Septia Dwi Pertiwi (25 tahun), perempuan muda berkerudung, tanpa perhiasan dan buruh tidak berserikat. Sejak awal 2023, berhadapan dengan hukum, pengacara, aparat penegak hukum dan pengadilan. Ia dituduh dan dilaporkan mantan bosnya, Jhon LBF, kepada Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik, pada Januari 2023.
Di media sosial X Septia menulis bahwa pemilik tempat kerjanya demen memotong upah tanpa alasan dan memecat buruh sesuka hati. Ketimbang memeriksa keluhan Septia, aparat kepolisian memproses laporan Jhon LBF. Aparat kepolisian maupun dinas tenaga kerja, sepertinya, tidak tertarik menyelidiki dimensi dugaan pelanggaran pidana ketenagakerjaan, yang menimpa Septia. Septia dianggap kriminal.
Septia dilaporkan oleh Jhon LBF alias Henry Kurniadi Sutikno, Komisaris Utama PT Lima Sekawan Indonesia. Pengusaha laki-laki asal Semarang Jawa Tengah kelahiran 1985 tersebut dengan berbagai perhiasan mewah yang melekat di tubuhnya kerap menampilkan diri sebagai sosok dermawan di media sosial. Sebagai influencer, Jhon LBF memiliki akun di media sosial seperti TikTok, Instagram dan X. Pengikutnya jutaan.
Per 14 November 2024, Jhon LBF tampil di media massa sebagai salah satu pembela siswa korban kekerasan pengusaha asal Surabaya Ivan Sugianto. Ia mengecam Ivan Sugianto telah merendahkan dan menghina siswa sekolah. Ia pun menjanjikan untuk membiayai kuliah siswa tersebut (Suara.com, 14 November 2024).
Ia pun pernah menawarkan pekerjaan kepada Tiko dengan upah sebesar Rp10 juta. Tiko merupakan pemuda yang merawat ibunya yang depresi di rumah tanpa listrik dan air bersih. Ia pun sempat menawarkan pekerjaan kepada Sultan Akhyar, kreator konten yang mengajak lansia mandi lumpur di TikTok.
Menurut IDXChannel.com (08 Juli 2023), Jhon LBF menguasai enam unit bisnis: legalitas hukum, konstruksi, perpajakan, perawatan kulit, rokok elektrik dan hiburan. Kata Suara.com (14 November 2024) total kekayaannya mencapai Rp100 miliar.
Tapi, dengan cuitan Septia, publik mengetahui fakta lain. Pengusaha tersebut durjana terhadap buruhnya. Barangkali dapat dikatakan Septia terlalu banyak mengetahui kelakuan busuk bosnya. Seperti ditulis dalam Marsinah.id dan Jaring.id, sebagai buruh Septia mengalami jam kerja panjang, pemotongan upah, BPJS Ketenagakerjaan yang tidak dibayarkan, upah di bawah upah minimum, dan pemecatan sewenang-wenang. Sistem kerja yang lumrah dialami oleh buruh-buruh di tempat lain. Bedanya, Septia berani mengutarakan permasalahan tersebut di media sosial. Meskipun tidak berserikat. Keberanian tersebut patut ditiru.
Seperti diutarakan PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia,), ICJR (Institute for Criminal Justice) dan LBH Pers, dakwaan terhadap Septia semestinya batal demi hukum. Karena dasar dakwaan adalah UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) Tahun 2016 dan pasal-pasalnya sudah tidak berlaku. UU tersebut telah diubah pada 2024. Lebih jauh, SKB Pedoman Implementasi UU ITE 2024 dan Pasal 45 ayat (7) UU ITE 2024 menyebutkan, penyampaian fakta untuk kepentingan publik tidak dapat dipidana dan seharusnya dilindungi hukum.
Pengacara Jhon LBF, aparat kepolisian, hakim pengadilan, maupun JPU (Jaksa Penuntut Umum) tentu saja mengetahui perubahan-perubahan UU ITE tersebut. Tapi, laporan diproses, pemeriksaan dilakukan dan persidangan bergulir.
Pada 26 Agustus 2024, Septia ditetapkan sebagai tersangka, sekaligus ditahan hingga 19 September di Rutan Bambu Jakarta Timur. Kini, Septia menyandang status sebagai tahanan kota. Bahkan, sidang 11 Desember 2024, JPU (Jaksa Penuntut Umum) menuntut agar Septia dipenjara setahun dikurangi masa tahanan dan denda 50 juta rupiah subsider 3 bulan penjara. Jauh sebelum sidang berlangsung, dalam upaya mediasi kedua, pelapor malah menuntut Septia mengganti rugi sebesar Rp200 juta dan permintaan maaf terbuka.
Jika Septia dikalahkan kita semua akan merugi. Setelah kasus ini kita akan menyaksikan orang-orang biasa yang mengeluh di media sosial dapat dengan mudah diseret ke pengadilan dengan menggunakan undang-undang yang kadaluwarsa.
Di sekitar kita terdapat kawan-kawan dihantui ketakutan jika mengungkapkan keadaan di pabrik, pertambangan, gig economy atau di perkebunan. Mereka takut dipidanakan oleh pemilik harta dan kuasa, jika melawan kesewenang-wenangan. Baru-baru ini, buruh yang tergabung dalam SB Gebuk (Serikat Buruh Gerakan Buruh Katering) mendapat ancaman pemidanaan dari pengacara perusahaan, karena menuntut perusahaan membayar pesangon, yang tidak dibayarkan selama tiga tahun. Kita dapat mendaftarkan lebih banyak lagi kasus-kasus serupa di tempat lain.
Menurut SAFEnet sepanjang 2013 hingga 2021 sebanyak 393 orang dikriminalisasi dengan pasal-pasal UU ITE. Rata-rata dilaporkan dengan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Beberapa contoh yang menonjol adalah Baiq Nuril, perempuan guru honorer yang dituduh menyebarkan kebencian. Contoh lainnya, adalah Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang dilaporkan oleh pejabat publik dengan dugaan pencemaran nama baik.
Menurut kami, kriminalisasi terhadap Septia bukan semata silat hukum. Tapi, serangan pemilik kuasa dan harta terhadap orang-orang biasa, buruh, sekaligus penghinaan terhadap gerakan rakyat. Sepuluh tahun terakhir, media sosial merupakan salah satu ruang yang memungkinkan orang-orang biasa mengungkapkan berbagai keluhan dan saling bersolidaritas. Kita tidak akan membiarkan Septia berjuang sendirian. Kita harus mendesak pengadilan membebaskan Septia, menuntut perusahaan tersebut membayarkan hak-hak Septia dan mempertanggungjawabkan tindakannya yang tidak patuh hukum.[]
Penulis
Latest entries
- December 18, 2024Kriminalisasi BuruhSeptia vs Bos dan Aparatus Negara
- April 29, 2024KajianHari Berkabung dan Solidaritas Buruh, Bukan Hari Olahraga Nasional
- March 31, 2024KajianSiasat Mengabaikan THR Keagamaan Tanpa Melanggar Aturan
- March 9, 2024KajianBukan Hanya Menuntut Kenaikan Upah Minimum