JAKARTA, 20 November 2024 — Penyandang Disabilitas berhak atas pekerjaan dan upah yang layak. Negara wajib melindungi, memenuhi dan memajukan hak tersebut, seperti disebutkan dalam peraturan perundangan.
Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UUPD) No. 8 Tahun 2016, yang mengatur 22 hak dasar, termasuk hak atas pekerjaan dan upah yang layak serta akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. UUPD menegaskan, perusahaan swasta wajib mempekerjakan Penyandang Disabilitas minimal 1 persen dari total yang dipekerjakan, sedangkan perusahaan negara dan lembaga negara wajib mempekerjakan minimal 2 persen Penyandang Disabilitas dari total yang dipekerjakan. UUPD pun menyebutkan, akan memberikan insentif kepada lembaga dan perusahaan negara maupun perusahaan swasta yang memenuhi hak-hak Penyandang Disabilitas. Sebaliknya, setiap orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang hak Penyandang Disabilitas diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp200 juta (Pasal 145).
Namun, implementasi UUPD menghadapi tantangan besar. Pada bulan September 2024, LIPS (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane) melakukan riset aksi dengan metode wawancara dan diskusi terfokus. Hasil riset memperlihatkan bahwa para penyandang disabilitas mengalami hambatan memasuki dunia kerja karena lingkungan sosial, stigma dan dunia kerja yang belum inklusif, tidak ramah gender dan cenderung membahayakan keadaan fisik dan mental.
Stigma terhadap Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas masih dianggap bukan manusia baik oleh lingkungan sosial, oleh negara maupun perusahaan. Peraturan perundangan-undangan dan lembaga pemerintah masih menggunakan kata “cacat fatal” untuk buruh yang mengalami kecelakaan kerja, menyebabkan keterbatasan fisik dan mental. Misalnya data yang disediakan oleh BPJS Jamsostek. “Cacat” adalah istilah yang dipergunakan untuk barang bekas bukan manusia.
Selain itu, informasi lowongan kerja baik di perusahaan negara, lembaga pemerintah dan swasta masih mencantumkan syarat-syarat yang membuat Penyandang Disabilitas tidak dapat melamar kerja.
“Semestinya dalam mekanisme rekrutmen tidak boleh mengiklankan syarat-syarat kerja yang mendiskriminasikan pelamar kerja,” kata Kusuma Dewi dari PPEE FSPMI.
“Memang ada Penyandang Disabilitas yang dipekerjakan di perusahaan swasta maupun negara, tapi keberadaanya sekadar menunaikan kewajiban. Buruh tidak mendapatkan akomodasi yang layak untuk mendapatkan pekerjaannya,” kata anggota HWDI.
Umumnya, para Penyandang Disabilitas selalu dianggap memiliki kekurangan. Kalau pun diberikan pelatihan selalu penuh dengan stigma. “Misalnya, Penyandang Disabilitas Netra berikan pelatihan memijat. Itu menganggap kami tidak memiliki kemampuan apapun,” kata anggota HWDI.
Stigma buruk terhadap Penyandang Disabilitas bukan sebagai manusia dan warga yang memiliki hak yang setara terlihat dalam pembentukan KND (Komisi Nasional Disabilitas) di bawah Kementerian Sosial. “Itu menandakan bahwa negara menganggap Penyandang Disabilitas sebagai permasalahan sosial bukan masalah tanggung jawab negara menghormati hak mereka,” kata Kokom Komalawati.
Diskriminasi Penyandang Disabilitas, Khususnya Perempuan
Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas tetap menjadi masalah signifikan. Sebagai contoh, seorang penyandang disabilitas netra yang lulus seleksi kerja di perusahaan BUMN akhirnya dipindahkan ke anak perusahaan tanpa penjelasan yang jelas. Kasus lain melibatkan Penyandang Disabilitas mental yang tidak mendapatkan akses untuk sertifikasi keahlian karena tidak adanya pengakuan atas kebutuhan khusus mereka.
“Di tempat kami memang ada beberapa buruh yang bekerja sebagai Penyandang Disabilitas Tuli. Tapi mereka tidak diberikan akomodasi yang layak baik untuk bekerja maupun untuk berkomunikasi dengan rekan kerjanya, “ kata Zaenal Rusli.
Informalisasi Pekerjaan Penyandang Disabilitas
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, terdapat 22,97 juta Penyandang Disabilitas, dengan sekitar 17 juta orang dengan usia produktif. Dari jumlah tersebut, semestinya terdapat 510.000 Penyandang Disabilitas yang bekerja di sektor formal. Namun, data menunjukkan hanya 5.825 orang yang terserap di sektor ini, dengan mayoritas lainnya terjebak di sektor informal.
Sektor informal sering kali menjadi “jalan terakhir” bagi Penyandang Disabilitas, tetapi tanpa perlindungan hukum, jaminan sosial, atau upah layak. Hampir 43 persen Penyandang Disabilitas bekerja di sektor pertanian, 17,55 persen di manufaktur, dan sisanya di sektor jasa. Ketiadaan akses ke sektor formal menunjukkan bahwa Penyandang Disabilitas kerap dipinggirkan dari kesempatan kerja yang adil.
Kondisi Kerja yang Buruk
Kondisi kerja yang buruk merupakan salah satu penyumbang tingginya Penyandang Disabilitas. Buruh menjadi Penyandang Disabilitas karena kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan tekanan mental. Data BP Jamsostek 2021 menyebutkan, jumlah orang yang mengalami kecelakaan dan penyakit akibat kerja meningkat dari 210.789 pada 2019 menjadi 234.370 pada 2021.
“Kebanyakan kasus, jenis-jenis kecelakaan kerja tidak dilaporkan oleh perusahaan sebagai kecelakaan kerja. Padahal kecelakaan kerja tersebut akibat kondisi kerja yang tidak aman. Akibatnya, biaya perawatan kesehatan ditanggung sendiri oleh buruh. Setelah mengalami kecelakaan kerja dan menyebabkan disabilitas tidak ada jaminan mendapatkan pekerjaan,” kata Ajat Sudrajat.
Program RTW (Return to Work), yang disediakan oleh pemerintah tidak efektif. Dari total korban kecelakaan kerja hanya 985 orang yang telah kembali bekerja. Artinya, sebanyak 233,385 buruh yang mengalami kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja tidak mendapatkan pekerjaan kembali.
“Karena buruh yang mengalami kecelakaan kerja dihadapkan dengan pasal sakit berkepanjangan (longillness). Sehingga buruh yang mengalami kecelakaan kerja atau terkena suatu penyakit dalam jangka waktu lama, upahnya akan terus menurun hingga dipecat,” terang Anggie Ero dari FSBN KASBI (Federasi Serikat Buruh Nusantara Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia).
“Peraturan itu yang menyebut kecelakaan kerja sebagai longillnes merupakan lepasnya tanggung jawab negara,” tambah Ajat Sudrajat LION.
“Sebenarnya, peraturan perundangan melarang perusahaan memecat buruh yang mengalami kecelakaan kerja. Nyatanya, buruh yang mengalami kecelakaan kerja dipecat dengan alasan putus kontrak dan alasan-alasan yang dibuat-buat,” tambah Ajat Sudrajat dari LION.
Menuju Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas di Dunia Kerja: Membongkar Ketimpangan, Membangun Kesetaraan
Di dunia kerja Indonesia, isu pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas masih menjadi tantangan yang berat. Meski Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UUPD) telah memberikan kerangka hukum yang jelas, pelaksanaan di lapangan seringkali jauh dari harapan. Hal ini disebabkan oleh berbagai hambatan struktural, termasuk diskriminasi, kebijakan yang tidak inklusif, serta lingkungan kerja yang tidak ramah bagi penyandang disabilitas.
Penerapan kuota pekerja disabilitas—1 persen untuk perusahaan swasta dan 2 persen untuk lembaga pemerintah—masih minim realisasi. Ketidaksinkronkan data, kurangnya pengawasan, serta kebijakan yang diskriminatif menjadi kendala utama. Di Kota Tangerang, misalnya, dari tujuh perusahaan besar yang mempekerjakan ribuan buruh hanya 144 penyandang disabilitas yang dipekerjakan. Sementara itu, di Yogyakarta dan Semarang, pelaksanaan kuota ini juga berjalan tidak optimal dengan alasan klasik: keterampilan penyandang disabilitas dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.
“Paradigma abelisme—yang mengukur kemampuan individu berdasarkan standar “normalitas” fisik dan mental—masih mengakar dalam dunia kerja. Istilah seperti “cacat” yang kerap digunakan dalam regulasi resmi mencerminkan bias tersebut. Regulasi seperti Permenakertrans Nomor 25 Tahun 2008 bahkan memposisikan kecelakaan kerja dan disabilitas sebagai kalkulasi kompensasi, bukan sebagai isu perlindungan atau pemberdayaan pekerja,” kata Kokom Komalawati.
Beban Ganda Perempuan Penyandang Disabilitas
Perempuan penyandang disabilitas menghadapi diskriminasi berlapis, baik sebagai perempuan maupun sebagai individu dengan kebutuhan khusus. Kisah NA, seorang penyandang disabilitas yang bekerja di Dinas Sosial DKI Jakarta, menggambarkan tantangan tersebut. Meskipun telah bekerja selama lima tahun sebagai verifier data, ia masih menghadapi lingkungan kerja yang tidak menyediakan akomodasi layak, seperti aksesibilitas fisik. NA harus bersusah payah menaiki tangga manual di lantai 5 setiap hari tanpa fasilitas pendukung.
Selain itu, perempuan penyandang disabilitas sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif yang lebih parah dibandingkan rekan mereka yang nondisabilitas. Mereka cenderung dipekerjakan pada pekerjaan dengan upah rendah atau kontrak kerja fleksibel yang rentan pemutusan sepihak. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menjadi kelompok pertama yang diberhentikan ketika perusahaan menghadapi tekanan ekonomi atau relokasi.
Perlakuan diskriminatif lainnya dialami perempuan penyandang disabilitas yang sedang hamil. Alih-alih mendapatkan perlakuan khusus seperti pekerja hamil lainnya, mereka dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak mendukung, seperti berdiri sepanjang hari tanpa kursi yang sesuai kebutuhan fisiknya.
Dalam rangka menyambut Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 25 November, kami, menuntut:
Pertama: Negara dan pengusaha harus memastikan dunia kerja yang inklusif dan ramah gender dengan mendorong semua instansi dan perusahaan tidak mencantumkan kualifikasi pekerjaan yang tidak ramah Penyandang Disabilitas dan biased gender.
Kedua: Mendesak negara mencabut peraturan perundangan yang mengondisikan kecelakaan kerja yang menyebabkan disabilitas sebagai sakit berkepanjangan yaitu, Pasal 81 angka 43 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 153 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan.
Ketiga: Mendesak agar KND (Komisi Nasional Disabilitas) berdiri independen bukan di bawah Kementerian Sosial dan mengefektifkan ULD (Unit Layanan Disabilitas).
Kami juga menyerukan serikat buruh, organisasi perempuan, dan Penyandang Disabilitas menagih tanggung jawab negara agar menyediakan dunia kerja yang inklusif dan bebas dari kekerasan berbasis gender.
Kami juga mendukung perjuangan serikat buruh yang sedang menuntut kenaikan upah minimum.
Penulis
-
Aliansi untuk Hak Kerja Layak
-
Aliansi untuk Hak Kerja Layak adalah aliansi serikat buruh, organisasi penyandang disabilitas dan pemerhati perburuhan, yang terdiri dari FSBN KASBI, FSBKU KSN, HWDI, PPEE FSPMI, LION, AFWA, SEHATI Sukoharjo, Perempuan Mahardika, JALA PRT, Kalyanamitra, FSBPI, FSBI, FSBM, YAPESDI, FSPBI, P2RI, LIPS.