Assalamualaikum, Mbak! Tidak terasa sudah lebih dari 15 hari kepergianmu.
Mohon izin Mbak. Saya mau menulis tentang perkawanan kita. Mengingatkan kembali bagaimana saya mengenalmu seorang perempuan yang lembut, keibuan tetapi memiliki keteguhan dalam memegang prinsip. Sayangnya saya baru ungkapkan kekaguman ini setelah kepergianmu Mbak, di mana kamu sudah terputus dengan semua urusan duniawi. Ini pelajaran bagus buat saya agar bisa mengungkapkan kekaguman atau pujian kepada kawan ketika masih bersama-sama.
Sekitar tahun 2017, saya mengenalmu Mbak. Saya yakin, Mbak ingat perkenalan kita. Waktu itu saya terlibat dalam riset kondisi kerja buruh perempuan di Sukabumi, Mbak dan kawan-kawan perempuan di Sukabumi menjadi tim.
Tahu gak Mbak, sebetulnya sebelum riset saya dikasih tahu seorang kawan tentang Mbak, “Sudah tahu ketua Longvin yang baru belum?”
PT Longvin Indonesia adalah perusahaan manufaktur yang berlokasi di Sukabumi memproduksi perangkat earphone dan perangkat telekomunikasi lainnya.
“lha emang mbak Eva kemana?” ujarku balik bertanya
“Katanya keluar,”jawabnya
“Ketua sekarang siapa?” tanyaku kembali
“Namanya Sudiyanti”
“Orangnya yang mana? saya tahu gak?” pertanyaan yang mewakili kekepoanku
“Orangnya sih pendiam, kalau pertemuan tidak pernah ngomong”
Beberapa bulan setelah obrolan itu kita berjumpa. Ketika mulai diskusi saya sempat berbisik-bisik sama kawan itu, “Ketua Longvin yang mana?”
Saya lupa warna pakaianmu saat itu. Tetapi kamu menjadi perhatian saya, Kesan pertama yang tertanam di benak saya orangnya lembut, pendiam. “Waktu muda kayaknya Mbak Sudi ini cantik, bentuk matanya cakep,” pikirku
Selama riset, dalam sebulan ada tiga sampai empat kali saya harus bolak-balik Sukabumi. Pertemuan kita semakin intensif, bermula dari obrolan riset akhirnya terjalin kedekatan dari sesi diskusi, curhat sampai ghibah ala-ala perempuan. Satu yang saya syukuri Mbak, kita ghibah tidak melibatkan orang lain, alias hanya kita berdua jadi gibahan kami aman gak bakalan bocor alus dan merembes kemana-mana.
Walaupun kita cukup dekat tetapi kita tidak saling kepo dengan latar belakang masing-masing. Saya tidak pernah bertanya sebelum bekerja di PT Longvin kerja di mana, suami kerja dimana? Pendidikan apa? Begitu pun dengan dirimu Mbak. Tidak pernah menanyakan latar belakang saya dan ini membuat saya nyaman.
Tetapi dari obrolan-obrolan kita, dari cara berbicara yang teratur dan santun, dari me-manage organisasi saya yakin latar belakangmu bukan buruh biasa. Berbekal ketenangan dalam memimpin organisasi, mau belajar dan tidak malu bertanya, diskusi dengan siapapun membuahkan banyak kemenangan dari perjuangannya: perjuangan status kerja dari buruh kontrak menjadi buruh tetap walaupun dilakukan bertahap; perjuangan kesehatan dan keselamatan kerja, di mana sebelumnya pabrik tersebut menggunakan bahan kimia berbahaya; dan mengadakan pendidikan bagi buruh perempuan sehingga banyak teman kerjanya yang aktif di organisasi.
“Teh aku pengen cerita, di pabrik lagi ada masalah bisa telepon gak?”
Ingat pesan singkat di atas Mbak? Mengalir cerita tentang kekecewaanmu dengan salah satu kolektifmu yang menjadi calo buruh yang mau masuk kerja.
“Aku udah datang ke rumahnya teh, tapi orangnya gak ada,” uraimu. Saya mendengar kekecewaan dan kemarahan dari nada suaramu Mbak. Saya paham bagaimana malunya, karena berita itu masuk koran lokal kalau tidak salah.
Saya ingat, bagaimana terpuruknya kamu ketika diliburkan karena putus kontrak. Saat ini saya baru tahu kalau ternyata status kerjamu masih kontrak. Padahal banyak anggotamu yang diperjuangkan menjadi buruh tetap.
“Biasanya komunikasi kami sebatas chat, kali ini lewat telepon ini ada sesuatu”, pikir saya ketika menerima pesan darimu.
“Halo iya Mbak. Gimana-gimana ada apa?” kata saya.
“Teh, saya dirumahkan,” jawabnya
“Lho kok bisa. Emang dirimu masih kontrak Mbak?”
“Masih teh, aku sedih. Tadi pas dipanggil rasanya pengen nangis”
“Mbak, kamu memperjuangkan banyak orang buat jadi buruh tetap, tapi dirimu sendiri masih kontrak? Salut Mbak, tapi saya takut dirimu diputus,” ungkap jujur dari hati saya,
Saya masih punya utang yang belum terbayarkan Mbak Sudi, yaitu janji berkunjung ke rumahmu. “Kapan-kapan teteh, main ke rumahku, ada kebun ada kolam ikan juga,” ujarmu ketika pulang dari tempat saya. Ketika itu, kamu datang sendirian dari Sukabumi ke Tangerang demi ikut diskusi bersama kawan-kawan jaringan. Semangat belajar keren, Mbak.
Banyak sekali curhatan kita ya tentang organisasi, tentang perjuangan yang semakin melemah, tentang anggota yang semakin sulit diajak terlibat dalam kegiatan organisasi. Saya tidak bisa bayangkan kalau tidak ada handphone mungkin kita jadi orang asing, ketemu hanya di acara-acara organisasi. Beruntung kemajuan teknologi membuat kita menjadi dekat walaupun jarak kita ratusan kilometer.
“Teh kami mau buat Perjanjian Kerja Bersama, punya draft PKB gak? Aku minta dong buat belajar.” Pesanmu suatu hari di awal tahun 2023-an
“Wuih mantap mau punya PKB euy. Ada! Nanti aku kirim ya,” balasan saya.
“Makasih ya Teh. Nanti kalau aku ada kesulitan gak apa-apa yang kalau aku repotin nanya-nanya,” lanjutmu.
Tidak ada diskusi soal PKB tidak ada juga chat-chat yang menanyakan soal organisasi, soal bagaimana mengajak buruh-buruh perempuan aktif. Chat terakhir adalah kekecewaanmu karena saya mundur dari organisasi. Saya paham kekecewaanmu tetapi saya sudah memilih yang menurut saya akan baik untuk saya ke depan.
Beberapa bulan setelah saya mundur dari organisasi, komunikasi kita berhenti. Diam-diam saya sering menanyakan kegiatanmu kepada kawan-kawan yang sering ke Sukabumi.
Pertengahan 2024 kita bertemu di acara launching buku buruh menulis seri III “berpencar bergerak” , saya yang saat itu menjadi moderator sedikit terkesima ketika kamu yang juga menulis di buku itu menceritakan perjalananmu dengan penuh perasaan bahkan sampai menangis. Saya paham bagaimana beratnya menjadi ketua organisasi serikat buruh, kalau pun kamu menangis saat itu adalah wujud pelepasan dari emosimu. Alhamdulilah dari pertemuan singkat itu komunikasi kita terbangun lagi.
Sekitar bulan Agustus kalau tidak salah kita kembali satu acara di LBH Jakarta. Kamu ingat gak mbak selesai acara kamu mengajak saya berfoto.
“Yakin nih mau foto bareng saya? Ntar dapat pertanyaan-pertanyaan lho,” ujarku bercanda.
“Ah bodo amat. Aku mau sengaja upload kita berteman kok. Kenapa juga pake curiga-curiga,” jawabmu ringan waktu itu.
Selesai acara itu kembali kita saling curhat. Sesekali kami komen status Whatsapp saya. Saya yang tidak pernah nengok status Whatsapp-mu, sehingga saya tidak tahu kalau kamu sakit.
15 Januari 2025 sekitar pukul 19.00-an, ketika saya baru selesai mendiskusikan jawaban gugatan bersama kawan-kawan salah satu serikat. “Dddrrrttt,” nada getar di handphone-ku diiringi terusan pesan teks,
“Assalamualaikum Bung. Saya mau informasikan kalau Bu Sudiyanti Longvin, tadi jam 17.55 meninggal dunia di rumah sakit Fatmawati Jakarta”.
“Dari Firman Teh,” tambah si pengirim pesan teks dari seorang kawan. Firman adalah kawan Sudiyanti di Sukabumi. Si pengirim meneruskan pesan yang diterima dari Firman.
Kaget dan tidak percaya. Saya coba cari informasi dari kawan-kawan yang masih aktif di organisasi. “Iya teh sudah ada info di grup,” pesan chat Whatsapp seorang kawan membuat saya terdiam beberapa saat.
Mbak Sudi, saya, anggotamu di Longvin, kawan-kawan Sukabumi kehilanganmu. Gerakan buruh juga kehilanganmu. Kita tahu betapa sulitnya mendorong dan merawat aktivis perempuan. Waktu satu atau dua tahun mungkin bisa lahir aktivis laki-laki, tapi aktivis perempuan? Lima tahun belum tentu bisa lahir aktivis tangguh sepertimu, Mbak.
Tapi rezeki, jodoh dan umur sudah ada yang mengatur. Tugas sucimu di dunia sudah tunai. Kamu menghadap Sang Khalik dengan amal perjuanganmu; jihad menegakkan kondisi kerja yang adil dan manusiawi. Selamat jalan kawan, kamu perempuan pendiam itu, dan kamu juga perempuan tangguh itu. Damai di Surga-Nya.