi menyiapkan barikade. Mahasiswa saling menyemangati dan berjanji bertahan di halaman gedung. “Panggil anggota Baleg, panggil Sufmi Dasco kemari,” kata salah satu orator di Gerbang Pancasila, seperti dilansir JPNN.com (22/8/2024). Mereka berjanji tidak akan membubarkan diri sebelum bertemu dengan anggota Baleg. 

Massa mahasiswa dengan aparat kepolisian saling dorong. Para orator berteriak agar mahasiswa bertahan. Polisi pun menyemprotkan water cannon. Massa kocar-kacir. 

Pukul 6 sore, halaman Gerbang Pancasila lengang. 

***

Sejak pukul 9 pagi, di gerbang utama DPR RI massa lebih ramai. Jumlahnya ribuan. Tiga mobil komando berjejer membokongi pagar DPR RI. Di pagar gerbang spanduk besar ditempelkan. Di antaranya tulisan ‘Indonesia Is Not For Sale. Merdeka!’ dan ‘Terima Kasih Mahkamah Konstitusi’. Para pemimpin massa bergantian berpidato berorasi di atas mobil komando. Isi orasinya beragam: dari RUU PRT yang sudah 20 tahun diperjuangkan, pentingnya menegakan konstitusi dan demokrasi, kritik terhadap DPR, dan kritik terhadap keluarga Jokowi yang dianggap mengkhianati demokrasi. 

Di tengah massa berbagai spanduk dan poster dibentangkan. Tulisannya macam-macam, seperti ‘Berantas Dinasti Jokowi’ dan ‘DPR Lo Sok Asik, Bangsat’. Ada pula beberapa orang yang membagikan makanan dan minuman gratis. Tembok pinggir dan kanan gerbang depan DPR RI dipenuhi dengan tulisan cat semprot.

Tidak jauh dari gerbang utama ada mobil kesehatan Mer-C Indonesia, organisasi kemanusiaan yang memberikan pelayanan medis.

Ribuan massa di depan gedung DPR RI terdiri dari mahasiswa berjas almamater, organisasi mahasiswa tanpa jas almamater, organisasi buruh, partai politik kontestan pemilu, dan organisasi perempuan, LSM, politisi, kelompok yang menggunakan kaos dengan tulisan Manusia Merdeka, selebritas komedian tunggal dan sebagainya.

Salah satu drama yang cukup memukau adalah hadirnya anggota DPR dari Fraksi Gerindra Habiburokhman, Ketua Badan Legislasi DPR RI Wihadi Wiyanto, dan Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi. Habiburokhman dipersilakan naik panggung untuk bicara kepada massa. 

Berbeda dengan kelompok mahasiswa Gerbang Pancasila yang mengharapkan audiensi tapi tidak kesampaian, kehadiran Habiburokhman justru dijemput pimpinan massa aksi tapi diusir massa. Ketika para anggota dewan keluar gerbang, massa langsung menyoraki dan meneriaki. 

“Huhhh…”

“Biadab! Kamu pengkhianat rakyat!”

“Huhhh…”

Habiburokhman dan temannya menaiki mobil komando. Teriakan massa mengencang. Ditambah dengan lemparan botol dan gelas bekas air minum.  

“Turun… Turun… “

Orang di atas mobil komando meredam massa. Habiburokhman memegang mic dan mengucapkan, 

“Tidak ada pengesahan RUU Pilkada”

“Bohong!” jawab massa.

Teriakan massa menyeruak. Botol air minum melayang di udara diarahkan ke mobil komando. 

Habiburokhman diantarkan turun dari mobil komando. 

Said Iqbal mengulangi pernyataan Habiburokhman. 

“Jangan percaya!” teriak massa. 

Dalam berita Antaranews.com (22/8/2024) dikatakan bahwa Habiburokhman dan teman-temannya dijemput oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal pukul 12.30. Said Iqbal mengajak anggota DPR RI untuk menemui massa aksi. Mungkin pimpinan Partai Buruh mengira bahwa ribuan massa yang memadati halaman gedung DPR RI akan menyetujui inisiatif mereka. 

Pukul 5 sore massa makin ramai. Sebagian dari mereka menaiki pagar samping DPR RI. Setelah digoyang berkali-kali, akhirnya, besi sayap kiri pintu masuk gerbang roboh. Massa merangsek ke dalam halaman gedung. Di luar pagar terdengar massa saling bersahutan, 

“Hati-hati, hati-hati, hati-hati provokasi!”

“Masuk, masuk!”

Sekumpulan orang yang menggunakan jas almamater menarik diri dari keramaian massa. Mereka berjalan dengan nyanyian penuh semangat. Barisan mereka terhenti di bawah jembatan Slipi. Di bawah jembatan Slipi aparat keamanan berseragam hitam dilengkapi senjata disertai mobil barakuda bersiaga. 

Di atas jembatan Slipi, beberapa lelaki muda mencopot tiang bambu yang dipergunakan untuk memasang bendera. 

Tak lama kemudian, dari arah gedung utama DPR RI orang-orang berlari. Ada pula yang berteriak sambil memaki. Kelopak mata mereka ditempeli pasta gigi putih. Ternyata, kepolisian telah menembakkan gas air mata. Massa kocar-kacir. Beberapa anak muda melemparkan batu. 

Sekitar pukul 06.00 sore tiba dari arah Slipi sekelompok orang datang menuju DPR RI. Mereka tidak menggunakan jas almamater, tanpa megaphone apalagi mobil komando. Ada yang menggunakan pakaian putih-abu, ada pula yang menggunakan pakaian harian yang dibungkus dengan sweater. Mereka berjalan cepat dengan membawa bambu bekas bendera. Beberapa orang di pinggir membuka kamera gawainya, sambil teriak. “Avenger, Avenger!”

Hingga pukul 8.00 malam, saya tidak lagi melihat lagi anak-anak muda yang menggunakan jas almamater. Tapi, anak-anak muda dengan pakaian putih-abu terus berdatangan. Mereka melawan brutalitas aparat negara bersenjata lengkap dengan bambu bekas bendera. 

Menurut berita, di hari itu kepolisian telah menyiapkan 2.975 personel untuk mengantisipasi pengamanan, yang terdiri dari satuan tugas daerah (satgasda), satuan tugas resor (satgasres) personel, dan bawah kendali operasi (BKO) TNI dan pemerintah daerah.

Para Penyusup

Hingga pukul 10.00 malam saya masih mendengar kabar aparat keamanan mengejar massa yang berlarian ke arah perempatan Slipi dan ke pemukiman penduduk. 

Pukul 01.00 saya membaca kabar. Sebanyak 27 orang ditahan di Polda Metro Jaya, 105 orang ditahan di Polres Jakarta Barat, 3 orang di Polsek Tanjung Duren, dan 159 orang di Polres Metro Jakarta Timur. Kebanyakan dari mereka adalah siswa sekolah. Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) merilis, sekurangnya 11 jurnalis di Jakarta telah menjadi korban kekerasan aparat dalam bentuk bentuk intimidasi, ancaman pembunuhan, kekerasan psikis hingga fisik yang mengakibatkan luka-luka berat. 

Malam itu, saya membaca pesan video di grup perpesanan singkat. Di video tersebut, seorang lelaki berkaos dan celana hitam berlari sempoyongan dikejar dua lelaki berkaos hitam dan warna celana krim. Dua lelaki tersebut diikuti empat polisi dengan membawa pentungan. Setelah melepaskan satu tonjokan, lelaki yang dikejar tersungkur dan ambruk. Setelah ambruk, keempat polisi mengeroyok laki-laki tadi. Peristiwa tersebut terjadi di Bandung Jawa Barat.

Menjelang malam, jenis video seperti di atas bertambah. Polanya sama. Laki-laki yang tidak berseragam dan berpakaian bebas serta diikuti dengan kelompok polisi mengejar, menangkap dan memukuli peserta aksi massa. Brutalitas aparat negara menghadapi massa aksi mengingatkan kita dalam aksi massa #ReformasiDikorupsi 2019 dan #TolakOmnibusLaw 2020. 

Aksi massa #ReformasiDikorupsi terjadi pada 23-30 September 2019  di berbagai kota besar di Indonesia. Aksi massa tersebut menuntut pembatalan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan menolak pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) bermasalah, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba. Aparat kekerasan negara menghadapi aksi massa dengan mengejar, menangkap, memukul dengan benda tumpul, dan menendang partisipan aksi massa. Di Jakarta, sekitar 90 demonstran dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Sebanyak 3 di antaranya mengalami luka serius pada bagian kepala dan 5 orang meninggal dunia. 

Aksi massa #TolakOmnibusLaw terjadi pada Oktober 2020. Data Kontras menunjukkan setidaknya 4.555 orang ditangkap secara sewenang-wenang dan 232 orang mengalami luka-luka. Dalam aksi massa tersebut pun, sebanyak 28 kasus kekerasan dialami oleh para jurnalis. 

Selain persenjataan lengkap dan jumlah pasukan yang memadai, keberhasilan aparat negara memukul mundur massa aksi ditopang oleh para pemasok informasi yang menyaru seperti orang biasa: intelijen. 

Intelijen bagian dari aparat kekerasan negara. Tugas mereka memang mengumpulkan informasi. Tak jarang mereka menjalin kontak langsung dengan para pemimpin massa. Tapi, para intelijen pun mengaburkan informasi dan memecah belah gerakan massa. Anehnya, terdapat segelintir aktivis yang merasa bangga menjalin kontak dengan intel. Mereka  menelan mentah informasi dan analisis dari intel. Pada laga mogok nasional 2015, salah satu federasi serikat buruh membatalkan berpartisipasi dalam mogok nasional. Dia beralasan, telah memiliki informasi A1 bahwa mogok akan dilaksanakan di jalan tol, kemudian telah disiapkan ‘sniper’ untuk menembak salah satu peserta aksi mogok, kemudian akan terjadi kerusuhan seperti peristiwa 1998. Nyatanya, peserta mogok nasional 2015 hanya sanggup di halaman pabrik. Karena kawasan industri dijaga aparat keamanan dan organisasi para militer.

Ada pula aparat keamanan negara yang ditugaskan untuk menyusup ke barisan massa, ketika demonstrasi berlangsung. Dalam aksi-aksi massa dengan jumlah besar, intelijen akan berpakaian layaknya partisipan demonstrasi, sekadar melihat-lihat sekitar peserta demonstrasi atau berlagak layaknya jurnalis. 

Menghadapi intelijen, memang bukan dengan teriakan ‘hati-hati provokasi’. Bukan pula dengan membentengi massa dengan tali rafia, seperti dilakukan barisan massa berjas almamater kampus. Tapi dengan pendidikan. 

Terpanggil, Penonton dan Rekonsolidasi Oligarki

Gerakan massa berhasil membatalkan rencana revisi RUU Pilkada. Pembatalan RUU Pilkada membawa efek lain, yaitu terpecahnya konsolidasi partai besar yang tergabung dalam KIM (Koalisi Indonesia Maju) Plus di beberapa daerah. Partai gurem kontestan Pemilu dan pengusung calon kepala daerah bersuka cita. 

Sehari setelah pembatalan revisi RUU Pilkada, media massa umum dan para content creator menyuguhkan acara yang berkaitan dengan Pilkada. Sementara media massa, semacam Kompas.com, Tempo.co dan Antaranews.com, meletakan pemberitaan demonstrasi disebabkan oleh rencana revisi RUU Pilkada yang mengingkari putusan MK. Di media daring, para pengamat hukum dan ketatanegaraan menganalisis mengenai pentingnya mengawal putusan MK untuk menegakan demokrasi. 

Pembatalan RUU Pilkada atau tegaknya putusan Mahkamah Konstitusi memang tidak mengubah pondasi ekonomi Indonesia. Namun, peristiwa 21 Agustus memperlihatkan bahwa massa sanggup berdemonstrasi dan mengemukakan persoalan harian di pusat-pusat kekuasaan. Aksi massa memberikan pelajaran bahwa rezim zalim hanya dapat dipukul mundur oleh gerakan massa di jalanan bukan dengan kertas kebijakan, audiensi, analisis ekonomi politik dan tagar di media sosial. Seperti dikatakan Ali bin Abi Thalib, “Kebaikan yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir”. 

Setelah 21 Agustus, aksi massa berlanjut hingga 24 Agustus, bahkan di beberapa wilayah, aksi massa berlangsung hingga 29 Agustus di berbagai kota di Indonesia. Tuntutannya pun meluas menjadi perlawanan terhadap brutalitas aparat kekerasan negara dan pencabutan RUU TNI dan RUU Polri. Tentu saja aksi-aksi massa lanjutan tersebut tidak mendapat meriah perhatian luas seperti sebelumnya. 

Sebenarnya, saya tidak mengetahui dengan baik mengenai seluk-beluk aksi massa 21 Agustus. Mulanya, saya hanya melihat panggilan aksi massa di satu grup perpesanan daring dengan judul ‘Peringatan Darurat’, pukul 8.00 malam 21 Agustus 2024. Malam itu juga berbagai pesan yang sama berseliweran di gawai saya. Di telepon seluler Ada pula pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh aliansi serikat buruh, kumpulan individu tanpa organisasi, para pengajar kampus, dan dari lembaga swadaya masyarakat. Bahkan, beberapa pengajar di kampus terkemuka meliburkan kuliahnya. Semuanya menyerukan untuk berdemonstrasi di halaman gedung DPR RI atau DPR wilayah masing-masing. Isi pernyataan sikapnya kurang lebih menyebutkan mengenai pentingnya menjaga demokrasi dan menegakkan konstitusi.  

Di samping seruan untuk turun ke jalan ada pula pernyataan dari sejumlah orang yang memberikan nasihat bahwa aksi massa tersebut rawan ditunggangi, menguntungkan kekuatan politik antirakyat, dan naif. Sebab, terdapat situasi lebih darurat ketimbang urusan pilkada-pilkadaan.

Menurut penelusuran Narasi.tv (21/8/2024), gambar “Peringatan Darurat” merupakan potongan dari video yang diunggah oleh akun Youtube EAS Indonesia Concept pada 22 Oktober 2022. Kata Narasi.tv, video-poster tersebut disebarkan oleh 1 juta akun dalam sehari. Saya memang tidak terpapar ajakan ‘Peringatan Darurat’ melalui media sosial. Tapi poster maupun video-poster call to action itu menghampiri saya melalui grup perpesanan daring. Kampanye menolak revisi RUU Pilkada berhasil membuat frame persoalan dengan simple: orang-orang kesulitan mendapatkan pekerjaan, satu keluarga dapat melakukan menerobos berbagai peraturan demi mendapatkan pekerjaan. Saya mendapat kesan, isu kesulitan mendapat pekerjaan cukup kuat dalam framing antipolitik dinasti.  

Saya menduga, terdapat banyak orang yang seperti saya: datang ke lokasi demonstrasi tanpa mengetahui latar belakang demonstrasi dan hadir sekadar untuk menonton. Tak heran jika massa aksi DPR RI terdiri dari campuran beragam organisasi dan individu dengan tendensi politik yang berbeda. Tentu saja mereka membawa kemarahan masing-masing. Dengan latar kemarahan yang berbeda-beda pula. Jenis kalimat yang diungkapkan dalam poster maupun spanduk pun bermacam-macam: dari soal demokrasi, krisis iklim, RUU PRT, pencabutan UU Cipta Kerja hingga menolak pemecatan sewenang-wenang. Tulisan #KawalPutusanMK #TolakPolitikDinasti #DaruratDemokrasi #SelamatkanDemokrasi menyertai poster dan spanduk yang dibawa massa. 

Sejumlah orang terpanggil untuk berdemonstrasi karena mendapat panggilan dari media sosial. Peserta lain hadir karena memiliki perencanaan aksi massa dari organisasinya. Ada pula yang sekadar diajak oleh kawan setongkrongannya. Itulah yang menjelaskan keluasan isu yang diangkat dalam demonstrasi massal di DPR RI, meskipun momentumnya adalah rencana revisi RUU Pilkada. Salah satu media yang mengantarkan keragaman tersebut adalah media sosial dan media massa. 

Data Digital Indonesia (2024) menyebutkan, dari total penduduk Indonesia, sebanyak 185,3 juta atau sekitar 66,5 penduduk menggunakan internet melalui telepon seluler. Dari jumlah tersebut sebanyak 139,0 juta orang atau 49,9 persen dari total populasi menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Pengguna internet tersebut sebanyak  11 dan 15 persen didominasi oleh usia 18 hingga 34 tahun.  

Lumrah diketahui, media massa umum di Indonesia menonjol dalam empat hal: berita politik, kriminalitas, perkembangan bisnis dan gosip selebritas. Ketika menjelang Pemilu hampir seluruh media massa umum mengidentifikasi diri sebagai media Pemilu dan mengeluarkan istilah yang aneh, yaitu ‘Tahun Politik’. Wajah media massa tersebut berkaitan dengan para pemilik media yang mewakili kepentingan bisnis dan partai politik semata soal independensi jurnalisme. Menurut Merlyn Lim (2012) dan Ross Tapsell (2018) dari ribuan media massa yang beroperasi semuanya terkonsentrasi di bawah 8 pemilik konglomerat. Selain menguasai bisnis media massa, para pemilik media pun mengendalikan partai politik atau terhubung dengan partai politik (Arifin, 2023). 

Kecenderungan aksi massa yang dipicu oleh permasalahan politik dan kebijakan nasional yang disosialisasikan melalui media sosial dan media massa tidak hanya sekali. Pada 2009, terdapat aksi massa mendukung KPK melawan Polri dalam aksi massa Cicak vs Buaya. Hal ini berbeda dengan aksi massa semisal Revolusi Melati di Tunisia, yang dipicu oleh aksi bunuh diri Mohamed Bouazizi, seorang pedagang kaki lima berusia 26 tahun. Isu dan aksi massa di Tunisia telah memicu perlawanan rakyat di Mesir dan Yaman, pada 2011. 

Ben Anderson dalam Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang (2002) memperlihatkan pembentukan imajinasi nasionalisme yang berbeda tanpa interaksi langsung melalui kapitalisme percetakan. Barangkali penting untuk melihat artikulasi masalah yang diungkapkan dalam demonstrasi yang terpanggil oleh media sosial dan media massa. Namun, seperti diperlihatkan oleh Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926 (2005), ide-ide di media massa tumbuh dari dinamika pembentukan grup-grup perlawanan, yang tersebar. 

Saya ingin mengingatkan kembali, sebelum aksi massa tersebut di gedung DPR RI terdapat sejumlah orang yang dengan tekun berdemonstrasi mendesak DPR RI mengesahkan RUU PRT. Sementara di Istana Negara dan di tempat-tempat lain, puluhan orang merawat Aksi Kamisan. Tepat di hari itu pula, Kamis 21 Agustus, puluhan buruh PT Graha Fortuna berdemonstrasi di Jakarta. Jauh sebelum aksi-aksi tersebut, ada pula upaya-upaya lain, seperti pelaksanaan Mahkamah Rakyat Luar Biasa, demonstrasi-demonstrasi kecil dan sebagainya. Mereka bersusah payah dan dengan tekun menempa diri, memperluas pengorganisasian, memperkenalkan siapa kawan dan lawan dan meyakinkan setiap orang agar menempuh aksi massa sebagai jalan perlawanan.[]

Penulis

Syarif Arifin
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane